Endokrin Hipertiroidisme

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid, dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi struma toksik (perubahan fungsi
fisiologis kelenjar tiroid) dan struma non toksik (eutiroid). Struma toksik sendiri dibagi
menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan struma nodusa toksik (Plummers
disease). Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi
dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain.
Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua terbesar
setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease) merupakan penyebab
hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh struma nodusa toksik (Plummers
disease), dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40% karena Plummers
disease.
Graves disease pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian Graves
pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin dan
umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai klinik. Perbandingan wanita dan
laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di
RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1.Sedangkan distribusi menurut umur di
RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 30 tahun (41,73%), tetapi menurut
beberapa penulis lain puncaknya antara 30 40 tahun.
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun1999 diperkirakan 200 juta,
12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari
beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%48,93% dari seluruh penderita dengan
penyakit kelenjar gondok. Di AS diperkirakan 0,4% populasi menderita Graves Disease,
biasanya sering pada usia di bawah 40 tahun.
Pengobatan penderita hipertiroid sangat komplek, dan masih banyak perbedaan
pendapat dari para ahli tentang cara terbaik dalam pengobatan. Faktor seks, umur, berat
ringannya penyakit, penyakit lain yang menyertainya, penerimaan penderita serta
pengalaman dari pengelola harus dipertimbangkan.

B.

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian struma hipertiroid dan mengetahui bagaimana
mendiagnosa serta memberikan terapi secara tepat.

C.

Manfaat Penulisan
Mahasiswa dapet mengetahui pengertian hipertiroid dan mengetahui bagaimana
mendiagnosa serta memberikan terapi secara tepat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan suatu keadaan di mana didapatkan
kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan
biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.
Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid,
yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme adalah keadaan
disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon
tiroid yang berlebihan di dalam darah. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis
hipertiroidisme yang paling berat mengancam jiwa, umumnya keadaan ini timbul pada pasien
dengan dasar penyakit Graves atau Struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan
faktor pencetus: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stress
emosi, penghentian obat anti tiroid, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit
serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu kuat.
B. Etiologi
a. Hereditas/keturunan
b. Tumor kelenjar hipofisis
c. Kanker tiroid
d. Troiditis (peradangan kelenjar tiroid)
e. Terapi hormon tiroid berlebihan
f. Toksik adenoma
Faktor resiko :
a. Terjadi lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki
b. Pada usia lebih dari 50 tahun
c. Post trauma emosional
d. Peningkatan stres
C. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi
hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan
untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon
paratiroid (Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan
fosfat. Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini
memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang.

Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang
mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. T3
selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan
perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin
di dalam koloid dari folikel, prealbumin pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit
T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah.
Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating hormone)
dan adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing
hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada
kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi
oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons
adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun
dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga
dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga melalui
pengaruh persarafan.
Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon
TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hopofisis. Sekresi TSH
diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga
oleh Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang
tinggi akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4
menurun. Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH
sehingga meningkatkan produksi T3 dan T4.
Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa langkah,
yaitu :

Iodide trapping
Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan berhubungan dengan
Na, K , ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah kedalamnya (20 kali
lebih kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug
yodida untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)


Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke yodium yang
kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal dari residu tirosil,
dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT)
dan diiodothyrosine (DIT).

Coupling
Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT sehingga terbentuk T3 dan T4 yang
terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan dari pada T3 meskipun
efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam
koloid.

Sekresi
Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas dari
tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah dengan
perbandingan T3:T4 = 1:5. Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan hormon
diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu
tirosil. Hanya sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah
(normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3%
dan 0,02% dari total hormon keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7
hari (T4).
Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa
hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada metabolisme
karbohidrat, protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga
berhubungan erat dengan fungsi katekolamin dalam tubuh.

Pembentukan kalori
Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada hampir semua
jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior,
limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan
tubuh akan semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses
5

termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti
memperbanyak pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan
bertambahnya curah jantung.

Metabolisme karbohidrat
Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan
efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan
hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme
yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu
pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa
oral yang sangat khas.

Metabolisme protein
Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik
berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar yang
berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan
nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling
pada proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas
bertambah.

Metabolisme lemak dan kolesterol


Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk
metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar kholesterol
disebabkan oleh proses metabolisme melebihi proses sintesisnya.

Pertumbuhan
Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya
terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Sistem saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang
meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif.
Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh
lebih cepat daripada normal.
D. Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves dan goiter toksik. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari
ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke
dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan
dengan pembesaran kelenjar. Setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali
lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
menyerupai TSH. Biasanya bahan bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) yang berikatan dengan reseptor membran yang
sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan-bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP
dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid
yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar
hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormon hingga diluar
batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat
hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas
normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita
hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang
mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya
tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami
gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah
satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan

reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot
ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.
E. Klasifiikasi
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai yaitu
penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok
gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit
lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang meningkat, palpitasi
dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot. Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lig lag, dan
kegagalan konvergensi. Goiter nodular toksik, lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia
sebagai komplikasi goiter nodular kronik, manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves.
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme (produksi berlebihan dari kelenjar
tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit
Basedow. Penyebabnya tidak diketahui. Karena ini merupakan penyakit autoimun yaitu saat
tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri,
maka penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui mekanismenya secara pasti,
kebanyakan dijumpai pada wanita. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin
merupakan salah satu penyebabnya (mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes
mellitus tipe I). Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon
kelenjar tiroid dan kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun etiologi
penyakit Graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH,
yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian
penyerapan yodium radio aktif oleh kelenjar tiroid.
Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif
tipe II. Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi auto antibodi yang
berikatan dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid (sel yang
memproduksi tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan
peningkatan produksi dari hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat (gangguan mata karena
8

tiroid) sering terjadi yang tampak pada ekspresireseptor TSH pada jaringan retroorbital.
Penyebab peningkatan produksi dari antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin
merangsang antibodi, dimana bereaksi silang dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak
sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves disease, sebagian besar orang lebih banyak
terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari reseptor TSH yang bersifat genetik.
Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang
mempunyai fungsi otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Struma nodular
toksik (Plummers disease) pertama kali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun
1913. Struma nodular toksik merupakan penyebab hepertiroid terbanyak kedua setelah
Graves disease.
Struma nodular toksik menampilkan spectrum penyakit mulai dari nodul hiperfungsi
tunggal (toxic adenoma) sampai ke nodul hiperfungsi multipel (multinodular thyroid).
Riwayat dari multinodular struma melibatkan suatu variasi pertumbuhan nodul dimana
menuju ke perdarahan dan degenerasi, yang diikuti oleh proses penyembuhan dan fibrosis.
Proses kalsifikasi juga bisa terjadi di area yang sebelumnya terjadi perdarahan. Beberapa
nodul bisa berkembang menjadi fungsi yang otonomik. Hiperaktifitas otonomik terjadi oleh
karena adanya mutasi somatik dari reseptor thyrotropin atau hormon TSH pada 20 80%
adenoma toksik dan beberapa nodul dari multinodular struma. Fungsi otonomik bisa menjadi
toksik pada 10% pasien. Hipertiroidism terjadi ketika nodul tunggal sebesar 2,5 cm atau
lebih. Tanda dan symptom dari struma nodular toksik sama dengan tipe hipertiroid lainnya.
Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites adalah
suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda usia 20 40 tahun
terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur.
F. Manifestasi Klinis
Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut,
lebih dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak. Tergantung pada beratnya
hipertiroid, maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul antara lain
adalah :
Peningkatan frekuensi denyut jantung
Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap
katekolamin

Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas, intoleran

terhadap panas, keringat berlebihan


Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
Peningkatan frekuensi buang air besar
Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
Gangguan reproduksi
Tidak tahan panas
Cepat letih
Mata melotot (exoptalmus).

G. Diagnosis
Anamnesis
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit
dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena
timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi, dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa
salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada
sekelompok penderita didapatkan gejala yang menonjol yaitu :

Nervositas
Kelelahan atau kelemahan otot-otot
Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
Diare atau sering buang air besar
Intoleransi terhadap udara panas
Keringat berlebihan
Tremor
Berdebar-debar
Penonjolan mata dan leher
Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapahari sampai beberapa

tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari
penyakitnya.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang penderita
tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak
tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat,
aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tandatanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.
Pemeriksaan Fisik
10

1. Inspeksi
Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala sedikit
fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m. sternokleidomastoideus

relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi.


Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen
berikut :
Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
Jumlah: uninodusa atau multinodusa
Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler local
Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut
bergerak
Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2. Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang
pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang
perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

Perluasan dan tepi


Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba

trakea dan kelenjarnya


Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari

musculus ini)
Limfonodi dan jarngan sekitarnya.
Pemeriksaan penunjang
Tes fungsi tiroid
Pengukuran hormon tiroid
Hanya sekitar 1% hormon tiroid berada dalam keadaan bebas dan aktif secara
metabolik karena baik T4 maupun T3 terikat kuat dengan protein transport dalam
plasma. Assay T4 atau T3 total terutama mengukur hormon yang terikat protein.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang mempengaruhi konsentrasi
protein. Oleh karena itu, lonjakan tinggi T4 total akan terjadi pada kehamilan dan
pada wanita yang mengkonsumsi pil kontrasepsi oral karena esterogen
meningkatkan

sintesis

globulin

peningkat

tiroksin

(tiroksine

binding

globulin,TBG).
Hasil pengukuran yang sangat rendah dapat terjadi pada individu dengan
defisiensi TBG kongenital atau gangguan hati berat. Assay hormon tiroid
11

bebassaat ini tersedia luas dan secara umum tidak terpengaruh oleh perubahan
konsentrasi protein pengikat dalam plasma.
Pengukuran hormon penstimulasi tiroid (TSH)
Pengukuran TSH merupakan pengukuran test fungsi tiroid yang paling banyak
digunakan. Pengukuran ini relatif tidak terganggu oleh interfesensi assay dan
dapat dipercaya dalam memprediksi fungsi tiroid sesuai prinsip umpan balik
negatif. Oleh karena itu,pada hipertiroidisme konsentrasi TSH tidak dapat
dideteksi. Pada hipotiroidisme primer, konsentrasi TSH meningkat dan pada pada
hipotiroidisme sekunder rendahnya kadar T4 bebas disertai dengan rendahnya

konsentrasi TSH.
Ultrasonografi tiroid
Akan memperlihatkan adanya nodul dan kista tunggal atau multiple. Aspirasi
jarum untuk sitologi atau drainase kista dan biopsi tiroid dapat dilakukan dengan

panduan ultrasonografi.
Skintigrafi tiroid
Atau pencitraan radio nukleotida berguna dalam mendiagnosis tiroiditis, ketika
ambilan isotop sangat berkurang dan berkebalikan dengan peningkatan yang
merata pada tirotoksikosis. Nodul soliter yang terlihat secara klinis dapat
diperlihatkan sebagai nodul dingin pada pencitraan, dan membutuhkan
pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan.

H. PENATALAKSANAAN
1. Obat anti tiroid (OAT)
Golongan obat ini terdiri dari propylthyourasil (PTU), Metimazol dan Carbimazole
(dirubah dengan cepat menjadi metimazole setelah diminum) biasanya diberikan pada
dengan dosis awal 100 150 mg per enam jam (PTU ) atau 30 40 mg
(Metimazole/carbimazole) per 12 jam. Biasanya remisi spontan akan terjadi dalam waktu
1 2 bulan. Pada saat itu dosis obat dapat diturunkan menjadi 50-200mg (dalam dosis
terbagi 2kali sehari) untuk PTU atau 520 mg (dosis 1-2 kali sehari) untuk Metimazole.
Dosis maintenance ini dapat diberikan hingga 2 tahun untuk mencegah relaps.
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat konversi T4 (tidak aktif) menjadi bentuk
aktif (T3) dan juga memblok aktifitas hormon tiroid. Efek samping obat ini adalah
agranulositosis, reaksi allergi dan hepatotoksik. Pada penderita hipertiroid yang sedang
hamil maka pilihan obat adalah PTU, oleh karena obat ini kurang dapat melewati barrier
palasenta (hidrofilik), kecuali bila juga dapat tanda-tanda toksik pada janin maka dapat
dipilih obat Metimazole (lipofilik).
2. Operasi
12

Biasanya dilakukan subtotal tiroidektomi dan merupakan pilihan untuk penderita dengan
pembesaran kelenjar gondok yang sangat besar atau multinoduler. Operasi hanya
dilakukan setelah penderita euthyroid (biasanya setelah 6 minggu setelah pemberian OAT)
dan dua minggu sebelumnya harus dipersiapkan dengan pemberian larutan kalium yodida
(lugol) 5 tetes 2 kali sehari (dianggap dapat mengurangi vaskularisasi sehingga
mempermudah operasi)
3. Terapi Yodium Radioaktif (I131).
Pemberian radiasi secara oral (minum) dilakukan apabila ada kontra indikasi pemberian
obat OAT, tidak berespon dan sering relaps dengan OAT. Radioaktif harus diberikan bila
fungsi jantung normal dan dikontraindikasikan pada penderita hamil. Terapi radiasi
dianggap dapat menghentikan proses autoimmune pada penyakit Graves namun
mempunyai efek samping hipotiroidisme yang permanen.
4. Pilihan obat lainnya.
a. Beta blocker
Propranolol 10 40 mg/hari (tid) berfungsi untuk mengontrol gejala takikardi,
hipertensi dan fibrilasi atrium. Dapat pula sebagai obat pembantu OAT oleh karena juga
menghambat konversi T4 ke T3.
b. Barbiturate
Phenobarbital digunakan sebagai obat penenang (sedatif) dan juga dapat mempercepat
metabolisme T4 sehingga dapat menurunkan kadar T4 dalam darah.
I. KOMPLIKASI
1. Penyakit jantung tiroid (PJT)
Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung (sesak, edem, dll),
hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.
2. Krisis Tiroid (Thyroid Storm)
Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita tiritoksikosis (lifethreatening severity). Biasanya dipicu oleh faktor stress (infeksi berat, operasi, dll).
Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda
hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-tiba.
3. Periodic paralysis thyrotocsicosis( PPT)
Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan biasanya hanya
bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat
kalium terlalu banyak masuk ke dalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya
terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan ke
dalam sel oleh insulin bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase).
4. Komplikasi akibat pengobatan
Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment (hipotiroidisme) dan akibat efek samping
obat (agranulositosis, hepatotoksik).
13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hipertiroidisme digambarkan sebagai suatu kondisi dimana terjadi kelebihan sekresi
hormone tiroid dan terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai
yaitu struma diffusa toksik atau Graves disease dan goiter nodular toksik atau Plummers
disease.
B. SARAN
Sebagai penyusun kami bersyukur dan berterima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami sebagai penyusun
14

memohon kritik dan saran dari pembaca karena makalah ini masih banyak
kekurangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Greenstein, Ben, Diana Wood. 2010. At a Glance Sistem Endokrin. Jakarta : Erlangga
Price A, Sylvia dan Wilson M, Lorraine, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Buku II, Jakarta, EGC,2006
Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC
Turner, C.D, Joseph T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Surabaya : Airlangga
University Press

15

16

Anda mungkin juga menyukai