Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam
rongga hidung atau sinus paranasal disekitar hidung. Rongga hidung merupakan sebuah
ruang dibelakang hidung dimana udara melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal
adalah daerah yang dipenuhi-udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus
maksila), diatas dan diantara mata (sinus etmoid dan sinus frontal), dan dibelakang etmoid
(sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal. (1)
Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor yang ganas
termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari 1% seluruh tumor
ganas. (2)
Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip,
sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. (2)
Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali
tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga tidak dapat
ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk
tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat rendah. (2)
Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus maksila,
etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus
medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai tumor ganas hidung tidak dapat
dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali
jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini. (4)

Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi,
imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Gejala dan tanda yang paling umum
adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah,
masalah persarafan, dan tanda metastasis. (5)
Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk: pemeriksaan fisik,
pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan biopsi. (5)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian seperti puncak hidung, dorsum
nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang hidung (nares anterior). (6,7)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis) dan prosesus frontalis
maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa buah tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung. (6,7)
2. Rongga Hidung ( Kavum Nasi)
Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke belakang
dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkannya
dengan nasofaring. (6,7)
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrissae). (6)
Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, dinding lateral,
dinding inferior dan dinding superior. (6,7)
Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid, (2) vomer, (3) krista
3

nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago
septum (lamina kuadran-gularis) dan (2) kolumela. (6,7)
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. (6)
Dinding lateral

Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya
terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral hidung. (6)
Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang
paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan labirin etmoid.
media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

(6).

(6,7)

Konka

(6)..

Konka

Ruang yang terletak

diantara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung disebut meatus inferior. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. (6)
Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus semilunaris yang merupakan celah terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

(6).

Pada meatus superior yang

merupakan ruang diantara konka superior dan dinding lateral rongga hidung terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. (6)
Dinding inferior

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. (6)
Dinding superior

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. (6)
Pendarahan

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmikus, sedangkan a. oftalmikus berasal dari a. karotis
interna. (6,7). agian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksila interna.
(6,7).

Yang penting ialah a. sfenopalatina dan ujung a. palatina mayor.Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

(6).

Pada bagian depan septum terdapat

anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.


palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. (6).

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoid
anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus (n. V-1).
(6,7).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
5

melalui ganglion sfenopalatinum.

(6,7).

Ganglion sfenopalatinum, disamping memberikan

persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau autonom pada mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosis profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit diatas dari ujung posterior konka media. (6,7)
Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga didalam tulang yang sesuai
dengan namanya dan semuanya mempunyai muara (ostium) didalam rongga hidung. (6)
Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus
sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah
ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus
frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun.
Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun. (6)

Angka kejadian
Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh
keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok
dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan

hidung dan sinus paranasal ini 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih
tinggi lagi yaitu 91,4% (2)), 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan
sinus sfenoid dan frontal hanya 1%.

(4)

Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih

sering ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. (2,8)


Rifki mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di 10 kota
besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3-25,3% dari keganasan
THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. (2)
Etiologi
Rahang atas merupakan satu dari sedikit lokasi di kepala dan leher dimana etiologi pasti
telah ditetapkan untuk beberapa jenis tumor (Lund. 1991). (3)
Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson
dkk, 1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma
sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program
penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel
skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan.

(3)

Pekerja nikel

memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini
mungkin akan berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20
tahun masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus
berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi
termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak
memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus paranasal. (8)
Patologi

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis
histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. (3)
Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda yang
secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor tampaknya
berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10% muncul dari etmoid.
Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang. (3,8)
Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi.
Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari
sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawal tidak
mudah dipalpasi di bagian leher manapun. (3)
Gambaran Klinis
Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah
dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa
obstruksi dan epiataksis. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa
memiliki gejala orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir.
Tumor sinus frontalis cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus
sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis. (3,11,13)
Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor antrum. Tumor
didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan
nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif
menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif
membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari
untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau
8

masih lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tandatanda dan gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu
yang terkikis. (3)
Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor selalu
terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal
normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan
yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat
mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi
palatum frank merupakan gejala akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak
wajah dapat mengakibatkan epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan
wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih mungkin
mengakibatkan limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior kedalam fossa
infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya
fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke
nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran
superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan volume isi orbita,
keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat. (3)
Diagnosis
Jarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor
kepala-leher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan
penyakit ini sepanjang karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan
kemiripan gejala dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran
pernafasan atas mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum

tumor meluas melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama
kali terlihat dan diagnosisnya adalah 6 bulan. (3)
Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan
CT untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan
diagnosis yang benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran
yang tepat dari perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah
selanjutnya. (3,13)
Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor. (2)
Jenis tumor
Rongga hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan penghasilmukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa, sel kelenjar saliva kecil,
sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel pembuluh darah. Beberapa jenis tumor pada sel
dan jaringan ini adalah: (1)

Karsinoma Sel Skuamosa

Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang
mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini.

(1,7)

Sel

skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan
leher.

(1)

Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan

sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang
dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade
keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika
ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat.
10

Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube
kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker
ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi
direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi. (9)

Adenokarsinoma

Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan
sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung
lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan
berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel
skuamosa dan dibagi secara histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah. (9)

Melanoma maligna

Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan
kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1%
dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana
merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade
kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior
merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada
lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam.
Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi
leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher
tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau
kombinasi mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk. (9)

11

Estesioneuroblastoma

Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang


jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan
servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk
menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial. (10)
Metastasis
Ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada presentasi berkisar
10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata bermetatase ke area servikal. Hanya
10% pasien yang pernah mengalami metastase jauh. (8)
Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Beberapa hal yang mempengaruhi prognosis
antara lain adalah 1) diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat
tumor secara en bloc; 2) sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga; 3)
sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh. (12)
Untuk stadium dini, angka kesembuhan 5 tahun lebih dari 70%, sedangkan untuk
stadium lanjut berkisar antara 20-30% saja. (4)
Paska operasi dengan pemasangan obturator pengganti palatum sangat bermanfaat untuk
memperbaiki kualitas hidup penderita terutama untuk proses menelan dan berbicara yang
tidak terlalu banyak mendapat kesulitan. (4)

12

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:


Kategori T untuk karsinoma sinus maksila (2)
T1

: Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.

T2

: Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum

dan/atau meatus medius.


T3

: Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau

sinus etmoid anterior.


T4

: Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina

kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa
pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak.
Kategori N untuk karsinoma sinus maksila (2)
N0

: Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.

N1

: Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau

kurang.
N2a

: Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm

tetapi tidak lebih dari 6 cm.


N2b

: Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari

6 cm.
N2c

: Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar

tidak lebih dari 6 cm.


13

N3

: Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila (2)


Mx

: Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0

: Tidak ada metastasis jauh.

M1

: Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila (2)


Stadium I

: T1, N0, M0

Stadium II

: T2, N0, M0

Stadium III

: T3, N0, M0 atau T1, T2 atau T3, N1, M0

Stadium IV

: T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2 atau N3, M0 atau semua T, semua N,

M1
Pengobatan
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium
tumor bila tumor ganas. (2)
Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus
paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang
berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar
klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan
harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara

14

pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar
berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka
mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. (2,11)
Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal
adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah inoperable atau
menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan
antrostomi. (2)
Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih
dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan
lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang
kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada
yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang
lebih disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikrometastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu
operasi. (2)
Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus
maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi
maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila,
ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan
eksenterasi orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan
ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap
sudah inoperable dan hanya diberikan penyinaran saja. (2)

15

Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang


dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan
langsung dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan
yang akan sulit diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola
mata. Pada kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan
perbaikan wajah dengan bedah plastik. (2)

BAB III
KESIMPULAN

Kanker rongga hidung atau sinus paranasal adalah sebuah kondisi yang sangat
mematikan dan terutama tidak nyaman dengan pembawaannya yang jelas baik bagi pasien
maupun bagi keluarganya. Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Etiologi diakibatkan pemaparan terhadap lingkungan pekerjaan. Pekerja nikel memiliki
peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Jenis histologis yang paling
umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. Gejala klinis yang paling
sering, obstruksi hidung dan epistaksis. Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil
pemeriksaan histopatologi biopsi tumor.
16

Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk,
sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan
kemoterapi. Pada umumnya prognosis kurang baik.

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas Ipd 3
    Tugas Ipd 3
    Dokumen16 halaman
    Tugas Ipd 3
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Tugas Ipd 3
    Tugas Ipd 3
    Dokumen16 halaman
    Tugas Ipd 3
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Anemia
    Anemia
    Dokumen33 halaman
    Anemia
    Chaira Lemonade
    Belum ada peringkat
  • Anemia
    Anemia
    Dokumen33 halaman
    Anemia
    Chaira Lemonade
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Mellitus
    Diabetes Mellitus
    Dokumen22 halaman
    Diabetes Mellitus
    Januaris Sihombing
    Belum ada peringkat
  • Malaria 1
    Malaria 1
    Dokumen14 halaman
    Malaria 1
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Anamnese - Vally
    Anamnese - Vally
    Dokumen27 halaman
    Anamnese - Vally
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Isi Paper
    Isi Paper
    Dokumen16 halaman
    Isi Paper
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Anemia Pada Anak
    Anemia Pada Anak
    Dokumen26 halaman
    Anemia Pada Anak
    Syarifuddin Abdul Jabbar
    Belum ada peringkat
  • Anemia
    Anemia
    Dokumen74 halaman
    Anemia
    Tri Nata
    Belum ada peringkat
  • Referat Plasenta Previa
    Referat Plasenta Previa
    Dokumen15 halaman
    Referat Plasenta Previa
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • THT
    THT
    Dokumen17 halaman
    THT
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Slide Fraktur Terbuka
    Slide Fraktur Terbuka
    Dokumen27 halaman
    Slide Fraktur Terbuka
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Trauma Capitis
    Trauma Capitis
    Dokumen21 halaman
    Trauma Capitis
    Tyara_ayu
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen10 halaman
    Malaria
    Momok Halum
    Belum ada peringkat
  • Isi Paper
    Isi Paper
    Dokumen16 halaman
    Isi Paper
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Slide Fraktur Terbuka
    Slide Fraktur Terbuka
    Dokumen27 halaman
    Slide Fraktur Terbuka
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Terbuka DJ
    Fraktur Terbuka DJ
    Dokumen30 halaman
    Fraktur Terbuka DJ
    Azizah Hafaz
    Belum ada peringkat
  • THT
    THT
    Dokumen17 halaman
    THT
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Dokumen13 halaman
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Tugas Ipd 3
    Tugas Ipd 3
    Dokumen16 halaman
    Tugas Ipd 3
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Luka
    Luka
    Dokumen28 halaman
    Luka
    fikriaditya
    Belum ada peringkat
  • Slide Fraktur Terbuka
    Slide Fraktur Terbuka
    Dokumen27 halaman
    Slide Fraktur Terbuka
    ariwibowo
    Belum ada peringkat
  • Isi Paper
    Isi Paper
    Dokumen16 halaman
    Isi Paper
    ariwibowo
    Belum ada peringkat