Anda di halaman 1dari 19

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Abses Hati
1.1 Definisi
Abses hati adalah berbentuk infeksi pada hati yang dapat disebabkan oleh
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi,
atau sel darah didalam parenkim hati.1
1.2 Klasifikasi
Abses hati secara umum terbagi dua, yaitu :
a. Abses Hati Amoeba (AHA)
Abses hati amebik merupakan salahsatu komplikasi amebasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai didaerah tropik dan subtropik,
termasuk Indonesia. Abses hati amebik merupakan masalah kesehatan
terutama didaerah Entamoeba Hystolitica dengan strain virulen yang
tinggi. Terdapat 3 cara E. Hystolitica masuk kehati yaitu melalui sistem
porta, secara langsung dari usus menembus peritoneum masuk kehati
dan melalui sistem limfatik. Hanya sebagian individu yang terinfeksi
Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif, sehingga di duga
ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen.
Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hepar.1,4
E.histolytica di dalam feces dapat di temukan dalam dua bentuk
vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar
tubuh manusia. Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap
suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana
kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa
eritrosit,mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase
yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.

13

b. Abses Hati Piogenik (AHP)


Abses hati piogenik dikenal juga dengan hepatic abscess, bacterial
liver abscess, bacterial hepatic abscess. Abses hati piogenik merupakan
kasus yang relatif jarang terjadi. Etiologi dari absesa hati piogenik antara
lain

enterobacteriaceae

streptococci,

klebsiela

staphylococcus

aureus,

microaerophilic
pneumoniae,
staphylococcus

streptococci,

bacteriodes,
milleri,

anaerobic

fusobacterium,

candida

albicans,

aspergillus, actinomyccess, eikenella corodens, yersinia enterolitica,


salmonella typhii, brucella melitensis dan fungal. 1
Gram negative enterics

E. colli

20,5

K. pneumoniae

16,0

Psedomonas sp

6,1

Proteus sp

1,3

Lainnya
Gram Positif aerob

7,4

S. milleri

12,2

Enterococcus sp

9,3

S aureus / S epididimis

7,7

Streptococci sp
Organik anerobik

1,1

Bacteriodes sp.

11,2

Anerobic / microaerophillic streptococci

6,1

Fusobacterium

4,2

Lainnya
Miscellaneous

1,9

Actinomyces

0,3

C. albicans
Tabel.1 Mikrobiologi penyebab AHP(5)

0,3

Pada era pre-antibotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis


bersamaan dengan flebitis. Bakteri patogen melalui arteri hepatika atau
melalui sirkulasi vena porta masuk kedalam hati, sehingga terhadi
bacterimia

sistemik

ataupun

menyebabkan

komplikasi

infeksi

14

intraabdominal. Saat ini, karena pemakaian antibiotik sudah adekuat maka


kejadian AHP karena apendistis sudah jarang terjadi. Peningkatan
kejadiaan AHP saat ini dikarenakan komplikasi dari sistem biliaris, yaitu
langsung dari kandung empedu atau melalui saluran empedu yakni
kolangitis dan kolesistitis.AHP juga dapat disebabkan

trauma tusuk,

tumpul atau kriptogenik.1


1.3 Epidemiologi
Abses hati amuba adalah suatu penyakit yang menyerang usia dewasa
paruh baya dan predominasi pada pria dengan ratio 9:1, tidak ada pengaruh
ras. Infeksi amuba ini umumnya terjadi pada daerah dengan sanitasi yang
buruk yang hal ini dapat dilihat pada negara-negara berkembang dengan suplai
air yang terkontaminasi dan higiene perorangan yang jelek. Daerah endemic
penyakit ini terletak pada daerah tropis dan subtropis dari belahan bumi,
khususnya di daerah Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara dan India.
Prevalensi Abses hati piogenik sejak ditemukannya antibiotika
bergeser dari dekade ke 3-4 menjadi usia ke 70an. Secara historis abses hepar
piogenik lebih banyak menyerang pria daripada wanita.
1.4 Patofisiologi
a. Abses Hati Amoeba (AHA)
Penyebab utama AHA adalah entamoeba hystolitica. Hanya
sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala
amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu
strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi
pada hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti.
Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor
virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi,
faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen
permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated.6
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:

15

1. penempelan E.hystolitica pada mukus usus.


2. pengerusakan sawar intestinal.
3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons
imun cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga
dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4. penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati
sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi
membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik.
Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya
amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat
disentri amebiasis.1

16

Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar :

(Bagan patofisiologi terjadinya amobiasis hepar, Staf Pengajar Patofisiologi,


Fakultas Kedokteran Unibraw Malang 2003)(6)

17

Skema bagan Pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan dasar manusia :

(Bagan pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan manusia. Bruner dan Suddarth,
2000)6
b. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa
menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik.

18

2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering.


Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran
empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran
empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
3. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan
seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintas.
4. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
5.

Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama


pada organ lanjut usia.1

1.5 Manifestasi Klinis


a. Abses hati amoeba
Cara timbulnya abses hati amoebik biasanya tidak akut, menyusup
yaitu

terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan

hampir pada

seluruh kasus. Terdapat rasa sakit diperut atas yang sifat

sakit berupa

perasaan ditekan atau ditusuk. Rasa sakit akan bertambah

bila penderita berubah posisi atau batuk. Penderita merasa lebih enak bila
berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu dapat pula
terjadi sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila abses terletak dekat
diafragma dan sakit di epigastrium bila absesnya dilobus kiri. Anoreksia,
mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan
merupakan keluhan

yang biasa didapatkan. Batuk-batuk dan gejala

iritasi diafragma juga bisa dijumpai walaupun tidak ada ruptur abses
melalui diafragma. Riwayat penyakit dahulu disentri jarang ditemukan.
Ikterus tak biasa ada dan jika ada ia ringan. Nyeri pada area hati bisa
dimulai sebagai pegal, kemudian mnjadi tajam menusuk. Alcohol
membuat nyeri memburuk dan juga perubahan sikap. Pembengkakan bisa
terlihat dalam epigastrium atau penonjolan sela iga. Nyeri tekan hati
benar-benar menetap. Limpa tidak membesar.7,8
b. Abses Hati Piogenik
Menunjukkan manifestasi klinik lebih berat dari abses hati amoeba.
Terutama demam yang dapat bersifat intermitten, remitten atau kontinue

19

yang

disertai menggigil. Keluhan lain dapat berupa sakit perut, mual

atau muntah, lesu, dan berat badan yang menurun. Dapat juga disertai
batuk, sesak napas, serta nyeri pleura.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien yang septik
disertai nyeri perut kanan atas dan hepatomegali dengan nyeri tekan.
Kadang disertai ikterus karena adanya penyakit bilier seperti
kolangitis.1,7,9
1.6 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis, dari anamnesis biasanya didapatkan keluhan nyeri perut kanan
atas, demam, anoreksia, mual, muntah, menggigil, nyeri bila ditekan atau
pada waktu bergerak, biasanya penderita miring kesisi kanan untuk
mengurangi rasa sakit.
b. Pemeriksaan Fisik, biasanya didapatkan adanya pembesaran hepar, nyeri
tekan, fluktuasi, ikterik ringan, dan distensi abdomen.
c. Laboratorium, biasanya didapat leukositosis, anemia, hipoalbuminemia,
peningkatan alkalin phosphatase, peningkatan bilirubin.
d. Ultrasonography, didapatkan gambaran massa hipoekoik dengan batas
yang tidak beraturan, kavitas berisi debris dapat teridentifikasi
e. Foto toraks, biasanya didapatkan gambaran atelektasis basilar,
hemidiaphragma kanan letaknya lebih tinggi, berkurangnya gerak
diafragma, efusi pleura yang biasanya diakibatkan pecahnya abses hati.
f. Foto polos abdomen, biasanya didapat gambaran ileus, hepatomegali atau
gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid level
yang jelas.
g. Pemeriksaan serologi, beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
indirect haemaglutination (IHA), counter immunoelectrophoresis (CIE),
dan ELISA. Yang banyak dilakukan adalah tes IHA. Tes IHA
menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Titer 1:128 bermakna untuk
diagnosis amoebiasis invasive
h. Aspirasi, ditemukan pus.

20

1.7 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan abses hati amoeba sebagai berikut :
a. Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari atau tinidazole
3x800mg peroral selama 5 hari dilanjutkan dengan preparat
luminal.
b. Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama
20 hari, ditambah;
c. Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular
(maksimum 99 mg/hr) selama 10 hari.
Pengobatan abses hati piogenik
a. Sefalosporin generasi 3 dan klindamisin atau metronidazole. Jika
dalam waktu 2-48 jam belum ada perbaikan klinis gunakan
antibiotika sesuai dengan kultur sensitivitas aspirat abses.
Kombinasi metronidazole dan antibiotika bila dicurigai abses
campuran.10
2. Tindakan aspirasi terapeutik
Indikasi :
a. Abses yang dikhawatirkan akan pecah
b. Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
c. Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga
perikerdium atau peritoneum.
3. Tindakan pembedahan
Pembedahan dilakukan bila:
a. Abses disertai komplikasi infeksi sekunder.
b. Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.
c. Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
d. Ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial.
Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan
reseksi misalnya lobektomi.

21

1.8 Komplikasi
a. Infeksi sekunder, merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 1020% kasus.
b. Ruptur atau penjalaran langsung, rongga atau organ yang terkena
tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal,
kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan
organ-organ lain.
c. Komplikasi vaskuler, ruptur kedalam vena porta, saluran empedu atau
traktus gastrointestinal jarang terjadi.
d. Parasitemia, amoebiasis serebral, E. histolytica bisa masuk aliran darah
sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan
memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
1.9 Prognosis
Prognosis dari abses hati bergantung dengan usia, dimana usia tua
memiliki prognosis yang lebih buruk, cara timbulnya penyakit, tipe akut
mempunyai prognosa lebih buruk letak dan jumlah abses, prognosis lebih
buruk bila abses di lobus kiri atau multiple. Sejak digunakan pemberian
obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun
secara tajam. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom
hepatorenal.7,10
2. PPOK
2.1 Definisi
PPOK menurut ATS 1995 adalah penyakit dengan adanya obstruktif
jalan napas karena bronkitis kronis atau emfisema dimana obstruksi jalan
napas tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disebabkan hiperaktifitas
bronkus dan bisa reversible sebaian. 12
2.2 Epidemiologi

22

Menurut data surkenas tahun 2001, penyakit pernapasan termasuk


PPOK merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK
meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada
pria daripada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara
dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok
merupakan faktor risiko utama.
2.3 Etiologi dan faktor resiko
Beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya PPOK adalah :
1. Merokok.
2. Polusi udara dan lingkungan.
3. Faktor genetik.
4. Usia
5. Jenis Kelamin
6. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi.
7. Hiperresponsif jalan napas.
8. Perokok pasif
9. Status social ekonomi
10. Infeksi
11. Faktor makanan
2.4 Patofisiologi
PPOK ditandai dengan peradangan kronik pada saluran napas, parenkim, dan
vaskularisasi paru. Terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh dalam
patogenesis PPOK, yaitu :
Peradangan paru
Ketidakseimbangan proteinase-antiproteinase
Stres oksidatif

Terdapat 3 hipotesis utama patogenesis PPOK, yaitu :

1. Hipotesis Dutch

23

Hipotesis ini menyatakan bahwa penyebab PPOK adalah hipereaktif


bronkus yang diinduksi oleh rokok dan inhalan lainnya. Pasien dengan
hipereaktivitas lebih besar akan lebih cepat mengalami penurunan FEV1.
2. Hipotesis British
Hipotesis ini beranggapan bahwa penyebab PPOK adalah hipersekresi
mukus sehingga dapat mempersempit jalan napas dan merupakan
predisposisi terjadinya infeksi dan inflamasi.
3. Hipotesis protease/ antiprotease
Iritasi jalan napas akan mengawali masuknya sel radang ke paru.
Kemudian sel-sel ini mengeluarkan berbagai jenis protease, seperti
neutrofil elastase, tripsin, dan katepsin. Enzim-enzim ini kemudian akan
merusak parenkim paru.
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:
Stage

Grade

Karakteristik

At risk

Spirometri normal
Gejala kronik (batuk, produksi sputum)

II

Mild

FEV 1/FVC < 70% & FEV 1 < 80%

COPD

Dngan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi

Moderate

sputum)
FEV 1 /FVC < 70% & 50% < FEV 1 < 80%
Dngan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi

III

Severe

sputum)
FEV1/FVC < 70% & 30% < FEV1 < 50%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi

IV

Very

sputum)
FEV1/FVC <70%

Severe

FEV1 < 50% + gagal respirasi kronik


Klasifikasi berdasarkan posrbronkhodilator FEV1
Gagal respirasi: tekanan parsial arteri PaO2 < 60
mmHG saat bernapas pada tingkatan laut (sea

24

level).

2.6 Manifestasi Klinis


Indikator kunci mempertimbangkan diagnosis :

Batuk kronis

Produksi sputum yang kronis

Bronkitis kronik

Sesak nafas

Riwayat paparan terhadap faktor risiko

Gejala klinik :

Smokers cough (batuk khas perokok), diawali sepanjang pagi yang


dingin, kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.

Sputum, biasanaya banyak dan lengket (mucoid), berwarana kuning, hijau


bila terjadi infeksi.

Dispnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran
pernafasan.

Pada eksaserbasi akut :

Peningkatan volume sputum

Perburukan pernafasan akut

Dada terasa berat (chest tightness)

Peningkatan purulensi sputum

Peningkatan kebutuhan bronkodilator

Lelah, lesu

Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik

2.7 Penegakkan Diagnosa


Anamnesis, biasanya didapatkan riwayat merokok atau bekas
perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat iritan yang bermakna

25

ditempat kerja, terdapat faktor predisposisi pada masa bayi / anak misalkan
berat badannya rendah, riwayat infeksi saluran kemih berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa bunyi mengi.
Pemeriksaan fisik, umumnya pada pasien PPOK dini belum
terdapat kelainan. Dari inspeksi biasanya didapatkan pursed lip breathing,
barrel chest, penggunaan otot bantu napas, penampilan pink puffer atau blue
bloater. Pada palpasi didapatkan penurunan stemfremitus, pelebaran sela iga.
Pada perkusi didapatkan hipersonor, batas jantung mengecil , letak diafragma
rendah, hepar terdorong kebawah. Pada auskultasi didapatkan bunyi vesikuler
yang normal atau menurun, terdapat ronki dan atau wheezing, ekspirasi
memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan

penunjang

yang

dibutuhkan

untuk

pengakan

diagnosis PPOK antara lain pemeriksaan faal paru dengan spirometri dan uji
bronkodilator, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan radiologi dimana
biasanya didapatkan hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar.
2.8 Penatalaksanaan
Terapi non farmakologis

edukasi pasien

penurunan faktor resiko

rehabilitasi PPOK

hidrasi secukupnya (kira-kira 8-10 gelas setiap hari)

nutrisi cegah makanan berat sebelum tidur, hindari minum susu,


dan asupan makanan sebaiknya pori kecil dan lebih sering

vaaksinasi H. infleunxae dan stp. Pneumococcus

Terapi farmakologis
PPOK stabil
tujuan pegobatan untuk mempertahankan fungsi paru, meningktaakn
kualitas hidup, mencegah exacerbasi, dan agar PPOK tetap stabil
bronkodilator, contohnya ipraatropiuam bromida, dan atraopin sulfat
agaonis -2

26

metilxantin
terapi oksigen, hanya bila sesak akibat penamabahan aktivitas pada ppok
sedang sedangkan pada ppok berat diberikan selama 15 jam. dosis oksigen
2 liter
ventilasi mekanik
evaulasi dan monitor tnada exacerbasi, efek samping obat dan kecukupan
dan efek samping O2
PPOK exaserbasi
Antibiotik,
Terapi oksigen
Fisioterapi membantu pasien untuk
Bronkodilator,
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
a. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
b. Infeksi berulang
c. Kor pulmonal
3. Hidronefrosis
3.1 Definisi
Hidronefrosis adalah penggelembungan ginjal akibat tekanan balik
terhadap ginjal karena adanya obstruksi pada saluran kemih. Dalam keadaan
normal, air kemih mengalir dari ginjal dengan tekanan yang sangat rendah.
Jika terjadi obstruksi pada saluran kemih, maka air kemih akan mengalir
kembali kedalam tubulus renalis dan pelvis renalis diginjal. Hal ini
menyebabkan ginjal menggelembng dan menekan jaringan ginjal yang rapuh.
Pada akhirnya, tekanan hidronefrosis yang menetap dan berat akan merusak
ginjal sehingga dengan perlahan ginjal akan kehilangan fungsinya.(12)

27

3.2 Etiologi
Hidronefrosis

biasanya

terjadi

akibat

adanya

sumbatan

pada

sambungan ureteropelvik (sambungan antara ureter dan pelvis renalis):


Kelainan struktural, misalnya jika masuknya ureter ke dalam pelvis
renalis terlalu tinggi
Lilitan pada sambungan ureteropelvik akibat ginjal bergeser ke bawah
Batu di dalam pelvis renalis
Penekanan pada ureter oleh:
- jaringan fibrosa
- arteri atau vena yang letaknya abnormal
- tumor.
Hidronefrosis

juga bisa terjadi

akibat

adanya penyumbatan dibawah

sambungan ureteropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung
kemih:
Batu di dalam ureter
Tumor di dalam atau di dekat ureter
Penyempitan ureter akibat cacat bawaan, cedera, infeksi, terapi
penyinaran atau pembedahan
Kelainan pada otot atau saraf di kandung kemih atau ureter
Pembentukan jaringan fibrosa di dalam atau di sekeliling ureter akibat
pembedahan, rontgen atau obat-obatan (terutama metisergid)
Ureterokel (penonjolan ujung bawah ureter ke dalam kandung kemih)
Kanker kandung kemih, leher rahim, rahim, prostat atau organ panggul
lainnya
Sumbatan yang menghalangi aliran air kemih dari kandung kemih
ke uretra akibat pembesaran prostat, peradangan atau kanker
Arus balik air kemih dari kandung kemih akibat cacat bawaan atau
cedera
Infeksi saluran kemih yang berat, yang untuk sementara waktu
menghalangi kontraksi ureter.

28

Kadang hidronefrosis terjadi selama kehamilan karena pembesaran rahim


menekan ureter. Perubahan hormonal akan memperburuk keadaan ini karena
mengurangi kontraksi ureter yang secara normal mengalirkan air kemih ke
kandungkemih.
Hidronefrosis

akan

berakhir

bila

kehamilan

berakhir, meskipun

sesudahnya pelvis renalis dan ureter mungkin tetap agak melebar. Pelebaran
pelvis renalis yang berlangsung lama dapat menghalangi kontraksi otot ritmis
yang secara normal mengalirkan air kemih ke kandung kemih. Jaringan fibrosa
lalu akan menggantikan kedudukan jaringan otot yang normal di dinding ureter
sehingga terjadi kerusakan yang menetap.
3.3 Grading
Terdapat empat grade hidronefrosis, antara lain :
a. Grade 1, dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks berbentuk
blunting atau tumpul.
b. Grade 2, dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks berbentuk
flattening atau mendatar.
c. Grade 3, dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor tanpa
adanya penipisan korteks. Kaliks berbentuk clubbing atau menonjol.
d. Grade 4, dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor serta
adanya penipisan korteks kalises berbentuk ballooning atau
menggelembung.

3.4 Patofisiologi

29

Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik,


sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau
kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika
obstruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu ataukekakuan maka
hanya satu ginjal saja yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermiten dapat disebabkan oleh batu renal yang
terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya.
Obstruksi dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas
jaringan parut akibat abses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran
tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat dari bentuk abnormal di pangkal
ureter atau posisi ginjal yang salah, yang menyebabkan ureter berpilin atau
kaku. Pada pria lansia , penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu
kandung kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi
pada kehamilan akibat pembesaran uterus.
Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan
menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi.
Ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal
yang lain akan membesar secara bertahap (hipertropi kompensatori), akhirnya
fungsi renal terganggu.
3.5 Manifestasi Klinis
Gejalanya

tergantung

pada

penyebab

penyumbatan,

lokasi

penyumbatan serta lamanya penyumbatan. Jika penyumbatan timbul dengan


cepat (hidronefrosis akut), biasanya akan menyebabkan kolik renalis( nyeri
yang luar biasa di daerah antara tulang rusuk dan tulang panggul) pada sisi
ginjal

yang

terkena. Jika

penyumbatan

berkembang

secara

perlahan

(hidronefrosis kronis), bisa tidak menimbulkan gejala atau nyeri tumpul di


daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul). Nyeri yang hilang timbul
terjadi karena pengisian sementara pelvis renalis atau karena penyumbatan
sementara

ureter

Air

kemih

akibat
dari

ginjal
10%

bergeser

penderita

ke

mengandung

bawah.
darah.

Sering ditemukan infeksi saluran kemih (terdapat nanah di dalam air kemih),

30

demam
Jika

dan

aliran

rasa
air

nyeri

kemih

di

daerah

tersumbat,

kandung

bisa

kemih

terbentuk

atau

batu

ginjal.

(kalkulus).

Hidronefrosis bisa menimbulkan gejala saluran pencernaan yang


samar-samar,seperti mual, muntah dan nyeri perut. Gejala ini kadang terjadi
pada penderita anak-anak akibat cacat bawaan, dimana sambungan
ureteropelvik terlalu sempit. Jika tidak diobati, pada akhirnya hidronefrosis
akan menyebabkan kerusakan ginjal dan bisa terjadi gagal ginjal.
3.6 Penatalaksanaan
Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari
hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan dan melindungi
fungsi ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui
tindakan nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen
anti mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan
pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif
(batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak parah dan
hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan
Bare, 2002).

Anda mungkin juga menyukai