Anda di halaman 1dari 28

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang:
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil).
Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus
herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan
juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara
nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. 5 Tonsilitis
kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan
terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi
ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang,

odynophagia,

sulit

menelan,

halitosis

dan

limfadenopati

servikal

dan

submandibula.6
I.2. Tujuan:
A. Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang tonsilitis
kronik
B. Memenuhi sebagian tugas kepanitraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan dan Kepala Leher RSUD Kota Semarang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

BAB II
ANATOMI PHARYNX
2.1. ANATOMI PHARYNX:
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis-VI. Dinding pharynx
terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan muscular.7

Gambar 1. Anatomi Pharynx


Berdasarkan letak, pharynx dibagi atas tiga bagian yaitu : nasopharynx,
oropharynx, dan laringopharynx.7
1. Nasopharynx:
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat
didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang
miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding
lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke pharynx. Kumpulan jaringan
limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.7

Gambar 2. Pembagian Pharinx


2. Oropharynx:
Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan
kebelakang adalah vertebra cervical.1
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan
dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan
bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah
antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga
posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke
epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica
mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso
epiglotica mediana disebut vallecula.7
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.7
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.1
a. Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus
dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila.
Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah
keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari
fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya.1

Gambar 3. Struktur pada Oropharynx


b. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil
saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.8
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Gambar 4. Cincin Waldeyer


Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens,
cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis
dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadangkadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus
tiroglosus.1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung


dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe
pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang
terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah
dan belakang angulus mandibulae.7
3. Laryngopharynx
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilage
cricoidea. Laryngopharynx mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding
anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan
posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga,
keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa
piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.7

Gambar 5. Neurovaskularisasi pharynx


2.2. PERSARAFAN PHARYNX:
Persarafan pharynx berasa ldari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh cabangcabang nervus glossopharyngeus, nervus vagus, dan nervus symphaticus. Persarafan motorik
berasal dari pars cranialis nervus acessorius, yang berjalan melalui nervus vagus menuju ke
plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot pharynx, kecuali m.stylophryngeuus yang
dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus.7
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Persarafan sensorik membran mukosa nasopharynx terutama berasal dari nervus


maxillaris. Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh nervus ramus
laryngeus internus nervus vagus.7
2.3. VASKULARISASI PHARYNX:
Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens,
arteri palatina ascendens, arteri facialis, arteri maxillaris, dan arteri lingualis. Vena bermuara
ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke vena jugularis interna.7
2.4. SISTEM LIMFATIK PHARYNX:
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelanjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelanjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.1

Gambar 6. Sistem Limfatik Pharynx

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

BAB III
TONSILITIS KRONIK
3.1.

DEFINISI:
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang berpotensi

membentuk formasi baru tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri
tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. 5 Tonsilitis kronis
merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di
kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur
menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan
obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin
memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6
3.2.

EPIDEMIOLOGI:
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab

tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%, sebagai salah satu penyebab adalah
rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga
disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT
pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008Mei 2009
sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang
sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657
data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%)
(Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis
kelamin wanita.9
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada
anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis
yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun
keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis
Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada
penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %)
pada kelompok usia 5-14 tahun.9
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh
38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9
3.3.

ETIOLOGI:
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen

yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus
masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan 9.
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri aerobik
dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang
paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A
adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius
yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,


Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9
Infeksi

virus

biasanya

ringan

dan

dapat

tidak

memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas yang akut. 14
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau
pada anak-anak dengan immunocompromised.14
3.4.

PATOFISIOLOGI:
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman

menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar, secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina
lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul
tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein
asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

10

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila
patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung
sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B
dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat
sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.9,10
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada
kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah
terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang
masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil
sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel
limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun.9,10
3.5.

FAKTOR RESIKO:
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun

lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

11

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
3.6.

GEJALA KLINIK:
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan

yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejalagejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai
halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang
secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran
tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya
tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadangkadang seperti terpendam dalam tonsil bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta
melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

Gambar 7. Tonsillitis kronik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

12

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak


antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 8. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) GradeIII tonsils. (D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

13

Referat Tonsilitis Kronik

3.7.

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
A. Mikrobiologi:
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus.20
B. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20

3.8.

DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis

secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa
nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

14

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil
yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan
streptokokus beta hemolitikus.8,17
3.9.

DIAGNOSIS BANDING

A. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu:
umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada
saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan
dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 10. Tonsila Difteri


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

15

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

B. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada
penyakit ini berupa demam sampai 30C, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan
faring hiperemis, membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular
membesar.1

Gambar. 11 Angina Plaut Vincent


C. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum
pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

16

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Gambar 12. Faringitis


D. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier.
Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada
daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar
mandibula yang tidak nyeri tekan.1
E. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan
odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta
pembesaran kelanjar limfa servikal.1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok
dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan
jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.
3.10.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.

1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.

1,8

Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada


penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

17

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika
bukan disebabkan mononukleosis).9
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al mengenai
prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa
sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak
36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.9
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap
15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala
Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari
dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit.9
Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi
secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut
atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan
klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak
ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas
tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee
1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam
review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak
memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang
dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang
tegas tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya
perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode
infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit
yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status
sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini
meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak
kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

18

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat
dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan
bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak). 9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
.
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: a) Hiperplasia
tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor
pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan
tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang
(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis
cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi
(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon
terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

19

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18
Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi
pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan
antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta
sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu
pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.
Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200
IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya
dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.9, 21
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran
mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai
mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk
menggangkat tonsil.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

20

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila
tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan
pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
:
Laser tonsilektomi Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut
yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga
akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih
besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian
pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada
cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa
kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring,
bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat
pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya
yaitu immediate, intermediate dan late complication. 21
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

21

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi
obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan
napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan. 21 perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication)
dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi
paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam
pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab
tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan
jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat
terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan
terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami
edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan
bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi
infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi
atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih
dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena
penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang
parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini
biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 21
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum
mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi
lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan
gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses
peritonsil. 21
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18

Immediate and Delayed Hemorrhage

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

22

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh


terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi
edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.

Dehidrasi

Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas


yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan
penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan
peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam
setelah pembebasan jalan napas.

3.11.

Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut

Eustachian Tube Dysfunction

Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah

KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa

rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23
a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

23

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Gambar. Abses peritonsil


b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

24

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada


43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
3.12.

PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi
indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi
sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.9

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

25

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

BAB VI
KESIMPULAN
Tonsil palatina adalah suatau massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berfungsi sebagai filter atau penyaring terhadap
organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak bisa menahan infeksi dari bakteri atau
virus maka akan timbul tosilitis. Tonsillitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan
pada tonsil yang disebakan oleh virus atau bakteri.
Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak
dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil
diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemis ringan yang mengenai pilar
anterior dan apabila tonsil ditekan akan keluar dedritus.
Secara klinis pada tonsillitis kronis didapatkan gejala berupa nyeri tenggork atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri
kepala dan badan terasa meriang.
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan cara
pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Indikasi tonsilektomi pada tonsillitis kronis adalah jika sebagai focus infeksi , kualitas hidup
menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

26

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan
18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan
17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and

Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.


7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:

ECG, 2006. p795-801.


8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of OtolaryngologyHead & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.
[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

27

Referat Tonsilitis Kronik

Cisyana, Meidy regianto, Rikawati

15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kvrner, Espen Rysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.
Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Ura, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RSUD Kota Semarang
Periode 20 Oktober 2014 22 November 2014

28

Anda mungkin juga menyukai