Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN TRAVEL WARNING AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA

PASCA SERANGKAIAN SERANGAN BOM (PERIODE 2002-2012)


Hubungan internasional di era globalisasi ini memasuki fase yang berbeda dibanding
pada masa pra-globalisasi. Pada saat itu, interaksi yang ada dalam hubungan internasional
bersifat statis dan nyaris tanpa ada dinamika. Setidaknya pada era tahun 70an. Memasuki dekade
80an, banyak peristiwa yang mewarnai tahun demi tahun di era tersebut, dan mengubah tampilan
serta struktur hubungan internasional secara keseluruhan.
Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan geopolitik internasional yang cukup
besar; runtuhnya Uni Soviet membuat sistem internasional dari semula bipolar menjadi unipolar,
kemunculan sistem hegemon. Memasuki abad ke21, peristiwa 9/11 menjadi titik tolak perubahan
pola interaksi dalam hubungan internasional, ditambah dengan perang melawan terorisme.
Dampak dari hal tersebut adalah muncul suatu kesadaran akan perang melawan teror
yang seketika menjadi kata kunci yang telah didiskusikan dan diperdebatkan dalam berbagai
tingkatan. Para akademisi, dan juga para pembuat kebijakan, serta orang-orang dari berbagai
kelompok sekarang lebih mengenal terminologi tersebut, walaupun pada kenyataannya tidak ada
satupun definisi kuat tentang terorisme yang telah diterima luas. 1 Selain itu, negara-negara
dengan penduduk mayoritas muslim menjadi kambing hitam bagi negara-negara barat karena
pelakunya yang merupakan kelompok Al-Qaeda, dan juga mereka adalah muslim.
Indonesia juga mengalami imbasnya karena selain merupakan negara Muslim terbesar,
Indonesia juga dianggap sebagai ancaman bagi Barat. Bersamaan dengan peristiwa 9/11,
Indonesia diminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menanggulangi terorisme, mengingat
pernah terjadi tragedi bom seperti di Kedutaan Besar Filipina tahun 2000, bom di malam natal
pada tahun yang sama, dan sebelumnya pernah terjadi di Masjid Istiqlal. Namun Indonesia yang
saat itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri tidak menyatakan secara jelas sikap mereka
dalam perang melawan terorisme seperti yang diinginkan Amerika Serikat.
Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi Amerika Serikat kepada Indonesia yang harusnya
menjadi teman kerja yang andal untuk Amerika Serikat karena memiliki populasi muslim
terbesar di dunia, dengan segera terpinggirkan dan dicap sebagai ras paria dalam konteks koalisi

Indonesia-Australia : Challenge and Opportunity in Bilateral Political Relations, Dr. Richard


Chauvel, Chusnul Mariyah Ph.D, hal. 31

global melawan terorisme2, meski sebenarnya ada kerjasama antara Indonesia dan Australia
untuk memerangi terorisme global dengan Memorandum of Understanding Combating
International Terrorism yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Hubungan Sosial, Budaya,
dan Penerangan Departemen Luar Negeri Abdurrachman Mattaliti mewakili RI dan Duta Besar
Australia untuk Indonesia Richard Smith, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis, 7
Februari 2002.3
Meskipun telah dibuat MOU antara Australia dan Indonesia untuk memerangi segala
bentuk terorisme, namun Indonesia tidak mampu mengantisipasi atau memprediksi apa yang
akan terjadi berikutnya; tidak ada seorang pun yang menyangka akan terjadi serangan bom Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002 (tepatnya di Paddys Caf dan Sari Club), dan di tempat yang
sama, pada bulan yang sama tiga tahun kemudian. Selang antara tiga tahun tersebut terjadi
ledakan bom di Hotel JW Marriot tahun 2003, dan di Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.
Setelah peristiwa Bom Bali I, maka sebagai tindak lanjut sekaligus reaksi Pemerintah
Australia terhadap berbagai ancaman yang mereka rasakan dari berbagai serangan teror terhadap
kepentingan mereka di Indonesia, maka keluarlah berbagai kebijakan reaktif dari Pemerintah
Australia terhadap Indonesia. Beberapa kebijakan Pemerintah Australia yang muncul cenderung
menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, khususnya dalam menjaga
keamanan dan kenyamanan warga negara lain yang berada di wilayah kedaulatannya.
Berangkat dari rasa ketidakpercayaan itu, maka wajarlah jika kemudian Pemerintah
Australia mengeluarkan kebijakan larangan berkunjung (Travel Warning) bagi warganya ke
Indonesia. Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia tersebut tanpa
memperhatikan pertimbangan bahwa Indonesia sangat dibutuhkan oleh Australia, khususnya
dalam kepentingan geostrategisnya.
Secara harfiah, Travel Warning atau larangan berkunjung adalah himbauan untuk tidak
pergi ke suatu negara yang di anggap tidak aman. Biasanya di keluarkan pemerintah suatu negara
untuk melindungi warganya dari ancaman yang mungkin terjadi di negara yang di cekal tersebut.
Atau dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pernyataan resmi di mana pemerintah
memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke suatu negara atau wilayah
tertentu karena berbahaya. Kebijakan ini berjalan cukup lama, setidaknya sampai tahun 2012.
2

Ibid. hlm. 38
Diakses dari www.kjrihkg.org.hk/penerangan/nasional-12.html,2002 pada tanggal 3 Maret
2014
3

Bagi Australia, hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat Australia pada masa itu
masih berada di bawah pemerintahan Partai Koalisi Liberal Nasional pimpinan PM John
Howard. Pemerintahan Partai Koalisi seperti yang kita ketahui selalu berkiblat ke Eropa dan
Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya. Sementara itu dengan Asia, hubungannya
cenderung dijaga, bahkan kadang konfrontatif. Hal tersebut juga berlaku dan dilaksanakan oleh
PM Howard selama berkuasanya. Di bawah Howard, Australia masih tetap terkesan menjaga
jarak dengan Asia. Dengan dominasi sivilisasi barat, Australia seperti enggan mendekat dan
mengambil sikap yang cenderung berpihak ke Barat, terutama AS dan Eropa.
Kebijakan tersebut diteruskan oleh Perdana Menteri Australia selanjutnya, Kevin Rudd
yang tetap memberlakukan Travel Warning karena situasi di Indonesia yang masih belum aman
bagi warga negara Australia. PM Rudd mengatakan, ia tidak ingin mengenyampingkan hasil
penilaian Pusat Penilaian Ancaman Nasional (NTAC) sebagai badan independen yang hasil
masukannya kemudian dipublikasi Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia.4
Hal ini dikritik oleh pemimpin oposisi dari Partai Liberal, Tony Abbott, saat memberikan
sambutan di acara makan siang kenegaraan untuk menyambut Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, di Gedung Parlemen di Canberra, di Gedung Parlemen Australia, Rabu 10 Maret
2010.5 Dalam sambutannya Tony Abbott merujuk kepada kebijakan Pemerintah Australia, yang
kerap memberlakukan peringatan berkunjung (Travel Warning) ke Indonesia dengan alasan
keamanan, terutama ancaman bom. Kebijakan ini pun masih diberlakukan di masa pemerintahan
Partai Buruh, yang dipimpin Rudd kendati dia memuji prestasi Indonesia dalam melumpuhkan
jaringan teroris.
Sementara itu bagi Indonesia, kebijakan Travel Warning yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Australia jelas merugikan. Hal ini menjadi sebuah pukulan telak, karena merupakan
wujud ketidakpercayaan negara lain seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pihak Indonesia
jelas merugi mengingat pada masa itu kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia sedang
meningkat. Pemerintah Indonesia menginginkan agar Pemerintah Australia segera mencabut
kebijakan Travel Warning ke Indonesia yang diberlakukan kepada warganya.

Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1213447180/media-australia-soroti-salahpenerjemahan-seputar-isu-travel-warning pada 3 Maret 2014


5
Diakses dari http://dunia.news.viva.co.id/news/read/135578bos_oposisi_australia_kritik_travel_warning pada 3 Maret 2014

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah dan upaya, baik itu upaya
diplomasi ke luar negeri maupun upaya security building dari dalam negeri untuk memperoleh
respon positif dari Pemerintah Australia dalam masalah Travel Warning tersebut. Pada awal Mei
2012 Australia menurunkan level dari Travel Warning menjadi Travel Advisory. Secara umum
Travel Advisory merupakan peringatan berkunjung, dan satu tingkat lebih rendah dibandingkan
Travel Warning. Tidak lama kemudian kebijakan tersebut dicabut oleh Pemerintah Australia
sehingga warga negara Australia dapat bepergian ke wilayah Indonesia dengan tenang, walau
Pemerintah Australia tetap meminta kewaspadaan dari tiap warganya.
Sebelum penurunan dan pencabutan kebijakan Travel Warning pada awal Mei kemarin,
Australia sudah menyatakan bahwa Indonesia sudah aman pasca Bom Bali II, khususnya setelah
penggerebekan teroris di wilayah Jawa Timur, dengan tewasnya DR. Azahari, pada tanggal 9
November 2005. Namun itu tidak serta-merta membuat Australia mencabut Travel Warning
terhadap Indonesia, karena pada tahun 2008 dilakukannya eksekusi mati terhadap terpidana Bom
Bali I, yaitu Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas. Australia hanya menurunkan ke level empat
dari lima level peringatan yang diberlakukannya, yaitu avoid all travel to part(s) of country 6
atau kepada warga negara Australia diharapkan mempertimbangkan kembali kunjungan ke
Indonesia, khususnya di beberapa bagian negara yang rawan konflik.
Tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2009, terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton
dan JW Marriot yang membuat Australia kembali memberlakukan Travel Warning kepada
Indonesia, dan menaikkan level peringatan ke level tertinggi yaitu larangan berkunjung ke
seluruh bagian negara Indonesia. Meski dua bulan setelahnya teroris yang paling dicari Noordin
M. Top tewas dalam penggerebekan di wilayah Solo, Jawa Tengah 7, namun itu tidak serta-merta
membuat Australia mencabut kebijakan Travel Warning, dan hanya diturunkan ke level yang
cukup rendah pada tahun 2012 ini.
Menurut British Foreign and Commonwealth Office, Indonesia dinyatakan No
restrictions in this travel advice, atau dikatakan aman untuk dikunjungi secara keseluruhan.
Pernyataan lain dinyatakan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang
6

Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-bycountry/asia-oceania/indonesia1 pada 5 Maret 2014. Ada lima level tingkatan travel advice
yang diberlakukan oleh Australia, dan level tertinggi adalah larangan berkunjung ke seluruh
bagian negara atau avoid all travel to whole country.
7
Diakses dari http://news.detik.com/read/2009/09/17/162357/1205956/10/kronologipengepungan-noordin-di-solo?881103605 pada 5 Maret 2014.

menempatkan Indonesia dalam kategori exercise a high degree of caution atau melakukan
perjalanan dengan tingkat hati-hati yang tinggi untuk Indonesia secara keseluruhan, dan
reconsider your need to travel untuk wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi Tengah,
Maluku, Papua dan Papua Barat masyarakat Australia diminta untuk tetap berhati-hati karena
kekerasan komunal dan sektarian.8
Melihat kondisi hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia, ada banyak hal yang
bisa dianalisa dalam hal ini. Pertama, Australia mencoba berada pada posisi yang aman dan tidak
mengambil resiko, karena bagaimanapun juga pihak Australia masih berada dalam trauma kasus
terorisme yang beberapa kali menyerang kepentingan mereka di Indonesia. Sementara itu,
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini agen keamanannya tidak memberikan peringatan dini
tentang ancaman yang akan mereka dapat.
Hal inilah yang kemudian membuat Pemerintah Australia masih belum berani mengambil
resiko dengan mencabut kebijakan Travel Warning bagi warganya untuk berkunjung ke
Indonesia. Masalahnya kemudian bukan lagi terletak pada ketidakpercayaan Australia terhadap
keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau disalahkan jika
terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.
Kebijakan Travel Warning ini tidak lepas dari kritik. Selain kritik dari oposisi Australia
yang telah dibahas diawal, dari pihak Indonesia menilai bahwa kebijakan ini tidak rasional.
Menurut Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, hanya Australia satu-satunya negara yang
masih menerapkan Travel Warning kepada Indonesia terkait isu terorisme, karena Amerika
Serikat telah mencabut kebijakan tersebut dari Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Ia
berpendapat bahwa kebijakan ini juga akan merugikan Australia sendiri jika ingin meningkatkan
kerjasama bilateral.9

Diakses dari http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/Advice/Indonesia pada 5 Maret


2014. Pernyataan ini merupakan update terbaru dari Pemerintah Australia melalui microweb
tersebut mengenai kondisi di wilayah Indonesia.
9
Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dae9d4b9e550/dpr-desakaustralia-cabut-travel-warning pada 13 Maret 2014. Dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa
Ketua Komisi VI DPR bertemu dengan Menteri Perdagangan Australia saat itu, Craig
Emerson, dan meminta penghapusan kebijakan Travel Warning jika ingin meningkatkan
perdagangan bilateral. Karena menurut Hartanto, Travel Warning yang diberlakukan oleh
Australia lambat laun akan merugikan Australia sendiri.

Sementara itu, pakar hukum internasional dari Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta Jawahir Thontowi SH, Phd menilai bahwa pemberlakuan Travel Warning10 tersebut
justru mengarah pada langkah politis, terkait hubungan yang kurang harmonis antara negaranegara Barat dengan negara-negara Islam. 11 Ia berpendapat ini erat kaitannya dengan keras
respon negara-negara Muslim atas penempatan tentara Amerika Serikat (yang merupakan sekutu
dekat Australia) di Guantanamo, dan merugikan Australia yang bertetangga dengan negaranegara Muslim Asia.
Lepas dari penilaian beberapa pihak tersebut, penulis menilai bahwa kebijakan Travel
Warning tersebut sarat akan muatan paksaan, karena posisi Australia yang masih memberlakukan
Travel Warning terhadap Indonesia supaya tunduk dan patuh pada keinginan Australia. Travel
Warning inilah yang dijadikan Australia sebagai alat coercive diplomacy untuk Indonesia.
Coercive Diplomacy atau "diplomasi kuat" adalah upaya "untuk mendapatkan target, negara,
kelompok (atau kelompok) dalam negara, atau seorang aktor bukan negara-untuk mengubah
perilaku keberatan melalui baik ancaman untuk menggunakan kekerasan atau penggunaan yang
sebenarnya kekuatan yang terbatas".12 Istilah ini juga mengacu pada "diplomasi dalam
penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik".13 serta
berada di bawah teori pemaksaan sebagai alat kebijakan luar negeri.
Dalam buku yang berjudul Dynamics of Coercion: American Foreign Policy
and the Limits of Military Might, Daniel Byman dan Matthew Waxman selaku penulis
buku tersebut mendefinisikan diplomasi koersif sebagai "mendapatkan musuh untuk bertindak
dengan cara tertentu melalui apa pendek dari kekerasan, musuh masih harus memiliki kapasitas
kekerasan terorganisir, tetapi memilih untuk tidak latihan itu "strategi Pemaksaan". bergantung
pada ancaman kekuatan militer masa depan untuk mempengaruhi keputusan musuh membuat
tetapi juga dapat mencakup penggunaan terbatas kekuatan yang sebenarnya."14
10

Dalam pemaparannya, Travel Warning yang diberlakukan Australia saat itu atas dasar
menyebarnya wabah polio di beberapa wilayah di Indonesia.
11
Diakses dari www.merdeka.com/politik-nasional/pengamat-travel-warning-australia-tidakrasional-yjw7zu2.html pada 13 Maret 2014.
12

Robert J. Art and Patrick M. Cronin, The United States and Coercive Diplomacy United
States Institute of Peace Press, Washington, DC 2003
13
Carnes Lord, "The Psychological Dimension in National Strategy," dengan komentar oleh
Paul A. Smith, Jr., and Richard G. Stilwell, in Barnett and Lord, eds., Political Warfare and
Psychological Operations (National Defense University Press, 1989)

Diplomasi koersif pada dasarnya adalah sebuah strategi diplomasi, salah satu yang
bergantung pada ancaman kekerasan daripada penggunaan kekuatan. Jika kekuatan harus
digunakan untuk memperkuat upaya diplomatik pada persuasi, itu digunakan dengan cara yang
teladan, dalam bentuk aksi militer sangat terbatas, untuk menunjukkan resolusi dan kemauan
untuk meningkat ke tingkat tinggi aksi militer jika diperlukan. Dalam konteks Australia,
kebijakan Travel Warning ini bertujuan untuk menundukkan Indonesia dihadapan pemerintah
Australia karena dianggap sebagai ancaman bagi warga negara Australia dan Indonesia dituntut
untuk menyelesaikan kasus terorisme yang ada sesegera mungkin.
Dari semua pemaparan tersebut, penulis mencoba untuk menganalisa dari kerangka teori
Hubungan Internasional. Dilihat dari perspektif neorealisme, menurut Kenneth Waltz dalam
bukunya yang berjudul Theory of International Politics ada beberapa klaim yang diajukan oleh
neorealisme, diantaranya adalah struktur dari sistem adalah penentu yang dominan terhadap
tingkah laku suatu negara. Struktur tersebut memainkan peranan penting terhadap kebijakankebijakan starategis yang akan diambil oleh suatu negara, apakah negara itu akan bekerjasama
dalam mencapai kepentingan nasionalnya, atau self help system (survival).
Menurut neo realis negara merupakan aktor yang rasional, negara akan memilih
kebijakan yang strategis untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Dalam
konteks hubungan antara Australia dengan Indonesia, Australia bisa dikatakan rasional untuk
memberlakukan kebijakan Travel Warning terhadap Indonesia karena untuk mencegah kerugian
(dalam hal ini immateriil berupa korban yang lebih banyak lagi dalam tragedi Bom Bali I) yang
lebih banyak lagi. Walau pada kenyataannya tetap saja banyak warga negara Australia yang
menjadi korban karena meski Australia memberlakukan kebijakan tersebut, namun itu tidak
dapat mencegah tiap warga negara Australia untuk bepergian kemana saja, termasuk ke
Indonesia sekalipun.
Neorealis melihat bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh
kebijakan luar negeri suatu negara, tapi juga dipengaruhi oleh interaksi negara tersebut. Untuk
konteks hubungan Australia-Indonesia, kebijakan Travel Warning yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Australia terhadap Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan domestik

14

Byman, Daniel and Matthew Waxman. The Dynamics of Coercion: American Foreign Policy
and the Limits of Military Might New York. Cambridge University Press. Cambridge University
Press. 2002.

Australia yang merasa terancam oleh keadaan Indonesia, namun juga dipengaruhi oleh hubungan
antara Australia dan Amerika Serikat.
Kita semua tahu bahwa Australia adalah sekutu dekat dari Amerika Serikat, negara
adidaya yang mengeluarkan War Against Terrorism pasca serangan 11 September 2001. Untuk
melancarkan perang tersebut Amerika Serikat membutuhkan dukungan dari para sekutunya,
salah satunya adalah Australia. Menarik dicatat bahwa Amerika Serikat juga meminta Indonesia
untuk melakukan hal yang sama, seperti yang telah diulas dibagian awal.
Jika dianalisa lebih lanjut, ada variabel yang menonjol dalam konteks hubungan
Australia-Indonesia. Tidak seperti realisme yang hanya satu variabel saja yang muncul,
neorealisme memunculkan dua variabel. Variabel pertama yaitu variabel independen, dalam hal
ini adalah Australia, dengan kebijakan Travel Warning yang dijadikan sebagai alat Coercive
Diplomacy terhadap Indonesia, yang menjadi variabel kedua yaitu variabel dependen. Indonesia
memang menjadi dependen atau bergantung kepada Australia karena dengan kebijakan Travel
Warning tersebut Indonesia menjadi patuh terhadap kemauan Australia, dengan Coercive
Diplomacy yang dilakukan Australia.
Dari sini penulis dapat menilai jika Indonesia tidak terus didesak oleh Australia untuk
memberantas terorisme di dalam negerinya, maka citra Indonesia akan menjadi buruk dan
Australia akan terus memberlakukan Travel Warning selama yang diinginkan, sehingga
berpengaruh terhadap kondisi makroekonomi Indonesia secara tidak langsung. Sektor ekonomi
yang berpengaruh yaitu sektor pariwisata dimana cukup banyak wisatawan mancanegara dari
Australia yang berkunjung ke Indonesia, kemudian investasi asing yang datang dari Australia,
serta bantuan dana baik berupa hibah maupun pinjaman lunak.
Kesimpulan dari penulisan ini adalah : Pertama, hubungan antara Indonesia dan Australia
tidak sebaik yang diperkirakan banyak orang, karena pada kenyataannya Australia masih
memberlakukan Travel Warning kepada Indonesia, khususnya setelah apa yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini, dengan pemberitaan penangkapan sejumlah orang terduga teroris di
beberapa lokasi di wilayah Pulau Jawa, serta potensi konflik di beberapa wilayah Indonesia
lainnya.
Kedua, tanpa disadari oleh banyak pihak, kebijakan Travel Warning yang diberlakukan
Australia terhadap Indonesia ternyata adalah salah satu cara untuk membuat Indonesia patuh
terhadap Australia, terlebih lagi dengan cara paksaan terhadap Indonesia untuk memberantas

terorisme di Indonesia. Motif paksaan tersebut semata-mata untuk kepentingan Australia itu
sendiri, yang ingin memperluas dan memperkuat power dan influence di wilayah Pasifik Selatan,
dan bukan tidak mungkin lagi untuk memperluas dua hal tersebut hingga ke wilayah Asia
Tenggara.
Dalam tulisan ini, penulis mengkritisi sikap Indonesia yang dari awal terlambat
menangani perubahan geopolitik di dunia Internasional. Konsekuensi dari hal ini adalah
serangkaian peristiwa peledakan bom di beberapa tempat di Indonesia. Penulis berasumsi jika
Indonesia cepat tanggap atas perubahan yang terjadi maka Indonesia mungkin bisa
mengantisipasi adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang mencoba, mengacau dan memberikan
ketidaknyamanan di wilayah Indonesia. Meski bukan berarti tidak menampik adanya usaha
untuk melakukan kerjasama memberantas terorisme dengan negara lain, namun harus diakui,
keterlambatan intelijen kita dalam memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya membuat kita
seakan lemah dan tunduk terhadap terorisme.
Selain itu, posisi Indonesia juga kurang kuat dibandingkan dengan Australia membuat
Indonesia seakan menjadi robot yang dikendalikan oleh Australia. Australia tidak sepenuhnya
salah dalam membuat kebijakan Travel Warning terhadap Indonesia karena sebagai entitas
negara Australia berhak untuk melakukan apa saja untuk menjaga keamanan negara dan
masyarakatnya. Namun melihat situasi Indonesia yang relatif kondusif, mungkin memang sudah
saatnya bagi pemerintah Australia untuk, setidaknya, menurunkan level peringatan kunjungan ke
Indonesia, tanpa perlu tahu masalah domestik di Indonesia. Kalaupun ingin menjaga keamanan
dan kenyamanan warganya, Australia tidak perlu terlibat terlalu banyak dalam masalah domestik
di Indonesia. Australia sebagai negara tetangga cukuplah menjadi pengingat bagi Indonesia,
agar jika sewaktu-waktu ada tamu dari Australia, Indonesia harus menjamin keselamatan dan
kenyamanan warga asing manapun, termasuk dari Australia, yang berkunjung ke wilayah
manapun di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai