Saat itu, tidak ada tindakan okupasi atau kedaulatan apapun atas Palmas yang diduga
keras dilakukan Spanyol. Walaupun ada pengakuan bahwa hak Spanyol masih ada pada
permulaan tahun 1898 dan harus dipertimbangkan masuk ruang lingkup Pasal 3 Perjanjian Paris,
namun hak ini tidak berkesinambungan tidak menunjukkan adanya kekuasaan damai oleh negara
lainnya.
Pada tempat terakhir (dalam pemeriksaan argumen AS), ada yang penting yaitu hak yang
muncul dari Hubungan (contiguity) ... tidak mungkin menunjukkan keberadaan hukum
internasional positif untuk mempengaruhi pendapat bahwa pulau-pulau yang berada di luar laut
teritorial seharusnya milik negara dari adanya kenyataan bahwa wilayahnya membentuk terra
firma (benua atau pulau yang berjarak sangat dekat).
Bagaimanapun juga, dalam kasus Palmas terletak akar dari gagasan contiguity yang harus
dipertimbangkan. Dalam pelaksanaan kedaulatan di pulau itu terdapat kesenjangan yang cukup
penting, yaitu antara waktu yang sebentar-bentar dan ruang yang tidak terus menerus/tidak
berkesinambungan.
Mengenai wilayah yang menjadi subjek pada sengketa ini, harus diingat bahwa ini adalah
sebuah pulau yang agak terisolir, dan oleh karena itu sebuah wilayah dengan jelas dipisahkan dan
bersifat individual. Apalagi itu sebuah pulau yang dihuni secara permanen, yang ditempati oleh
penduduk cukup banyak, untuk itu tidak mungkin bahwa tidak ada tindakan administrasi untuk
periode yang sangat panjang. Memorandum dari kedua belah pihak menyatakan bahwa ada
komunikasi antara pulau Palmas (atau Miangas) dan daerah sekitarnya dengan menggunakan
perahu dan bahkan dengan kapal penduduk asli. Ketidakmampuan dalam kasus seperti itu untuk
menunjukkan setiap tindakan administrasi publik membuat kita sulit membayangkan
penampakanyang sebenarnya kedaulatan, bahkan jika kedaulatan dianggap seperti terkurung
dalam batas-batas sempit seperti yang dibayangkan terhadap sebuah pulau kecil yang dihuni oleh
para penduduk asli saja.
diperoleh dengan pembentukan kekuasaan kolonial atas negara asli, dan dalam kaitannya dengan
kepemilikan semacam negara bawahan terpencil.
Sekarang bukti nyata untuk periode setelah pertengahan abad ke-19 menjelaskan bahwa
pemerintah Indian Belanda, pulau jelas dianggap sebagai bagian dari harta dan bahwa, di tahuntahun segera sebelum 1898, sebuah penggiatan kedaulatan terjadi.
Sejak saat ketika orang-orang Spanyol, dalam penarikan dari Maluku pada tahun 1666,
membuat reservasi mengungkapkan untuk pemeliharaan hak-hak kedaulatan mereka, sampai
dengan kontestasi yang dibuat oleh Amerika Serikat pada tahun 1906, tidak ada kontestasi atau
tindakan lain apa pun atau protes terhadap pelaksanaan Hak Teritorial oleh Belanda atas Talautse
(Sangi) pulau-pulau dan dependensi (termasuk Miangas) telah dicatat. Karakter damai dari
penampakan kedaulatan Belanda untuk seluruh periode yang merupakan bukti mengenai
tindakan yang berkenaan dengan penampakan(1700-1906) harus diakui.
Apalagi tidak ada bukti yang akan menetapkan setiap tindakan penampakan kedaulatan
atas pulau oleh Spanyol atau kekuasaan lain, seperti bisa mengimbangi atau memusnahkan
manifestasi dari kedaulatan Belanda. Sebagai kekuatan ketiga, bukti yang diajukan ke pengadilan
tidak mengungkapkan jejak tindakan tersebut, setidaknya dari pertengahan abad ke-17 dan
seterusnya. Keadaan ini, bersama dengan bukti tidak adanya konflik antara pihak berwenang
Belanda maupun Spanyol dan selama lebih dari dua abad sehubungan Palmas (atau Miangas),
adalah
bukti
tidak
langsung
penampakanyang
eksklusif
dari
Kedaulatan
Belanda.
Ini menjadikan, sisa-sisa harus dipertimbangkan terlebih dahulu apakah penampakandari otoritas
negara tidak akan mungkin cacat hukum dan karena itu tidak dapat membuat judul yang sah dari
kedaulatan, dan kedua apakah mungkin Amerika Serikat tidak mengajukan status yang lebih baik
dengan apa yang ada pada Belanda.
Kondisi dari perolehan kedaulatan oleh Belanda karena itu dianggap terpenuhi. Sekarang
tetap harus dilihat apakah di Amerika Serikat sebagai pengganti Spanyol berada dalam posisi
untuk menyampaikan bukti yang setara atau lebih kuat. Ini harus dijawab secara negatif.
Bukti dari penemuan, kalau bukan karena sudah dibuang oleh Perjanjian Munster dan Utrecht,
dalam penafsiran yang paling menguntungkan dan paling luas, hanya ada sebagai bukti belum
lengkap namun tidak dapat menang atas status yang pasti didasarkan pada terus-menerus dan
damai penunjukkan kedaulatan.
Status dengan pengakuan dengan perjanjian tidak berlaku, karena meskipun negaranegara Sangi, dengan ketergantungan Miangas, harus dianggap sebagai "yang diselenggarakan
dan dimiliki" oleh Spanyol pada 1648, hak-hak Spanyol diturunkan dari Perjanjian Munster
(1648) akan digantikan oleh itu semua yang mana diperoleh dari Perjanjian Utrecht. Sekarang
jika ada bukti keadaan di 1714 mengenai kepemilikan Pulau Palmas (atau Miangas), bukti-bukti
tersebut secara eksklusif mendukung Belanda. Tetapi bahkan dalam Perjanjian Utrecht tidak bisa
dipertimbangkan, yang patuh dari Spanyol dalam situasi dibuat setelah 1677 akan menjauhkan
dirinya dan pengganti kemungkinan masih menyerukan hak-hak konvensional saat ini.
Status kedaulatan Belanda, diperoleh secara terus-menerus dan damai menampilkan otoritas
negara selama jangka waktu yang panjang mungkin akan kembali melampaui tahun 1700, oleh
karena itu mempertahankan kebaikan.
Untuk alasan ini arbriter, sesuai dengan Pasal 1 dari Perjanjian Khusus 23 Januari 1925,
memutuskan bahwa : Pulau Palmas (atau Miangas) bentuk secara keseluruhan menjadi bagian
dari wilayah Belanda