Anda di halaman 1dari 10

Ferdowsi, Pelita Yang Tak Pernah Redup

(9)

Sebagian orang percaya bahwa Shahnameh adalah hasil dari kondisi kultur budaya yang
mendukung di era kekuasaan Samani dan Ghaznawi, dan dalam melahirkan karya ini,
Ferdowsi dibantu oleh banyak rekannya. Akan tetapi, tanpa kejeniusan Ferdowsi, karya yang
dihasilkan tidak akan lebih dari sebuah buku puisi atau prosa sastera sejarah negeri dan rakyat
Iran yang tidak sedemikian hidup, dan nasibnya tak akan berbeda dengan karya-karya
sejenisnya. Buku seperti Shahnameh sebelum Ferdowsi sudah pernah ada. Misalnya
Shahnameh Abu Mansuri. Buku itu hanya tinggal nama, lenyap ditelan masa tanpa ada
satupun naskahnya yang tersisa. Sebaliknya, Shahnameh karya Ferdowsi merasuk sangat
dalam ke jiwa rakyat Iran sejak pertama ditulis hingga masa kini. Karya agung ini pula yang
berjasa besar dalam memperkuat dan melestarikan bahasa Persia.

Dalam menulis Shahnameh, Ferdowsi menunjukkan kejeniusannya


menyampaikan kisah rakyat dan sejarah negeri Iran dengan kreativitas
yang tinggi. Berkat kerja kerasnya Shahnameh menjadi salah satu karya
bertema kepahlawanan yang abadi di dunia dengan pengaruhnya yang
besar dalam memperkuat budaya dan bahasa Iran. Dari sisi lain, seluruh
kisah yang ada dalam Shahnameh disampaikan dengan penjelasan penuh
petuah yang menunjukkan adanya nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
Ferdowsi. Keutuhan alur cerita itu diperkuat oleh sang pujangga dengan
membawakan kisah-kisah bijak atau cerita kepahlawanan yang
memperkuat semangat patriotisme.
Di masa lalu, Shahnameh Ferdowsi dinilai sebagai karya yang mewakili
budaya Iran dan dikenal secara umum oleh rakyat di negeri ini. Sementara
karya-karya penyair lainnya, Golestan karya Saadi hanya diajarkan di
sekolah-sekolah atau menjadi bahan telaah orang-orang terpelajar.
Masnawi karya Mawlawi menjadi bacaan kalangan elit dan cendekiawan.
Kumpulan syair Hafez Shirazi berbaur dengan keyakinan dan sisi spiritual
rakyat Iran. Akan tetapi Shahnameh Ferdowsi, khususnya kisah-kisah
32

kepahlawanannya dibaca, didengar, dihafal dan diulang-ulang oleh semua


orang dan menjadi penghibur mereka, mulai dari kalangan terpelajar, elit
masyarakat, bangsawan, cendekiawan sampai mereka yang sama sekali
tak pernah mengenyam pendidikan.
Shahnameh adalah salah satu karya budaya yang berjasa besar
melestarikan budaya dan bahasa Persia. Semua itu berkat kemampuannya
merasuk ke dalam jiwa bangsa ini dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Shahnameh juga berjasa dalam mempertahankan kesatuan bangsa ini
dengan berbagai sukunya yang beragam. Mahakarya Ferdowsi ini berbeda
jauh dengan kebanyakan karya penulisan yang dihasilkan di era
kekuasaan dinasti Samani dan Ghaznawi. Sasterawan kontemporer Iran
Manuchehr Mortazavi menyebut penulisan Shahnameh sebagai ledakan
istimewa yang terjadi di dunia sastera di zamannya. Karya ini sangat
sejalan dengan jiwa dan pemikiran sosial rakyat Iran. Karena itu,
Shahnameh dengan cepat mengambil tempat di hati rakyat di negeri ini.
Berlalunya masa semakin membuat Shahnameh diminati. Dengan
karyanya ini, Ferdowsi telah mengalirkan darah segar di tubuh bangsa Iran.
Hal itu telah diprediksikan sendiri oleh sang pujangga sehingga
mengatakan, Dengan ini aku menghidupkan Ajam.
Seribu tahun lalu Ferdowsi menulis Shahnameh untuk melestarikan
kepercayaan luhur dalam budaya bangsa Iran supaya budaya ini dikenal
dan abadi. Berkat Shahnameh, rakyat Iran mengenal identitas mereka
yang sebenarnya. Setelah kepergian Ferdowsi, Iran tetap eksis meski
menghadapi berbagai ancaman, serangan dan bermacam gelombang
peristiwa yang mengguncangnya. Bangsa Iran memperoleh spirit dari
kepahlawanan kisah-kisah Shahnameh dalam menghadapi segala
kesulitan. Bisa dikatakan bahwa dalam rentang waktu yang panjang ini
rakyat Iran mengenal masa lalunya lewat Shahnameh.
Sejak ribuan tahun lalu, Iran adalah negeri yang menyaksikan berbagai
peristiwa penting. Negeri ini pernah menjadi sasaran serbuan suku-suku
liar dan nomaden. Dengan berlalunya waktu, para penyerang itu akhirnya
meninggalkan negeri ini sementara rakyat setempat tetap berada dan
tinggal di negeri mereka. Dari para penyerang ada yang memilih tinggal
dan berbaur dengan rakyat. Secara perlahan, mereka dan anak cucu
mereka menjadi bagian dari bangsa Iran. Suku Arya juga dulu datang ke
negeri ini lalu berbaur dengan warga setempat yang sudah mengenal
peradaban yang lebih maju. Suku-suku dan bangsa-bangsa lain juga
melakukan hal yang sama. Ada yang datang dengan perang dan agresi,
dan ada pula yang datang dengan ramah lalu menetap di negeri ini.
Shahnameh Ferdowsi menghidupkan sejarah dan masa lalu bangsa dan
budaya Iran. Dalam bukunya ini, sang pujangga memaparkan idealismenya
33

tentang negeri dan masyarakat ideal dengan budaya yang tinggi dan
kemakmuran merata. Selama berabad-abad, rakyat Iran membaca
Shahnameh Ferdowsi dan merasa diri sebagai pewaris dan keturunan para
pemimpin yang adil, ksatria pemberani dan orang-orang yang setia dan
rela berkorban. Ferdowsi dalam Shahnamehnya melakukan penetrasi
budaya Iran kuno dengan budaya Islam yang agung.
Sejak dahulu, Iran adalah negeri yang luas dengan berbagai suku
bangsanya. Di wilayah luas ini terdapat gurun yang menghampar seakan
tak tertepi juga gunung-gunung yang menjulang tinggi. Diperlukan satu hal
yang bisa mengikat semua suku dan seluruh wilayah itu ke dalam satu
kesatuan. Bisa dikatakan bahwa Shahnameh adalah tali yang
menghubungkan dan menghidupkan kembali kenangan masa lalu satu
bangsa yang besar.
Serbuan suku-suku liar mengancam kebudayaan dan identitas bangsa
Iran. Dikhawatirkan, serangan itu bisa berdampak pada penyusupan
pemikiran dan dongeng-dongeng para agresor ke tengah kehidupan
rakyat. Lebih dari itu, para penyerang juga berpotensi menjadikan bahasa
mereka sebagai pengganti bahasa Persia. Jika itu terjadi, maka budaya
dan identitas bangsa Iran akan tersingkirkan. Akibatnya, bangsa Iran akan
bernasib sama dengan bangsa-bangsa di Asia tengah, Rumawi timur dan
warga pribumi di benua Amerika yang terpengaruh secara budaya dan
identitas oleh kelompok asing yang menguasai mereka.(IRIB Indonesia)

34

Ferdowsi, Pelita Yang Tak Pernah Redup (9)

ukuran font
Cetak
Add new comment

Sebagian orang percaya bahwa Shahnameh adalah hasil dari kondisi kultur budaya
yang mendukung di era kekuasaan Samani dan Ghaznawi, dan dalam melahirkan karya ini,
Ferdowsi dibantu oleh banyak rekannya. Akan tetapi, tanpa kejeniusan Ferdowsi, karya yang
dihasilkan tidak akan lebih dari sebuah buku puisi atau prosa sastera sejarah negeri dan rakyat
Iran yang tidak sedemikian hidup, dan nasibnya tak akan berbeda dengan karya-karya
sejenisnya. Buku seperti Shahnameh sebelum Ferdowsi sudah pernah ada. Misalnya
Shahnameh Abu Mansuri. Buku itu hanya tinggal nama, lenyap ditelan masa tanpa ada
satupun naskahnya yang tersisa. Sebaliknya, Shahnameh karya Ferdowsi merasuk sangat
dalam ke jiwa rakyat Iran sejak pertama ditulis hingga masa kini. Karya agung ini pula yang
berjasa besar dalam memperkuat dan melestarikan bahasa Persia.

Dalam menulis Shahnameh, Ferdowsi menunjukkan kejeniusannya


menyampaikan kisah rakyat dan sejarah negeri Iran dengan kreativitas
yang tinggi. Berkat kerja kerasnya Shahnameh menjadi salah satu karya
bertema kepahlawanan yang abadi di dunia dengan pengaruhnya yang
besar dalam memperkuat budaya dan bahasa Iran. Dari sisi lain, seluruh
kisah yang ada dalam Shahnameh disampaikan dengan penjelasan penuh
petuah yang menunjukkan adanya nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
Ferdowsi. Keutuhan alur cerita itu diperkuat oleh sang pujangga dengan
membawakan kisah-kisah bijak atau cerita kepahlawanan yang
memperkuat semangat patriotisme.
Di masa lalu, Shahnameh Ferdowsi dinilai sebagai karya yang
mewakili budaya Iran dan dikenal secara umum oleh rakyat di negeri ini.
Sementara karya-karya penyair lainnya, Golestan karya Saadi hanya
diajarkan di sekolah-sekolah atau menjadi bahan telaah orang-orang
terpelajar. Masnawi karya Mawlawi menjadi bacaan kalangan elit dan
cendekiawan. Kumpulan syair Hafez Shirazi berbaur dengan keyakinan
dan sisi spiritual rakyat Iran. Akan tetapi Shahnameh Ferdowsi, khususnya
kisah-kisah kepahlawanannya dibaca, didengar, dihafal dan diulang-ulang
oleh semua orang dan menjadi penghibur mereka, mulai dari kalangan
35

terpelajar, elit masyarakat, bangsawan, cendekiawan sampai mereka yang


sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan.
Shahnameh adalah salah satu karya budaya yang berjasa besar
melestarikan budaya dan bahasa Persia. Semua itu berkat kemampuannya
merasuk ke dalam jiwa bangsa ini dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Shahnameh juga berjasa dalam mempertahankan kesatuan bangsa ini
dengan berbagai sukunya yang beragam. Mahakarya Ferdowsi ini berbeda
jauh dengan kebanyakan karya penulisan yang dihasilkan di era
kekuasaan dinasti Samani dan Ghaznawi. Sasterawan kontemporer Iran
Manuchehr Mortazavi menyebut penulisan Shahnameh sebagai ledakan
istimewa yang terjadi di dunia sastera di zamannya. Karya ini sangat
sejalan dengan jiwa dan pemikiran sosial rakyat Iran. Karena itu,
Shahnameh dengan cepat mengambil tempat di hati rakyat di negeri ini.
Berlalunya masa semakin membuat Shahnameh diminati. Dengan
karyanya ini, Ferdowsi telah mengalirkan darah segar di tubuh bangsa Iran.
Hal itu telah diprediksikan sendiri oleh sang pujangga sehingga
mengatakan, Dengan ini aku menghidupkan Ajam.
Seribu tahun lalu Ferdowsi menulis Shahnameh untuk melestarikan
kepercayaan luhur dalam budaya bangsa Iran supaya budaya ini dikenal
dan abadi. Berkat Shahnameh, rakyat Iran mengenal identitas mereka
yang sebenarnya. Setelah kepergian Ferdowsi, Iran tetap eksis meski
menghadapi berbagai ancaman, serangan dan bermacam gelombang
peristiwa yang mengguncangnya. Bangsa Iran memperoleh spirit dari
kepahlawanan kisah-kisah Shahnameh dalam menghadapi segala
kesulitan. Bisa dikatakan bahwa dalam rentang waktu yang panjang ini
rakyat Iran mengenal masa lalunya lewat Shahnameh.
Sejak ribuan tahun lalu, Iran adalah negeri yang menyaksikan
berbagai peristiwa penting. Negeri ini pernah menjadi sasaran serbuan
suku-suku liar dan nomaden. Dengan berlalunya waktu, para penyerang itu
akhirnya meninggalkan negeri ini sementara rakyat setempat tetap berada
dan tinggal di negeri mereka. Dari para penyerang ada yang memilih
tinggal dan berbaur dengan rakyat. Secara perlahan, mereka dan anak
cucu mereka menjadi bagian dari bangsa Iran. Suku Arya juga dulu datang
ke negeri ini lalu berbaur dengan warga setempat yang sudah mengenal
peradaban yang lebih maju. Suku-suku dan bangsa-bangsa lain juga
melakukan hal yang sama. Ada yang datang dengan perang dan agresi,
dan ada pula yang datang dengan ramah lalu menetap di negeri ini.
Shahnameh Ferdowsi menghidupkan sejarah dan masa lalu bangsa
dan budaya Iran. Dalam bukunya ini, sang pujangga memaparkan
idealismenya tentang negeri dan masyarakat ideal dengan budaya yang
tinggi dan kemakmuran merata. Selama berabad-abad, rakyat Iran
36

membaca Shahnameh Ferdowsi dan merasa diri sebagai pewaris dan


keturunan para pemimpin yang adil, ksatria pemberani dan orang-orang
yang setia dan rela berkorban. Ferdowsi dalam Shahnamehnya melakukan
penetrasi budaya Iran kuno dengan budaya Islam yang agung.
Sejak dahulu, Iran adalah negeri yang luas dengan berbagai suku
bangsanya. Di wilayah luas ini terdapat gurun yang menghampar seakan
tak tertepi juga gunung-gunung yang menjulang tinggi. Diperlukan satu hal
yang bisa mengikat semua suku dan seluruh wilayah itu ke dalam satu
kesatuan. Bisa dikatakan bahwa Shahnameh adalah tali yang
menghubungkan dan menghidupkan kembali kenangan masa lalu satu
bangsa yang besar.
Serbuan suku-suku liar mengancam kebudayaan dan identitas
bangsa Iran. Dikhawatirkan, serangan itu bisa berdampak pada
penyusupan pemikiran dan dongeng-dongeng para agresor ke tengah
kehidupan rakyat. Lebih dari itu, para penyerang juga berpotensi
menjadikan bahasa mereka sebagai pengganti bahasa Persia. Jika itu
terjadi, maka budaya dan identitas bangsa Iran akan tersingkirkan.
Akibatnya, bangsa Iran akan bernasib sama dengan bangsa-bangsa di
Asia tengah, Rumawi timur dan warga pribumi di benua Amerika yang
terpengaruh secara budaya dan identitas oleh kelompok asing yang
menguasai mereka.(IRIB Indonesia)

37

Ferdowsi, Pelita Yang Tak Pernah Redup (10)

Shahnameh selesai ditulis pada masa pemerintahan Mahmoud Ghaznawi. Sayangnya,


di masa itu dan di era kekuasaan dinasti Seljuk, pihak penguasa memandang Shahnameh
dengan sebelah mata bahkan terkesan membencinya. Karena tak mendapat dukungan dari
penguasa, tidak ada upaya untuk mengkopi naskah otentik Shahnameh lewat para penulis
handal. Sebaliknya, sambutan dari rakyat Iran kepada karya Ferdowsi ini sangat besar.

Di acara-acara tradisional dan perkumpulan rakyat,


Shahnameh selalu dibaca, dan rakyatlah yang menulis ulang
naskah buku yang memuat kisah rakyat ini. Dibandingkan bukubuku lain berbahasa Persia yang ditulis di zaman dulu,
Shahnameh Ferdowsi lebih sering menjadi bahan bacaan rakyat
di negeri ini. Kisah-kisahnya juga diceritakan dari mulut ke mulut
sejak seribu tahun lalu. Tak heran jika jumlah transkrip naskah
Shahnameh Ferdowsi lebih banyak dibandingkan buku-buku lain
yang ditulis pada masa pemerintahan Ghaznawi. Dan satu hal lagi
yang perlu dicatat, karena menjadi bagian dari kehidupan rakyat
selama berabad-abad, banyak ditemukan pemalsuan dan distorsi
dalam naskah Shahnameh.
Saat ini ada sekitar tiga ratusan naskah Shahnameh
dengan dibubuhi tahun penulisan yang disimpan di berbagai
perpustakaan. Jika jumlah itu digabung dengan naskah-naskah
yang tidak jelas tahun penulisannya maka jumlahnya bisa
mencapai seribu naskah. Dalam menulis ulang naskah-naskah
itu, terkadang penulis menambahkan atau mengurangi isi
Shahnameh yang asli. Para peneliti mengatakan, semakin jauh
38

zaman penggandaannya dengan masa Ferdowsi, naskah yang


dihasilkan semakin jauh dari keaslian.
Secara alamiah setiap bahasa mengalami perkembangan
dan perubahan dengan berlalunya zaman. Perubahan itulah yang
terkadang membuat para penulis naskah Shahnameh tidak
memahami apa yang dikatakan oleh Ferdowsi. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam menuliskan kembali bait-bait syair Shahnameh.
Tak jarang, penulis menggantikan kata-kata asal dalam bahasa
kuno dengan kata-kata yang baru. Terkadang pula, penulis yang
menggandakan naskah Shahnameh lewat hafalan lupa akan baitbait asli sehingga terjadi kesalahan dalam menuliskannya. Dalam
sejumlah kasus, kisah-kisah kepahlawanan yang bukan dari
Shahnameh dimasukkan ke dalamnya. Ada pula penulis yang
memiliki kemampuan bersyair lalu menambahkan bait-bait syair
ke dalam Shahnameh ketika merasa ada kisah menarik yang
tidak dinukil oleh Ferdowsi dalam karyanya ini.
Campur tangan dan kesalahan dalam penulisan naskah
Shahnameh bisa ditemukan dalam berbagai kisah Shahnameh
seperti kisah tentang Rostam. Para peneliti mengatakan, semakin
menarik sebuah cerita porsi manipulasi dalam penulisannya juga
semakin besar. Selama kurun waktu ratusan tahun para pencinta
Shahnameh mengecam kebijakan rezim Ghaznawi yang tak
memiliki kepedulian sama sekali untuk melestarikan karya
Ferdowsi ini. Pada sepertiga akhir dari Shahnameh, yaitu bagian
yang menceritakan masa Sasanid, tidak banyak terjadi
manipulasi dan para penulis terkesan lebih jujur dan amanah.
Sebab, bagian ini merupakan catatan sejarah yang disyairkan
berdasarkan data-data sejarah yang akurat. Hal lain yang perlu
dijelaskan di sini adalah adanya banyak bait syair yang
dinisbatkan kepada Ferdowsi, padahal bukan gubahan pujangga
besar ini. Karena seluruh fakta tadi, ada tuntutan mendesak
untuk meneliti karya otentik Shahnameh seperti yang dulu ditulis
oleh Ferdowsi.
Orang pertama yang menyatakan perlunya dilakukan
penelitian dan perbaikan naskah Shahnameh dan terjun langsung
ke bidang ini adalah Hamdullah Mostaufi, sejarawan dan penyair
abad delapan hijriyah. Mostaufi menyelesaikan proyek penelitian
dan perbaikan naskah Shahnameh selama enam tahun dengan
meneliti 50 naskah. Mostaufi hidup pada abad delapan atau tiga
39

abad setelah Ferdowsi. Tentunya dari 50 naskah yang ditelitinya,


ada beberapa naskah yang memang otentik.
Shahnameh edisi revisi berikutnya adalah naskah yang
disusun pada tahun 829 hijriyyah atas perintah Baysonghor, cucu
Teymur, dengan merujuk pada berbagai naskah. Naskah dengan
tulisan tangan Jafar Baysonghori, penulis di istana Baysonghor,
sampai saat ini masih tersimpan rapi. Mukaddimah naskah ini
menunjukkan bahwa penulis naskah ini memiliki banyak sumber
dan naskah Shahnameh. Meski demikian naskah ini tidak banyak
diterima oleh kalangan peneliti karena metode revisinya dinilai
tidak ilmiah. Karena itu, naskah Baysonghori tidak dijadikan
rujukan oleh para peneliti Shahnameh.
Di negeri Hindustan bahasa Persia dan Shahnameh
Ferdowsi menjadi bahasa dan buku yang digemari oleh rakyat
setempat. Ketika bangsa Eropa menjejakkan kaki di India,
mereka merasa perlu untuk mengenal rakyat setempat dan
budayanya. Dengan cara itu, mereka bisa berkuasa dan
memerintah negeri jajahan dengan lebih baik. Pihak penjajah
lantas mencari naskah Shahnameh yang relatif otentik untuk
bahan penelitian. Perusahaan India Timur mengerahkan guruguru bahasa Persia untuk merevisi naskah Shahnameh dengan
merujuk pada 27 naskah yang ada. Dengan kerja keras itu,
mereka berhasil menerbitkan jilid pertama dari Shahnameh pada
tahun 1811 di Calcutta.

Selanjutnya, T. Macan, salah seorang perwira tinggi Inggris


yang bertugas di India menggarap proyek revisi naskah lengkap
Shahnameh Ferdowsi pada tahun 1829. Naskah ini diterbitkan di
Calcutta dalam empat jilid dengan mukaddimah bahasa Persia.
Naskah ini dipandang sebagai salah satu naskah Shahnameh
yang paling otentik di masa itu. Naskah inilah yang kemudian
menjadi acuan penerbitan Shahnameh di India dan Iran.
Tahun 1826, J Mohl, seorang ahli asal Jerman berdarah
Perancis mendapat perintah Raja Perancis untuk merevisi naskah
Shahnameh dan mencetaknya. Mohl menggarap pekerjaan besar
ini selama lima puluh tahun dan merevisi Shahnameh dengan
merujuk pada 35 naskah tulisan tangan yang ada di Eropa. Jerih
payah itu akhirnya menghasilkan satu naskah Shahnameh dalam
40

tujuh jilid yang dicetak selama 40 tahun antara tahun 1838


sampai 1878 dengan ukuran besar dan kertas tebal. Naskah
tersebut dicetak di percetakan negara Perancis. Shahnameh yang
diterbitkan di Perancis ini dicetak dengan sampul yang indah dan
mahal dengan seni penulisan hurufnya yang sangat memukau.
Naskah Persia ditulis di satu halaman sedangkan terjemahan
Perancis dicetak di halaman berikut. Terjemahan inilah yang
digunakan oleh para peneliti Eropa termasuk oleh Wolf dalam
menulis kamus Shahnameh Ferdowsi yang terkenal.
Naskah Calcutta dan Paris selanjutnya dikomparasikan oleh
J. A. Vullers. Namun hanya dua jilid yang sempat dicetak tahun
1877 dan 1879. Jilid ketiga dicetak pada tahun 1884. Antara
tahun 1960-1971, Shahnameh Edisi Kritikal yang terkenal
diterbitkan di Moskow dalam sembilan jilid. Pihak yang
menerbitkannya adalah Yayasan Studi Ketimuran di Akademi
Sains Uni Soviet. Tim penyusun naskah ini dipimpin oleh E. E.
Bertel. Sepeninggal Bertel, kepemimpinan tim ini berpindah ke
pundak Abdul Hossein.(IRIB Indonesia)

41

Anda mungkin juga menyukai