Anda di halaman 1dari 13

Zeno dari Elea (490-430 SM)

(image credit: Internet Encyclopedia of Philosophy)

Sebelum bicara tentang idenya, tentu ada baiknya berkenalan dengan


filsufnya dulu. Oleh karena itu kita akan sempatkan membahas tentang
Bapak Zeno di atas.
***
Zeno dari Elea adalah seorang filsuf dari mazhab pemikiran Eleatik. Ia
mengikuti jejak gurunya yang bernamaParmenides, meyakini bahwa
semua gerak dan perubahan di dunia bersifat semu. Baik Zeno

maupun Parmenides berpendapat bahwa alam semesta aslinya


tunggal, diam, dan seragam. Hanya tampak luarnya saja yang
mengesankan perbedaan atau perubahan.
Meskipun begitu, di masa kini hampir tidak ada karya asli Zeno dan
Parmenides yang bertahan. Hanya satu-dua kutipan dari filsuf
sepantaran mereka yang memberi petunjuk. Mengenai Zeno sendiri
kisahnya agak menyedihkan: dia disebut pernah punya buku berisi 40
buah paradoks, akan tetapi buku itu hilang dicuri orang.
Oleh karena itu data mengenai pemikiran Zeno teramat langka.
Meskipun demikian kita beruntung: beberapa filsuf,
termasuk Aristoteles, sempat mencatat ide-idenya. Lewat catatan
itulah orang dapat membaca berbagai pemikiran Zeno.
Nah, termasuk di dalam salinan Aristoteles adalah Empat Paradoks
Zeno.[1] Seperti apa ceritanya, akan segera kita lihat.

Inti Pemikiran: Paradoks Zeno

Di bagian ini kita akan menampilkan dahulu esensi paradoks Zeno


baru di bagian selanjutnya kita analisis.
Dalam catatan Aristoteles sebenarnya terdapat enam buah paradoks,
akan tetapi kita di sini hanya akan membahas empat.[2] Empat
paradoks itu adalah:
1. Paradoks Dikotomi
Sebuah benda yang bergerak tidak akan pernah mencapai tujuan.
Pertama-tama benda harus menempuh segmen setengah perjalanan.
Lalu sesudah itu dia masih harus melewati banyak segmen:

seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua . . .


Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.

Karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak-hingga,


maka benda takkan pernah sampai tujuan.

2. Paradoks Achilles dan Kura-kura

Achilles dan Kura-kura melakukan lomba lari, meskipun begitu, kurakura diizinkan start lebih awal.
Agar dapat menyamai kura-kura, Achilles menetapkan sasaran ke
tempat kura-kura saat ini berdiri.
Akan tetapi, tiap kali Achilles bergerak maju, kura-kura juga bergerak
maju. Ketika Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura sudah
berjalan sedikit ke depan.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi
setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan tetapi
setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi. Demikian
seterusnya ad infinitum.

Jadi kesimpulannya: mustahil bagi Achilles untuk bisa menyamai kurakura dalam balapan.

3. Paradoks Anak Panah

Misalnya kita membagi waktu sebagai deretan masa-kini. Kemudian


kita lepaskan anak panah. Di setiap masa-kini anak panah
menduduki posisi tertentu di udara.
Oleh karena itu anak panah dapat dikatakan diam sepanjang waktu.
4. Paradoks Stadion

Terdapat tiga buah barisan benda A, B, dan C di lapangan tengah


stadion.
Barisan A terletak diam di tengah lapangan. Sementara B dan C
masing-masing terletak di ujung kiri dan kanan A.
Kemudian B dan C bergerak saling mendekati dengan kecepatan yang
sama (hendak bersejajar dengan barisan A).

Antara Sebelum dan Sesudah, titik C paling kiri melewati dua buah
B, tetapi cuma satu buah A.

Berarti waktu C untuk melewati B = setengah waktu untuk melewati A.


Padahal A dan B adalah unit yang identik!
Mungkinkah setengah waktu = satu waktu?

Analisis: Tentang Gerak dan Ketakhinggaan

Secara umum, ada dua tema yang dominan dalam Paradoks Zeno,
yaitu gerak dan ketakhinggaan. Sebagaimana sudah disinggung di
awal, Zeno menganggap bahwa perubahan di dunia bersifat semu.
Pendapat itu kemudian tercermin lewat empat buah paradoks di atas.
Dalam paradoks pertama (dikotomi), Zeno menyampaikan bahwa
gerak benda antara dua titik bersifat mustahil atau minimal,
mengandung aspek filsafat yang misterius. Ada baiknya kalau kita
simak lagi paradoksnya di bawah ini.

Setengah, seperempat, seperdelapan, seperenambelas


Dalam grafik di atas terlihat segmen-segmen perjalanan antara dua
titik (A dan B). Yang mengganggu Zeno di sini bukan geraknya,

melainkan bagaimana ketakhinggaan bisa begitu merepotkan.


Dalam paradoks dikotomi Zeno menyebut: karena segmen yang harus
ditempuh berjumlah tak-hingga, maka mustahil dilintasi oleh benda.
Ibaratnya begini. Apabila orang hendak berjalan menuju garis finis,
maka lintasan jalannya dapat dibagi jadi bagian kecil-kecil. Kemudian
supaya bisa lewat, maka bagian kecil-kecil itu harus dijalani satu per
satu. Sedemikian hingga pada akhirnya orang sampai garis finis.
Akan tetapi problemnya adalah bahwa yang kecil-kecil itu
jumlahnya amat banyak. Malah menurut Zeno: jumlahnya mencapai
tak-hingga.
Jadi sekarang sudut pandangnya berubah. Kita tahu orang bisa
menempuh jarak kecil-kecil, tetapi, bisakah orang menempuh jarak
kecil-kecil itu tak berhingga kali? :-?
Di sinilah akal mengatakan bahwa itu mustahil. Oleh karenanya
disebut sebagai paradoks.
Zeno sendiri akhirnya menilai bahwa gerak antara dua titik itu semu.
Betul bahwa di dunia nyata orang dapat melakukan dengan mudah,
akan tetapi bukan tak mungkin itu sebenarnya ilusi.
***
Sekarang kita masuk ke paradoks dua, Achilles dan Kura-kura. Lewat
paradoks ini Zeno menyatakan mustahil orang yang telat balapan
dapat menyamai lawannya.

Ini karena menurut Zeno terdapat sejumlah kemajuan kecil-kecil


yang tak mungkin dikejar. Setiap Achilles sampai di tempat kura-kura,
kura-kura sudah melaju sedikit lagi di depan. Lalu Achilles menyusul
lagi, dan sesampainya di situ kura-kura sudah melaju sedikit lagi. Pada
akhirnya Achilles takkan mampu melewati kura-kura.

Keterangan:
t0 melambangkan situasi pada saat pertama;
t1 melambangkan situasi pada saat kedua;
dan seterusnya
Masalahnya hal itu tidak berlaku di dunia nyata, makanya disebut
paradoks. Siapapun yang pernah nonton balap tahu faktanya.
Pembalap yang start belakangan selalu bisa menyalip lawan di
depannya. Memang kadang agak sulit melakukannya, tetapi bukan
tidak mungkin.

Sebagaimana halnya dengan paradoks pertama, Zeno berusaha


menyampaikan kesemuan konsep gerak. Pergerakan yang wajar jadi
kacau jika dianalisis secara tak-hingga.
***
Sekarang kita masuk paradoks ketiga, Paradoks Anak Panah. Yang
satu ini bahasannya agak berbeda.
Dalam paradoks ketiga ini Zeno membicarakan tentang waktu. Zeno
berpendapat bahwa situasi gerak dan diam itu sebenarnya mirip
dan berhubungan.

Keterangan:
t0 melambangkan situasi pada saat pertama;
t1 melambangkan situasi pada saat kedua;
dan seterusnya

Zeno melihat waktu sebagai rangkaian masa-kini yang


berkesinambungan. Oleh karena itu sebuah anak panah yang meluncur
memiliki berbagai versi masa-kini di perjalanannya. Ada masa-kini
sesaat sesudah lepas dari busur; masa-kini setelah beberapa detik di
angkasa, dan seterusnya.
Problemnya adalah bahwa di tiap masa-kini itu anak panah
mendiami tempat yang tetap. Persis seperti kalau direkam kamera
video. Di setiap frame tampak berbagai kondisi anak panah. Semua
tampak diam. Akan tetapi kalau videonya diputar,
barulah terkesan bahwa anak panah itu sebenarnya bergerak.
Jadi di sini ada problem: bahwa anak panah itu diam sekaligus
bergerak. :o Pertanyaannya sekarang adalah, apakah gerak itu?
Singkat cerita, Zeno menilai bahwa paradoks anak panah menunjukkan
kebenaran filsafatnya. Bahwa gerak itu aslinya semu suatu
benda terkesan bergerak cuma oleh persepsi manusia saja.
***
Paradoks terakhir (Paradoks Stadion) adalah yang paling
sederhana dibandingkan dengan yang lain. Meskipun begitu tetap ada
baiknya jika dianalisis barang sedikit. So here goes.
Dalam Paradoks Stadion, Zeno mengetengahkan bahwa dua benda
yang saling mendekati butuh waktu lebih singkat untuk bisa
bersejajar.

Ilustrasi Paradoks Stadion


Sebenarnya ini adalah penerapan dari relativitas Galileo yang diajarkan
di bangku SMA kita dulu. Ada yang masih ingat ceritanya? Kalau dua
benda bergerak, yang satu bisa dianggap diam, sementara yang satu
lagi kecepatannya dijumlahkan. :D
Nah demikian juga dengan kasus Paradoks Stadion di atas. Ketika B
dan C sama-sama bergerak, maka jumlah waktu sebelum mereka
saling bertemu juga akan mengecil, sebab kecepatannya saling
menjumlahkan. Sementara A (yang tidak bergerak) tidak mendapat
keuntungan tersebut. Alhasil terlihat seolah yang satu lebih cepat dari
yang lain, padahal sebenarnya tidak.

Penutup: Infinity in finity

Sebagaimana sudah disebut beberapa kali di atas, Zeno adalah filsuf


yang tidak percaya pada gerak dan perubahan. Lewat empat paradoks
di atas ia ingin memastikan hakikat kenyataan. Sebagai seorang
Eleatik Zeno berpendapat bahwa semua gerak benda itu semu. Untuk
membuktikan keyakinannya dia lalu merancang serangkaian paradoks.

Tentunya kemudian timbul pertanyaan, apakah pendapat Zeno itu


benar atau salah? Meskipun begitu soal itu tak akan kita bahas di sini.
Biarlah diserahkan pada ahli filsafat sahaja. :mrgreen:
Saya pribadi amat tertarik dengan ide Zeno yang menghubungkan
kesemuan gerak dengan konsep tak-hingga. Ketika berbicara
keseharian yang terbatas, dia menganalisisnya lewat serangkaian
kecil-kecil yang berjumlah tak-hingga. Pada akhirnya cara berpikir itu
menghasilkan ide baru yang segar kalau tidak boleh dibilang absurd.
Jika ada di antara pembaca yang akrab dengan matematika,
kemungkinan akan ngeh bahwa ide-ide Zeno punya bidang
pembahasan tersendiri. Keanehan Paradoks #1 dan #2, misalnya,
dapat dijelaskan lewat deret konvergen. Dengan menggunakan
kalkulus ahli matematika dapat menjumlahkan irisan-irisan kecil yang
mendekati tak-hingga. Menariknya: biarpun irisannya tak-hingga, kalau
diintegralkan, ternyata jumlahnya finite. Pendekatan macam ini
membantu menjelaskan paradoks buatan Zeno.
Bagaimana perkara keseharian yang terbatas (finite) dapat dianalisis
menggunakan metode tak-hingga (infinite), nah di situ menariknya. :D
Seiring dengan kemajuan ilmu matematika, konsep ketakhinggaan
dalam berhingga (infinity in finity) jadi mudah dicerna. Akan tetapi
bukan berarti semua masalah Zeno sudah selesai. Masih ada
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang perlu dijawab.[3][4]
Masalahnya sendiri bukan bagaimana matematika menyelesaikan
paradoks Zeno, melainkan, bagaimana memahamifilosofi di balik jalan
pikiran Zeno. Apa itu gerak? Apa sebenarnya hakikat perubahan?
Seperti apakah realitas? Pertanyaan-pertanyaan di atas
adalah concern filsafat yang di luar jangkauan matematik.

Sebagaimana filsuf terkenal Bertrand Russell berkomentar secara


khusus tentang Zeno,
Zenos arguments, in some form, have afforded grounds for almost all
theories of space and time and infinity which have been constructed
from his time to our own.

[5]

Catatan:
[1] ^ Sebenarnya tidak cuma empat; ada juga beberapa tambahan
yang disampaikan oleh Aristoteles. Meskipun demikian empat
paradoks yang ditampilkan di sini adalah yang paling terkenal.
[2] ^ Aristoteles, Physics. (terjemahan Inggris oleh R.P. Hardie & R.K.
Gaye)
[3] ^ Papa-Grimaldi, Alba. Why Mathematical Solutions of Zenos
Paradoxes Miss the Point: Zenos One and Many Relation and
Parmenides Prohibition. (The Review of Metaphysics) (format PDF)
[4] ^ Mazur, J. 2007. The Motion Paradox: The 2,500-Year-Old Puzzle
Behind All the Mysteries of Time and Space.New York: Dutton
[5] ^ Sebagaimana dikutip dalam Dowden, Bradley: Zenos
Paradoxes (Internet Encyclopedia of Philosophy)

zenosphere.wordpress.com/2011/01/28/empat-paradoks-zeno/

Anda mungkin juga menyukai