Anda di halaman 1dari 11

LEARNING ISSUE

RESPIRATORY DISTRESS (BRONKOPNEUMONI)


a. Definisi
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) yaitu ketidak
mampuan sistem pernapasan untuk melakukan proses pertukaran gas secara normal atau
adekuat. Respiratory distress apabila pasien masih dapat mengkompensasi untuk
memperbaiki proses pertukaran udara agar menjadi normal, sedangkan respiratory
failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi
dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.
Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai parenkim paru, terutama disebabkan
oleh bakteri yang menjadi penyebab kematian pada anak dan balita (terutama 30 hari
setelah dilahirkan). Penyakit ini ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki
basah, dengan gambaran infiltrat pada foto rontgen toraks.

Pneumonia merupakan infeksi saluran napas akut yang dibedakan menjadi 2, yaitu
lobarpneumonia, dan bronkopneumonia. Bronkopneumonia atau disebut pneumonia
lobularis peradangan yang mengenai bronkus, dan dapat menyebar ke alveolus yang
berada disekitarnya. Sedangkan lobarpneumonia merupakan peradangan parenkim paru
yang dapat mengenai beberapa lobus.
Perbedaan antara lobar pneumoni dengan lobular pneumoni

b. Epidemiologi

Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran,
dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab utama kematian
diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan komplikasi perinatal. Pada suatu studi
kematian neonatal di daerah Cirebon tahun 2006 disebutkan pola penyakit kematian
neonatal 50% disebabkan oleh gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir
(38%), respiratory distress 4%, dan aspirasi 8%.
Sedangkan pneumonia sendiri, berdasarkan RISKESDAS 2007, prevalensi pneumonia
pada bayi di Indonesia yaitu 0,76 %. Prevalensi tertinggi Gorontalo (13,2%), Bali
(12,9%), dan wilayah lainnya kurang dari 10%.
c. Etiologi
Neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas dikarenakan : (1) ukuran jalan nafas
neontaus yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance paru
yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah lelah ,
serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar.
Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh hipoplasia paru (disertai hernia
diafragma kongenital), infeksi, aspirasi mekoneum, dan persistent pulmonary
hypertension. Secara umum, etiologi distress nafas pada neonatus ditunjukkan pada
tabel:

Paru-paru

Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the newborn,


persistent

pulmonary

hypertension,

pneumotoraks,

perdarahan paru, edema paru, displasia bronkopulmonal,


hernia diafragma, tumor, efusi pleura, emfisema lobaris
Jalan nafas

kongenital
Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana,

Otot-otot respirasi

Pierre Robin Syndrome, tumor dan kista


Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis,

Sistem saraf pusat (SSP)

miasthenia gravis
Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik, magnesium;

Lain-lain

kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP


Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung
kongestif,

anemia/polisitemia,

tetanus

neonatorum,

immaturitas, syok, sepsis


Penyebab respiratory distress bermacam-macam, pada kasus ini kemungkinan penyebabnya
adalah infeksi pada saluran napas bayi akibat ketuban pecah dini yang mengakibatkan air
ketuban yang terkontaminasi mikroorganisme teeaspirasi oleh si bayi.

Pneumonia dapat disebabkan bakteri, virus, ataupun jamur, namun 70% kasus disebabkan
oleh bakteri. Bakteri tersering yang menyebabkan pneumonia adalah :

d. Manifestasi klinis dan diagnosis


Infeksi pada neonatus dapat disebabkan oleh 3 cara :
1. Ascending
Yaitu masuknya kuman penyebab infeksi dari vagina maupun servix. Dipicu oleh
adanya ketuban pecah dini, mengakibatkan mikroba berkembang dalam cairan
ketuban (korioamnionitis). Selanjutnya cairan ketuban tersebut teraspirasi oleh bayi,
yang akibatnya mikroba tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan maupun

pernapasan bayi. Hal ini dapat menyebabkan bayi mengalami infeksi sejak dalam
uterus dan 72 jam setelah melahirkan.
b. Kolonisasi bakteri pada jalan lahir
Saat melalui jalan lahir, bayi berisiko mengalami infeksi dari mikroba yang terdapat
pada jalan lahir, akibatnya akan timbul infeksi neonatal 24-72 jam setelah melahirkan.
c. Bakteremia pada ibu, ibu yang mengalami bakteremia dapat menyebabkan infeksi
pada bayi akibat vilus korion dapat ditembus oleh mikroorganisme, dan masuk ke
janin. Waktu lahir atau segera setelah lahir bayi bisa mengalami sepsis.
Infeksi saluran napas pada bayi dapat menyebabkan respiratory distress. Karena pada
bronkopneumonia terjadi penyempitan saluran pernapasan akibat adanya penimbunan
cairan dan proses peradangan. Untuk melihat apakah sudah terjadi distress pernapasan,
gunakan downs score.
Gejala klinis pneumonia tergantung oleh kuman yang meninfeksi, usia pasien, status
imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Gejala dan tanda dapat dibedakan bersadar
gejala umum infeksi (non spesifik), pulmonal, pleural, dan ekstrapulmonal. Gwjala
umum infeksi yaitu demam, mengigil, gelisah.
Gejala pada pru terlihat setelah proses infeksi berlangsung beberapa lama, ditandai
dengan napas cuping hidung, apnea, takipnea, dispnea, penggunaan otot bantu napas
interkostal atau abdominal. Wheezing biasa ditemui pada kasus pneumonia viral atau
bronkiolitis.
Peradangan pada pleura biasanya ditimbulkan oleh Streptococcus pneumoniae, dan
Staphilococcus aureus, ditandai dengan nyeri dada.gejala ekstrapulmonal yang bisa
timbul seperti abses jaringan lunak, otitis media, konjunctivitis, dan sinusitis. Dalam 48
jam, biasanya bayi dapat menjadi sepsis.
Beberapa gejala yang dapat diperlihatkan oleh bayi yang menderita pneumonia :
Pada saat pemeriksaan fisik, mungkin dapat ditemukan beberapa gejala berikut :
a. Malas minum tidak ada reflex menghisap
b. Gelisah
c. Letargi
d. Frekuensi pernapasan meningkat
e. Muntah

f. Diare
g. Suhu tubuh meningkat
h. Pemeriksaan pada saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronki basah yang
halus dan nyaring
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung pneumonia:
1. Foto polos dada posisi anteroposterior dan lateral, bertujuan untuk mengetahui
luasnya kelainan, serta apakan terjadi komplikasi seperti pneumothorax,
pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru, dan efusi pleura. Pada foto polos
akan ditemukan adanya infiltrat, konsolidasi, atau mungkin pembesaran hilus jika
disebabkan Staphilococcus aureus. Foto polos dada umumnya akan kembali setelah
3-4 minggu.
2. Leukositosis >15.000/UL, dominasi neutrofil pada diff count shift to the left. Jika
leukosit >30.000/UL dominasi neutrofil, mengacu pada pneumonia yang disebabkan
oleh Streptococcus dan Staphilococcus.
3. LED da C-Reactive Protein, hanya merupakan indikator inflamasi, tidak terlalu
membantu.
4. Biakan, merupakan cara yang spesifik untik mendiagnosis, tetapi hanya positif pada
10-15% kasus. Kultur darah sangat membantu.
5. PCR untuk diagnosis Streptococcus pneumonia dan Mycoplasma, tapi tidak
direkomendasikankarena harga yang mahal.

d. Patofisiologi
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat


plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada penyakit yang
mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus ditujukan untuk mencegah
komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada
neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat
berlangsung. Bayi baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di
ruang rawat intensif untuk neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk

ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke
NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai
keberhasilan perawatan.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari.
Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang berat,
dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan
biasanya dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan
Dekstrose 10% atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8
ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi
parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5
g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari.
Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah minimal handling.
Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor sekaligus untuk menilai keadaan
kardiorespiratorik, temperatur, dan saturasi oksigen pada bayi.
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas sering
tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.
Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari
lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta
memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan
kapan memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan
atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan
sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.

Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri


> 95%
88-94%
85-92%

Bayi aterm
Bayi pre term (28-34 minggu)
< 28 minggu
Sumber: Mathai

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan


pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini
dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk
memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari
atas menetap atau memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru
yang terganggu.
Tatalaksana pneumonia
Pemberian antibiotik didasari oleh penyebab penumonia sendiri, apakah disebabkan
bakteri, virus atau yang lain. Namun, karena sulit membedakan antara pneumonia bakteri
atau virus, maka antibiotik dapat diberikan.
Antibiotika yang diberikan untuk pneumonia pada neonatus harus dapat mencakup
bakteri gram positif terutama Streptococcus grup B dan batang gram negatif. Penisilin
dan turunannya merupakan pilihan utama untuk bakteri gram positif, sedangkan untuk
gram negatif seperti E colii , Proteus mirabilis digunakan aminoglikosid sebagai pilihan
utama.
Kombinasi kloksasilin dan gentamisin fektif untuk pneumonia pada usia <3bulan, karena
dapat mematikan Staphilococcus aureus. Dosis yang diberikan sesuai dengan usia
kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi, khususnya untuk aminoglikosida. Jika
curiga disebabkan oleh bakteri batang gram negatif pemberian sefalosporin generasi 3
dapat diberikan.
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam , bilatidak ada perubahan, ganti
antobiotik sampai didapatkan kondisi pasien membaik. Waktu pemberian antibiotik
berdasarkan kemajuan klinis pasien, hasil laboratoris, dan hasil foto polos.

f. Komplikasi
1. Efusi pleura
2. Pneumothorax
3. Empiema
4. Piopneumothorax
5. Pneumatokel
6. Abses paru
7. Gagal napas
8. Ileus paralitik fungsional

Daftar Pustaka
Asih, Retno .,Landia S & Makmuri MS. 2006. Naskah Lengkap Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI Kuliah Pneumonia
FK Unair. Surabaya : FK Unair

Kartasasmita, Cissy B. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita . Dalam Buletin Jendela


Epidemiologi Pneumonia Balita Volume 3. Kementrian Kesehatan RI
Supriyanto, Bambang. 2006. Infeksi Respiratorik Bawah Akut Pada Anak. Sari Pediatri
Volume 8 No 2

Anda mungkin juga menyukai