Anda di halaman 1dari 8

Nama

: Maulana Aqil Mubarak

NIM : 04121001121
Demam tinggi terus menerus
Virus Dengue merupakan tipe virus flaviviridae yang menyerang
makrofag. Pada keadaan normal, antigen yang masuk ke dalam tubuh
akan dinetralkan oleh NAb (Neutralizing Antibody) sebelum kemudian di
fagosit oleh makrofag. Bedanya saat difagosit oleh makrofag, virus
dengue

tidak

ternetralisir.

Justru

yang

terjadi

adalah

virus

ini

menggunakan makrofag sebagai media reproduksinya, sebagaimana virus


pada

umumnya.

Sehingga,

kemunculan

makrofag

justru

menjadi

keuntungan bagi Virus dengue (teori antibody dependent enchanment


(ADE).
Akibat dari masuknya antigen kedalam makrofag, sel ini pun
memacu berbagai respon imun tubuh sebagaimana mestinya. Makrofag
yang terinfeksi akan mengaktifkan cytokine dan komponen imunitas
lainnya, diantaranya adalah IL1, IL2, IL3, TNFa, INFy, C3, C5 dan
sebagainya.

IL1

dan

TNFa

adalah

pemicu

paling

utama

dalam

menyebabkan timbulnya demam, sehingga disebut juga pirogen endogen.


Tentunya virus dengue akan kembali menginfeksi makrofag lain
setelah bereplikasi, dan makrofag akan terus memfagosit virus ini.
Semakin banyak makrofag yang mencoba memfagosit virus tersebut,
semakin banyak pula makrofag yang terinfeksi, akibatnya cytokine
inflamasi akan dikeluarkan secara terus menerus. Keluarnya pyrogen
endogen inilah yang menjelaskan mengapa demam dengue terjadi terus
menerus, bukan remitten atau intermitten.
Epidemiologi
Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi
di Asia Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus
Dengue dan hampir 80% kematian dengue dalam daerah Asia Tenggara
(1132 kematian dari jumlah 1558 kematian dalam wilayah regional). Di
Indonesia

infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang tahun di


1

beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan


Bandung. Perbedaan pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap
tahun. Perubahan musim secara global, pola perilaku hidup bersih dan
dinamika populasi masyarakat (adanya perang dunia, perkembangan kota
yang pesat setelah perang dan dan mudahnya transportasi) berpengaruh
terhadap kejadian penyakit infeksi virus Dengue.
World Health Organization memperkirakan terjadi 50 juta kasus
infeksi Dengue di seluruh dunia setiap tahun. Di Indonesia kasus pertama
dengan pemeriksaan serologis dibuktikan pada tahun 1969 di Surabaya.
Angka kematian karena infeksi virus Dengue menurun secara drastis dari
41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari 3% ditahun 1991, namun
Sindroma Syok Dengue masih merupakan kegawatan yang sulit diatasi.
Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai
negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur
penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi
serotipe virus dengue dan keadaan meteorologis.
Etiologi
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus)

dan

sekarang

dikenal

dengan

genus

flavivirus,

famili

Flaviviridae. Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang


berbeda namun memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan
serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Nimmanitya (1975) di
Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2 yang dominan.sedangkan di
Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada
kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2.
Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007
menemukan bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di
Surabaya. Studi epidemiologi (Yamanaka et al) tahun 2009 dan 2010 pada
penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
ditemukan virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik
yang berat
2

Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi


seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi
serotipe merupakan suatu faktor risiko karena lebih dari 20% urutan
infeksi

virus

DEN-1

yang

disusul

DEN-2

mengakibatkan

renjatan,

sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang
diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.
Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian
genom RNA (single-stranded positive-sense genome) disusun didalam
satu unit protein yang dikelilingi diding icosahedral yang tertutup oleh
selubung lemak.Genome virus Dengue terdiri dari 11-kb + RNA

yang

berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran (M) Envelope (E)
protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B,
dan NS5).
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting
Cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan
seperti sel Kupfer di sinusoid hepar.
Interpretasi

dan

mekanisme

abnormalitas

pemeriksaan

penunjang
Parameter
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit

Rentang normal
11-13gr/dl
42-52%
4000-

Kasus
12 g/dl
45 vol%
2800/mm3

Interpretasi
Normal
Normal
Rendah

Trombosit

10000/mm3
130-

45.000/mm3

Rendah

400x103/mm3

Mekanisme abnormalitas dari rendahnya leukosit terjadi karena


virus dengue menyerang sel-sel makrofag yang merupakan komponen
dari sel darah putih itu sendiri. Sementara, rendahnya trombosit terjadi
akibat

supresi

pada

sel-sel

tulang

belakang

untuk

melakukan
3

trombopoiesis pada saat terjadi demam. Beberapa penelitian mengatakan


bahwa keluarnya agen-agen inflamasi, juga menyebabkan pengrusakan
trombosit yang sudah ada di darah sebagai mediator.
Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan

Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan adalah :


Pemeriksaan EKG : Untuk melihat fungsi jantung dan menilai kondisi
homeostasis. Pemeriksaan Homeostasis juga dilakukan dengan

memeriksa PT, APTT, dan Fibrinogen.


Protein/albumin : Karena dapat terjadi hipoalbuminemia akibat

kebocoran plasma.
SGOT/SGPT : dapat meningkat pada kasis DHF.
Ureum, ck : Untuk melihat fungsi ginjal.
Elektrolit : Sebagai parameter pemantauan resusitasi cairan.
Imunoserologi : Yaitu IgM dan IgG. IgM seharusnya menghilang
setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada

hari ke-14, pada infeksi sekunder mulai terdeteksi pada hari ke-2.
Pemeriksaan Radiologi : karena terjadi plasma leakage, maka dapat
terjadi efusi pleura. Pada foto rontgen dada dapat terlihat pada
hemitorax kanan, jika efusinya hebat, maka dapat terlihat pada
kedua hemitorax. Asites dan efusi pleura juga dapat dinilai dengan
USG.

Respon Imun terhadap infeksi dengue virus


Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo
virus) dan terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus
dengue untuk pertama kali akan merangsang terbentuknya atibodi nonnetralisasi. Sesuai dengan namanya, antibodi tersebut tidak bersifat
menetralkan

replikasi

virus,

tetapi

justru

memacu

replikasi

virus.

Akibatnya terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi


sekunder oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis
infeksi sekunder lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).
Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di
darah atau menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat
utama infeksi virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada
sel fagosit mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator
replikasi virus. Kemudian virus dengue dengan mudah masuk dan
menginfeksi sel fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya virus bereplikasi
di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi akan
menyebar ke organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang
belakang (mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan
memicu respon dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi
klinis \yang disebut sebagai mekanisme efektor (Soedarmo, 2002;
Nainggolan et al., 2006).
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T
sitotoksik (CD8), dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi.
Th

selanjutnya

berdiferensiasi

menjadi

Th1

dan

Th2.

Th1

akan

melepaskan IFN-, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL5,

IL-6,

dan

melepaskan

IL-10.
TNF-,

Selanjutnya
IL-1,

PAF,

IFN-
IL-6,

akan

dan

merangsang

histamin.

monosit

Limfokin

juga

merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan


pelepasan IL-1, TNF-, dan IFN-. Pada jalur komplemen, kompleks imun
akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a
dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir
5

respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-, IFN-, IL-2, dan
histamin (Kresno, 2001; Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-, dan IFN- dikenal sebagai pirogen endogen sehingga
timbul demam.

IL-1

langsung

bekerja

pada

pusat

termoregulator

sedangkan TNF- dan IFN- bekerja tidak secara langsung karena


merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1
menyebabkan

demam?

Daerah

spesifik

IL-1

adalah

pre-optik

dan

hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis


(OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1
masuk ke dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi
serta melepaskan PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi
perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang
terbentuk

akan

berdifusi

ke

dalam

hipothalamus

atau

bereaksi

dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah


peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem
saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi
panas dengan menggigil (Kresno, 2001; Abdoerrachman, 2002).
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap
gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan,
dan penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan
merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-. Keduanya akan
meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam
sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus ventromedial
yang berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).
IFN- sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang
poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan
menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi,
nyeri otot, nyeri kepala berat, muntah, dan somnolen (Soedarmo,
2002).
6

Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah


trombosit pada penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan
terjadinya perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang
bermanifes sebagai bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah
histamin

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

sehingga

terjadi

perembesan cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu


semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1
dan

gangguan

fungsi

menyebabkan peningkatan

hati.
Hct.

Adanyaplasma

leakage tersebut

Trombositopenia terjadi

akibat

pemendekan umur trombosit akibat destruksi berlebihan oleh virus


dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen C3g); depresi fungsi
megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit terjadi di
hepar,

lien,

dan

sumsum

tulang.

Trombositopenia

menyebabkan

perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan melena,


epistaksis, dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi
akibat kerja berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk
menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama sel Kupffer
mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue. Bila kebocoran
plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi, maka pasien
dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS(Dengue Shock
Sydrome)

dan

sering

menyebabkan

kematian

(Soedarmo,

2002;

Nainggolan et al., 2006).

Daftar Pustaka
1. Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan.
Jakarta: IDAI.
2. Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. Jakarta : FK
UI.
3. Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ.
2000. Leptin actions on food intake and body temperature are
mediated by IL-1. Neurobiology Journal, pp: 7047-52.
4. Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: FKUI.
5. Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. Jakarta: IDAI.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Perkembangan
Kejadian

DBD

Indonesia,

2004-2007.

http://www.penyakitmenular.info/detil.asp?m=5&s=5&i=217.
(diakses pada April 2008)
7. Suhendro, et.al. Demam Berdarah Dengue. In : Sudoyo, Aru W, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. 2006. p. 1709-1710
8. Kolitha H. Sellahewa. Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever
and Its Impact on Case Management. Hindawi. Vol 2013, ID 571646,
2013.

Anda mungkin juga menyukai