Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena
dan gas yang dihirup (anestesi). "Tidur" pasien yang mengalami anestesi umum
berbeda dari tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit
atau manipulasi bedah.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien
dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.
Anestesi umum diberikan oleh dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli
anestesi, ataupun bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.

BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama

: Ny. LM

Umur

: 38 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku bangsa

: Sumatera

Agama

: Islam

Alamat

: Rumah Tumbuh

No. RM

: 179202

MRS

: 23 Maret 2016

II. Anamnesis
Tanggal

: 29 Maret 2016

Diberikan oleh

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama

: benjolan terasa nyeri pada mammae sinistra sebesar telur ayam

Keluhan Tambahan : Riwayat Perjalanan Penyakit

6 bulan yang lalu, os mengeluh terasa benjolan pada regio mammae


sinistra, tidak ada nyeri, benjolan dapat digerakkan, demam (-), mual dan muntah
(-).
Satu minggu yang lalu, os datang ke RS dengan keluhan nyeri pada
benjolan di regio mammae sinistra, benjolan dirasakan membesar, demam (+),
mual dan muntah (-).
Riwayat perkawinan:
menikah 1 kali, anak 2.
Riwayat kehamilan/Persalinan/Abortus:
G2A0
Riwayat Sosialekonomi:
Os merupakan ibu rumah tangga, suaminya bekerja sebagai
karyawan PTP, memiliki dua orang anak Kesan: SOSEK menengah ke atas
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi makanan (+) Udang, Seafood
Riwayat asma (-)
Riwayat operasi (+)
Riwayat alergi obat (+) CTM
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat penggunaan zat anestesi (+)

III.

PemeriksaanFisik

I.

Pemeriksaan Umum

II.

Keadaan umum

: Tampak sakit ringan,

Kesadaran

: Kompos mentis

Suhu

: 36,70C

BB

: 58 kg

Tekanan darah

: 150/90 mmHg

Pernafasan

: 19 x/menit, reguler

Nadi

: 94x/m (isi dan tegangan cukup)

Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: CA (-), SI (-), pupil bulat, isokor, sentral D: 3mm/3mm. Edema palpebral
(-)
Hidung: sekret, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut: mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buka mulut 3 jari,
gigi goyang (-) ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil: Arkus
faring simetris, uvula ditengah, palatum mole (+), tonsil T1 T1 hiperemis (-),
detritus (-), kripta tidak melebar, tidak mudah berdarah.
Leher: Jejas (-), deformitas (-), JVP 5-2 cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru: statis-dinamis simetris, sonor, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 94 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (+) supra pubis,
tymphani, BU (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, pucat (-), edema (-)

IV.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan hasil laboratorium pada status pasien.

V.

Diagnosis Kerja
Diagnosa Bedah

: Fibro Adenoma Mammae Sinistra

Diagnosa Anestesi

: FAM sinistra pro eksisi mammae sinistra dengan ASA 1

VI. Terapi
- Infus Asering 500 ml
- Informed consent operasi
- Konsul bagian anestesi
- Informed consent pembiusan
VI.

VI.

Rencana Anestesi
a. Jenis pembedahan

: Eksisi

b. Jenis anestesi

: General anestesi

c. Teknik anestesi

: sleep apnea, LMA size orofaringeal airway (+)

d. Lama anestesi:

: 60 menit

e. Lama operasi

: 60 menit

f. Premedikasi

: Ondansetron 4 mg

g. Induksi

: propofol 100 mg, fentanil 100gr,

h. Medikasi tambahan

:-

Laporan anestesi durante operasi


a. Mulai anestesi : 29 Maret 2016 pukul 11.30 WIB
b. Lama anestesi : 70 menit
c. Lama operasi

: 60 menit

d. Premedikasi

: Ondansetron 4 mg

e. Induksi

: propofol 100 mg, fentanil 75 gr,

f. Medikasi tambahan

:-

g. Relaksasi

:-

h. Respirasi

: Terkontrol

i. Posisi

: Supinasi

j. Cairan Durante Operasi: Asering 500 ml


k. Selesai operasi : 29 Maret 2016 pukul 12.30 WIB

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Umum


3.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap
berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2.
Analgetik, 3. Relaksasi otot
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak
selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi
lokal atau regional mungkin lebih tepat.
Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum:
1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat
atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan adalah:

Pentothal

Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6


mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.
Penggunaan:
-

Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.

Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.

Cara Pemberian:
Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita
tidur, pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak
bereaksi, operasi dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah
secukupnya apabila perlu sampai 1 gram.
Kontra Indikasi:
1.Anak-anak di bawah 4 tahun
2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran
nafas
4.Penyakit jantung
5.Penyakit hati
6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena
yang baik.

Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV
1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi
dapat dimulai.
Penggunaan:

1. Operasi-operasi yang singkat


2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
Kontra Indikasi:
Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.
Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral
adalah menekan pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan
dan tindakan pernafasan buatan terutama bila ada sianosis.
2. Perektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic
(katerisasi

jantung,

roentgen

foto,

pemeriksaanmata,

telinga,

oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak kecil.


Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anakanak. Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
3. Perinhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru,
masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat-obat yang dipakai:
1. Induksi halotan

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan


O2. Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2
= 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
2. Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol
%. Seperti dengan halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran (foran, aeran) atau
desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi
masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk
ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler,
obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke
dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan
sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan
menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya
sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan
sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau
jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi bisa
dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N 2O diekskresi dalam bentuk asli
lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:
- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
- Faktor sirkulasi

- Faktor jaringan.
- Faktor obat anestesi.
Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai
tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan
parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan
di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih
tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi
terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih
rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan.
Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi
darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler
meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi
atau obstruksi respirasi.
Faktor sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke
jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat
yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam
darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan
zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi
cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka
cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita
mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:

- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di


dalam jaringan.
- Kecepatan metabolisme obat.
- Aliran darah dalam jaringan.
- Tissue/blood partition coefisien
.Faktor zat anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur
potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat
anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan
otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50% pasien. Makin
rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.

Stadium anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar
tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat
untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik
yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan
melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks
pada penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak
diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi
kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari


hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya
positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi,
reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang
kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium
ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini
bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency
delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise
otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
-

Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.


Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.

Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan


paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi
nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.

Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise


seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih
dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil

makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,


reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
-

Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise


diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.

4.

Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua
refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.

Persiapan Anestesia Umum:


Praktek anesesi yang aman dan efisien memerlukan personil

bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien yang
optimal.
Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk ruang
yang cukup terang dengan ukuran yang memadai, sebuah sumber oksigen
bertekanan (paling sering di pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor yang
sesuai dengan standar ASA (American Society of Anesthesiologist) , termasuk
denyut jantung, tekanan darah, EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu,
dan konsentrasi oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang
diaplikasikan.
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat anestesi.
Alat yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika obat harus diberikan
sepenuhnya

intravena.

Dalam

sebagian

besar

keadaan,

ini

berarti

membutuhkan tersedianya sebuah mesin yang memungkinkan untuk


mengetahui pemasukkan gas dan memelihara anestesi tetap berjalan
Menyiapkan pasien

Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling efisien


adalah pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberikan
anestesi dengan baik sebelum tanggal operasi.
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang tepat,
perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang sedang
berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang merugikan pribadi
atau keluarga untuk anestesi umum, penilaian status fungsional jantung dan
paru, dan rencana anestesi yang efektif dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk
meredakan kecemasan dari pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan
keluarga mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk
optimasi pasien pada waktu perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan
pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran napas yang
diharapkan, termasuk membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah,
keterbatasan dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan presentasi
Mallampati (lihat di bawah). Dengan menggabungkan semua faktor, rencana
yang sesuai untuk intubasi dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu,
dapat diambil untuk mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi
video, atau berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya.
Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas,
meliputi kondisi dibawah ini:
Rahang yang kecil atau mundur
Gigi rahang atas yang menonjol
Leher yang pendek
Ekstensi leher terbatas
Pertumbuhan gigi yang buruk
Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
Trauma pada wajah
Fiksasi antar-gigi
Penggunaan cervical collar yang keras
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial
untuk memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor
Mallampati, yang mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas
divisualisasikan melalui mulut terbuka.

Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut


terbuka dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang
diintubasi karena indikasi emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin.
Sebuah penilaian sederhana dapat dilakukan pada pasien dalam posisi
terlentang untuk mendapatkan gambaran dari ukuran bukaan mulut dan
perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor dalam keberhasilan intubasi (lihat
gambar di bawah)

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit.
Namun, tidak ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% .
Akibatnya, praktisi mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka
untuk menilai jalan napas.
Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang
mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal
sesuai kondisi pasien. Beberapa pertimbangan dalam melakukan anestesi umum
meliputi:

Keuntungan
-

Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi

Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang


lama

Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan


sirkulasi

Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat


anestesi local

Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang

Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan


durasi waktu yang tak dapat diprediksi atau pada keadaan
penambahan waktu operasi

Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

Kekurangan
-

Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang


terkait

Membutuhkan persiapan pasien praoperasi

Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang memerlukan


intervensi aktif

Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah,


sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu
dalam pengembalian fungsi mental yang normal

Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang


jarang, terkait dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa
(tidak semua) zat anestesi umum yang dapat menyebabkan kenaikan
suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis
metabolik, dan hyperkalemia.

Cara memberikan anestesi


Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang
waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk

operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan


memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut
maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik,
untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan
menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam,
sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih
relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara
menambah dosis obat.
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat
anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan
gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan
mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau
memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk
mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik,
analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan
pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas
buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas
penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana anestesi,
karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali
atau control respiration.

Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam


keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada
beberapa keuntungan antara lain:
- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi
dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga
mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.
- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah
sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan
hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi
yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah
tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh
gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan
paru dengan sekehendak kita tergantung keperluan. Dengan demikian
berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:
- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance

anestesi:

pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.


- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan.
Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat
anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu: Open, semi open,
closed, dan semi closed.
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita

dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan


tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju
udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi,
menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai
obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko
terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban
respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan
respirasi kendali.
2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir
bag selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan
klep 1 arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini
disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan
dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding system open.
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas
anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang
berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya
udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen
dari sumber gas (FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena
udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan
oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar
operasi.
4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi
disini tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju
udara bebas. Penambahan oksigen dan gas anestesi harus
diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia
dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena
pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi

sehingga. menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah


sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan
polusi. Pada system closed dan semiclosed juga disebut system
rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini
juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada sistem open
dan semi open juga disebut system nonrebreathing karena tidak ada
udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu
sodalime. Untuk menjaga agar pada system semi open tidak terjadi
rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat,
biasanya diberikan antara 2 3 kali menit volume respirasi
penderita.
System

Rebreathing

Reservoir bag

Sodalime

Tingkat polusi

Tingkat

kamar operasi

keborosan obat

Open

++++

+++

Semi open

+++

++

Semi closed

++

Closed

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut


anestesi intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan
maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile
Inhalation and Maintenance Anesthesia).
Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan
dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur
keluar mengikuti udara ekspirasi.

Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsurangsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat
anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut
kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan
berdifusi ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi)
difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah
meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli.
Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli,
maka kadarnya di dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain
akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi
lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih
sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang
mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan
turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya
dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita,
sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu
dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu
penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita
sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena
dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya

penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu


memberikan obat antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah
adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli
anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik
napas dalam, batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas.
Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant
adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score nya, nilai 810 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5
pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Hal yang dinilai

Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh
Bangun bila dipanggil
Tidak ada respon

2
1
0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan
Apnoe

2
1
0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20
Perbedaan +- 50
Perbedaan lebih dari 50

2
1
0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:


4 ekstremitas
2 ekstremitas
Tidak dapat

2
1
0

5. Warna kulit
Normal
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik
Cyanotic

2
1
0

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien, Ny. LM, 38 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
eksisi Fibroadeno Mammae (FAM) sinistra pada tanggal 29 Maret 2016 dengan
diagnosis pre operatif Fibroadeno Mammae (FAM) sinistra. Persiapan operasi
dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016.
Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri dengan benjolan di payudara kiri
yang dirasakan sejak 6 bulan terakhir. Benjolan dapat digerakkan, nyeri (-),
demam (-), dan mual (-).
Satu minggu yang lalu, os datang ke RS dengan keluhan nyeri pada
benjolan di regio mammae sinistra, benjolan dirasakan membesar, demam (+),
mual dan muntah (-).
Karena , dokter menganjurkan untuk dilakukan operasi kistektomi.
6 bulan yang lalu, os mengeluh terasa benjolan pada regio mammae
sinistra, tidak ada nyeri, benjolan dapat digerakkan, demam (-), mual dan muntah
(-).
Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 21
Desember 2015. Hb :11,7 g/dl Leukosit

: 9700 mm3, Trombosit: 198.000

mm3,BT : 3 C: 6
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan, tekanan darah: 120/80
mmHg, Nadi : 84x/menit, Respirasi : 22x/menit; Suhu : 36,7OC.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.
Persiapan operasi :
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 58
kg, maka cairan yang diberikan sebanyak 2352 cc/24jam atau 98 cc/jam

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan


puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obatobat anastesi
Tindakan Anestesi
Operasi Laparotomi dilakukan pada tanggal 22 Desember 2015. Pasien
dikirim dari bangsal bedah ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 2 pada pukul
11.00 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 138/91 mmHg;
Nadi 99x/menit, dan SpO2 99%.
Dilakukan pemberian premedikasi midazolam 2 mg, dengan tujuan
mengurangi kecemasan dan menciptakan efek amnesia anterogade.
Selanjutnya pasien ini diberikan atracurium bromide 25 mg untuk
merelaksasikan otot-otot pernapasan.

Karena dilakukan operasi laparotomi,

dipilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator


sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas
dengan adekuat
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2 vol%
dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging
selama kurang lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga
menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya
pemasangan endotrakheal tube.
Penggunaan sevofluran dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi
dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun
lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain seperti isoflurane atau halotan. Efek terhadap
kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Pemasangan ETT
Penyulit intubasi (Skala LEMON):

Look externally jejas (-), gigi goyang (-), ompong (-), lidah besar (-),
leher pendek (-)
Evaluate 3-3-2 rule Baik
Mallampati Grade I
Obstruction Tidak ada
Neck mobility kaku (-)
Dilakukan pemasangan ETT jenis kinking dengan size 7.0, Intubasi
berhasil dilakukan tanpa hambatan.
Kemudian dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit
sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas
20 x/menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi (N2O) diturunkan untuk
menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.
Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi
selesai.
Operasi selesai tepat jam 12.15 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke
manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Dilakukan bagging untuk
mempertahankan ventilasi selama menunggu pasien bernafas spontan. Gas
sevofluran dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian
dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan
saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 500 cc Ringer Laktat.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 200 cc. Pada pukul 12.10 WIB, sebelum
selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac 30 mg
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan.
Pada pukul 12.15 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir TD 122/78 mmHg; Nadi 86x/menit, dan SpO2 99%.

Pembedahan dilakukan selama 60 menit dengan perdarahan 200 cc. Pasien


kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15
menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg

Anda mungkin juga menyukai