Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang


mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dampak bencana yang terjadi telah banyak menimbulkan korban jiwa,
kerugian harta benda, dan rusaknya prasarana dan sarana publik, serta
dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat
pembangunan nasional. Sementara itu, waktu untuk bereaksi sangat
singkat, sedangkan faktor-faktor risiko sangat tinggi. Dapat diketahui
bahwa jenis bencana di Indonesia cukup banyak seperti bencana gunung
api, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, gelombang pasang dll.
Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di Indonesia yang
telah mengalami erupsi sebanyak 80 kali sejak tahun 1672 sampai 2010.
Dapat diketahui bahwa bencana gunung api merapi pada tahun 2010
memberikan dampak yang cukup besar bagi kawasan di sekitar gunung
merapi. Gunung merapi berada pada ketinggian 2.968 mdpl yang terletak
pada posisi geografis 110o2630 BT dan 7o3230 LS yang letaknya di
tengah pulau dan dikelilingi oleh permukiman padat dan sebagian berada
di wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan sebagian lainnya masuk
ke wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato dengan kubah
lava di daerah puncaknya. Tipe gunung api ini memiliki ciri bentuk kerucut
yang jelas, lembahnya berbentuk radial sentrifugal. Bahan yang keluar
pada saat letusan (erupsi) yaitu rempah-rempah atau bahan lepas
piroklasik dan lava pijar. Akibat adanya pergantian bahan lepas piroklastik
dan lava pijar, maka kemudian terjadi bentuk yang berlapis (strato
volcano). Ciri khas dari gunung merapi adalah guguran lava pijar dan
awan panas. Selama kegiatan vulkanisnya, Gunung Merapi adalah
guguran lava pijar dan awan panas. Selama kegiatan vulkanisnya, gunung
merapi menghasilkan awan panas yang akan meluncur kebawah. Selain
awan panas yang patut diwaspadai dari Gunung Merapi adalah banjir
lahar dingin. Banjir lahar dingin disebut juga lahar hujan, yaitu material
vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu tinggi maupun
bersuhu normal. (Sarwidi, 2011). Ketika terjadi erupsi, banyak material
vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan turun ke bawah, tetapi menumpuk
di daerah dekat puncak gunung Merapi. Apabila terjadi hujan lebat di
daerah puncak, maka bisa menimbulkan ancaman sekunder bagi daerah
di sekitar lereng gunung merapi terutama daerah bantaran sungai, yaitu
ancaman banjir lahar dingin.
1

Dapat diketahui bahwa sampai saat ini Gunung Merapi masih


menyimpan banyak deposit material bekas letusan pada 2010 khususnya
pada kubah sisi selatan dan tenggara, hal ini tentu saja dapat mengancam
warga merapi yang tinggal di sepanjang sungai di sekitar merapi.
Memasuki bulan Oktober yang merupakan bulan normal turunnya hujan,
hal ini tentu saja membuat masyarakat di merapi cukup khawatir karena
masih dimungkinkan terjadinya banjir lahar dingin jika volume air hujan
yang turun cukup tinggi dan akan membawa sisa-sisa material erupsi
turun ke permukiman warga (Antara news, 2014).
Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu
dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi.
Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar
dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat
musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara
keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung
merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data
mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun
permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan
jalur erupsi.

1.2

Pengantar Permasalahan

Ketika terjadi bencana gunung api pada tahun 2010 ternyata sampai
sekarang masih banyak material vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan
turun ke bawah, tetapi menumpuk di daerah dekat puncak gunung
Merapi. Hal yang ditakutkan jika terjadi hujan lebat di daerah puncak,
maka bisa menimbulkan ancaman banjir lahar dingin disebut juga lahar
hujan, yaitu material vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu
tinggi maupun bersuhu normal. Hal ini dikuatkan dengan adanya laporan
bahwa sampai saat ini Gunung Merapi masih menyimpan banyak deposit
material bekas letusan pada kubah sisi selatan dan tenggara. Tentu saja
hal ini dapat mengancam warga merapi yang tinggal di sepanjang sungai
di sekitar merapi.
Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu
dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi.
Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar
dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat
musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara
keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung
merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data
mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun
permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan
jalur erupsi.
Dengan adanya simulasi yang akan ditampilkan maka diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai area-area yang nantinya akan
dialiri lahar dingin dengan volume hujan yang diperkirakan turun. Dalam
simulasi ini akan diketahui bagaimana gambaran mengenai aliran lahar
dingin sehingga diharapkan dapat membantu saat menentukan tindakan
guna menanggulangi bencana lahar dingin gunung merapi. Dari ulasan di
2

atas, Research Question yang menjadi fokus kajian ini adalah


Bagaimanakah pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin gunung
merapi saat terjadi hujan dengan volume hujan yang tinggi ?.

1.3

Tujuan Dan Sasaran

1.3.1 Tujuan
Tujuan dalam kajian ini adalah membuat simulasi secara keruangan
(spasial) mengenai mitigasi bencana lahar dingin gunung api merapi
dengan menggunakan simulasi model Sistem Informasi Geografis.
1.3.2 Sasaran
Sasaran dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Mengidentifikasi kondisi fisik gunung api merapi


Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan pada gunung merapi
Mengidentifikasi jalur-jalur lahar dingin pada gunung merapi
Melakukan simulasi mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi
terhadap volume hujan yang tinggi.

BAB II
SINTESA PERMASALAHAN
2.1

Permasalahan Lahar Dingin

Indonesia terletak di antara tiga lempeng benua dan samudra yaitu


lempeng Euro-Asia, lempeng Indo Australia dan lempeng Pasifik yang
masing-masing terus bergerak dan saling bertumbukan. Tidak
mengherankan apabila lokasi tersebut mengakibatkan bencana seperti
letusan gunungapi, gempa bumi maupun tsunami. Indonesia sendiri
memiliki 129 gunungapi dengan 83 gunungapi di antaranya masih aktif.
Sebagian besar pemanfaatan lahan di sekitar gunung api aktif sering
dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian. Namun wilayah di sekitar
gunungapi memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi tidak disertai dengan
kesiapsiagaan penduduk yang tinggi pula, oleh karena resiko terkenanya
erupsi atau banjir lahar menjadi semakin tinggi (Brotoputro dkk., 2011
dalam Marfai dkk., 2012.
Luas daerah rawan bencana gunung api di seluruh Indonesia sekitar
17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan
bencana gunungapi sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data
frekuensi letusan gunungapi, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar
585.000 orang terancam bencana letusan gunungapi (Perka BNPB, 2008)
Bencana erupsi Gunungapi Merapi selain mengeluarkan awan
panas, juga menghasilkan banjir lahar dingin. Dampak banjir lahar dingin
paling dirasakan oleh wilayah di sekitar sempadan sungai yang mengalir
dari mata air yang berasal dari lereng Gunungapi Merapi. Salah satu
sungai yang mengalir di lereng Gunungapi Merapi adalah sungai Gendol.
Daerah Aliran sungai (DAS) Gendol merupakan salah satu DAS yang
mengalami kerusakan terparah, baik dikarenakan awan panas maupun
lahar dingin. Kerusakan dialami oleh sebagian besar permukiman di
sekitar sungai dan mengharuskan untuk evakuasi dan pindah tempat di
hunian sementara atau shelter.
Terjadinya peristiwa banjir lahar dingin yang merusak permukiman
warga di sekitar sungai-sungai yang berhulu di Merapi disebabkan oleh
tingginya intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan yang turun
pascaerupsi Merapi tahun 2010 lalu terjadi sangat tinggi sehingga
mengakibatkan debit aliran menjadi meningkat sebagai hasil campuran
dari guguran material gunungapi dengan air hujan. Akibatnya potensi
aliran lahar untuk menggenangi daerah-daerah yang terletak di sekitar
sungai
menjadi
meningkat.
Tentunya
kondisi
tersebut
dapat
4

mempengaruhi penduduk yang tinggal di daerah yang dilalui Sungai


Gendol menjadi sangat rentan terhadap bencana banjir lahar dingin.
Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana banjir lahar
dingin di DAS Gendol cukup tinggi mengingat banyaknya permukiman
penduduk yang rusak ataupun terkubur oleh pasir. Penduduk juga
dihadapkan dengan hilangnya mata pencaharian atau pekerjaan yang
secara langsung berpengaruh terhadap penghasilan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Hilangnya lahan pertanian di sekitar tempat tinggal
akibat banjir lahar sangat dirasakan oleh sebagian penduduk yang
menggantungkan sumber pendapatan dari aktivitas pertanian.
Salah satu daerah terdampak yang cukup parah adalah Kecamatan
Cangkringan. Hampir semua wilayah Kecamatan Cangkringan terkena
dampak banjir lahar dingin (Kecamatan Cangkringan, Ngemplak,
Glagaharjo, Kepuhharjo), dampak yang timbul lebih banyak kerusakan
permukiman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.1
Tabel II.1 Pembagian Wilayah Administrasi Per Kecamatan Tahun
2012
Kecamatan

Cangkringan
Ngemplak

Desa
Umbulharjo
Glagaharjo
Kepuharjo
Wukirsari
Argomulyo
Sindumartan
i
Jumlah

Dusun
Rusak
3
8
8
4
4

Rumah
Rusak Berat
283
802
828
340
258

15
2526

Sumber : Data Kades per 2010-2011 dalam Tim KKL Fakultas Geografi UGM (2012)

Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu


dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi.
Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar
dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat
musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara
keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung
merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data
mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun
permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan
jalur erupsi.
Dengan adanya simulasi yang akan ditampilkan maka diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai area-area yang nantinya akan
dialiri lahar dingin dengan volume hujan yang diperkirakan turun. Dalam
simulasi ini akan diketahui bagaimana gambaran mengenai aliran lahar
dingin sehingga diharapkan dapat membantu saat menentukan tindakan
guna menanggulangi bencana lahar dingin gunung merapi.

2.2

Kerangka Pikir

Dalam penyusunan mitigasi bencana lahar dingin ini nantinya


output/keluarannya berupa pola keruangan yang akan coba disimulasi
dengan volume air hujan yang turun sehingga dapat diketahui wilayahwilayah mana yang bisa dikategorikan rawan banjir lahar dingin. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar II.1.

Masih adanya sisa-sisa erupsi Bencana Gunung Merapi

Adanya Intensitas hujan yang tinggi

Ancaman banjir lahar dingin bagi masyarakat sekitar merapi

Perlunya mitigasi bencana untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan

manakah pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi saat terjadi hujan dengan volume hujan yang tin

Mengidentifikasi kondisi
Mengidentifikasi
fisik gunung
perubahan
api merapi
penggunaan
Mengidentifikasi
lahan pada
jalur-jalur
gununglahar
merapi
dingin pada gunung merapi

Melakukan simulasi mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi terhadap volume hujan yang tinggi.

6
Pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin

Gambar II.1 Kerangka Analisis


Sumber : Analisis, 2014

BAB III
KAJIAN KEPUSTAKAAN
3.1

Bencana Gunung Api Merapi

3.1.1 Bahaya, Resiko, Dan Erupsi Gunung Api


Bahaya atau hazard adalah suatu kondisi yang berpotensi
menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia
secara alamiah maupun karena ulah manusia secara alamiah maupun
karena ulah manusia. Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya
primer, sekunder dan tersier. Bahaya primer adalah bahaya yang
langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung seperti awan
panas dan lontaran material. Bahaya sekunder terjadi secara tidak
langsung dan pada umumnya berlangsung pada pasca letusan, misalnya
banjir lahar, kerusakan lahan pertanian dan permukiman. Sedangkan
bahaya tersier merupakan bahaya akibat kerusakan lingkungan
gunungapi sangat tergantung dari kerapatan suatu letusan dan kepadatan
penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut (Habibie dan
Buchori, 2013).
Resiko (risk) diartikan sebagai probabilitas dari bahaya atau
ekspektasi dari kehilangan-kehilangan (kematian, kerusakan property)
akibat dari interaksi antara bencana alam dan kerentanan. Tujuan dari
penaksiran resiko adalah untuk menentukan sifat dan tingkat resiko
dengan menganalisis potensi dan bahaya dan mengevaluasi kondisi yang
ada kerentanan (UN-ISDR, 2002 dalam Wiguna, 2011). Metode kualitatif
merupakan salah satu metode untuk penaksiran resiko dengan
mendeskripsikan resiko dalam tingkatan seperti sangat tinggi, tinggi,
sedang, rendah, dan sangat rendah. Metode kualitatif digunakan pada
7

kondisi yang memerlukan penaksiran secara cepat, tepat dan tanpa


mengeluarkan biaya yang mahal (Van Westen 1999 dalam Wiguna, 2012).
Bahaya, kerentanan dan kapasitas (coping capacity) merupakan
konsep utama dalam penaksiran resiko. Bahaya sebagai probabilitas
kejadian alam yang merugikan dan memakan korban, dan kerentanan
sebagai tingkat kerusakan atau korban, dan kerentanan sebagai tingkat
kerusakan atau korban jiwa ketika kejadian melanda. Kapasitas
merupakan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bahaya dari
bencana alam. Konsep tersebut mengarah pada pemahaman resiko
sebagai produk dari 2 konsep, yaitu probabilitas kejadian dan intensitas
dari kejadian bencana. Konsep resiko sebagi produk dari bahaya,
kerentanan dan kapasitas penduduk disajikan pada persamaan berikut
(Idep Foundation, 2007 dalam Wiguna, 2012).

Gambar III.2 Penghitungan Resiko Bencana


Sumber : Idep Foundation, 2014

Gunung Merapi memiliki karakteristik tipe letusan yang khas dan


menghasilkan awan panas atau wehus gembel dalam istilah Jawa ataupun
dalam istilah keilmuan disebut nuee ardente (Voight dkk., 2000 dalam
Marfai dkk., 2012). Lebih lanjut Voight menjelaskan bahwa nuee ardente
merupakan bahaya primer yang ditimbulkan akibat letusan Merapi yang
terdiri atas unsur gas, bongkah batu dan abu vulkanis yang biasanya
didahului oleh aliran lava dan runtuhan kubah lava. Namun demikian
catatan sejarah telah menunjukkan bahwa seringkali letusan Gunungapi
Merapi terjadi dengan mekanisme berbeda, misalnya tahun 1872 dan
tahun 2010 yang terjadi secara eksposif (Voight dkk., 2000 dan
Brotopuspito dkk., 2011 dalam Marfai dkk., 2012).
Bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Merapi tidak hany bahaya
primer berupa awan panas dan abu vulkanik. Bahaya sekuder dari erupsi
Merpai berupa lahar akan terus berlangsung pada musim penghujan
setelah terjadinya erupsi (Lavigne et al., 2000). Material aliran lahar
berasal dari bongkah batuan, hancuran bantuan, kerikil, pasir dan debu
yang dikontrol oleh gaya grafitasi dan material berasal dari hasil letusan
gunungapi (Smith dan Fritz, 1989). Kejadian lahar akan terus berlangsung
selama stok material hasil erupsi sebanyak 150 juta m3 belum hasbis.
Lahar lebih merusak dan menghancurkan dibandingkan dengan aliran
piroklastik pada beberapa kondisi (Wood dan Soulard, 2009).
3.1.2 Banjir lahar
Lahar merupakan material piroklastik yang mengalir akibat
bercampur dengan air hujan. Meskipun material lahar tersusun atas abu
8

gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih
deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa. Pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecepatan aliran lahar bisa
mencapai lebih dari 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras
hingga jarak lebih dari 80 kilometer (Daryono, 2011).
Lavigne dan Touret (2002) dalam Wiguna (2012) menyatakan bahwa
Gunungapi Merapi merupakan gunungapi yang memiliki endapan material
piroklatis sebanyak jutaan m3. Kondisi intensitas curah hujan yang dan
jaringan sungai yang sangat padat membuat kawasan sekitar Gunungapi
Merapi menjadi kawasan utama terlanda aliran lahar. Pada Gunung api
Merapi menjadi kawasan utama terlanda aliran lahar. Pada Gunungapi
Merapi,aliran lahar dipicu akibat adanya intensitas curah hujan yang
tinggi dengan intensitas rerata sebesar 40 mm selama 2 jam pada
musimpenghujan dari November hingga April. Lahar panas timbul akibat
curah hujan mengikis endapan material yang tertimbun lama setelah
kejadian erupsi. Kejadian lahar pada sungai-sungai yang berhulu pada
puncak Gunungapi Merapi telah tercatat mulai tahun 1587. Volume aliran
lahar pun bervariasi dengan volume terbesar tercatat pada tanggal 8 Mei
1961 (29,4 x 106 m3). Jarak aliran pun bervariasi muali dari 2 km hingga
13 km. Aliran lahar utamanya mengalir menuju arah barat, selatan dan
barat daya.

3.2

Daerah Aliran Sungai

Secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan


sebagai suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung
bukit atau gunung, maupun batas bantuan seperti jalan atau tanggul,
dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberikan kontribusi
aliran ke titik kontrol (Suripin, 2002). Daerah Aliran Sungai merupakan
suatu cekungan geohidrologi yang dibatasi oleh daerah tangkap air dan
dialiri oleh suatu badan sungai dan merupakan penghubung antara
kawasan daratan di hulu dengan kawasan hilir, sehingga kondisi di
kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua
komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit
ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. DAS mempunyai
banyak sub-sistem yang juga merupakan fungsi dan bagian dari suatu
konteks yang lebih luas (Anna S, 2001).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, Daerah Aliran Sungai biasanya
dibagi menjadi daerah hulu tengah dan daerah hilir. Daerah hulu dicirikan
sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapan drainase yang lebih
tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar (lebih
besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian
air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS merupakan
daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah
dengan kemiringan kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan air). Ekosistem DAS
hulu merupakan bagian yang sama pentingnya dengan daerah hilir karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS (Asdak,
1995).
9

Menurut Anna S (2001) Daerah Aliran Sungai adalah suatu


ekosistem yang merupakan kumpulan dari berbagai unsur dimana unsurunsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air serta manusia dan segala
daya upayanya yang dilakukan di daerah tersebut. Daerah Aliran Sungai
dibagi menjadi 2 (dua) komponen yaitu :
1

Lingkungan Fisik, meliputi :


a Bentuk wilayah ( topologi, bentuk dan luas DAS)
a. Tanah (jenis tanah, sifat kimia fisk, kelas kemampuan)
b. Air (kualitas dan kuantitas)
c. Vegetasi/hutan (jenis, kerapatan, penyebaran)
1. Manusia, meliputi :
a Jumlah manusia
b Kebutuhan hidup
Peningkatan jumlah manusia khususnya yang tinggal di sekitar DAS
akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi
melalui pemanfaatan sumber daya alam (yang merupakan bagian dari
lingkungan fisik) akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia
terutama dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan
perilaku yang bersifat merusak/negatif akan dapat menimbulkan tekanan
terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dan dikenal
sebagai daya dukung lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka
daya dukung lingkungan pun akan menurun.
Sungai mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya
guna sungai tersebut antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian,
energi dan lain-lain dan sungai mampu mengakibatkan banjir, pembawa
sedimentasi, serta pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian,
pemukiman dan lain-lain ). Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS
ditujukan
untuk
memperbesar
pemanfaatannya
dan
sekaligus
memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu sungai mempunyai peran
penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke
daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga
berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem
penunjang kehidupan (Anna, 2001).
Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga
kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir.
Konservasi daerah hulu perlu mencakup seluruh aspek-aspek yang
berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara
ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang
merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang
memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai.
Menurut Anna, 2001, jika dihubungkan dengan penataan ruang
wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi
keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air
permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30% dari luas
wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegakan pohon yang dapat

10

berupa hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata
dan lain-lain.
Oleh karena itu untuk pemeliharaan keseimbangan alamiah serta
siklus air, maka vegetasi hutan di daerah hulu menjadi sangat penting.
Dipihak lainnya, keberadaan hutan di daerah hulu sangat dominan
dipengaruhi oleh pola-pola pemanfaatan lahan yang berhubungan dengan
perilaku masyarakat, sehingga kepentingan masyarakat juga harus
dimasukkan sebagai faktor kunci dalam kebijakan pengelolaan lahan hulu.
Pengalokasian sumber daya sangat berkaitan erat dengan perencanaan
pemanfaatan ruang, sehingga perencanaan tata ruang yang baik berarti
efisiensi pengalokasian sumberdaya lahan untuk mengoptimalisasikan
kepentingan penggunaan lahan.
2.1

Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.3.1 Ekosistem DAS

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang


secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya
ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan
daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu
ekosistem dengan unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam
(tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat
sumberdaya alam. (Chay Asdak, 2002 : 4)
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan.
Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling
berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Besar kecilnya
ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan
pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat lah dianggap
sebagai suatu ekosistem.
Dalam ekosistem DAS dibagi menjadi tiga yaitu daerah hulu,
tengah, dan hilir. Daerah hulu DAS dicirakan sebagai berikut: merupakan
daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari
15%), bukan merupakan daerah banjir, umumnya vegetasinya berupa
hutan. Sementara daerah hilir memiliki ciri sebagai berikut: merupakan
daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, daerah dengan
kemiringan lereng kecil atau datar (kurang dari 8%), sebagian merupakan
daerah genangan banjir, vegetasi didominasi tanaman pertanian. Dan
daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi antara
daerah hulu dan hilir. Karena DAS merupakan suatu ekosistem maka
dapat dilihat proses yang berlangsung dalam ekosistem DAS. Curah hujan
yang masuk akan menghasilkan output berupa debit aliran dan/atau
muatan sedimen.

11

INPUT = CURAH HUJAN

VEGETASI

TANAH

SUNGAI

MANUSIA
IPTEK

DAS = Prosesor

OUTPUT = DEBIT, MUATAN SEDIMEN

Gambar III.3 Fungsi Ekosistem DAS


Sumber : Chay Asdak, 2002
2.3.2

Karakteristik DAS

Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan


meliputi luas dan bentuk DAS, topografi dan tata guna lahan.
a. Luas dan Bentuk DAS
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menghasilkan
laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS
yang melebar dan melingkar. Hal ini terjadi karena waktu
konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama dibandingkan dengan
DAS yang melebar, sehingga terjadi konsentrasi air di titik kontrol
lebih lambat dan berpengaruh pada laju volume aliran permukaan.
2.2 Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya


(cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk
didalamnya adalah penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan
kimianya, serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu
sendiri. Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk-beluk air,
kejadian, dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya
terhadap kebutuhan manusia (Chow, 1988).

12

Gambar III.4 Siklus Hidrologi


Sumber : Kusuma M. S. B., 2000

Ilustrasi diatas menggambarkan siklus hidrologi secara sederhana,


berbeda dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di alam dan sangant
kompleks. Hujan yang turun kepermukaan bumi akan mengalami infiltrasi
dan sebagian mengalir di permukaan. Aliran air di permukaan juga akan
mengalami proses evavorasi dan transpirasi. Jika dikaitkan dengan siklus
hidrologi, banjir merupakan surface runoff yang tidak lagi tertampung oleh
saluran. Parameter penting dari banjir adalah luas genangan, durasi
genangan, kedalaman dan arah aliran.

13

Gambar III.5 Pengaruh Bentuk DAS Pada Aliran Permukaan


Sumber : Ven Te Chow, 1988

b. Topografi
Tampakan rupa bumi atau topografi seperti kemiringan lahan,
keadaan dan kerapatan sungai, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya
berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan
kemiringan curam disertai sungai yang rapat akan menghasilkan laju
dan aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS
yang landai dengan sungai yang jarang dan adanya cekungancekungan. Pengaruh kerapatan sungai yaitu panjang sungai per
satuan luas DAS, pada aliran permukaan adalah memperpendek
waktu konsentrasi sehingga memperbesar laju aliran permukaan.

Gambar III.6 Pengaruh Kerapatan Anak Sungai DAS Pada Aliran


Permukaan
Sumber : Ven Te Chow, 1988
14

c. Tata guna lahan


Pengaruh tata guna lahan terhadap aliran permukaan
dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu bilangan
yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran
permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran
permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan
kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 sampai 1. Nilai C =
0, menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan
terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1,
menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran
permukaan. Pada DAS yang masih baik, harga C mendekati 0, dan
pada DAS yang rusak harga C mendekati 1.

3.3

Peran Teknologi GIS Dalam Perencanaan

3.3.1

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Dalam pembangunan, informasi merupakan kumpulan data yang


berupa fakta-fakta yang telah mengalami proses pengolahan sehingga
mampu memberikan nilai guna yang lebih bermanfaat bagi penggunanya.
Dalam kegiatan pembangunan yang meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, informasi yang merupakan
pendukung dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan.
Sedangkan sistem diartikan suatu kumpulan atau himpunan dari unsur,
komponen atau variabel-variabel yang terkoordinasi, saling tergantungan
satu sama lain dan terpadu (Lucas,1987). Sehingga dari pengertian
tersebut dapat juga disamping sistem informasi merupakan sekumpulan
data prosedur yang terorganisasi yang mampu menyaring dan mengolah
data serta pada saat dilaksanakan (executed) menghasilkan informasi
yang menghasilkan informasi yang menunjang bagi proses pengambilan
keputusan. Kegiatan mengorganisir ini terdiri atas kegiatan penyimpanan,
pengaturan dan kemudahan dalam pengambilan data kembali untuk
digunakan tiap tahapan perencanaan (Scholten, 1990).
Sedangkan Informasi merupakan hasil olahan dari sejumlah data
melalui sistem informasi manajemen. Data merupakan kumpulan dari
sejumlah fakta. Informasi sangat dibutuhkan oleh pihak manajemen
dalam pembuatan keputusan. Untuk itu, tiap tingkatan manajemen
membutuhkan informasi sesuai dengan kewenangan pembuatan
keputusan (Dasar-Dasar Informasi, Darmanto, 2007). Tingkatan
manajemen terdiri dari tingkatan manajemen atas, menengah dan bawah.
Informasi mempunyai karakteristik dan tipe-tipe informasi. Kebutuhan tiap
tingkatan manajemen terhadap informasi berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik dan tipe informasi yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan. Untuk definisi system informasi geografis menurut Eddy
Prahasta
yaitu merupakan gabungan dari tiga unsur dari sistem,
informasi dan geografis. Sehingga pengertian terhadap tiga unsur-unsur
ini akan membantu dalam memahami SIG. dengan melihat unsur-unsur
pokoknya, maka GIS merupakan salah satu sistem informasi yang

15

merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur bagian dari


keruangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan SIG (Sistem Informasi Geografi)
adalah suatu teknologi sistem informasi (teknologi berbasis komputer)
yang digunakan untuk memproses, menyusun, menyimpan, memanipulasi
dan menyajikan data spasial (yang disimpan dalam basis data) untuk
berbagai macam informasi. SIG (Sistem Informasi Geografis) dipandang
sebagai hasil perkawinan antara komputer untuk bidang kartografi (CAC)
atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAO) dengan teknologi
basis data (database). Dalam sistem informasi Geografis ini tentunya
terdapat suatu proses pengolahan data yang meliputi input-proses-output.
Input pada SIG ini biasanya berupa data peta dengan medianya berupa
scanner, digitizer. Untuk prosesnya dengan media berupa hardware dan
software GIS (Geographie Information System) yaitu dengan Arcview,
arcinfo, idris for windows. Format dalam memproses dalam GIS
(Geographie Information System) berupa data dalam bentuk raster dan
vektor. Data raster tersebut dinyatakan dalam bentuk grid atau cell (baris
dan kolom), dan untuk data vektor dinyatakan dengan koordinat (x,y).
Sedangkan untuk output dari proses tersebut berupa gambar (printout)
dalam monitor (onscreen), printer (plot).
3.3.2 Pengertian Data
Dalam sistem informasi Geografis data sendiri merupakan bahan
dasar yang diolah, diproses sehingga menjadi suatu informasi (suatu yang
punya arti), dan informasi tersebut akan menjadi data untuk proses
selanjutnya. Sedangkan basis data merupakan suatu kumpulan data yang
digunakan sebagai dasar dalam informasi yang bersifat berkelanjutan
dalam proses perencanaan pembangunan. Basis data mencerminkan
sesuai keperluan pengguna, segala keadaan, kondisi dan potensi
sumberdaya fisik maupun non-fisik, sumberdaya alam maupun buatan
serta segenap kejadian aktifitas dan kegiatan yang ada atau maupun
berlangsung dalam wilayah perencanaan pembangunan basis data ini
memiliki informasi, atribut dan keterangan (deskripsi).
Data-data dalam sistem informasi geografis berupa data-data
geografik, yaitu data yang memberikan informasi tentang semua obyek
atau unsur geografis (geografik feature), baik yang di bawah, diatas dan
di permukaan bumi. Data-data geografik ini dapat berupa titik, garis, luas
dan permukaan.

Titik memperlihatkan suatu lokasi dalam ruang seperti kontrol


geodesi, titik tinggi, kota dan sebagainya.
Garis memperlihatkan garis yang berbentuk linier seperti sungai,
jalan, batas administrasi dan sebagainya.
Luas memperlihatkan obyek yang bentuknya tertutup seperti
perluas kecamatan, kabupaten dan sebagainya.
Permukaan (surface) memperlihatkan obyek yang berbentuk 3
dimensi kesemua data tersebut merupakan input pada suatu proses

16

dalam sistem informasi geografis yang pada akhirnya akan melalui


suatu proses dan menghasilkan output dalam bentuk peta.
Peta-peta hasil pengolahan dengan menggunakan sistem informasi
geografis ini dapat berupa peta tata guna lahan, peta administrasi, peta
rawan bencana, peta sumberdaya tanah dan lain sebagainya. Dari petapeta tersebut maka didapatkan penggabungan menjadi satu melalui
proses overlay.
3.3.3 Peran Teknologi Gis Dalam Pengembangan Wilayah
Pengembangan sistem informasi Geografis dapat menunjang
kegiatan pembangunan, dalam hal ini khusunya kegiatan pembangunan
pada sektor pertanian. Manfaatnya dibangunkan Sistem Informasi
Geografis ini adalah memberikan kemudahan dalam mengoranisasikan,
mengelola dan menginformasikan potensi masalah permasalahan, serta
pengembangan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan lahan
diwilayah pengembangan. Penginformasian potensi lahan ini diharapkan
dapat mempercepat dalam pengambilan kebijakan, monitoring dan
evaluasi pengembangan dan pembangunan yang terkait. Dalam hal ini
peranan GIS dalam menggali potensi serta evaluasi yang ada dengan
salah satunya yakni dengan mengolah kesesuaian lahan dan lahan kritis,
sehingga dari hasil pengolahan tersebut dapat dihasilkan zonasi ke
kritisan lahan serta penanganan yang sessuai dengan karakteristik
wilayah. Dengan adanya GIS memudahkan menggali potensi lahan dari
kendala lahan sehingga berguna bagi perencanaan maupun obyek
penelitian dalam hal pengambilan keputusan yang sesuai dengan kondisi
atau karakteristik lahan yang ada. Dengan adanya kemudahan dalam
mendapatkan inputing data tersebut menggunakan GIS akan
mempermudah dalam perencanaan lahan suatu wilayah sehingga secara
garis besar berimplikasi terhadap proses peningkatan dan pembangunan
wilayah.

17

BAB IV
PENSTRUKTURAN DAN PERUMUSAN MASALAH
4.1

Penstrukturan Masalah Dan Perumusan Masalah

Dalam penstrukturan masalah ini akan dibahas mengenai dari mana


sumber masalah didapat dan masalah yang timbul.
Seperti yang telah dijabarkan baik di latar belakang, permasalahan
lahar dingin maupun kerangka pikir maka permasalahan banjir lahar
dingin di sekitar kawasan merapi cukup menarik untuk dikaji. Hal ini juga
didukung dengan adanya berita yang menjelaskan bahwa lahar dingin
masih ancam warga Merapi. Berikut merupakan kutipan yang diambil dari
www.antaranews.com pada Jumat, 17 Oktober 2014 22:58 WIB.
Memasuki musim hujan memungkinkan terjadinya banjir lahar
dingin ketika intensitas curah hujan tinggi. Merapi masih menyimpan
banyak deposit material bekas letusan pada 2010 khususnya pada kubah
sisi selatan dan tenggara," katanya di Yogyakarta, Jumat. Menurut dia, hal
itu diketahui dari hasil pemotretan udara kubah Merapi menggunakan
pesawat UAV sepanjang 18 km dari puncak Merapi. Pemotretan
merupakan kolaborasi antara PSBA UGM, Pusat Penerbangan Lapan, dan
Grup Riset Satelit dan Kedirgantaraan UGM. Saat musim hujan tiba daerah
selatan dan tenggara Merapi masih berpotensi mendapatkan kiriman
banjir lahar dingin. Dengan melihat data yang dihasilkan bisa disusun
langkah mitigasi bencana sehingga bisa mengurangi resiko bencana .

18

Dari berita tersebut maka muncul suatu ide untuk membuat suatu
mitigasi bencana dengan simulasi berbasis sistem informasi geografis.
Sehingga permasalahan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Bencana erupsi Gunungapi Merapi selain mengeluarkan awan panas,
juga menghasilkan banjir lahar dingin. Dampak banjir lahar dingin paling
dirasakan oleh wilayah di sekitar sempadan sungai yang mengalir dari
mata air yang berasal dari lereng Gunungapi Merapi. Salah satu sungai
yang mengalir di lereng Gunungapi Merapi adalah sungai Gendol. Daerah
Aliran sungai (DAS) Gendol merupakan salah satu DAS yang mengalami
kerusakan terparah, baik dikarenakan awan panas maupun lahar dingin.
Kerusakan dialami oleh sebagian besar permukiman di sekitar sungai dan
mengharuskan untuk evakuasi dan pindah tempat di hunian sementara
atau shelter.
Terjadinya peristiwa banjir lahar dingin yang merusak permukiman
warga di sekitar sungai-sungai yang berhulu di Merapi disebabkan oleh
tingginya intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan yang turun
pascaerupsi Merapi tahun 2010 lalu terjadi sangat tinggi sehingga
mengakibatkan debit aliran menjadi meningkat sebagai hasil campuran
dari guguran material gunungapi dengan air hujan. Akibatnya potensi
aliran lahar untuk menggenangi daerah-daerah yang terletak di sekitar
sungai
menjadi
meningkat.
Tentunya
kondisi
tersebut
dapat
mempengaruhi penduduk yang tinggal di daerah yang dilalui Sungai
Gendol menjadi sangat rentan terhadap bencana banjir lahar dingin.
Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu
dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi.
Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar
dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat
musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara
keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung
merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data
mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun
permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan
jalur erupsi.
Untuk lebih jelas mengenai permasalahan yang ada dapat dilihat
pada Gambar IV.1 dan Gambar IV.2 yang akan menjelaskan mengenai
gambaran permasalahan dan gambaran tujuan kajian yang akan
dijabarkan pada pohon masalah dan pohon tujuan.

19

20

infrastruktur
Ancaman
permukiman
terhadap bahaya longsor tinggi
Adanya kerusakan lahan permukiman
Kemungkinan
dan pertanian
timbulnyaAdanya
korban kerusakan
jiwa

AKIBAT

Ancaman bahaya lahar dingin di kawasan sekitar Gunung Merapi

PERMASALAHAN UTAMA

SEBAB

Volume lahar dingin yang banyak


Bencana alam geologis Curah hujan yang tinggi Kondisi kelerengan yang curam

Gambar IV.7 Pohon Masalah


Sumber : Analisis, 2014

21

Melakukan
simulasi
mitigasi
bencana
lahar dingin merapi terhadap volume hujan yang
perubahan
lahan pada
Gunung
Merapi
Identifikasi Mengidentifikasi
kondisi fisik Gunung
Merapi penggunaan
Mengidentifikasi
jalur-jalur
lahar
dingin
pada gunung
merapi

TUJUAN

ra Keruangan (Spasial) Mengenai Mitigasi Bencana Lahar Dingin Gunung Api Merapi Dengan Menggunakan Simulasi Model Sistem Informasi Geografis.

TUJUAN UTAMA

SARANA

Mengetahui
alur lahar
dingin
merapi dengan
Mengetahui
memadukan
gambaran
data ketinggian
kawasan yang akan terdampak
kondisi fisik dan pemanfaatan
Mengetahui
ruang pada
perubahan
kawasan
penggunaan
Gunung
Merapi
lahan
permukiman

Gambar IV.8 Pohon Tujuan


Sumber : Analisis, 2014

22

BAB V
USULAN TOPIK PENELITIAN

5.1 Usulan Topik


Usulan dalam topik penelitian ini adalah sebagai berikut :
Kajian Mitigasi Bencana Lahar Dingin Gunung Merapi Berbasis Sistem Informasi
Geografis

23

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Anna. S, 2001. Model Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Daerah Aliran
Sungai Secara Terpadu, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca
Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asdak, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Darmanto. 2007. Dasar-Dasar Informasi. Erlangga. Jakarta.
Habibi, Marbruno dan Buchori, Imam. 2013. Model Spasial Kerentanan
Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bencana Gunung Merapi,
Jurnal Teknik PWK Vol. 2 No. 1 Tahun 2013.
http://www.antaranews.com/berita/459299/lahar-dingin-masih-ancamwarga-merapi
Irianto, gatot. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Papas Sinar
Sinanti. Jakarta.
Kodoatie, R.J., Sugiyanto. 2002, Banjir (Bebrapa Penyebab dan Metode
Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer, 1991. Remote Sensing and Image
Interpretation, John Wiley and Sons, Inc. New York, N.Y, USA.
Marfai dkk. 2012. Sejarah Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Fasies
Gunungapi di Daerah Aliran Sungai Bedog, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 22 No. 2 (2012), 73-79.
Nathan Wood and Christopher Soulard. 2009. Variations ini Population
Exposure and Sensivity to Lahar Hazars from Mount Rainier, Washington.
Journal of Volcanology and Research 188 (2009) 367-378.
Prahasta, eddy. 2001, Konsep-konsep dasar Sistem Informasi Geografis.
Informatika. Bandung.
Tim KKL, 2012. Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan: Estimasi
Perubahan Morfologi, Potensi Sumberdaya dan Perencanaan Penggunaan
Lahan Pascaerupsi Merapi 2010 di Kali Gendol, MPPDAS Fakultas Geografi
UGM.
Sitalana, Arsyad, (1989). Konservasi Tanah dan air. IPB Press, Bogor.
Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit ANDI,
Yogyakarta.
Voight B., Constantine E.K., Siswowidjoyo S., Torley R., 2000. Historical
Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998, Journal
of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 69-138.

24

Wiguna, Putu Perdana Kusuma. 2012. Penaksiran Resiko Banjir Lahar di


Daerah Aliran Sungai (DAS) Gendol dan DAS Opak, Yogyakarta. Tesis.
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

25

Anda mungkin juga menyukai