Anda di halaman 1dari 17

BLOK XVI: REPRODUKSI

MAKALAH RUPTUR UTERI

Oleh :

Tannia Rizkyka Irawan


(H1A012059)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM


NUSA TENGGARA BARAT
2015

PENDAHULUAN
Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor
ibu adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan
masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping preeklampsi/eklampsi dan infeksi
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan
pembekuan darah.Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada
kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan
pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.
Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS
Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin
dalam rahim dari 2974 persalinan.Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus.
Maka sebab itulah dibuat referat ini untuk membahas lebih lanjut mengenai
rupture uteri, faktor resikonya, etiologinya, bagaimana mendiagnosisnya serta
penatalaksanaannya.

TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Ruptur Uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga
peritoneum dapat berhubungan.Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit adalah
keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga
amnion dan rongga peritoneum.Peritoneum viserale dan kantong ketuban keduanya
ikut ruptur dengan demikian janin sebagia atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh
kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen.
Pada ruptura uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi
oleh peritoneum viserale.Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam
rongga peritoneum. Apabila pada rupture uteri peritoneum pada permukaan uterus
ikut robek, hal tersebut dinamakan rupture uteri komplet.
Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah sesar kantong ketuban juga
belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah terjadi
ruputura uteri pada parut.Dehisens bisa berubah jadi ruputura pada waktu partus atau
akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar yang
lalu.Dehisens terjadi perlahan, sedangkan ruptura uteri terjadi secara dramatis.Pada
dehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, sedangkan pada ruptur uteri
perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robekan baru yang
meluas.
EPIDEMIOLOGI
Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih
merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinya. Kematian ibu
dan anak akibat rupture uteri masih tinggi. Sebuah kajian meta analisis di Inggris,
menunjukkan bahwa angka kejadian rupture uteri meningkat seiring dengan
penignkatan angka operasi cesar (Fitzpatrick et al, 2012). Beberapa faktor resiko
yang dapat meningkatkan angka kejadian rupture uteri selain operasi cesar
sebelumnya adalah usia ibu hamill kurang dari 35 tahun, primigravida, dan induksi
oksitosin pada rencana kelahiran pervaginam (Harper et al, 2012).

KLASIFIKASI
1. Menurut sebabnya (Abubakar, 2003) :
a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil
i. pembedahan pada miometrium : seksio sesarea
histerektomi,

histerorafia,

miomektomi

yang

atau

sampai

menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua


uterus atau bagian interstisial, metroplasti.
ii. Trauma uterus koinsidensial : instrumentasi sendok kuret atau
sonde pada penanganann abortus, trauma tumpul atau tajam
seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan
sebelumnya (silent rupture in previous pregnancy).
iii. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (born) yang
tidak berkembang
b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan
i. sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus
menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk
merangsang persalinan, trauma luar tumpul atau tajam, versi
luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion
atau kehamilan ganda.
ii. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam
yang

sukar,

ekstraksi

bokong,

anomali

janin

yang

menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah rahim,


tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam
melakukan manual plasenta (Dhaifalah et al, 2006).
iii. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta,
neoplasia trofoblas, gestasional, adenomiosis, retroversio
uterus gravidus inkarserata.
2. Menurut Lokasinya (Gessessew et al, 2005) :
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ),
miemektomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang
sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis
dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya. Lokasi ini
adalah lokasi terbanyak rupture uteri yaitu sebanyak 57,4 % dari
populasi.

c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi


forseps atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
3. Menurut etiologinya (Gessessew et al, 2005) :
a. Ruptur uteri spontanea
Rupture uteri spontanea dapat terjadi akibat dinding rahim yang lemah
seperti pada bekas operasi sesar, bekas miomektomi, bekas perforasi
tindakan kuret atau bekas tindakan plasenta manual. Rupture uteri
spontan dapat pula terjadi akibat peregangan luar biasa dari rahim
seperti pada ibu dengan panggul sempit, janin yang besar, kelainan
kongenital dari janin, kelainan letak janin, grandemultipara dengan
perut gantung (pendulum) serta pimpinan persalinan yang salah.
b. Ruptur uteri violenta
Rupture uteri violenta dapat terjadi akibat tindakan tindakan seperti
misalnya Ekstraksi forceps, versi dan ekstraksi ,embriotomi ,braxton
hicks version, manual plasenta,kuretase ataupun trauma tumpul dan
tajam dari luar.
ETIOLOGI
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada
persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus
percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :
A. persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin
atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan (Holmgren et al, 2012).
B. pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea
klasik berlaku adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada
keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan)
untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah matang (Ylmaz et al,
2011).

Gambar 1. Klasik dan low transverse insisi pada bedah sesar


(sumber : www.healthyrecipesdiary.org)

PATOFISIOLOGI
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,
dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus
uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri
terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar
dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi
segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab
(misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah
mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas.
Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat
melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van
bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi
tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum
ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri
(ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum
vesikouterina).
Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak
kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi
6

dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat
tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek.
Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating,
terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea).
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada
parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea
profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang
tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih
kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan
tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering
terjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan
jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa
ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar
(Fofie et al, 2010).
DIAGNOSIS
Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin
tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut karena
nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat janin.
Gambaran klinik ruptura uteri adalah khas sekali. Oleh sebab itu pada umumnya
tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik yang telah
diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptura uteri itu komplit perlu dilanjutkan
dengan periksa dalam (Ehigiegba et al, 2006).
Pada ruptura uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan beberapa hal
berikut :
1. jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang
licin
2. dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di
segmen bawah rahim
3. dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan
4. dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari
tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung
7

jari-jari tangan dalam.

Gambar 2. Ring van Bandl (www.healthyorigin.org)

GEJALA KLINIS (Holmgren et al, 2012)

Gejala Saat Ini :


o Nyeri Abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau.
Apabila terjadi ruptur sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang
intermitten, kuat dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh
nyeri uterus yang menetap.
o Perdarahan Pervaginam dapat simptomatik karena perdarahan aktif

dari pembuluh darah yang robek.


o berhentinya persalinan dan syok
o Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum.
Riwayat Penyakit Dahulu
Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat
paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau

miomektomi.
Pemeriksaan Umum
Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut,

biasanya perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen.


Pemeriksaan Abdomen
o Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan
kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi
janin.Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi
jantung janin tiba-tiba menghilang.

o Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak,


disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan

intraperitoneum.
Pemeriksaan Pelvis
o Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak
lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke
dalam rongga peritoneum.
o Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
o Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual
segmen uterus bagian bawah dan kavum uteri.Segmen uterus bagian
bawah merupakan tempat yang paling lazim dari ruptur.

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi
adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik
terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk
selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah segar. Darah
segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga
mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat
demi mencegah dan memngatasi koagulopati dilusional akibat pemberian cairan
kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah
gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam
menghadapi syok hipovolemik. Dikarenakan rupture uterus adalah tindakan
emergensi yang memerlukan tidakan operasi segera, penangan terbaik aalah
histerektomi. Komplikasi dari tindakan ini adalah adanya infertilitas dari organ
reproduksi dari 90-100 % dikarenakan total histerektomi (Kidanto et al, 2012).
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri telah
terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien
tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan
menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil
pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien baru
diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi
biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan

sepsis merupakan sebab-sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal


dalam obstetrik.
Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi.
Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak
hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan keluar
bagi kasus ini untuk mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted
reproductive technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang hanya
mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan dengan
keberhasilan yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik. Kematian
maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi
sosial yang sulit mengatasinya (Kidanto et al, 2012).
TATALAKSANA
Dalam menghadapi masalah ruptura uteri semboyan prevention is better than
cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di
mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar
persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan
berpengalaman. Bila telah terjadi ruptura uteri tindakan terpilih hanyalah
histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan
kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian
antibiotika spektrum luas, dan sebagainya.
Tindakan tindakan pada rupture uteri (William Obstetry, 2005) :
a. Histerektomi
Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan
uterus) pada seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia tidak
bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan melalui
irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini bergantung pada
jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan
berbagai pertimbangan lainnya.
Ada beberapa jenis histerektomi yang perlu kita ketahui. Berikut ini
adalah penjelasannya :
o Histerektomi parsial (subtotal). Pada histerektomi jenis ini, rahim
diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu,

10

penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih


perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher rahim) secara rutin.
o Histerektomi total. Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim
diangkat secara keseluruhannya.
o Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Histerektomi ini
mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba fallopii, dan kedua
ovarium.
o Histerektomi radikal. Histerektomi ini mengangkat bagian atas
vagina, jaringan, dan kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini
biasanya dilakukan pada beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa
menyelamatkan nyawa penderita.

Gambar 3. Macam Histerektomi ( www.medscape.com)


b. Histerorafi

Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan dijahit


dengan sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafi kecuali bila
luka robekan masih bersih dan rapi pasiennya belum punya anak hidup.

PROGNOSIS
Ruptur uterus merupakan 6,6 % dari seluruh penyebab kematian maternal
Prognosis bergantung pada apakah ruptur uteri pada uterus yang masih utuh atau
pada bekas seksio sesarea atau tidak. Bila terjadi pada bekas seksio sesarea atau pada
dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan
11

kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang tepat dan cekatan. Ruptura uteri
spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan
robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke lateral dan
mengenai cabang-cabang arteri uterina atau ke dalam ligamentum latum atau meluas
ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal
yang tinggi dan kematian yang jauh lebih tinggi (Kidanto et al, 2012).

12

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, R.D., et al, 2005. Uterine Rupture. Journal of Obstetric and Gynecology. 7
(5).
Cunningham, Gary et.all, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta.
Fitzpatrick, K.E., Kurinczuk J., et al, 2012. Uterine Rupture by Intended Mode of
Delivery in the UK A Naational Case Control Study. Journal of The Public
Library of Science, 3 (9), 1-11.
Ehigiegba, et al. 2006, Uterine Rupture in Labor: A Continuing Obstetric Challenge
in Developing Country. Journal of Biomedical Science, 5 (1).
Fofie, C.O., et al, 2010. A Two Year Review of Uterine Rupture in a Regional
Hospital. Ghana Medical Journal, 44 (3), 98-102.
Gessesew, A., et al, 2002. Ruptured uterus-eight year retrospective analysis of causes
and management outcome in Adigrat Hospital, Tigray Region, Ethiopia. Journal
of African Obstetric and Gynecology, 16 (3) 241-245.
Holmgren, C., Scot, J., et al, 2012. Uterine Rupture With Attempted Vaginal Birth
After Cesarean Delivery. Journal of American College of Obstetricians and
Gynecologists, 119 (4), 725-731.
Harper, L.M., Alison, G., et al, 2012. Association of Induction of Labor and Uterine
Rupture in Women Attempting Vaginal Birth After Cesarean : a Survival
Analysis. American Journal of Obstetric and Gynecology.
Kidanto, H,. et al, 2012. Uterine Rupture a Retrospective Analysis of Causes,
Complication, and Management Outcomes. Tanzania Journal of Health
Research,, 14 (3).
Mizutamari, E., et al, 2014. Spontaneous Rupture of an Unscarred Gravid Uterus in a
Primigravid Woman at 32 Weeks of Gestation. Case Report in Obstetric and
Gynecology, 1-4.
13

Matsubara S., et al, 2011. Thin Anterior Uterine Wall with Incomplete Uterine
Rupture in a Primigravida Detected by Palpation and Ultrasound: a Case
Report. Journal of Medical Case Reports, 5 (14).

14

15

16

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, Gary et.all, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta.
Norwitz, Errol dan Schorge, John, 2007. At a Glance Obstetri & Ginekologi Edisi
kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Winkjosastro, 1999. Ilmu Kebidanan
Resnik R. High Risk Pregnancy. In: Emedicine journal obstetrics and gynekology.
Volume 99. No: 3. Maret 2003.
Leveno KJ, Cunningham FG, Norman F. Alexander GJM, Blomm SL, Casey BM.
Dashe JS, Shefield JS, Yost NP. In: William Manual of Obstetrics. Edisi 2003.
The University of Texas Southwestern Medical Centre at Dallas. 2003

17

Anda mungkin juga menyukai