Anda di halaman 1dari 2

Senin, 21 September 2009

Manuver Perpu KPK: Sambil Menyelam Minum Air?


Sambil menyelam minum air. Agaknya peribahasa lama ini tepat untuk menilai maneuver
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang (berencana) menerbitkan Peraturan Pengganti
Undang-undang (Perpu) tentang Perubahan UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK). Dengan alasan untuk menyelamatkan KPK, Perpu ini sekaligus
memberi jalan untuk mengangkat langsung pimpinan KPK: mengabaikan transparansi dan tanpa
persetujuan DPR.
Belum selesai kontroversi tindakan kepolisian menjadikan 2 orang pimpinan KPK menjadi
tersangka perkara penyalahgunaan wewenang. Tidak menunggu lama, Presiden hendak
menunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK. Jalannya adalah dengan penerbitan Perpu tersebut.
Bahkan sudah beredar kabar tokoh-tokoh yang akan menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK ini.
Walaupun, menjadi hak Presiden untuk menilai alasan subyektif penerbitan Perpu. Namun,
hingga saat ini banyak kalangan tidak melihat dasar rasionalitas penerbitan Perpu. Pertama,
secara de facto, tugas dan kewenangan KPK masih terus dijalankan oleh pimpinan KPK saat ini.
Inilah keberhasilan KPK periode sebelumnya, yang telah secara mantap menaruh fondasi:
struktur dan prosedur pelaksanaan tugas KPK. Sumber daya manusia dan infrastruktur KPK
masih dapat berjalan. Bahkan, jika pun pimpinan KPK hanya 1 (satu) orang, tugas pimpinan
KPK melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi masih bisa dilakukan, sambil menunggu
proses pencalonan dan pemilihan pimpinan KPK berdasarkan Pasal 30 UU 30/2002.
Anehnya, wacana Perpu bukan untuk memperpendek jangka waktu proses pencalonan dan
pemilihan pimpinan KPK, melainkan memberi wewenang kepada Presiden menunjuk Pelaksana
Tugas. Jelas hal ini melanggar ketentuan Pasal 31 UU KPK yang menyatakan proses pencalonan
dan pemilihan anggota KPK dilakukan secara transparan.
Pasal 31 UU KPK tersebut disusun, tujuannya tidak lain dalam pemilihan pimpinan KPK, tidak
dilakukan karena ada motif dan vested interest. Penunjukkan langsung mengundang dugaan,
pimpinan KPK yang menjadi pelaksana tugas merupakan orangnya SBY: kemungkinan besar
bukan figur yang kritis terhadap pemerintahan SBY, bahkan bisa memunculkan spekulasi
diambil dari tim sukses SBY saat Pemilu kemarin. Walaupun diberi jangka waktu tertentu
sebagai pelaksana tugas, jika kekhawatiran ini menjadi kenyataan, tentu sangat merugikan proses
penegakan hukum di Indonesia dan dalam waktu yang singkat bisa saja mewarnai arah
pemberantasan korupsi di negeri ini. Jangan lupa, KPK saat ini tengah didorong masyarakat
untuk menuntaskan dugaan tindak pidana korupsi terkait Bank Century dan dugaan tindak pidana
korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu oleh KPU.
Sebaiknya, DPR segera bersidang untuk menolak Perpu pasca Perpu diterbitkan karena tidak ada
ada alasan rasionalitas dan obyektivitas penerbitan Perpu. Sejumlah pengamat menduga,
Presiden akan menunjuk satu orang pengganti Antasari Azhar. Jika Presiden menunjuk 3 orang
sekaligus mengganti Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto, maka sama artinya Presiden

mengamini tindakan kepolisian mengkriminalisasi kewenangan KPK yang dijamin pasal 12


huruf b UU KPK yaitu memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri, dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Namun tidak juga tertutup kemungkinan Presiden akan menunjuk 3 orang sekaligus.
Kita semua berharap KPK kedepan, bukan lembaga yang bertugas mengamankan
pemerintahan 5 tahun kedepan; bukan lembaga yang dijadikan alat tawar menawar menekan
anggota DPR atau lawan-lawan politik SBY, dan bukan lembaga dibawah Presiden seperti
Kabinet. Karenanya, proses seleksi: pencalonan dan pemilihan KPK mesti transparan.
Diposkan oleh O P I N I

Anda mungkin juga menyukai