DAFTAR ISI..................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................2
STATUS PASIEN...........................................................................................................3
A. IDENTITAS PASIEN.........................................................................................3
B. ANAMNESIS.....................................................................................................3
C. PEMERIKSAAN FISIK.....................................................................................4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG.......................................................................6
E. RESUME...........................................................................................................10
F.
DIAGNOSIS KERJA.......................................................................................11
G. TERAPI............................................................................................................11
H. PROGNOSIS.....................................................................................................11
I.
FOLLOW UP..................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................13
ANALISA KASUS......................................................................................................42
KESIMPULAN............................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................44
BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah
urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas
1
usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Pembesaran prostat
jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu
aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign
prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher vesica
urinaria dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang
khusus disebabkan oleh pembesaran prostat disebut sebagai benign prostate obstruction
(BPO).
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak
kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan
masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping
itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor
lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat.
Di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas
terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiaptiap daerah. Walaupun demikian, di daerah terpencil pun diharapkan dapat menangani pasien
BPH dengan sebaik-baiknya.
BAB II
STATUS PASIEN
a.
IDENTITAS PASIEN
2
b.
Nama
: Tn. M.I
Umur
: 73 tahun
No.RM
: 000650
Kesatuan
: DITKESAD / VETERAN
Agama
: Islam
Alamat
Masuk RS
: 02 febuari 2015
Jam
: 10.12 WIB
ANAMNESIS
Didapatkan keterangan dari pasien pada hari selasa tanggal 03 febuari 2015
o Keluhan utama
masih menetes
o Keluhan tambahan
: Tidak ada
c.
: Disangkal
DM
: Disangkal
Asma
: Disangkal
Jantung
: Disangkal
Paru
: Disangkal
Alergi
: Makanan (kepiting)
Riwayat operasi
: Disangkal
DM
: Ibu pasien
Asma
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
: Disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 03 FEBUARI 2015
Pemeriksaan Umum
o
o
o
o
Keadaan umum
:
Tampak Sakit Sedang
Kesadaran
:
Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Pernapasan
: 18 x/menit
Nadi
: 80 x/menit, teratur
Suhu
: 36,7oC
Status Generalis
Kepala
: Normocephal
Mata
Hidung
Telinga
Leher
Paru
Jantung
Abdomen
: Datar, BU (+)
4
Ekstremitas
(4)
(4)
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai lagi berkali-kali (4)
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing
(3)
(4)
(4)
(5)
(5)
STATUS LOKALIS
Regio Abdominal
Inspeksi : Perut tidak membuncit, darm countor tidak ada, Darm steifung
tidak ada, venektasi tidak ada, sikatrik tidak ada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi
: Nyeri tekan (+) regio suprapubik, hepar dan lien tidak teraba,defans
muskular tidak ada, tidak teraba masssa, ballotement tidak ada
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen
Palpasi
Regio Anal.
Inspeksi
Palpasi
Rectal toucher : Tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa
rectum licin, teraba masa, kenyal, permukaan licin, simetris, sulcus medianus tidak
teraba
Gloves
d.
Hasil
08-01-2015
Rujukan
Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
12,9*
37*
12 16 g/dl
37 47 %
Eritrosit
4,0*
Leukosit
6240
4,800 10.800/l
191000
150.000 400.000/ l
Trombosit
MCV
93
MCH
32*
27 32 pg
MCHC
35
32 36 g/dl
KOAGULASI
WAKTU PROTROMBIN
KONTROL
PASIEN
APTT
KONTROL
PASIEN
KIMIA KLINIK
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
UREUM
CREATININ
80 96 fl
10.6
9.9
detik
9.3 11.8 detik
30.6
35.3
detik
31 47 detik
23
19
44
1.4
<35 U/L
<40 U/L
20 50 mg/dl
0,5 1,5 mg/dl
6
GLUKOSA DARAH
88
<140 mg/dl
SEWAKTU
Hasil Pemeriksaan USG abdomen
Hepar
homogen; tidak tampak lesi fokal. Pembuluh darah dan sistem bilier
Kd empedu
tidak melebar
: besar dan bentuk normal, dinidng tidak menebal. Tidak tampak batu.
: ukuran ginjal kanan +/- 3,5 x 3,5 cm, ginjal kiri +/- 3,4 x 3,3
cm.echogenitas parenkim kedua ginjal meningkat.tidak tampak lesi fokal ataupun batu.
Sistim pelvio calyces tidak melebar
Buli buli
Prostat
KESAN
Aorta : normal
Pulmo : kedua hilus normal, corakan brnkhovaskuler normal,tidak tampak
infiltrat/nodul
Sinus dan diafragma kanan dan kiri normal
KESAN : cor dan pulmo dalam batas normal
: 106 s
Flow Time
: 105 s
: 52 s
: 3,7 ml/s
e.
: 241 ml
RESUME
Laki laki, 73 tahun datang dengan keluhan buang air kecil sedikit sedikit
namun sering dalam sehari bisa 5 sampai 9 kali disertai dengan nyeri,pasien harus
mengedan saat ingin buang air kecil,pancaran air kencing pendek dari biasanya sejak
4 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh merasa tidak puas setelah buang air kecil
karena masih merasa ada sisa urin sehabis kencing (menetes). Bahkan pasien juga
9
mengeluh sering bangun pada malam hari untuk buang air kecil 5 kali setiap malam
dalam 3 atau 2 bulan terakhir, namun pasien tidak mengompol dan skor IPSS 27
Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal, pada status lokalis regio
abdominal terdapat nyeri tekan (+) regio suprapubik, hepar dan lien tidak
teraba,defans muskular tidak ada, tidak teraba masssa, ballotement tidak ada
Pada rectal toucher terdapat tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak
kolaps, mukosa rectum licin, teraba masa, kenyal, permukaan licin, simetris, sulcus
medianus tidak teraba, gloves : feces (-), darah (-), lendir (-).
Pada pemeriksaan laboratorium hemoglobin 12,9 g/dl, hematokrit 37 %,
eritrosit 4,0 juta/ul, leukosit 6240/ul, trombosit 191000/ul, MCV 93 fl, MCH
32pg,MCHC 35 g/dl, waktu protrombin 10,25 detik, APTT 32,95 detik, SGOT 23
u/l,SGPT 19 u/l, ureum 44 mg/dl,kreatinin 1,4mg/dl,GDS 88 mg/dl
Pada pemeriksaan USG abdomen terdapat hasil hipertrophi prostat dengan
estimasi volume +/- 87 cc.
Pemeriksaan Uroflowmeter Volding Time: 106 s Flow Time: 105 s, Time to
Max flow : 52 s, Max Flow Rate: 3,7 ml/s , Average Flow Rate: 2,2 ml/s,Volded
Volume: 241 ml
f.DIAGNOSIS KERJA
LUTS derajat berat et causa BPH
g.
TERAPI
Rawat inap 1 hari sebelum operasi
Foto thorax
Evaluasi jantung
Evaluasi paru
10
Ceftriaxone 1 x 2g IV
Puasa 6 jam pre OP
TURP
h.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
i. FOLLOW UP
Tanggal
02-02-2015
SOAP
S : Pasien mengatakan tidak ada keluhan
O: keadaan baik, kesadaran compos mentis TD: 120/70 mmHg, N:
18x/menit, RR: 20x/menit, Suhu : 37 C.abdomen : datar,lemas,tidak
defans musclar,BU (+). Genital externa : BAK spontan
A: BPH
P : Pro TURP (tanggal 03-02-2015)
Puasa 6 jam pre op, yal 1 x preop, antibiotik ceftriaxone 2 gr dibawa
ke ok
03-02-2015
06-02-2015
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. EMBRIOLOGI
Secara embriologi, prostat yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari unsur
kelenjar, stroma, dan otot polos atau fibromioglandular mulai terbentuk pada kehamilan
minggu ke-12 dengan pengaruh hormone androgen yang berasal dari testis fetus. Sebagian
besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis, tetapi mungkin sebagian dari ductus
ejaculatorius, sebagian verumontanum dan sebagian dari bagian asiner prostat (zona sentral)
berasal dari ductus Wolfii.1,2
12
Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini merupakan
sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular dapat dibagi menjadi
3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2.
Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular, membentuk
bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik zona ini dapat
13
digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan
bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk
baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian
distal.
3.
Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal
sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan
apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya
juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini
membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya
tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4.
Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5 %),
terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder dan
dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar periuretral
bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.
14
Kelenjar prostat yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot polos dan
jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke uretra pars prostatica. Prostat secara tak sempurna
dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior atau isthmus, terletak di depan uretra dan tidak
mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar yang berbentuk baji yang
terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atasnya dibatasi oleh trigonum
vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang uretra
dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga mengandung kelenjar. Lobus lateral dextra dan
sinistra terletak di samping uretra dan dipisahkan satu sama lain oleh alur vertikal dangkal
yang terdapat pada facies posterior prostat. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.3
III.4. FUNGSI PROSTAT
Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang mengandung
asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke cairan semen pada saat ejakulasi.
Otot polos pada stroma dan kapsula berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar
diperas masuk ke uretra pars prostatica. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu
menetralkan keasaman vagina.3
III.5. PENDARAHAN
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan a.
rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula
prostat dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menerima dari v. dorsalis profundus
penis dan banyak v. vesicalis, dan selanjutnya dialirkan ke v. iliaca interna.3
16
dan serat-serat
kurang dari 20 cmH2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih tinggi antara 60100 cmH2O.
Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang, mulailah reseptor
strecht yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan ke sistem saraf
otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem saraf ini menjadi aktif
dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus detrusor). Meningkatnya tonus
detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing. Pada saat tonus detrusor meningkat
maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra pars prostatika membuka, bentuknya berubah
seperti corong dan tekanannya menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan
oleh sphincter eksterna yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah
mendapatkan tempat yang dianggap konvivien untuk miksi barulah sphincter eksterna secara
sadar dan terjadi miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan
intravesikal mencapai 60-120 cmH2O.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan
mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
18
19
McNeal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona peripheral dan
juga berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal dari zona transisional,
biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade).10,11
menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan
gejala klinik. 12
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik. 12
III.11. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate rat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: a) teori
dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, c) interaksi
antara sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan e) teori
stem sel.14
21
22
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.14
d) Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.14
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.14
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormone androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian
sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
factor pertumbuhan TGF-beta berperan dalam proses apoptosis.14
e) Teori stem sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.14
III.12. GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.15
1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma prostatisme.
Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi intravesikal yang
24
lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma prostatisme ini. Oleh karena itu
istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS).
Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa
kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy),
harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus
(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
terjadi inkontinen karena overflow.
Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang
air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit
menahan buang air kecil (urge incontinence).
Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila
terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan
jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu
skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya Skor
International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS) yang diambil
berdasarkan skor American Urological Association (AUA).
Nama :
Tidak
Kira k
GEJALA
Umur :
pernah
1 setiap 5x
1/2nya
dari 1/2
25
PROSTAT
Pekerjaan :
INTERNASI Alamat :
1. Selama satu bulan yang lalu, berapa
ONAL(Isering anda merasa kencing tidak tuntas,
PSS)
artinya masih ada sisa urin dalam
kandung seni setelah selesai kencing?
2. Selama satu bulan yang lalu, berapa
sering anda harus kencing lagi sebelum
2 jam?
3. Selama satu bulan yang lalu, berapa
sering anda mengalami pancaran urin
berhenti kemudian keluar lagi?
4. Selama satu bulan yang lalu, berapa
sering anda merasa sukar menahan
kencing?
5. Selama satu bulan yang lalu, berapa
sering pancaran kencing anda melemah?
6. Selama satu bulan yang lalu, berapa
sering anda harus mengejan untuk
memulai kencing?
tidak
1x
2x
3x
puas
Umum
campur
pernah
7. Selama satu bulan yang lalu, selama
anda tidur malam, berapa kali anda
harus bangun untuk kencing?
Skor Total I-PSS:S=
PENILAIA
1. Jika anda harus menjalani sisa hidup senang
N
nya
KUALITAS
puas
HIDUP
Indeks Penilaian Kualitas Hidup: L=
26
IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala, menentukan cara
penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani
pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap
kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji sehingga
memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan penderita lain.
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor
Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai
derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar skor < 10
(BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan skor >20 (BPH bergejala
berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak
menilai sendiri derajat keluhannya.
Table 2. Skor Madsen-Iversen
Keterangan
Pancaran
Mengejan saat
berkemih
Harus menunggu saat
akan berkemih
BAK terputus-putus
BAK tidak lampias
Inkontinensia
BAK sulit ditunda
BAK malam hari
BAK siang hari
SKOR MADSEN-IVERSEN
0
1
2
BerubahNormal
ubah
Tidak
3
Lemah
4
Menete
s
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
1 kali
>1 kali
retensi
retensi
Tidak
Berubah-
Tidak
ubah
Berat
>4
<1 jam
sekali
Tidak
0-1
>3 jam
Ringan
2
Setiap 2-3
lampias
Ya
Sedang
3-4
Setiap 1-2
sekali
jam sekali
jam sekali
2. Tanda Klinis
Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status urologisnya.
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat juga perlu
diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan
keganasan. Sedangkan jika didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai prostatitis.
28
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah
- Gizi
- Nadi
- Thorax
- Frekuensi napas
- Abdomen
- Suhu
- Extremitas
Ginjal
Status Urologis
Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar
Vesica Urinaria
Genitalia Externa
29
flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal
antara 200-300 ml.14
Penilaian hasil :
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri merupakan
cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius
bagian bawah.14
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang
besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa buli-buli,
misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat diperiksa jumla residual
urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk pemeriksaan prostat yaitu suprapubic
(abdominal), transrektal dan transuretral.14
Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi
merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya dikerjakan secara
selektif.14
4. Pemeriksaan Panendoskopi:
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra.
Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang
obstruktif karena pembesaran prostat.
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada
tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-buli.
III.14. PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar
dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
31
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.14
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi penderita terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan
hernia atau hemoroid. Karena selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
juga dapat menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.14
32
III.15. DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba
kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan
keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).14
33
Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan
untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada
penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga
menderita kanker prostat.14
III.16. DIAGNOSIS BANDING
Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini pula yang
dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:14
1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi
Kelemahan detrusor
bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy diabeticum, sehabis operasi
radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah pelvis, alkoholisme, penggunanan
obat penenang, ganglion blocking agent, dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang
sering dikonsumsi penderita asma kronik).
34
35
Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan
imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura. Gejala khas adalah
pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses, fistel. Gejala lanjut adalah
retensi urin.
Medikamentosa
37
polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi
relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan
mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan
keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique).
Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa
pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik
mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume
prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/ hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4
mg/ hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/ hari.
tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan
prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan
perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi.
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido .
Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/ hari.
pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor
dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1.
38
Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil
dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan populer diberikan di Eropa dan baru-baru
ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis
rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas dan keamanannya.12
Minimal invasive
Meliputi :
1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan
tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini
dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat
perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara
sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan.18
2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang
di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18
3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain12:
a. Hipertermi
Kelenjar prostat dipanasi 41-45 C, dan pemanasannya dikerjakan dengan
menggunakan probe baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan beberapa
kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung kurang lebih satu
jam.
b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)
Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan menggunakan
kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296 MHZ, prostat
dipanaskan 45-60 C, sementara itu secara terus-menerus uretra didinginkan sehingga
mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus menerus. Dengan pemanasan yang
cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi
39
pemanasan dilakukan satu kali. Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum
maupun regional, tetapi peralatannya relatif mahal
c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)
Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat, kemudian
dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120C. Hasil yang pernah dilakukan
menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/ detik. Penelitian multi
senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup banyak untuk dapat diambilk
kesimpulan guna generalisasi.
Pembedahan (operatif)
Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami12:
-
inkontinensia uri
hematuria
retentio uri
1. Prostatektomi tertutup
2. Prostatektomi terbuka
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta
ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)
41
mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu dihilangkan atau diperiksa
sebelum prostat akan diangkat.
III.18. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal.17
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005). 17
III.19 PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita. 17
42
BAB IV
ANALISA KASUS
BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia
sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria
berusia di atas 80 tahun.
Pada kasus ini pasien adalah laki laki dengan usia 73 tahun dengan keluhan buang
air kecil sedikiti - sedikit. Berdasarkan jenis kelamin serta usia pasien menunjukan salah satu
faktor resiko terhadap BPH. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat insidensi BPH pada
laki laki. Salah satunya adalah produksi testosterone pada testis serta beberapa faktor
lainnya yang dicurigai dapat memicu munculnya BPH ini seperti gaya hidup semsasa muda,
faktor lingkungan. Pembesaran prostat ini akan berdampak pada obstruksi pada leher bulibuli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction
(BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli
maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract
symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan
43
tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.
Berdasarkan anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien mengeluhkan buang air
kecil sedikit - sedikit, mulai 4 bulan yang lalu. Saat buang air kecil dirasakan tidak tuntas dan
harus menunggu untuk memulai kencing. Polus atas tidak teraba.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukan adanya kecurigaan telah terjadinya
pembesaran prostat pada pasien yang bersangkutan.
Dari hasil pemeriksaan penunjang yaitu pada USG abdomen didapatkan pembesaran
prostat pada pasien. Oleh karena itu, pasien perlu mendapat tindakan bedah berupa TURP
BAB V
KESIMPULAN
Semakin lanjut usia semakin banyak dijumpai pria yang menderita BPH dengan keluhan
mulai terjadi perubahan dalam berkemih, tidak bisa berkemih, sampai keluhan yang lebih
berat karena komplikasi yang terjadi akibat BPH. Diagnosis didapatkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pendekatan melalui pemeriksaan penunjang yang turut
berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang diberikan. Penentuan terapi yang tepat paling
sering didapatkan dari hasil IPSS yang harus dijawab oleh pasien sebelumnya. Terapi yang
diberikan berupa pemberian obat-obatan berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat
enzim 5a reduktase, dan fitoterapi sampai dengan tindakan invasif seperti prostatektomi
terbuka, TURP, TUIP, TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan ILC yang dipilih sesuai
dengan indikasi dan keadaan umum pasien. Pada gejala yang ringan (skor IPSS <10),
penderita BPH tidak diberikan terapi apapun melainkan hanya menjalankan program
watchful waiting dengan pemantauan IPSS secara berkala untuk menentukan terapi
selanjutnya.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW (eds).
Smiths General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9.
2. Rous SN. Anatomy of The Prostate in Rous SN (ed) Urology, A Core Textbook 2 nd
edition. Blackwell Science 1996: p. 186-8.
3. Snell R. Anatomi Klinik. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Hartanto H, Listiawati
E, Suyono Y, Susilawati, Mahatmi T, Prawira J, et al, Editors. Anatomi Klinik. 6 th ed.
Jakarta: EGC; 2006. p. 350-2.
4. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol
1972;107:1008.
5. Vaalsti A, Herronen A. Autonomic Innervation of The Human Prostate. Invest Urol
198;17: p.293.
6. Lepor H, Gregerman M, Crosby R et al. Precise Localization of The Autonomic
Nerves from The Pelvic Plexus to The Corpora Cavernosa: A Detailed Anatomical
Study of The Adult Male Prostate. J Urol 1985; 133: p. 207-12.
7. Dixon JS, Gosling JA. Macro Anatomy of The Prostate in Kirby R, McConnel JM,
Fitzpatrick J, Rochborn C, Boyle P (eds). Textbook of Benign Prostate Hyperplasia.
ISIS Medical Media Oxford 1996: p. 3-10.
8. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: EGC; 2001. p.
499-502.
9. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar dasar urologi., Edisi ke-2.
Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 85.
45
10. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW (eds).
Smiths General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9.
11. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol
1972;107:1008.
12. Kirby R, Christmas TJ. Benign Prostate Hyperplasia, 2nd ed. Mosby International,
1997: p. 1-6.
13. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik Penderita-Penderita Pembesaran Prostat Jinak di
RS.Sumber Waras dan RSCM. Submitted to MKI.
14. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural
History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbells Urology, edisi ke-7.
Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders
Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52.
15. Ramsey EW Elhilail M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et al.
Practice Patterns of Canadian Urologist in BPH and Prostate Cancer. J Urol 163;
2000. p. 499-502.
16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35.
17. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, dan Penanganan. Jakarta:
1999. p. 42-55.
18. Medicastore. [Internet] Pembesaran Prostat Jinak (BPH,
Hyperplasia).
Available
from:
Benign Prostatic
URL:
http://medicastore.com/penyakit/557/Pembesaran_Prostat_Jinak_BPH_Benign_Prosta
tic_Hyperplasia.html
46