I. PENDAHULUAN
116
117
118
Secara geologis jenis tanah disekitar DTA Danau Toba umumnya peka erosi,
lahan berbukit/ bergunung dengan lereng yang sangat curam, solum tanah sangat
dangkal (dibawah 30 cm) sampai dangkal (antara 30 cm sampai 60 cm). Selain itu
DTA Danau Toba juga mempunyai curah hujan yang cukup tinggi (walaupun hanya
kurang dari 4 bulan dalam setahun). Dengan demikian secara alami DTA Danau Toba
mempunyai tingkat bahaya erosi yang cukup tinggi.
Pada kawasan ini terdapat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah
resapan dan sumber air, pengendali tata air, penstabil struktur tanah dan pencegah
erosi. Saat ini kondisi ekosistem Danau Toba sudah sangat kritis sebagai akibat pola
penggunaan lahan yang kurang mengindahkan prinsip konservasi dan akibat
perambahan kawasan hutan maupun pencurian kayu (illegal logging) oleh oknum
pengusaha kayu.
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan baik berupa penanaman pepohonan/tanaman
keras sudah banyak dilakukan melalui program pemerintah salah satu diantaranya
adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Namun program
ini masih belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan akibat seringnya terjadi
kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba yang ikut memusnahkan tanaman
yang baru ditanam. Faktor lain yang menyebabkan kurang berhasilnya rehabilitasi
hutan dan lahan adalah kondisi alam yang sangat kritis sehingga diperlukan upaya
ekstra untuk perawatan tanaman agar mampu tumbuh dengan kondisi alam yang
relatif kering dan berbatu-batu.
119
1.2. Permasalahan
Pola pemanfaatan lahan di DTA Danau Toba pada dasarnya belum optimal,
pada lahan dengan kelerengan diatas 40 % masih ditanami dengan palawija tanpa
diikuti dengan teknik konservasi tanah yang memadai. Disamping itu masih sering
ditemui pembukaan lahan dengan cara membakar karena memang sangat mudah
dilaksanakan tapi tidak baik bagi kesuburan tanah. Pembukaan lahan dengan
melakukan pencincangan terhadap semak belukar untuk kemudian dikuburkan/
ditimbun di dalam tanah agar membusuk menjadi kompos alami sudah sangat jarang
dilakukan.
Pembakaran lahan juga dilakukan dengan sengaja untuk penggembalaan ternak;
dan seringkali menyebabkan kebakaran menjadi tidak terkendali sehingga merembes
ke kawasan yang berhutan dan menimbulkan kebakaran lahan dan hutan yang sangat
besar. Praktek seperti ini merupakan salah satu penyebab terjadinya penggunaan
lahan yang berlebihan terutama di bagian hulu, sehingga tidak sesuai dengan
kemampuan lahan.
Pada dasarnya tingkat kepadatan penduduk di DTA Danau Toba tidaklah
terlalu besar dengan rata-rata 221 jiwa tiap kilometer persegi (BPS, 2008) namun
kurangnya pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat merupakan penyebab
pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya. Akibat dari kesemuanya itu adalah
rusaknya tata air dimana fluktuasi air sungai menjadi besar, laju erosi dan sedimentasi
semakin tinggi, dan semakin meluasnya lahan kritis. Hal ini tampak dari meluapnya
sungai-sungai di Pulau Samosir saat musim hujan, dan keringnya sungai-sungai di
pulau tersebut saat musim kemarau. Adapun sungai-sungai di daratan Sumatera
120
Utara yang mangarah ke Danau Toba kondisinya hampir sama dimana pada musim
kemarau air sungai menjadi sangat sedikit/kecil.
Pada musim kemarau terjadi kekurangan air yang sangat parah seperti di
wilayah dataran tinggi Pulau Samosir; untuk sekedar kebutuhan air minum saja
masyarakat harus turun gunung untuk mengambil air dari danau karena persediaan/
sumber mata air di daratan sudah kering. Karena hal itu maka lazim dijumpai
masyarakat tidak mandi berhari-hari pada saat-saat musim kemarau, dan banyak
ternak besar seperti kerbau atau sapi yang mati tergelincir karena berusaha mencari
air minum ke daerah-daerah cerukan air/lembah yang sangat sulit dijangkau. Disisi
lain tanaman semusim pun umumnya sering layu kekeringan yang menyebabkan
merosotnya pendapatan masyarakat (dikenal sebagai musim paceklik) akibat gagal
panen.
Sebaliknya pada musim hujan umumnya curah hujan cukup besar dan seringkali
terjadi tanah longsor karena penutupan lahan (hutan) sangat sedikit ditambah dengan
topografi yang sangat curam, sehingga limpasan air permukaan sangat besar.
Disamping itu erosi dan sedimentasi yang sangat besar dapat menyebabkan
pendangkalan pinggiran pantai Danau Toba disatu pihak dan di pihak lain erosi juga
akan menyebabkan lahan-lahan menjadi menurun kesuburannya akibat terkikisnya
lapisan top soil yang relatif subur.
Dalam era otonomi daerah seperti sekarang, banyak ditemui (menginginkan)
kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan seperti pemukiman, perkebunan,
pertanian, sarana prasarana pemerintah sebagai akibat pemekaran wilayah
pemerintahan. Sebelum diterapkannya otonomi daerah, wilayah administrasi
121
pemerintahan yang ada di DTA Danau Toba hanya 4 kabupaten yaitu Tapanuli Utara,
Dairi, Karo dan Simalungun. Saat ini wilayah administrasi pemerintahan sudah
bertambah
Samosir, Samosir dan Humbang Hasundutan. Hampir seluruh kabupaten berlombalomba untuk menarik investor ke daerahnya untuk membuka pembangunan baru
dengan kebutuhan lahan yang tidak sedikit jumlahnya dan pada umunya kawasan
hutanlah yang menjadi sasarannya.
Disamping itu penempatan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp
Lestari (PT. TPL) di DTA Danau Toba oleh Departemen Kehutanan merupakan
kebijakan yang kurang pas karena HTI tersebut melakukan penebangan hutan yang
berada di hulu DAS yang seharusnya dipertahankan sebagai tegakan hutan untuk
memberikan fungsi hidrologis yang optimal bagi DTA Danau Toba. Kebijakan ini
menjadi kontraproduktif bagi upaya-upaya pelestarian DTA Danau Toba.
Pada tahun 2008 sampai 2009, masih ditemukan adanya penebangan hutan alam
oleh kontraktor yang disuruh oleh PT. Toba Pulp Lestari untuk melakukan land
clearing untuk diganti dengan tanaman Eucalyptus sebagai bahan baku industri
mereka. Hutan alam tersebut umumnya didominasi oleh jenis kemenyan (Styrax
benzoin) yang merupakan mata pencaharian bagi masyarakat disekitar kawasan hutan
untuk menyadap getah kemenyan dan menjualnya dengan harga yang relatif tinggi.
Akibatnya masyarakat dari Kabupaten Humbang Hasundutan beberapa kali
melakukan demonstrasi agar penebangan hutan alam dihentikan.
Program pembangunan pada ke tujuh kabupaten ini juga belum selaras dan
bersinergi dimana masing-masing pemerintah kabupaten mempunyai agenda
122
tersendiri sesuai dengan visi dan misi masing-masing bupati, sehingga pengelolaan
DTA danau Toba kurang berjalan dengan baik. Peran koordinasi yang dipunyai oleh
Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem DTA Danau Toba (BKPEDT) dirasakan
tidak cukup untu memaksa ketujuh kabupaten tersebut agar mengikuti program
bersama dalam pengelolaan DTA Danau Toba, sehingga diperlukan suatu lembaga
khusus yang menangani pengelolaan DTA danau Toba dengan kewenangan/legislasi
yang lebih tinggi.
Pada tahun 2009 pemerintah pusat telah menetapkan DTA Danau Toba sebagai
Kawasan Strategis Nasional. Untuk itu program pembangunan di DTA Danau Toba
harus mengikuti Tata Ruang yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat,
sehingga diperlukan suatu kajian yang ilmiah terhadap pola penggunaan lahan yang
optimal yang bisa menjaga fungsi hidrologis secara seimbang. Hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi rujukan bagi pengambil keputusan untuk menetapkan pola
penggunaan lahan di DTA Danau Toba.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penurunan fungsi DTA Danau Toba yang
akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Penggunaan lahan/sistem usaha tani harus menjamin fungsi hidrologis DTA
Danau Toba.
2. Penggunaan lahan/sistem usaha tani masih mengakibatkan erosi yang lebih besar
dari erosi yang dapat ditoleransikan.
3. Tidak adanya lembaga khusus yang menagani pengelolaan DTA Danau Toba
123
1.3.
Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya untuk melaksanakan penelitian secara benar sesuai dengan tujuan
penelitian itu sendiri diperlukan kerangka berpikir yang tepat. Dalam penelitian ini
secara garis besar kerangka berpikir yang diajukan sesuai identifikasi masalah yang
telah dijelaskan. Identifikasi masalah dimaksudkan untuk membantu mengenal dan
memahami masalah yang akan dirumuskan dan langkah pemecahannya.
Seperti telah dijelaskan, kondisi DTA Danau Toba saat ini telah mengalami
kerusakan yang cukup serius, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan yang
berkelanjutan. Langkah pertama adalah pengkajian dari segi penggunaan lahan pada
saat ini apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah kedua
adalah mengkaji indikator keluaran DAS yang meliputi jumlah air (water yield),
waktu penyediaan air (water regime) dan Sedimen (Singh, 1977) dimana ketiga aspek
tersebut akan memberikan gambaran kualitas DAS.
Selanjutnya adalah pengkajian dari kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
tinggal dilokasi ini. Hasil kajian ini akan menentukan penggunaan lahan yang
optimal. Tahap akhir adalah kajian kelembagaan yang sesuai untuk pengelolaan DTA
Danau Toba (Gambar 1).
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Mengkaji kombinasi penggunaan lahan yang menghasilkan kondisi hidrologis
yang stabil, laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang
masih dapat ditoleransikan, serta sedimentasi yang rendah.
2 Mengkaji kebijakan pengelolaan DTA Danau Toba.
124
MASUKAN EKSOGENUS
(Unsur-unsur Geomorfologi)
MASUKAN YANG
TIDAK DAPAT
DIKONTROL
(Unsur-unsur Iklim)
Subsistem
Hidrologi
Hasil
Air/fluktuasi
debit yang
stabil.
Subsistem
Erosi &
Sedeimentasi
Erosi lebih
kecil dari Etol
Indikator
pengelolaan yang
berkelanjutan
Produktivitas
Lahan tinggi
Subsistem
Sosek
PARAMETER
SISTEM
PENGELOLAAN SISTEM
(Usaha konversasi tanah dan air
Serta intensivikasi usaha tani)
KELEMBAGAAN
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
1.5. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Terdapat kombinasi
penggunaan
lahan optimal
yang
menjamin