Anda di halaman 1dari 19

Konsep kematian dan reaksi kedukaan pada remaja

yang kehilangan orang tua akibat gempa


di Yogyakarta pada tahun 2006
Oleh: Sulistiana Noviani
Pembimbing Skripsi: dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D dan
Dewa Fajar Bintamur, S.Psi., M.Si

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan melihat gambaran konsep kematian dan reaski
kedukaan pada remaja yang kehilangan orang tua akibat gempa di
Yogyakarta pada tahun 2006. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan melibatkan tiga orang remaja siswa/i SMPN 2 Pundong,
Bantul, Yogyakarta. Teknik penelitian yang digunakan adalah wawancara
dan observasi, ditambah pengisian kuesioner Ceritaku tentang gempa
dan diskusi kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian
dipahami secara matang. Mereka memahami kematian secara emosional,
religius, kultural, dan konseptual (7 komponen konsep kematian, yaitu
irreversibility, universality, inevitability, non-functional/cessation, causality,
personal mortality, dan unpredictability). Namun, reaksi kedukaan yang
dimiliki ketiga subjek berbeda satu sama lain. Mereka juga belum
menyelesaikan

proses

kedukaannya.

Perbedaan

dan

belum

terselesaikannya proses kedukaan yang dialami oleh mereka mungkin


disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pengaruh karakteristik individu,
pengalaman yang berkaitan dengan kematian itu sendiri, keluarga,
kebudayaan dan agama, lingkungan, atau pengalaman yang berkaitan
dengan kematian itu sendiri.

Universitas Indonesia

Latar Belakang Masalah


Bencana besar melanda sejumlah wilayah di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Beberapa bencana yang terjadi antara lain, tanah
longsor di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung; gempa
dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara
(Sumut); gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya; lumpur panas di
Sidoarjo, Jawa Timur; banjir bandang di Sinjai, Sulawesi Selatan; gempa
dan tsunami di pesisir selatan Pulau Jawa, serta ancaman meletusnya
Gunung Merapi di Jawa tengah dan DIY.
Peristiwa bencana alam mengakibatkan keseimbangan kondisi
psikologis seseorang terganggu. Reza (dalam Nurrachman, 2007. hal. 4)
menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mengakibatkan terjadinya
gangguan tersebut. Pertama, peristiwa bencana itu sendiri yang
menakutkan dan mengancam keselamatan jiwa, misalnya gempa bumi
dan tsunami di Aceh. Kedua, wafatnya orang-orang yang disayangi dan
hilangnya harta benda yang dimiliki. Ketiga, kehilangan mata pencaharian
dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidup. Terganggunya fungsi
psikologis tersebut dapat memunculkan gejala seperti shock, mimpi buruk,
sulit berkonsentrasi, cemas, merasa tidak aman, kesedihan yang
mendalam, merasa hampa, menutup diri, merasa tidak berdaya, bahkan
dapat menyalahkan berbagai pihak atas bencana yang terjadi. Contohnya
terjadi pada Yohana, 13 tahun (Nurrahman, 2007. hal. 27):
Sebut saja Yohana, 13 tahun, bukan nama sebenarnya,
bencana alam yang terjadi di daerahnya menyebabkan ia
kehilangan ayah, ibu, dan kakaknya yang sangat
dicintainya. Awalnya, ia merasa seperti kiamat. Ia merasa
sangat bersalah karena dirinya hidup sedangkan anggota
keluarga lainnya tewas. Reaksi awal yang dialaminya
adalah sulit tidur, sedih yang mendalam, dan menarik diri
dari berbagai kegiatan.
(Nurrahman, 2009. hal.27)
Berdasarkan ilustrasi kasus, Yohana memunculkan gangguan
psikologis dengan gejala yaitu, menyalahkan dirinya sendiri, sulit tidur,
sedih yang mendalam, dan menarik diri. Gejala tersebut diakibatkan oleh

Universitas Indonesia

adanya dua peristiwa mendadak yang terjadi pada dirinya, yaitu terjadinya
bencana dan kematian keluarga.
Reaksi kedukaan yang muncul akibat kematian, seperti shock,
marah, guilt, menarik diri, sedih, atau bahkan tindakan bunuh diri dapat
disebabkan oleh ketidakmatangan dalam memahami dan menangani
kematian, faktor budaya, dan kurangnya pengalaman pada remaja
(Wadsworth, 1984). Pada budaya Jawa misalnya, orang dewasa akan
melarang anak untuk mempercakapkan apa arti kematian. Selain itu,
orang dewasa tidak akan memberikan penjelasan tentang apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi kehilangan akibat kematian (Sugianto &
Chandra, dalam hasil diskusi dengan korban gempa, 8 dan 27 Juni 2006).
Padahal banyak penelitian mengungkapkan bahwa proses penyelesaian
kedukaan dapat diusahakan dengan memberi informasi secara terbuka
hal-hal yang berkaitan dengan kematian (Raveis, Siegel, & Karus, 1999).
Berdasarkan penelusuran, penelitian tentang konsep kematian
pada remaja di Indonesia belum pernah dilakukan. Penelitian seringkali
dilakukan pada subjek dengan usia perkembangan anak (e.g Halim, 2001;
Anita, 2006). Sedangkan penelitian tentang kedukaan pada remaja
dilakukan pada subjek yang kehilangan teman dekat (e.g. Pohan, 2000;
Lukita, 2006) dan remaja Aceh (Noviani, 2006). Penelitian yang terbatas
tersebut menjadi latar belakang perlunya melakukan penelitian tentang
konsep kematian dan reaksi kedukaan yang terjadi pada remaja yang
kehilangan orangtua akibat gempa di Yogyakarta pada tahun 2006.
Remaja mungkin saja memiliki konsep kematian dan reaksi kedukaan
yang

berbeda

dibandingkan

dengan

penelitian

yang

dilakukan

sebelumnya, yaitu penelitian Anita (2006); Halim (2001); Lukita (2006);


Noviani (2006); Pohan (2000).
Tinjauan Teoritis
Slaughter (2003) menyimpulkan tujuh komponen konsep kematian,
yaitu :

Universitas Indonesia

1.

Irreversibility/finality, pemahaman bahwa makhluk yang telah mati


tidak dapat hidup kembali. Pemahaman ini juga dapat mendefinisikan
kematian sebagai akhir, tidak dapat dibatalkan, dan menetap.

2.

Universality/applicability, pemahaman bahwa semua makhluk yang


hidup atau pernah hidup dapat menghadapi kematian.

3.

Inevitability, pemahaman bahwa kematian pasti dihadapi oleh


makhluk hidup, tidak ada kemungkinan untuk menolak kematian.

4.

Non-fuctional/cessation,

pemahaman

bahwa

kematian

menghentikan fungsi tubuh dan mental.


5.

Causality,

pemahaman

bahwa

penyebab

kematian

pasti

merupakan berhentinya fungsi tubuh dan mental (alasan objektif).


6.

Personal

mortality,

pemahaman

bahwa

diri

sendiri

dapat

tidak

dapat

menghadapi kematian.
7.

Unpredictability,

pemahaman

bahwa

kematian

diprediksi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morin dan Weish (1996)
dijelaskan bahwa konsep kematian pada tiap orang berbeda satu sama
lain. Pembentukan konsep tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu :
1.

Family and cultural background, keluarga dan latar belakang


kebudayaan memengaruhi pembentukan konsep kematian. Keluarga
menjadi model bagi seseorang dalam pembentukan konsep, terutama
konsep kematian. Konsep kematian yang ada pada keluarga juga
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut setiap keluarga. Yuwono,
seorang dosen pengajar kebudayaan Jawa di Fakultas Ilmu budaya
Universitas Indonesia (dalam wawancara personal, 10 April 2009)
mengatakan bahwa hidup bagi orang Jawa merupakan suatu hal yang
telah ditakdirkan oleh Tuhan YME. Kematian bukan berarti akhir dari
kehidupan, tetapi menjadi awal kehidupan menuju kehidupan kekal di
akhirat (Subagya, 2005)

2.

Kematangan kognisi dan life experiences. Seperti yang telah


dijelaskan oleh Nagy (dalam Aiken, 1994) bahwa kematangan kognisi

Universitas Indonesia

yang berbeda pada setiap tahapan perkembangan memengaruhi


pembentukkan konsep kematian. Sejalan dengan perbedaan dalam
kematangan kognisi, Dunton (Morin & Weish, 1996) menyebutkan
bahwa perbedaan pengalaman hidup memberikan kontribusi yang
berbeda dalam mengkonseptualisasikan kematian. Contohnya saja
ketika seorang mengalami peristiwa kematian seseorang akibat
penyakit menahun. Seseorang tersebut mungkin saja memahami
bahwa kematian dapat terjadi akibat penyakit.
3.

Environment. Persepsi dan pengalaman yang berbeda mengenai


kematian dapat diakibatkan oleh lingkungan (Aiken, 1994). Lingkungan
tersebut dapat berupa agama, ras, dan status sosial ekonomi. Pada
status ekonomi dan ras, Tallmer, Formanek, dan Tallmer (dalam Morin
& Weish, 1996) menyebutkan adanya perbedaan konsep kematian
pada lingkungan dengan kelas ekonomi bawah dan atas. Lingkungan
dengan kelas ekonomi bawah lebih memahami konsep kematian
dibandingkan dengan lingkungan kelas ekonomi menengah ke atas.
Kedukaan

adalah

keadaan

mental

yang

menderita

dan

menyedihkan. Kematian menimbulkan rasa kehilangan atau bereavement.


Aiken (1994) menyebutkan dalam kehilangan itu sendiri terjadi kedukaan
(grieving) dan berkabung (mourning). Namun demikian, kedukaan tidak
selalu dialami atau dirasakan oleh tiap orang yang mengalami kehilangan.
Berkabung memiliki pengertian yang sama seperti kedukaan ekspresi
atau penjelasan perasaan sedih akibat kehilangan, tetapi berkabung lebih
menunjukkan pola kebudayaan, seperti ritual pemakaman. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa kedukaan adalah ekspresi emosi dalam
penyesuaian diri saat kehilangan. Penyesuaian diri tersebut dapat
menimbulkan perubahan secara struktural, emosional, kognitif, sosial, dan
spiritual. Batasan inilah yang digunakan dalam penelitian ini.
Kalish (dalam Turner & Helms, 1995) melakukan kategorisasi
terhadap ekspresi kedukaan, yaitu :
1.

Physical Expression, ekspresi yang ditampilkan berupa ekspresi


fisik, seperti perasaan nyeri pada perut, sensitif pada pendengaran,

Universitas Indonesia

perasaan mati rasa atau depersonalisasi (tidak merasa adanya tubuh


yang nyata), mulut kering, sesak nafas, lemah pada otot-otot tubuh,
lemah, pusing, dan sebagainya, termasuk menangis.
2.

Cognitive
bingung,

Expression,

kehilangan

ekspresi

kepercayaan,

yang

ditampilkan

membuat

bayangan

seperti
yang

mengada-ngada, dan sebagainya.


3.

Affective Expression, ekspresi yang ditimbulkan berupa


ekspresi emosi seperti sedih, bersalah, marah, berduka, dan
sebagainya.

4.

Behavioral Expression, ekspresi ditunjukkan melalui tingkah


laku sehari-hari seperti tidak mau makan, tidak mau tidur, dan
sebagainya
Silverman (dalam Turner & Helms, 1995) menyebutkan ada tiga

fase kedukaan. Fase ini menjelaskan tahapan yang terjadi pada


seseorang yang mengalami peristiwa kematian. Tiga fase tersebut, yaitu :
1.

The Impact
Fase awal setelah mengalami peristiwa kehilangan. Seseorang pada
tahap ini berusaha dengan tegar menerima kehilangannya. Namun
terjadi kelumpuhan emosi atau ketidakpercayaan dalam diri orang
yang kehilangan (Psychological numbness). Seseorang tidak percaya
bahwa terjadi peristiwa kematian pada significant others-nya. Hal
tersebut menimbulkan penolakan terhadap peristiwa kematian yang
terjadi.

2.

The Recoil
Pada fase kedua ini, seseorang yang mengalami peristiwa kematian
mulai merasakan kehilangan orang yang meninggal. Perasaan
kehilangan itu dirasakan dengan mengingat-ingat kembali pengalaman
bersama orang yang meninggal. Perasaan kehilangan tersebut juga
terkadang

membuat

hilangnya

selera

makan,

kesulitan

tidur,

kemarahan, keinginan untuk tidur atau makan terus menerus, dan lain
sebagainya.
3.

The Accomodation

Universitas Indonesia

Fase terakhir adalah fase dimana seseorang telah menemukan


cara baru dalam menjalani kehidupan tanpa orang yang telah meninggal.
Pada fase ini, seseorang tidak berarti sembuh dari perasaan sedih akibat
kematian, tetapi seseorang telah memiliki pemahaman bahwa banyak hal
yang dapat dia lakukan untuk kehidupan dirinya sendiri.
Keith Hafer (dalam Turner & Helms, 1987) menyebutkan lima belas
fase kedukaan secara lebih rinci berdasarkan ekspresi emosi yang dialami
oleh orang yang mengalami peristiwa kehilangan akibat kematian. Fase
tersebut dapat terjadi secara acak dan relatif muncul pada seseorang
yang berduka, tergantung pada karakteristik individu dan faktor yang
berhubungan dengan kehilangan. Fase-fase tersebut adalah sebagai
berikut :
1.

Denial of loss

2.

Realization of loss

3.

Feeling of abandonment, alarm, and anxiety

4.

Despair,

crying,

physical

numbness,

mental

confussion,

indecisiveness
5.

Restlessness, insomnia, loss of appetite, loss of self control,


wandering mind.

6.

Pining (Psychological pain and agony of grieving) and search for


some token remembrance of the lost love object

7.

Anger

8.

Guilt

9.

Feeling of lost of self / Total emptiness

10.

Losing

11.

Identification with ones lost by assuming his/her traits, attitudes, or


mannerism

12.

Profound depression

13.

Pathological aspect

14.

Voluntary return to society

15.

The diminishment of grieving symptom and the beginning of full


recovery

Universitas Indonesia

Kelima belas fase dari Keith Hafer pada dasarnya sama saja
dengan tiga fase kedukaan dari Silverman (the impact, the recoil, dan the
accomodation). Fase tersebut bukan merupakan fase yang pasti dilewati
oleh seseorang yang mengalami peristiwa kematian, tetapi lebih
merupakan simptom-simptom atau reaksi yang terjadi pada seseorang
yang mengalami peristiwa kematian. Simptom atau reaksi tersebut dapat
terjadi ataupun tidak terjadi, tergantung pada faktor-faktor kedukaan yang
dimiliki orang yang mengalami kedukaan.
Raveis, Siegel, dan Karus (1999) menjelaskan ada tiga faktor yang
memengaruhi kedukaan, yaitu:
1.

Karakteristik yang membelakangi individu. Karakteristik


tersebut terdiri dari ciri-ciri yang dimiliki oleh setiap individu, seperti
jenis kelamin, usia, kepribadian individu, kematangan kognisi, dan
sebagainya.

2.

Berbagai faktor yang berhubungan dengan pengalaman


kematiannya. Pada faktor ini, kedukaan yang terjadi bergantung pada
siapa, apa, kapan kehilangan tersebut terjadi, serta bagaimana
kematian tersebut terjadi (Aiken, 1994).

3.

Faktor terakhir adalah lingkungan. Lingkungan berhubungan


dengan

keluarga,

kebudayaan,

agama,

ras,

status

ekonomi,

pendidikan, dan berbagai konteks eksternal yang dimiliki oleh individu.


Metode Penelitian
Pendekatan

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

pendekatan kualitatif. Karakteristik subjek yang akan dilibatkan dalam


penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Berada pada tahap usia perkembangan remaja.
2. Berada di Yogyakarta saat terjadi gempa pada tanggal 27 Mei 2006
3. Mengalami peristiwa kematian salah satu orang tua, baik itu ayah
ataupun ibu, akibat gempa di Yogyakarta pada tahun 2006
Subjek dipilih dengan cara accidental sampling. Dengan demikian
tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel. Metode penelitian kualitatif yang

Universitas Indonesia

digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah wawancara dan


observasi secara individual. Namun, sebelum dilakukan wawancara,
peneliti melakukan pengisian kuesioner terbuka yang berjudul Ceritaku
tentang gempa dan diskusi kelompok.
Penelitian ini adalah bagian dari payung penelitian tentang konsep
kematian dan coping pada anak dan remaja. Hal tersebut menyebabkan,
hampir sebagian prosedur penelitian dilakukan bersama dengan tim
payung, mulai dari tahap persiapan hingga pengambilan data. Namun,
pada saat pengolahan dan analisis data dilakukan sendiri oleh peneliti.
Pengambilan data dapat dilihat dalam tabel.1 Tahapan Pengambilan Data
Tabel 1. Tahapan Pengambilan Data
Pertemua
n ke-

Kegiatan

Pertama

Rapport

Kedua

Sesi grup 1

Ketiga

Sesi grup 2

Keempat

Sesi diskusi

Kelima

Wawancara
secara
personal

Keenam

Penutupan

Penjelasan
Menjalin rapport dengan subjek penelitian melalui
permainan. Permainan tersebut terdiri dari
permainan pengenalan identitas diri dan
permainan kreativitas membangun Rumah tahan
gempa dengan menggunakan sedotan.
Subjek penelitian dalam kelompok menceritakan
kronologis tentang peristiwa gempa Yogyakarta
pada tahun 2006 secara tertulis dengan mengisi
lembar Ceritaku tentang gempa.
Subjek penelitian dalam kelompok menceritakan
tentang pengalaman kehilangan akibat gempa
secara tertulis dengan mengisi Ceritaku tentang
gempa.
Subjek penelitian dalam kelompok melakukan
diskusi tentang kematian, baik tentang konsep
kematian dan perasaan-perasaan mengenai
kematian.
3 dari 27 orang subjek penelitian diwawancara
secara personal tentang konsep kematian dan
pengalaman berkaitan dengan gempa dan
kehilangan.
Peneliti melakukan penutupan dengan
memberikan pemahaman tentang kematian dan
dukungan kepada 27 orang subjek penelitian.
Dukungan diberikan secara materi, yaitu
memberikan perlengkapan sekolah.

Hasil Penelitian

Universitas Indonesia

Setiap subjek penelitian memiliki pemahaman tersendiri mengenai


kematian. Mereka memandang kematian tidak hanya secara konseptual
(biologis), tetapi juga secara emosional, kebudayaan, dan agama.
Pemahaman yang dimiliki ketiga subjek yang berbeda dari komponen
konsep kematian Slaughter (2003) terjadi pada komponen konsep
kematian causality. Pada komponen konsep causality, ketiga subjek
memahami bahwa penyebab kematian adalah takdir Tuhan YME, bukan
menjadi alasan yang objektif. Ketiga subjek juga meyakini adanya alam
kehidupan setelah kematian, yaitu kehidupan akhirat. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 2. Gambaran konsep kematian ketiga subjek penelitian
Komponen
konsep kematian

NV

AD

TR

Meninggalkan dalam
artian tidak dapat
kembali untuk
selamanya
Semua makhluk
hidup yang bisa
bernafas,
berkembang biak
bisa meninggal

Seseorang yang telah


meninggal tidak dapat
kembali karena
alamnya telah berbeda

Seseorang yang
telah meninggal
tidak dapat
kembali ke dunia

Semua makhluk hidup


dapat meninggal

Semua makhluk
hidup dapat
meninggal

Personal mortality

NV bisa meninggal

AD bisa meninggal

Inevitability

semua makhluk
ciptaan Tuhan YME,
termasuk setan pasti
meninggal

semua makhluk
ciptaan Tuhan YME
akan kembali ke Tuhan
YME

Non-functional
/cessation

Tidak dapat
melakukan aktivitas
apapun

Dapat bertawakal dan


menunggu

Irreversibility

Universality

Unpredictability
Causality

Hanya prediksi
Tuhan YME yang
dapat mengetahui
kapan seseorang
meninggal
Kematian merupakan
takdir Tuhan YME

Manusia tidak dapat


mengetahui kematian,
semua kuasa Yang Di
Atas
Kematian dapat terjadi
akibat takdir Tuhan

TR bisa
meninggal
Semua makhluk
hidup pasti akan
menghadapi
kematian
Membagi dua,
tubuh yang tidak
dapat melakukan
aktivitas dan Roh
yang dapat
melakukan
aktivitas
Seseorang tidak
dapat
memprediksi
kematian, hanya
Tuhan YME
Takdir Tuhan
YME

Universitas Indonesia

dengan cara apapun

YME

Pada reaksi kedukaan, ketiga subjek menampilkan reaksi yang


berbeda. Pada subjek NV, reaksi kedukaan yang terjadi diekspresikan
secara afektif, behavioral, dan fisik. Pada subjek AD, reaksi kedukaan
diekspresikan secara kognitif, afektif, dan behavioral. Pada subjek TR,
reaksi kedukaan diekspresikan secara afektif dan fisik.
NV menampilkan ekspresi kedukaan secara afeksi, yaitu sedih dan
perasaan kehilangan, secara behavioral, yaitu tidak mengikuti ritual
pemakaman ibu dan adiknya, dan secara fisik, yaitu menangis. Pada AD
ekspresi kedukaan terjadi secara kognitif, yaitu membuat bayangan
tentang kepulangan ibu pada sore hari, secara afektif, yaitu perasaan
sedih dan kaget, dan secara behavioral, yaitu pergi ke sawah atau pasar.
Pada TR, ekspresi kedukaan terjadi secara afektif, yaitu sedih dan
bersalah, juga terjadi secara fisik, yaitu menangis.
Perbedaan juga terjadi pada fase kedukaan menurut Keith Hafer.
Ketiga subjek tidak memiliki kesamaan dalam menampilkan fase
kedukaan. Pada NV dan AD, fase denial terjadi. Sedangkan pada TR,
kematian ayahnya langsung disadari sehingga tidak terjadi penolakan
dalam dirinya (fase realization of loss). Ketiga subjek menampilkan fase
kedukaan losing. Ketiga subjek merasakan kehilangan orang tua mereka
akibat gempa. Pada subjek AD dan TR, fase guilt terjadi. Berbeda dengan
NV yang tidak merasakan perasaan bersalah pada dirinya akibat
kematian ibu dan adiknya. Hal yang berbeda juga terjadi pada AD. AD
tidak menampilkan fase crying seperti yang ditampilkan oleh NV dan TR.
Identifikasi peran orang tua yang meninggal hanya terjadi pada NV. AD
dan TR tidak mengidentifikasi peran orang tuanya pada diri mereka.
Perbedaan yang terjadi pada ketiga subjek tidak diikuti dengan
perbedaan pada fase menurut Silverman yang dilalui ketiga subjek. Ketiga
subjek sama-sama melalui fase the impact dan the recoil (fase kedua
kedukaan menurut Silverman (dalam Turner & Helms, 1995)). Mereka
juga belum memasuki fase terakhir dari kedukaan, yaitu fase the
accomodation. Perbedaan dan kesamaan yang terjadi dapat diakibatkan

Universitas Indonesia

oleh faktor-faktor yang memengaruhi kedukaan, yaitu karakteristik


individu,

pengalaman

yang

berhubungan

dengan

kematian,

dan

lingkungan (Raveis, Siegel, & Karus, 1999). (lihat tabel 4.3. Gambaran
reaksi kedukaan pada ketiga subjek penelitian.

Universitas Indonesia

Bagan 1. Gambaran reaksi kedukaan pada ketiga subjek penelitian


Kematian orang tua akibat
gempa bumi Yogyakarta pada
tahun 2006

Keterangan :
(A) ekspresi secara afektif
(F) ekspresi secara fisik
( - ) fase kedukaan belum terjadi

(B) ekspresi secara behavioral


(C) ekspresi secara kognitif

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Diskusi
Ketiga subjek melihat langsung kematian secara masal. Mereka
mengalami tragedi terbesar dalam kehidupan mereka. Pengalaman
melihat kematian secara masal mungkin saja memengaruhi mereka
memahami kematian dan bereaksi terhadap kematian. Dari hasil
penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa ketiga subjek telah memahami
konsep kematian secara matang. Ketiga subjek memahami konsep
kematian tidak hanya secara biologis, tetapi juga dipahami secara religius
dan spiritual seperti orang dewasa.
Pada komponen konsep causality, ketiga subjek menganggap
bahwa penyebab kematian adalah takdir Tuhan YME. Mereka memahami
kematian secara religius. Pemahaman komponen konsep causality yang
bersifat religius tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor cultural
background yang ditanamkan di keluarga dan lingkungan. Cultural
background tersebut dapat berupa pengaruh budaya Jawa dan pengaruh
agama Islam. Dalam budaya Jawa, kematian adalah salah satu siklus
kehidupan yang harus dijalankan secara ikhlas.

Yuwono (dalam

wawancara personal, 10 April 2009) menambahkan bahwa hidup bagi


orang Jawa merupakan suatu hal yang telah ditakdirkan oleh Tuhan YME.
Pengaruh
kemungkinan

life

experience

pengaruh

dan

pemahaman

lingkungan
komponen

yang

konsep

menjadi
kematian

personal mortality, unpredictability dan causality dari ketiga subjek.


Dunton

(Morin

pengalaman

& Weish, 1996) menyebutkan

hidup

memberikan

kontribusi

bahwa

yang

perbedaan

berbeda

dalam

mengkonseptualisasikan kematian.
Kematian yang terjadi akibat gempa di wilayah Yogyakarta pada
tahun 2006 memengaruhi tidak hanya konsep kematian pada ketiga
subjek, tetapi mungkin memengaruhi reaksi kedukaan yang terjadi.
Pemahaman yang telah matang nantinya

juga akan memengaruhi

seseorang dalam menjalani proses kedukaan. Walaupun telah memasuki


tahun kedua setelah kematian orangtua subjek akibat gempa, mereka
belum mampu menyelesaikan proses kedukaannya. Proses kedukaan

Universitas Indonesia

yang belum terselesaikan mungkin saja terjadi akibat ketiga subjek


mengalami kehilangan peran orangtua.
Peran orangtua yang dapat dipercaya, yang akan membagi
pengalaman dan masalah-masalah perkembangan mereka, dan yang
dapat mengajarkan kemampuan sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang
dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat sangat dibutuhkan oleh
setiap anak (Knox dalam Turner & Helms, 1995). Ketiga subjek
mengalami kematian salah satu orangtua mereka secara mendadak, yaitu
karena gempa. Oleh sebab itu, kematian orangtua yang mendadak saat
gempa, menimbulkan permasalahan, terutama dalam proses kedukaan
mereka. Inilah yang menyebabkan ketiga subjek belum menyelesaikan
proses kedukaannya dengan sehat.
Perbedaan karakteristik dari tiap subjek menyebabkan adanya
perbedaan dalam mengekspresikan reaksi kedukaannya. Dalam budaya
Jawa, ada larangan bagi laki-laki untuk menangisi kepergian orang yang
telah meninggal. Pada subjek AD, larangan untuk menangis tersebut
terjadi. AD dilarang untuk mengekspresikan tangisan saat pemakaman
ibunya sampai saat wawancara dilakukan. Berbeda dari kedua subjek
lainnya, NV dan TR yang mengekspresikan kedukaan mereka dengan
tangisan. Cara kematian yang disadari oleh ketiga subjek mungkin juga
memengaruhi reaksi kedukaan yang terjadi. Pada subjek NV dan AD,
mereka menyadari bahwa orangtuanya berusaha menyelamatkan diri dari
reruntuhan gempa, sedangkan pada subjek TR, dia menyadari bahwa
ayahnya tidak dapat menyelamatkan diri dari gempa karena masih dalam
keadaan tertidur. Hal inilah yang mungkin menyebabkan subjek TR lebih
tenang dalam menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti, berbeda
dengan subjek NV yang selalu menangis dan mata dari AD yang terlihat
berkaca-kaca.
Kebudayaan Jawa mengajarkan bahwa kematian merupakan siklus
yang pasti dilalui oleh setiap makhluk ciptaan Tuhan YME. Hal inilah yang
membuat proses kedukaan yang terjadi pada ketiga partisipan harus
diusahakan lebih tenang dan santai. Kematian dianggap bukan menjadi

Universitas Indonesia

sebuah akhir dari kehidupan manusia, tetapi awal menuju kehidupan


kekal, yaitu akhirat (Geertz, 1989 dalam Subagya, 2005). Oleh karena itu,
subjek menganggap bahwa kematian orangtua mereka harus direlakan
karena menjadi takdir Tuhan YME. Salah satu subjek bahkan mengaku
bahwa ada larangan untuk menangisi kematian orangtuanya akibat
gempa. Hal inilah yang mungkin menyebabkan proses kedukaan dari
ketiga subjek belum terselesaikan. Penyelesaian proses kedukaan dapat
dilakukan dengan memberi informasi secara terbuka hal-hal yang
berkaitan dengan kematian (Raveis, Siegel, & Karus, 1999). Saat
wawancara berlangsung, ketiga subjek masih menampilkan ekspresi
kesedihan saat ditanya tentang kematian orangtua mereka. Tidak adanya
kesempatan dan komunikasi untuk mengekspresikan kedukaan mereka
membuat mereka masih merasakan kesedihan akibat kematian orangtua
yang mendadak akibat gempa.
Kesimpulan
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran konsep
kematian dan kedukaan pada remaja awal yang mengalami peritiwa
kematian salah satu orangtua akibat gempa Yogyakarta 2006. Subjek
penelitian terdiri dari 3 orang berusia 14 sampai 15 tahun. Berdasarkan
hasil penelitian, konsep kematian yang dimiliki ketiga subjek telah matang.
Komponen konsep kematian yaitu irreversibility, universality, nonfunctional/cessation, personal mortality, inevitability, dan unpredictability
telah dipahami oleh ketiga subjek. Namun, pada dua orang subjek
komponen konsep non-functional/cessation tidak hanya dipahami secara
biologis

saja,

tetapi

dipahami

secara

religius.

Subjek

tersebut

mengungkapkan adanya perbedaan antara jiwa (roh) dan raga dari orang
yang telah mati. Oleh karena itu, dia memahami bahwa jiwa orang yang
mati dapat melakukan aktivitas. Pada komponen konsep causality, ketiga
subjek memahami konsep kematian secara berbeda. Ketiga subjek
memahami penyebab kematian bukan secara biologis, melainkan secara
religius, yaitu takdir Tuhan YME.

Universitas Indonesia

Kedukaan yang terjadi pada ketiga subjek berbeda-beda. Reaksi


dan ekspresi yang dimunculkan berbeda satu sama lain. Namun, seluruh
subjek menampilkan jenis ekspresi kedukaan secara affective. Walaupun
berbeda-beda dalam menampilkan ekspresi kedukaan, ketiga subjek
sama-sama belum menyelesaikan proses kedukaannya. Ketiga subjek
masih berada dalam the recoil stage, dimana subjek masih merasakan
kehilangan akibat kematian orangtua.
Saran
1. Pemahaman tentang kematian sebaiknya diajarkan sesuai dengan
tahapan perkembangan pada anak. Usia perkembangan anak dapat
diajarkan pemahaman kematian secara konseptual berdasarkan
konsep kematian Slaughter (2003). Sedangkan pada usia remaja dapat
diberikan pemahaman kematian tidak hanya secara konseptual, tetapi
juga religius, kultural, dan emosional.
2. Saat wawancara, ketiga subjek mengungkapkan kelegaan setelah
menceritakan pengalaman gempa dan kematian. Oleh karena itu,
keluarga, sekolah, dan lingkungan sebaiknya mendukung remaja dalam
mengekspresikan kedukaannya. Orangtua dalam hal ini harus terbuka
dan tidak melarang anak dalam mengekspresikan kedukaannya.
3. Keluarga dapat meminta bantuan pihak ahli, seperi psikolog anak atau
terapis anak untuk membantu penyelesaian dampak akibat gempa dan
kehilangan orangtua akibat kematian.
4. Penelitian kualitatif membutuhkan kemampuan

wawancara

dan

observasi yang tinggi agar mendapatkan data yang mendalam dan


mendetail. Oleh karena itu, pada penelitian berikutnya, penting
melakukan persiapan yang lebih matang.
5. Pada penelitian selanjutnya dapat diteliti konsep kematian dan
kedukaan pada remaja dengan pengalaman kematian yang berbeda
(seperti, pengalaman kematian orangtua akibat kecelakaan, penyakit,
tindakan kekerasan, dll) atau pada remaja yang tidak pernah
mengalami pengalaman kematian
Tinjauan Kepustakaan

Universitas Indonesia

Aiken, L. R. (1994). Dying, Death, and Bereavement. (Ed. Ke-3). Boston:


Allyn and Bacon.
Anita, S. (2006). Gambaran pemahaman anak terhadap kematian dan
reaksi kedukaan anak terhadap kematian orang tuanya (Skripsi).
Depok: Fakultas Psikologi UI.
Balk, D..E., (1991). Death and adolescent bereavement: Current research
and future direction. Journal of Adolescent Research, 6, 7-27.
diunduh melalui http://jar.sagepub.com pada 04 September 2008.
Halim, M. (2001). Pemahaman konsep kematian anak katolik usia 5 dan 8
tahun (skripsi). Depok: Fakultas Psikologi UI.
Lukita, D.M. (2006). Gambaran proses grief remaja perempuan akibat
kematian pacar yang mendadak (Skripsi). Depok: Fakultas
Psikologi UI.
Morin, S.M,.dan Welsh, L.A. (1996). Adolescents perception and
experiences of death and grieving. Pennsylvania: Libra
Publishes.Inc. diakses melalui http://find articles.com/p/artocles/
mi_m2248/is_n123_v31/ai_18771974 pada 08 Agustus 2008.
Noviani, A. (2006). Gambaran grief pada remaja yang kehilangan seluruh
anggota keluarga inti karena bencana alam (Skripsi). Depok:
Fakultas Psikologi UI.
Nurrachman, N. (2007). Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan
Trauma Akibat Nencana Alam. Jakarta: LPSP3.
Pohan, L. D. (2000). Grief dan coping remaja terhadap kematian sahabat.
(Skripsi). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Raveis, V. H., Siegel. K., dan Karus. D. (1999). Childrens psychological
distress following the death of a parent. Journal of Youth and
Adolescence, 2 (Vol. 28), 165 180.
Slaugther, V. (2003). Young childrens understanding of death. Brisbane:
University of Quensland.
Subagya, T.Y. (2005). Menemui Ajal Etnografi Jawa tentang Kematian.
Yogyakarta: Kepel Press.
Sugianto, M., dan Chandra, J.S. (8 dan 27 Juni 2006). Diskusi kelompok
dengan korban gempa.
Turner, J.S., dan Helms, D.B. (1995). Human Development (5th ed). New
York: McGraw-Hill.
Turner, J.S., dan Helms, D.B. (1987). Life-span Development (3th ed).
London: Holt Rinehart Winston.
Wadsworth, B.J (1984). Piagets Theory of Cognitive and Affective
Development. 3rd ed. New York: Longlman, inc.
Yuwono,.S. Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia. (10 April 2009).
Wawancara personal tentang kebudayaan Jawa.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai