Anda di halaman 1dari 17

4.

3 Distribusi Menurut Faktor Manusia3,5,6


a)

Etnik dan Suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena
faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar
kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian
kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu
b)

Faktor Sosial Ekonomi

Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.
Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,
maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada
negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi.
Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga
disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi
c)

Distribusi Menurut Umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur


berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada
saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti
kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya
penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada
semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70
tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif
d)

Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di
dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit
menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya
hidupnya.

4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta


a)

3,5,6

Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus
b)

Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung
dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 1010. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe
Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c)

Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahuntahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan
masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan
penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen
WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain
d)

Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui
kontak kulit yang tidak utuh
e)

Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor
fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar
didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah
infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%)
dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya
30% yang dapat menjadi sakit.
V.PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen


Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan
IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL
5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari
makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10,
dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi
adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan
respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan
lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan
lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

1,3,4

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui
darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling
efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing
masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal
untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh
adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul
kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan
pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7
( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae
mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui
triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan
dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy.

5,6

5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta


M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M.
Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.
Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus-menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak
mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel
schwann merupakan APC non professional.3
5.2 Patogenesis reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap
sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari
kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut
reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed Type
Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler
yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction ,
dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler)
dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dandowngrading, dimana
terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan
biasanya terjadi pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas
humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema
nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada
pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples , imun dan merangsang
netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

1,3,4

VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan
kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat
berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis. Klasifikasi
kusta menurut Ridley dan Jopling :1,5,7,8
1.

Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan
tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea
sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap kuman kusta.
1.

Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan
saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal

1. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif,
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi
punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan
berbatas jelas
1. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian
tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan
beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL.
1. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi
dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan,
punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan
kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis,
keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya
berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal.
Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang- kadang
dapat ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf. 3,5
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan

wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 5
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar
dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah
anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu
aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi
otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus,
serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi
jari jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai
bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot
peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot
intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada
N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan mata
pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis
mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. Facialis yang menyebabkan paralisis orbikularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan
menyebabkan kebutaan.5,6
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. 5,6
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga
berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh
karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat,
baik dosis maupun lama pemberiannya.3,5
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin
makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat
dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis,
gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat
dibedakan atas reaksi ringan dan berat.3

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi
yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. 3
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua
minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan
athralgia.1
VII. Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan
menggunakan alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba,
tabung reaksi masing masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan
(tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang
kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit
berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis,
N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan
saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran
atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir
dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous
biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Berikut cara pemeriksaan saraf yang dilakukan pada
penderita kusta:9
1. N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila
saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara
seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan
antara yang kiri dan yang kanan

1. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku
(sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu
dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbedaan atau
tidak
1. N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior
7.2 Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris9
Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang
raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada
waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa
bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit
yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal
ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang
sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya

Rasa Nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul

Rasa Suhu

Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup
atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan
pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang
sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka
dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu
b. Tes Motoris

Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari

telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien
mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui
ketahanan ototnya

Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta

pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke
atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu
jari pada bagian telapaknya.

Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna

pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan
tersebut

Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan

gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke
lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
III.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain,
maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula)
atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
1. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:

Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut

yang terganggu.

1. Ditemukan kuman tahan asam


Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 36 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula differetial diagnosisnya vitiligo, Pitiriasis Versikolor, Ptiriasis alba, Tinea
korporis. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea
korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll.
Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai
dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan
kimia.
Hipotesis autoimun,ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest
maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin
dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang
mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan
pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis
autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon.
Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan
kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada
mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa
jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan
ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan
dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga
dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal
ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo
vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo

campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo
total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat
atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi
ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat
rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan
udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat
yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi
jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel
di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi
umumnya bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center
healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk
siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin.
Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken
planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya
bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan
transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak
ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema
sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi
yaitu numuler, plakat, lentikuler dan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri
dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut
akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan
tangan, dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi,
lemas, disfungsi ereksi dll
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,
mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi
dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun
atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi
kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien
mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai
tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari paraaminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh
bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea,
muntah, sakit kepala, dan vertigo
Lamprene (Clofazimin), merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita
kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk
(ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh


WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT = multi drug treatment.Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi
Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan
ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release
From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di

berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan
regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5)
Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

600 mg

400 mg

100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

Dewasa(50-70
kg)

Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti

minum obat.
Rifampicin

Dewasa

Dapson

600 mg/bulan Diminum


didepan petugas kesehatan

100 mg/hr diminum dirumah

Anak-anak
(10-14 th)

450 mg/bulan Diminum didepan


petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di rumah

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.
Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan FT/=Realease From Treatment

yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin

Dapson

Lamprene
300 mg/bulandiminum
di depan petugas

600 mg/bulandiminum
Dewasa

kesehatan dilanjutkan

di depan petugas

100 mg/hari diminumdi dgn 50 mg/hari

kesehatan

rumah

diminum di rumah
150 mg/bulandiminum
di depan petugas
kesehatan dilanjutkan

Anak-anak(10-14 450 mg/bulandiminum 50 mg/hari diminumdi dg 50 mg selang sehari


th)

di depan petugas

rumah

diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop
foot, claw toes dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan prinsip pengobatan reaksi kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian
analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obatobat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis
3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik). Dosis
400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau sedang. Digunakan prednison
atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun
dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering of) setelah
terjadi respon maksimal
XI. Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe
pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
1. Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta
atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah
Lama Pengobatan

6 Bulan

Jenis Obat

Dosis

Klofazimin

50 mg/hari

Ofloksasin

400 mg/hari

Minosiklin

100 mg.hari

Klofazimin + Ofloksasin

50 mg/hari

atau
Diikuti dengan 18 bulan
Minosiklin

400 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan


klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di
atas.
1. Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga
regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,

Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan


1. Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB


maupun MB, obat ini harus dihentikan.
Rifampisin

Klofazimin

Dewasa

600 mg/bln

50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak

450 mg/bln

50 mg/hari dan 150 mg/bulan

XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.
Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada
pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya
adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos
sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
XIII. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini
membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis,
physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis
dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

Mekanisme Kerusakan Syaraf


Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya basil yang dapat menginfeksi sistem saraf tepi dan
merupakan penyebab infeksi tersering neuropati perifer.Perubahan patologis pada saraf disebabkan oleh
invasi M.leprae pada sel Schwann. Inflamasi dengan infiltrasi selular dan edema menyebabkan
pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut saraf. Kerusakan saraf pada kusta mengenai
peripheral nerve trunk dan small dermal nerve. Saraf tepi yang terlibat yaitu pada fibro-osseus tunnel
dekat permukaan kulit meliputi Nervus (N.) auricularis magnus, ulnaris, medianus, radiculocutaneus,
poplitea lateralis, dan tibialis posterior. Keterlibatan pada saraf ini menyebabkan pembesaran saraf,
dengan atau tanpa nyeri dengan pola penurunan fungsi sensoris dan motoris regional. Kerusakan small
dermal nerve menyebabkan keluhan anestesi parsial pada kusta tipe tuberkuloid dan borderline
tuberculoid, serta glove and stocking sensory loss pada tipe lepromatosa.
Tingkat Kerusakan Syaraf

Syarat perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan ( Srinivasan
dalamWisnu.2003:86)
1. Stage of involvement,syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf)
dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut,
tetapi belum disertai dengan gangguan fungsi syaraf misalnya anestesi dan
kelemahan otot
2. Stage of damage,Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut
telah terganggu.Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf
otonom,sensorif dan kelamahan otot menunjukkan syaraf tersebut mengalami
kerusakan ( damage) atau telah mengalami paralisis. Diagnosa State of damage
ditegakkan bila syaraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau saraf
batang tubuh telah mengalami paralisis yang lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan
(catatan : pada POD kerusakan syaraf < 6 bulan)
3. Stage of destruction,Pada tingkat ini saraf telah rusak secara lengkap . Diagnosis
stage of destruction ditegakkan bila kerusakan atau paralisis saraf secara lengkap
lebih dari 1 tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan fungsi syaraf tidak
dapat diperbaiki

Anda mungkin juga menyukai