Demam Tifoid
a. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang dikarakteristikan dengan demam dan
nyeri abdominal yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.2
b. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterik serovar typhi (S. Typhi) dan
Salmonella enterik serovar paratyphi (S. Paratyphi) serotipe A, B dan C.2 Bakteri ini
berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai
flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu
di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 60oC) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Bakteri ini ditransmisikan melalui food-borne atau water-borne yang terkontaminasi dari
feses orang yang terinfeksi salmonella atau carrier yang asimptomatik.5
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
c. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia dimana karena
pada suatu waktu terlalu banyak masyarakat yang terkena demam tifoid ini, pemerintah
mencantumkannya sebagai salah satu penyakit menular dalam UU no. 6 Tahun 1962
tentang wabah. Tiap tahunnya, diperkirakan 100.000 masyarakat Indonesia terserang
demam tifoid ini, dengan menyumbang 1.08% dari seluruh kematian di Indonesia.
Meskipun demikian, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan
RI tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk 10 penyakit dengan angka mortalitas
tertinggi.6
d. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. 2 Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Jika respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mangakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembangbiak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.6
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, sebagai berikut:
Demam
Pada minggu pertama infeksi, gejala klinis yang khas adalah demam dan nyeri
abdomen. Sifat dari demam tersebut meningkat terutama pada sore-malam hari
(38.8oC-40.5oC) yang dapat bertahan hingga 4 minggu jika tidak ditangani.
Manifestasi klinis lain yang dapat pula dijumpai adalah sakit kepala (80%), menggigil
(35-45%), batuk (30%), berkeringat (20-25%), myalgia (20%), malaise (10%) serta
arthralgia (2-4%).
Gangguan pada saluran cerna
Manfestasi klinis lainnya yang umum dijumpai pada sistem gastrointestinal
meliputi anoreksia (55%), nyeri abdominal (30-40%), nausea (18-24%), muntah
(18%), serta diare (22-28%). Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir
kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue),
ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare pada minggu kedua.
Manifestasi klinis lain biasanya ditemukan bintik merah pada kulit rose spots
yang terlihat terutama pada batang tubuh dan dada, hepatosplenomegali, epistaksis,
serta bradikardia ketika demam mencapai puncaknya. Selain itu, karena terjadi
infiltrasi Salmonella pada plak peyer yang membuat plak tersebut mengalami
hyperplasia, ulserasi dan nekrosis, dapat terjadi perdarahan GI serta perforasi
intestinal, yang umum ditemukan pada minggu ke-3 hingga ke-4.
Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
etiologi dapat dilakukan pemeriksaan hapus spesimen langsung, mengukur antibodi (IgM,
IgG) terhadap virus, parasit, bakteri, jamur, pembiakan, serta PCR.8
Hitung Darah Lengkap9
Pemeriksaan hitung darah lengkap merupakan salah satu tes yang paling sering dilakukan.
Adapun jenis pemeriksaan dan nilai normalnya disajikan pada berikut :
Tabel 1. Nilai normal pemeriksaan hematologi (Wilson)
Pemeriksaan
Hematokrit
Nilai Normal
Perempuan : 3748% (0.370.48 SI units)
Hemoglobin
Laki-laki
: 4252% (0.420.52 SI units)
Perempuan : 1216 g/dL (7.49.9 mmol/L SI units)
Eritrosit
Laki-laki
: 1318 g/dL (8.111.2 mmol/L SI units)
Perempuan : 4.25.4 1012/L SI units
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis leukosit
Laki-laki
: 4.76.1 1012/L SI units
Dewasa : 4.510.5 109/L (SI units)
150400 X 109/L SI units
Basophils
0.51% 15100 cells/mm3
Eosinophils
14%
<450 cells/mm3
03%
<350 cells/mm3
Neutrophils
Band
Segmented
Lymphocytes
Monocytes
Laki-laki:
28%
<850 cells/mm3
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menemukan etiologi penyakit. Biasanya diperlukan 2
spesimen darah untuk pemeriksaan ini. Kenaikan titer sebesar 4 kali atau lebih memiliki
arti untuk menentukan penyebab penyakit. Untuk menunjang diagnosis infeksi akut, perlu
diperhatikan keberadaan IgM, serta peningkatan IgG.10
Tabel 2. Uji Serologi Virus, Bakteri, Parasit, dan Jamur
Penyebab Infeksi
Dengue
Cytomegalovirus (CMV)
Jenis Uji
Blot IgM/ IgG
Anti-CMV IgM Elisa
Penyakit
Demam Berdarah
Infeksi cytomegalovirus
Salmlonella typhi
S. paratyphi A/B/C
Leptospira spp
Candida
Histoplasma
Demam tifoid
Demam paratifoid
Leptospirosis
Candidiasis
Histoplasmosis
Tes Widal
Tes Widal dilakukan dengan memeriksa reaksi antibody agglutinin pada serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O)
dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama. Hingga saat ini, nilai
standar aglutinasi belum ada kesepakatan. Hasil definitive didapat jika ada kenaikan titer
sebesar >4 kali antara serum akut dan serum konvalesen.11
g. Tata laksana
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
20%) dan perforasi usus (1-3%). Kedua komplikasi ini merupakan kasus emergensi yang
harus secepatnya mendapatkan resusitasi cairan dan intervensi operatif.2,6
j. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada terapi, usia, keadaan kesehatan sebulunya dan
tidak adanya komplikasi. Pada negara maju tingkat mortalitas <1% ini dikarenakan
pemberian terapi antibiotic yang adekuat. Sedangkan di negara berkembang tingkat
mortalitas >10%, Hal ini disebabkan keterlambatan diagnosis, yang berlajut pada
tindakan perawatan dan pengobatan.2,6
2. Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J:
Ebook Harrisons Pinciples of Internal Medicine, 17 Edition.2008.
3. Sherwood, Lauralee.2012.Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Ed. 6. Jakarta: EGC
4. Anonim.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31365/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada Rabu, 26 Maret 2014, pukul 20:05
5. Anonim.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28625/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada Rabu, 26 Maret 2014, pukul 20:32
6. Widodo D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III: Demam Tifoid. 5th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2009.
7. Chen K. Clinical Approach in Management of Fever. PowerPoint Presentation.
Published on March 20th, 2013. Jakarta: Division of Tropical Medicine and Infectious
Diseases, Departement of Internal Medicine FKUI; 2013.
8. Astrawinata DAW. Slide Kuliah Pemeriksaan Penunjang pada Infeksi. Jakarta:
Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM; 2012.
9. Wilson DD. Manual of Labortory and Diagnostic Tests. USA: McGrawHill; 2008.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing; 2010.
11. Rachman AF. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah
sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid pada Anak di RSUP dr. Kariadi
Semarang.
2011.
Diakses
pada
April
http://eprints.undip.ac.id/31140/1/a_fatmawati.pdf
2013.
Diunduh
dari: