Anda di halaman 1dari 3

Rosalia Jasmine (071311233077) MBP Asia Timur Week 6

Kediktatoran dan Kemiskinan di Korea Utara


Korea merupakan daerah bekas jajahan Jepang. Setelah kekalahan Jepang
dalam Perang Dunia II, Korea diduduki oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang
kemudian membagi Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan di 38 derajat
Lintang Utara. Uniknya, pembagian teritori ini tanpa didasarkan oleh hal apapun.
Garis yang membagi Korea ini tidak memiliki hubungan sejarah, geografi, budaya,
maupun ekonomi (Seth, 2011: 2). Korea Utara merupakan wilayah yang diduduki
oleh Uni Soviet sehingga sistem pemerintahan negara ini terpengaruh oleh sistem
pemerintahan komunis Stalin. Meskipun berada di dalam masa globalisasi, Korea
Utara tetap menjadi negara yang tertutup dari dunia luar. Masyarakat Korea Utara
seakan terisolasi dan tidak dapat merasakan kebebasan di dalam negara dengan
pemerintahan otoriter tersebut.
Setelah Perang Korea, kedua negara mengalami kemunduran dalam
perekonomian. Korea Utara dan Korea Selatan memiliki cara yang berbeda dalam
memperbaiki kehidupan di negara tersebut. Jika Korea Selatan tergantung pada
bantuan dati Amerika Serikat pada pemerintahan Rhee dan program pembangunan
ekonomi

government-directed

yang

berdasarkan

pertumbuhan

ekspor

pada

pemerintahan Park, Korea Utara mengambil langkah yang berbeda. Di bawah


kepemimpinan otoriter Kim Il Sung, Korea Utara menganut ideologi juche. Dengan
ideologi ini, Korea Utara menerapkan self-relience atau bergantung pada negara
sendiri. Hal ini dilakukan dengan produksi yang ditujukan untuk pemenuhan
kebutuhan Korea Utara itu sendiri. Dengan menerapkan juche, Korea Utara tidak
bergantung pada perdagangan dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup
Korea Utara. Di samping itu, Korea Utara juga berfokus untuk menginvestasikan
sumber daya pada bidang militer (Seth, 2011: 339-340). Meskipun begitu, Korea
Utara berhasil membangun negaranya pasca Perang Korea. Kim berhasil menjalankan
sistem ekonomi yang tersentralisasi. Dalam sistem ini, Korea Utara benar-benar tidak
memiliki pihak swasta dalam bidang ekonomi. Seluruh produksi diatur oleh
pemerintah. Untuk memulihkan keadaan Korea Utara pasca Perang Korea, Kim
melaksanakan Three-Year Plan pada tahun 1954-1956 yang ditujukan untuk
rekonstruksi ekonomi Korea Utara dan Five-Year Plan pada tahun 157-1961 yang
ditujukan untuk pertumbuhan industri, agrikultur, dan infrastruktur (Seth, 2011: 341).
Untuk memulihkan ekonomi dan mengembangkan Korea Utara, Kim tidak
lepas dari bantuan aliansi komunisnya, yaitu Uni Soviet dan Tiongkok. Disebutkan

Rosalia Jasmine (071311233077) MBP Asia Timur Week 6


oleh Seth (2011: 347), total bantuan dari Uni Soviet untuk Korea Utara dari tahun
1945 hingga 1970 mencapai US$1,146 miliar. Sedangkan Tiongkok memberi bantuan
sebesar US$541 juta. Kedua aliansi tersebut juga memberikan gas, minyak, dan
persenjataan bagi Korea Utara dengan harga yang rendah. Bantuan dari kedua aliansi
juga diberikan dengan memberikan pelatihan militer bagi Korea Utara. Namun
hubungan antara Korea Utara dengan Uni Soviet kerap mengalami konflik. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan pandangan komunis di antara keduanya sehingga Kim
merasa lebih condong untuk berhubungan dengan Tiongkok. Hal ini dikarenakan oleh
latar belakang budaya yang sama serta pandangan anti-Western dan anticapitalist
yang sama dari Mao di Tiongkok (Seth, 2011: 348).
Kematian Kim Il Sung pada tahun 1994 membawa Korea Utara menuju krisis.
Di bawah penerusnya, Kim Jong Il, Korea Utara memulai memperbaiki sistem
kenegaraannya dengan menerapkan rencana pembangunan ekonomi Korea Utara.
Rencana ini berkaitan dengan reformasi dan keterbukaan. Korea Utara mulai
mengizinkan adanya pihak swasta dalam farmers market dengan skala kecil (Chung,
2004: 287-288). Di samping itu, Korea Utara juga memulai melakukan normalisasi
hubungan dengan Rusia dan Tiongkok. Hal ini menyebabkan hubungan eksternal
Korea Utara mulai membaik (Chung, 2004: 293). Meskipun begitu, Korea Utara tetap
tidak menyerah dalam melaksanakan perekonomian negaranya dengan ideologi juche
dalam sistem perekonomian sosialisme. Negara tetap menjadi aktor utama yang
mengatur jalannya perekonomian Korea Utara dengan menekankan nilai self-reliance
dan membatasi hubungan Korea Utara dengan dunia luar.
Kediktatoran yang dijalankan oleh pemerintahan Korea Utara merupakan
penyebab dari kemiskinan yang dialami oleh rakyat Korea Utara. Situasi ini kontras
dengan Korea Selatan, yang mana kebijakan-kebijakan pemerintahnya justru
membawa kesejahteraan bagi rakyat Korea Selatan. Hal tersebut dikarenakan rezim
pemerintahan Korea Utara berfokus pada pengembangan kekuatan militer. Seperti
yang telah diketahui, rezim Kim telah mengeluarkan banyak dana untuk
mengembangkan Weapon Mass Destruction (WMD) terutama dalam senjata nuklir.
Di samping senjata nuklir, Korea Utara juga mengembangkan WMD dalam
persenjataan kimia dan biologis. Pada tahun 2009, Menteri Pertahanan Korea Selatan
menyebutkan terdapat sekitar 100 lokasi pengembangan nuklir di Korea Utara dan
diperkirakan terdapat jumlah lokasi yang sama untuk pengembangan senjata kimia
dan biologis (Bennet & Lind, 2011: 100-101). Dengan fokusnya terhadap

Rosalia Jasmine (071311233077) MBP Asia Timur Week 6


pengembangan

persenjataannya,

Korea

Utara

mengabaikan

kesejahteraan

masyarakatnya dengan tidak memberikan makanan dan layanan kesehatan yang


memadai sehingga banyak masyarakat Korea Utara yang mengalami malnutrisi.
Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Korea Utara
merupakan wilayah yang diduduki oleh Uni Soviet pasca pemisahan Korea pada
tahun 1945 sehingga sistem pemerintahan negara ini terpengaruh oleh sistem
pemerintahan komunis Stalin. Di bawah kepemimpinan otoriter Kim Il Sung, Korea
Utara menganut ideologi juche atau self-relience. Dengan ideologi ini, Korea Utara
bergantung pada negara sendiri dalam pemenuhan kebutuhan negaranya. Di samping
itu, Korea Utara juga berfokus untuk menginvestasikan sumber daya pada bidang
militer. Di samping itu untuk membangun Korea Utara, Kim tidak lepas dari bantuan
aliansi komunisnya, yaitu Uni Soviet dan Tiongkok. Kematian Kim Il Sung pada
tahun 1994 membawa Korea Utara menuju krisis. Di bawah penerusnya, Kim Jong Il,
Korea Utara memulai memperbaiki sistem kenegaraannya dengan menerapkan
rencana pembangunan yang berkaitan dengan reformasi dan keterbukaan. Meskipun
adanya nilai keterbukaan, Korea Utara tetap tidak menyerah dalam melaksanakan
perekonomian negaranya dengan ideologi juche dalam sistem perekonomian
sosialisme. Kediktatoran yang dijalankan oleh pemerintahan Korea Utara merupakan
penyebab dari kemiskinan yang dialami oleh rakyat Korea Utara. Hal tersebut
dikarenakan rezim pemerintahan Korea Utara berfokus pada pengembangan kekuatan
militer daripada kesejahteraan rakyatnya. Penulis beropini bahwa Korea Utara tidak
akan mampu bertahan jika negara tersebut terus mengadopsi ideologi juche di era
globalisasi ini. Jika hal tersebut terus berlanjut, maka Korea Utara dapat diprediksi
akan collapse karena Korea Utara tidak dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri
di masa depan.
Referensi:
Bennet, Bruce W. & Lind Jennifer, 2011. The Collapse of North Korea: Military
Missions and Requirements. International Security. 36 (2), pp. 84-119.
Chung, Young Chul., 2004. North Korean Reform and Opening: Dual Strategy and
Silli (Practical) Socialism. Pacific Affairs. 77 (2), pp. 283-304.
Seth, Michael J., 2011. A History of Korea: from Antiquity to the Present. Plymouth:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Anda mungkin juga menyukai