Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Pembentukan parut akibat ulkus kornea adalah penyebab utama kebutaan dangan
gangguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah,
namun hanya bila diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.
Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya trauma pada kornea oleh benda asing, dan dengan
air mata atau penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri atau jamur ke dalam kornea
sehingga menimbulkan infeksi atau peradangan. Ulkus kornea merupakan luka terbuka pada
kornea. Keadaan ini menimbulkan

nyeri, menurunkan kejernihan penglihatan dan

kemungkinan erosi kornea.


Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat
supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi dari
epitel sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat
untuk mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti desmetokel, perforasi,
endaftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan menimbulkan kekeruhan
kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomer dua di Indonesia.
Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia,
sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian
lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis yang baik dibantu slit lamp, sedangkan penyebabnya ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan mikroskopik dan kultur.
Tujuan penatalaksanaan ulkus kornea adalah eradikasi bakteri dari kornea, menekan
reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat
penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki tajam penglihatan. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur
serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Prognosis ulkus kornea tergantung pada
tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikro organisme
penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan
waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskuler. Penyembuhan
yang lama mungkin juga mempengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila
ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotik maka dapat menimbulkan
masalah baru, yaitu resistensi.
1

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
ANATOMI KORNEA
Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah jam
tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm
di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior,
kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement, dan lapisan
endotel. Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa
cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau kornea udem karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo.

Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:


1. Lapisan epitel:
a. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.
b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal
didepannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
d. Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membran Bowman
3

a. Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
b. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma
a. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
b. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
a. Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
b. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 m.
5. Endotel
a. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-4om
b. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf keV, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk kedalam stroma kornea,
menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus
terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah
limbus, humour aquous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian
besar dari atmosfir. Transparansi

kornea dipertahankan

avaskularitasnya dan deturgensinya.

FISIOLOGI KORNEA
4

oleh

strukturnya seragam,

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang di lalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strkturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesen. Deturgesen, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Endotel lebih penting dari epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi
atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera di epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel
hanya menyebabkan edema local sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel
tersebut telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air
mata menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang
menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui
epitel utuh, dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut lemak sekaligus.
RESISTENSI KORNEA TERHADAP INFEKSI
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Namun, sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskuler dan membrane Bowman
mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme seperti bakteri, amuba, dan jamur.
Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) adalah bakteri pathogen kornea sejati; pathogen
lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (mis.,defisiensi imun) agar
dapat menimbulkan infeksi.
Kortikosteroid lokal atau sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan organisme oportunistik masuk dan tumbuh dengan subur

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea,
yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya yaitu apakah
mikroorganisme, asupan makanan, trauma, kelainan yang disebabkan kongenital. Insidensi
ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan
predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa
kontak, dan kadang-kadang tidak di ketahui penyebabnya. Mortalitas atau morbiditas
tergantung dari komplikasi dari ulkus kornea seperti parut kornea, kelainan refraksi,
neovaskularisasi dan kebutaan. Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak
menderita ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya
kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya trauma termasuk
trauma kornea.3
ETIOLOGI
a. Infeksi
1. Infeksi Bakteri : P.aeroginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala
klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen
yang bersifat khas menunjukkan infeksi P. aeruginosa.
a. Infeksi

Jamur

disebabkan

oleh Candida,

Fusarium,

Aspergilus,

Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.


b. Infeksi virus : Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai.
Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel
yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada
bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus
lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
c. Acanthamoeba : Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat
didalam air yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik.
Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal
6

pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam
buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa
kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.
b. Noninfeksi
a. Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH : Bahan asam yang dapat
merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan organik anhidrat. Bila
bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein
permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan
alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium
hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
b. Radiasi atau suhu : Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar
matahari yang akan merusak epitel kornea.
c. Sindrom

Sjorgen

Pada

sindrom

Sjorgen

salah

satunya

ditandai

keratokonjungtivitis sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang


dapat disebabkan defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid),
kelainan permukaan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan
timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan
flurosein.
d. Defisiensi vitamin A : Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena
kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna
dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
e. Obat-obatanObat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan
imunosupresif.
f. Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
g. Pajanan (exposure)
h. Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
a. Granulomatosa wagener
b. Rheumathoid arthritis
KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
7

1. Ulkus kornea sentral:


a. ulkus kornea bakterialis
b. ulkus kornea fungi
c. ulkus kornea virus
d. ulkus kornea achantomoeba
2. Ulkus kornea perifer:
a. Ulkus marginal
b. Ulkus Mooren (ulkus serpiginosa kronik/ ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)
Ulkus Kornea Sentral
a. Ulkus Kornea Bakterial

Ulkus Streptokokus : Khas sebagai ulcus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk
cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam
dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh

streptokok pneumonia.
Ulkus Stafilokokus : Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila
tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai edema
stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali

indolen yaitu reaksi radangnya minimal.


Ulkus Pseudomonas : Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea.
Ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea.
Penyebukan ke dalam dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu 48
jam. Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang
dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti
cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak.

Gambar : ulkus kornea bakterialis (atas) dan


ulkus kornea pseudomonas (bawah)

Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang


dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga
memberikan gambaran karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat
8

dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan.


Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung dan
di daerah ini terdapat banyak bakteri. Ulkus ini selalu ditemukan hipopion
yang tidak selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang terlihat.
Diagnosa lebih pasti bila ditemukan dakriosistitis.
b. Ulkus Kornea Fungi
Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa minggu
sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini. Pada permukaan lesi
terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas
tegas irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik.
Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat
satelit-satelit disekitarnya. Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang
disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan
naik. Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar
disertai hipopion.

Gambar : Ulkus Kornea Fungi


c. Ulkus Kornea Virus

Ulkus Kornea Herpes Zoster : Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan
perasaan lesu. Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit.
Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis,
kornea keruh akibat terdapatnya

infiltrat subepitel dan stroma. Infiltrat

dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda dengan dendrit herpes


simplex. Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor dengan fluoresin yang
lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan rasa sakit keadaan yang berat pada

kornea biasanya disertai dengan infeksi sekunder.


Ulkus Kornea Herpes simplex : Infeksi primer yang diberikan oleh virus
simplex dapat terjadi tanpa gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan
9

tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di
permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit atau bintang infiltrasi.
Terdapat hipertesi pada kornea secara lokal kemudian menyeluruh. Terdapat
pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk denrit dendriherpes simplex kecil,
ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan benjolandiujungnya
diujungnya. Gambar 5.a Ulkus Kor
d. Ulkus Kornea Acanthamoeba
Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya, yaitu kemerahan
dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan
infiltrat perineural.
Ulkus Kornea Perifer
a. Ulkus Marginal
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel berbentuk ulkus
superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksik atau
alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok arteritis nodosa,
dan lain-lain. Yang berbentuk cincin atau multiple dan biasanya lateral. Ditemukan
pada penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.
b. Ulkus Mooren ( Moorens Ulcer)
Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral. Ulkus
Mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui. Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori hipersensitivitas
tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya menyerang satu mata. Perasaan
sakit sekali. Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang meninggalkan
satu pulau yang sehat pada bagian yang sentral.

Gambar : Mooren's Ulcer


c. Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus yang berbentuk
melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadangkadang timbul perforasi. Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat menjadi

10

satu menyerupai ring ulcer. Tetapi pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada hubungan
dengan konjungtivitis kataral. Perjalanan penyakitnya menahun.

PATOFISIOLOGI
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior
dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di
daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja
sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat
dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel
mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya
infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. 1
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu
melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat
11

sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran
Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan
menyebabkan terjadinya sikatrik.
MANIFESTASI KLINIS
Tukak kornea akan memberikan gejala mata merah, sakit mata ringan hingga berat,
fotofobia, penglihatan menurun, dan kadang kotor. Tukak kornea akan memberi kekeruhan
berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang bila diberi pewarnaan fluoresensi akan
berwarna hijau ditengahnya. Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat edema dan
infiltrasi sel radang pada kornea. Gejala yang dapat menyertai adalah terdapatnya penipisan
kornea, lipatan descement, reaksi jaringan uvea ( akibat gangguan vaskularisasi iris ), berupa
suar, hipopion, hifema dan sinekia posterior.
Biasanya kokus gram positif, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoni
akan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna
putih abu-abu pada anak tukak yang supuratif.
Daerah kornea yang tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat
infiltrasi sel radang. Bila tukak disebabkan Pseudomonas maka tukak akan terlihat melebar
dengan cepat, bahan purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan tukak.
Bila tukak disebabkan oleh jamur maka infiltrat akan berwarna abu-abu dikelilingi infiltrate
halus disekitarnya (fenomena satelit). Bila tukak berbentuk dendrit akan terdapat hipestesi
pada kornea. Tukak yang berjalan cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi
kornea yang berakhir dengan membentuk suatu bentuk lekoma adheren. Bila proses pada
tukak berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa sakit, fotofobia berkurang, infiltrat
pada tukak dan defek epitel kornea menjadi bertambah kecil
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat,
misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Harus
ditanyakan juga riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid
yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis
12

herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti

diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus.


Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar, kornea
edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi

iritis yang disertai dengan hipopion.


Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
1. Ketajaman penglihatan
2. Tes refraksi
3. Pemeriksaan slit-lamp
4. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
Digunakan untuk melihat adanya defek epitel kornea. Kertas fluoresen yang
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada sakus
konjungtiva inferior. Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20 detik,
beberapa saat kemudian kertas ini diangkat. Dilakukan irigasi konjungtiva
dengan garam fisiologik. Dilihat permukaan kornea bila terlihat warna hijau
dengan sinar biru berarti ada kerusakan epitel kornea misalnya terdapat pada
keratitis superfisial epithelial, erosi kornea, dan tukak kornea. Defek kornea akan
terlihat berwarna hijau, akibat pada setiap defek kornea, maka bagian tersebut
akan bersifat basa dan memberikan warna hijau pada kornea. Pada keadaan ini
disebut uji fluoresen positif.

5. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
6. Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar
dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau
Giemsa.Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic
acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar sabouraud.
7. Uji fistel
13

Uji fistel atau uji Seidel untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada
konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresens atau diteteskan fluoresens. Kemudian
dilihat adanya cairan mata yang keluar dari fistel kornea. Bila terdapat kebocoran
kornea adanya fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata yang berwarna hijau
mulai dari lubang fistel. Cairan mata terlihat bening dengan sekitarnya terdapat
larutan flueresens yang berwarna hijau.
8. Uji sensibilitas kornea
Diketahui bahwa serabut sensible kornea melalui saraf trigeminus. Bila dirangsang
akan terdapat refleks aferen pada saraf fasial dan mata akan berkedip. Penderita yang
diminta melihat jauh ke depan dirangsang dengan kapas kering dari bagian lateral
kornea. Dilihat terjadinya refleks mengedip, rasa sakit, dan mata berair. Bila ada
refleks tersebut berarti fungsi trigeminus dan fasial baik.
9. Papan placid
Uji placido digunakan untuk melihat kelengkungan kornea. Dipakai papan placido
dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber
cahaya atau jendela, sedang pasien sendiri membelakangi jendela. Papan palcido
merupakan papan yang mempunyai gambaran garis melingkar konsentris dengan
lobang kecil pada bagian sentralnya. Melalui lubang ditengah plasidoskop dilihat
gambaran bayangan plasido pada kornea.
Normal bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris dan bila:
-

lingkaran konsentris berarti permukaan kornea licin dan regular

lingkaran lonjong berarti adanya astigmatisme kornea

garis lingkaran tidak beraturan berarti astigmatisme irregular akibat adanya


infiltrat atau parut kornea.

Kurang tegas mungkin akibat edema kornea keruh.

PENATALAKSANAAN
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata agar
tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada ulkus kornea tergantung
penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur,
sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila
mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan
perlunya obat sistemik.
Penatalaksanaan awal ulkus kornea :
1. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
14

2. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang


3. Irigasi dengan RL dan Povidon Iodine 0,5% dengan tujuan untuk membersihkan mata
dari sekret dan kotoran mata dan benda asing.
4. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
5. Berikan analgetik jika nyeri
6. Air mata buatan dapat diberikan agar terjadi penyerapan obat tetes mata dengan baik
7. Vitamin C diberikan untuk reepitelisasi kornea.
8. mengobati infeksi yang mungkin ada disekitar mata
USG kemudian dilakukan untuk mengetahui keadaan corpus vitreus karena funduskopi tidak
dapat dilakukan akibat kekeruhan pada kornea. Kekeruhan korpus vitreus berupa abses
menunjukkan telah terjadi endothalmitis atau panofthalmitis. Keratoplasti dilakukan setelah
kornea steril dan tanda-tanda inflamasi menghilang.
Medikamentosa

Sulfas atropine sebagai salap atau larutan,


Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
-

Sedatif, menghilangkan rasa sakit.

Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.

Menyebabkan

paralysis

M.

siliaris

dan

M.konstriktor

pupil.Dengan

lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodasi sehingga mata


dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan
mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru

Skopolamin sebagai midriatika.

Analgetik : Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan asam mefenamat, tetes
pantokain, atau tetrakain tetapi jangan sering-sering.

Antibiotik
Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum luas
diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus
sebaiknya tidak diberikan salap mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan
juga dapat menimbulkan erosi kornea kembali.
Pemberian antibiotik spektrum luas sebagaimana berikut:
15

a. Gentamisin dan cefotaksim ; gentamisin lebih ditujukan untuk bakteri gram


negatif dan Cefotaksim lebih ditujukan untuk bakteri gram positif, atau
b. tobramycin (14 mg/ ml) 1 tetes tiap jam dikombinasi cefazolin (50 mg/ml) 1
tetes tiap jam
c. Jika ulkus kornea kecil, perforasi tidak muncul, berikan terapi intensif
monoterapi dengan fluoroquinolones.
Antimikroba lain dapat digunakan tergantung perkembangan klinis dan penemuan
laboratorium. Generasi ke 4 fluoroquinolones meliputi moxifloxacin dan gatifloxacin
yang juga digunakan pada terapi konjungtivitis bakteri. Kedua antibiotik mempunyai
aktivitas melawan gram positif yang lebih kuat daripada ciprofloxacin atau ofloxacin.
Moxifloxacin lebih mudah masuk ke jaringan mata daripada gatifloxacin dan
fluoroquinolones yang lama.
Penggunaan antibiotik sebaiknya dilakukan sistem tapering off dengan menggunakan
parameter berikut ini:

Infiltrate stroma dibatas pinggir

Menurunnya densitas infiltrate stromal

Menurunnya edema stromal dan inflamasi endothelial

Menurunnya inflamasi bilik anterior

Reepitelisasi defek epitel kornea

Perbaikan gejala-gejala nyeri

Anti jamur :
Pemberian antijamur adalah untuk mengobati dan mencegah terjadinya infeksi yang
lebih luas. Karena kemungkinan terjadinya ulkus yang disebabkan jamur yang
menyebabkan kerusakan yang hebat dan cepat pada mata dapat saja terjadi
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi :
-

Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya :topikal amphotericin B 1,


2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin> 10 mg/ml, golongan
Imidazole

Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal, natamicin, imidazole.

Ragi (yeast) : amphotericin B, natamicin, imidazole.

Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis


antibiotik
16

Antiviral
-

Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal


untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk infeksi

sekunder analgetik bila terdapat indikasi.


Untuk herpes simplex diberikan pengobatan

IDU,

ARA-A, PAA,

interferon inducer.
Nonmedikamentosa
Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena dapat menghalangi
pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang baik terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret
guna mengurangi rangsangan.
Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :
1. Kauterisasi
a. Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
b. Dengan

panas

(heat

cauterisasion)

memakai elektrokauter

atau

termophore. Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung


panas disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna keputih-putihan.
2. Pengerokan epitel yang sakit
3. Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak menunjukkan
perbaikan dengan maksud mengganti cairan COA yang lama dengan yang baru yang
banyak mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh.
4. Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva dari
sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi
perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah
sembuh flap konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
5. Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan berikan sulfas
atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring dan jangan melakukan
gerakan-gerakan.
6. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya baru saja, maka dapat dilakukan :
a. Iridektomi dari iris yang prolaps
b. Iris reposisi
c. Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
d. Beri sulfas atropin, antibiotic dan balut yang kuat
17

7. Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung lama, kita obati
seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh
menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.
8. Keratoplasti : Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas
tidak b e r h a s i l . Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu
penglihatan, kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan,
serta memenuhi beberapa kriteria yaitu :

Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita

Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.

Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia

PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan:
1. Segera berkonsultasi kepada ahli mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka
yang tampak kecil pada kornea dapat mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai
efek yang sangat buruk bagi mata.
2. Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata.
3. Jika mata sering kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah
4. Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan merawat
lensa tersebut.
5. Antibiotik topikal diberikan secara rutin setelah trauma kornea (juga pada tindakan
bedah).
6. Pencegahan kontaminasi perlu dilakukan terhadap penggunaan obat-obatan topikal.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
a. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
b. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
c. Prolaps iris
d. Sikatrik kornea
e. Katarak
f. Glaukoma sekunder
18

g. Penipisan kornea
h. Descemetocele sekunder
PROGNOSIS
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya
mendapat pertolongan, jenis dan virulensi mikroorganisme penyebabnya, vaskularisasi dan
deposit kolagen, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas
memerlukan waktu penyembuhan yang lama,karena jaringan kornea bersifat avaskular.
Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin
juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan
penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi.
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan pemberian terapi
yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode; migrasi sekeliling sel epitel yang
dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus
superfisial yang kecil dapat sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada
ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk
jaringan granulasi dan kemudian jaringan sikatrik.

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Anatomi mata dan kelainan kornea. Ilmu Kesehatan Mata, Prof dr. Suhardjo, SU,
SpM(K), dr. Hartono, Sp.M(K), bagian ilmu penyakit mata, fakultas kedokteran
Universitas Gadjah Mada, edisi 1, 2007.

2.

Mata merah dengan penglihatan turun mendadak; ulkus kornea, Ilmu Penyakit Mata,
Prof. dr. H. Sidarta Ilyas, Sp.M, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi 3,
2008.

3.

Kornea, Vaughan.D, Opthalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika, Jakarta, 2002.

4.

Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam : Ilmu Penyakit
Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi ke 2, Penerbit SagungSeto,
Jakarta, 2002.

5.

Corneal Ulcer. Dikutip dari http://www.eMedicine.com/. 2010.

6.

Patofisiologi Ulkus Kornea.. Dikutip dari http://www.medicastore.com/2009.

7.

Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia, Ulkus Kornea dalam : Ilmu Penyakit
Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Sagung Seto, edisi ke 2, Jakarta,
2002.

8.

American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea. Section 11. San
Fransisco: MD Association, 2005-2006

9.

James, Bruce., Chew, Chris., Bron Anthony. Lecture Notes


Jakarta:Penerbit Erlangga, 2006.

20

Oftamologi.

ULKUS KORNEA TANPA PENYEMBUHAN SEBAGAI FITUR DIABETES


MELITUS TIPE 1 : SEBUAH LAPORAN KASUS
ABSTRAK
Pendahuluan:
Diabetes keratopathy merupakan komplikasi yang jarang dari diabetes mellitus. Kasus ini
menggambarkan pentingnya memeriksa kadar gula darah pasien dengan ulkus kornea tanpa
penyembuhan untuk menyingkirkan kemungkinan diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis.
Presentasi kasus:
Kami melaporkan kasus yang tidak biasa dari seorang wanita Asia tenggara 24 tahun yang
mempunyai ulkus kornea steril datang ke rumah sakit dan kemudian didiagnosis diabetes
setelah tinggal di rumah sakit cukup lama. meskipun dengan semua usaha pengobatan, ulkus
kornea telah gagal disembuhkan hingga pengobatan untuk diabetes yang sebelumnya tidak
terdiagnosis dimulai. Ulkus kornea mulai sembuh setelah kadar gula darah mulai normal.
Kesimpulan:
keratopathy diabetik merupakan komplikasi yang jarang terjadi diabetes mellitus dan harus
dianggap sebagai diagnosis pada pasien muda dengan ulkus kornea tanpa penyembuhan.
Kadar gula darah harus diperiksa pada kasus ini untuk diabetes mellitus yang tak
terdiagnosis.
PENGANTAR
Kami melaporkan kasus yang tidak biasa dari wanita Asia tenggara berumur 24 tahun yang
mempunyai ulkus kornea datang ke rumah sakit dan kemudian didiagnosis menjadi diabetes.
Ulkus korneanya telah gagal membaik sampai tingkat gula darahnya mulai normal.
Keratopathy diabetes adalah komplikasi yang jarang dari diabetes mellitus dan perlu
dipertimbangkan sebagai diagnosis pada pasien muda dengan ulkus kornea steril yang tidak
dapat dipulihkan. Dalam publikasi sebelumnya, seorang pria 44 tahun yang menampilkan hal
yang sama, walaupun dalam kasus tersebut kondisinya bilateral [1]. Dalam laporan kasus ini
kami menyoroti pentingnya menyelidiki pasien dengan ulserasi kornea yang tidak bisa
dijelaskan untuk menyingkirkan diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis.
PRESENTASI KASUS
Seorang wanita Asia tenggara 24 tahun ini mengaku dengan riwayat bercak putih
pada kornea kanan dan peningkatan ketidak nyamanan. Pada pemeriksaan, visusnya 6/36 di
sebelah kanan dan 6/9 di sebelah kiri. Dia memiliki ulkus kornea berukuran 5,5 2 mm pada
21

kornea kanannya. Sebelah lateral dari tempat defect / kerusakannya terdapat Sebuah daerah
jaringan parut lokal kecil. (Gambar 1). Ada +1 reaksi sel di bilik kanan anterior nya. Dia
memiliki sejarah uveitis anterior bilateral. Sensasi kornea normal di kedua mata. Terdapat
stadium awal katarak subcapsular posterior bilateral.

Untuk penemuan, goresan kornea diambil untuk mikroskop, kultur, dan sensitivitas.
Dilakukan virologi tes termasuk virus herpes simpleks dan varicella-zoster virus polymerase
chain reaction. Pasien ini memiliki protein C-reaktif normal, faktor rheumatoid, antibodi antinuklir, antigen nuklir diekstrak, sifilis, dan hepatitis B dan C serologi. Dia mulai pengobatan
dengan g. sefalotin 5% topikal dan g. gentamisin 0,9% per jam selama 48 jam. Terdapat
perbaikan awal ringan dan pengobatan diubah menjadi g topikal. kloramfenikol 1% empat
kali setiap hari dan g. prednisolon 0,5% empat kali setiap hari, dia melakukan tes
mikrobiologi satu kali dan hasil virologi negatif. Sebuah kontak lensa perban dimasukkan
untuk memfasilitasi penyembuhan (Gambar 2).
Pada minggu ketiga masuk, dia mengeluhkan sakit kepala dan ditemukan sedikit
takikardi. Dia tidak demam dan tidak terdapat malaise. Dilakukan analisa urin, dan nilai
glukosa urinnya adalah 21 mmol / L. Dlakukan pemeriksaan glukosa darah yang mendesak
dan ditemukan kadarnya 23 mmol / L. Pada analisis gas darah menunjukkan pH 7,38, tekanan
parsial karbon dioksida (pCO2) yaitu 44,7 mmHg, dan tekanan parsial oksigen (pO2) yaitu
89,5 mmHg.
Dia dipindahkan ke ruang perawatan dari tim medis dan di diagnosis diabetes tipe 1.
Dia memulai pengobatan dengan insulin. Ulkus korneanya menetap dan punctal plugs
dimasukkan untuk meningkatkan penghancuran selaput dan memfasilitasi penyembuhan.
Tetes serum autologus dimulai setiap dua jam selama pasien terbangun. Ada pengurangan
22

cepat dari kerusakan epitel sesuai dengan mulai normalnya kadar glukosa darah (Gambar 3).
Empat hari setelah pengobatan insulin dimulai, ulkusnya sudah sembuh dan dia keluar dari
rumah sakit dan tindak lanjut/follow up dilakukan pada klinik diabetes setempat. Pada review
satu bulan di klinik mata, ulkusnya tetap sembuh, dan meninggalkan suatu area lokal berupa
jaringan parut subepitel (Gambar 4).

DISKUSI
Fitur okular diabetes mellitus telah dijelaskan dalam laporan lainnya. Metabolisme
glukosa terganggu biasanya menghasilkan microangiopathy lokal yang mempengaruhi
terutama pembuluh darah retina dan yang menghasilkan lesi klasik di fundus dengan
microaneurysms, perdarahan intraretinal, eksudasi, dan pembentukan pembuluh darah baru
[2]. Kombinasi mengkontrol kadar glikemik yang baik dan kunjungan rutin ke klinik mata
dapat sering memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit.
Keratopathy diabetes merupakan komplikasi yang jarang dari kondisi tersebut. Dalam
pengaturan ini, gangguan penyembuhan epitel adalah dianggap sebagai konsekuensi dari
ketidaknormalan jalur aldosa reduktase dan akumulasi sekunder poliol dalam sel-sel epitel
dan endotel dan sehingga mengakibatkan disfungsi seluler [3,4]. Hal ini menghasilkan respon
penyembuhan yang tertunda dan hilangnya adhesi epitel ke membran basal, meningkatkan
risiko erosi kornea berulang. Trauma ringan dan manipulasi okular dengan lensa kontak juga
dapat menghasilkan kerusakan kronis yang tidak dapat disembuhan [5]. Pasien ini tidak
memiliki riwayat trauma atau penggunaan lensa kontak. Fitur okular lain yang merupakan
manifestasi dari diabetes mellitus yaitu berkurangnya sensasi kornea dan produksi air mata
dan penebalan membran basement [5-7].

23

Hal ini penting ketika mempertimbangkan diagnosis diabetes keratopathy untuk


menyingkirkan penyebab yang dapat diobati lainnya untuk defect yang tidak dapat
dipulihkan, seperti distrofi membran basal anterior dan sindrom erosi berulang. Pilihan
pengobatan pada kasus dari ulserasi persisten yaitu penggunaan pelumasan yang sering, lensa
kontak perban, tetes topikal serum autologus, dan patching (penempelan/penambalan). Jika
langkah-langkah konservatif gagal, mungkin perlu untuk melakukan tarsorrhaphy sementara
untuk proses penyembuhan.
Kondisi lain yang menyebabkan penyembuhan epitel tertunda perlu diidentifikasi dan
diobati dengan sesuai. Oleh karena itu, keberadaan keratopathy neurotropik perlu dihilangkan
dengan penilaian hati-hati terhadap sensasi kornea. Penyakit mata kering juga dapat menunda
penyembuhan dan dapat diidentifikasi dengan pewarnaan rosebengal pada kornea dan
konjungtiva dan penggunaan uji Schirmer. Lagophthalmos Nocturnal perlu dikelola dengan
bantalan nokturnal yang tepat dan pelumasan.
Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa antagonis opioid naltrexone dan
insulin digunakan secara topikal dapat memfasilitasi penyembuhan diabetes pada tikus
dengan meningkatkan sintesis DNA dan reepithelialization melalui perubahan dalam faktor
pertumbuhan opioid lokal [8,9]. Di masa depan, agen ini mungkin disetujui untuk digunakan
dalam pengobatan diabetes keratopathy.
KESIMPULAN
Empat hari setelah pengobatan insulin dimulai, ulkus pada pasien ini sudah sembuh dan dia
bisa keluar dari rumah sakit dan tindak lanjut / follow up diatur pada klinik diabetes setempat.
Diagnosis diabetes mellitus tersebut ditegakkan agak kebetulan. Pasien ini tidak
mengeluhkan adanya penurunan berat badan, poliuria, polidipsia atau untuk menegakkan
diagnosis diabetes, dan satu-satunya keluhan adalah riwayat singkat sakit kepala saat berada
di rumah sakit. Kadar glukosa urin diperiksa sebagai bagian dari penyelidikan untuk
takikardia sementara dan terdeteksinya peningkatan kadar glukosa. Menggunakan kombinasi
dari lensa kontak perban, temporary punctal plugs, dan tetes serum autologus terbukti
bermanfaat dalam memfasilitasi penyembuhan ulkus. Meskipun ulkus kornea menunjukkan
tanda-tanda awal penyembuhan, namun ulkus sembuh sepenuhnya setelah kadar gula darah
mulai dinormalkan,
PERSETUJUAN

24

Informed consent tertulis diperoleh dari pasien untuk publikasi dari laporan kasus dan
penyertaan gambar. Salinan persetujuan tertulis tersedia untuk ditinjau oleh Editor-in-Kepala
jurnal ini.
Authors contributions
ASI analyzed and interpreted the patient data regarding the clinical presentation. SLZ and
AWW were major contributors in writing the manuscript. All authors read and approved the
final manuscript.
Competing interests
The authors declare that they have no competing interests.
Received: 10 July 2011 Accepted: 4 November 2011
Published: 4 November 2011
REFERENCES
1. Lockwood A, Hope-Ross M, Chell P: Neurotrophic keratopathy and diabetes mellitus.
Eye 2006, 20:837-839.
2. Ockrim Z, Yorston D: Managing diabetic retinopathy. BMJ 2010, 341:c5400.
3. Akagi Y, Yajima Y, Kador PF, Kuwabara T, Kinoshita JH: Localization of aldose
reductase in the human eye. Diabetes 1984, 33:562-566.
4. Kinoshita JH, Fukushi S, Kador P, Merola LO: Aldose reductase in diabetic
complications of the eye. Metabolism 1979, 28:462-469.
5. Kaji Y: Prevention of diabetic keratopathy. Br J Ophthalmol 2005, 89:254-255.
6. Azar DT, Spurr-Michaud SJ, Tisdale AS, Gipson IK: Decreased penetration of
anchoring fibrils into the diabetic stroma. A morphometric analysis. Arch Ophthalmol
1989, 107:1520-1523.
7. Sakamoto A, Sasaki H, Kitagawa K: Successful treatment of diabetic keratopathy
with punctal occlusion. Acta Ophthalmol Scand 2004, 82:115-117.
8. Klocek MS, Sassani JW, McLaughlin PJ, Zagon IS: Naltrexone and insulin are
independently effective but not additive in accelerating corneal epithelial healing in
type I diabetic rats. Exp Eye Res 2009, 89:686-692.
9. Zagon IS, Jenkins JB, Sassani JW, Wylie JD, Ruth TB, Fry JL, Lang CM,
McLaughlin PJ: Naltrexone, an opioid antagonist, facilitates reepithelialization of the
cornea in diabetic rat. Diabetes 2002, 51:3055-3062.

25

Anda mungkin juga menyukai