Anda di halaman 1dari 9

1

Modul Seri III


Dosen

: PEREKONOMIAN INDONESIA (3 SKS)


: Gunawan Wibisono SH MSi

Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan


Distribusi Pendapatan Menurut Kelompok/Kelas Pendapatan
Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolok ukur, baik dengan
pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan nonekonomi. Penilaian dengan pendekatan
ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek nonpendapatan.
Dalam bab sebelum ini telah diulas perekonomian Indonesia ditinjau berdasarkan aspek
pendapatan, dengan tolok ukur pendapatan per kapita.
Tolok ukur pendapatan per kapita, sebagaimana disadari, belum cukup untuk menilai prestasi
pembangunan. Karena merupakan konsep rata-rata, pendapatan per kapita tidak mencerminkan
bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga
unsure kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Bab ini mengupas perekonomian Indonesia
berdasarkan tinjauan kemerataan distribusi pembangunan dan hasil-hasilnya. Perhatian diarahkan
bukan semata-mata terhadap distribusi pendapatan nasional, akan tetapi juga distribusi proses
atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Mengawali semua itu, terlebih dahulu disajikan
secara ringkas konsep-konsep teoretis yang mendasarnya.
1.1.

Konsep-Konsep Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil


pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Terdapat berbagai kriteri atau tolok ukur
untuk menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi dimaksud. Tiga
diantaranya yang paling lazim digunakan ialah:
a. Kurva Lorenz
b. Indeks atau Rasio Gini
c. Kriteria Bank Dunia
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisanlapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang
sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya
mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama
bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus)
menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz
semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin
buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
Indeks atau Rasio gini adalah suatu koefisien yang, berkisar dari angka 0 hingga 1,
menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil
(semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Di lain
pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati satu) mengisyaratkan distribusi yang kian
timpang atau senjang. Angka rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz,
yaitu perbandingan luas area yang terletak di antara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz akan semakin luas area yang dibagi;
rasio Gini-nya akan kian besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Rasio Gini
juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus:
n

G = 1 - (X
1

- X)(Y + Y)
i+1

i+1
0<G<1

G = 1 - f (Y + Y)
1

i i

i+1

G = rasio Gini
f = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i
i

X = proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i


i

Y = proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i


i

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk
termiskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan
tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah
apabila 40 persen penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12 persen
pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40 persen penduduk
termiskin menikmati antara 12 hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40 persen
penduduk yang berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional,
maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dianggap
cukup merata.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula di pakai sekaligus sebagai criteria
kemiskinan relatif. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata
pendamping pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari masalah kemiskinana. Keduanya ibarat dua sisi
pada sekeping mata uang. Oleh karenanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa
terkait dengan pembahasan tentang kemiskinana. Hal ini perlu disadari, meskipun ikhwal tentang
kemiskinan dan upaya pengentasannya akan dibasa tersendiri di dalam bab lain.
Isu kemerataan dan pertumbuhan hinggi kini masih menjadi debat tak berkesudahan dalam
konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal lain yang juga setara kadar
perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi. Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan
pembangunan ekonomi tak pernah luput dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan
pertumbuhan di satu pihak melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan di lain pihak.
Pakar-pakar ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa di antara
mereka cenderung lebih berpihak di salah satu kutub, sementara beberapa selebihnya berpihak di
kutub seberangnya. Kita, dalam buku ini, tak perlu berpanjang lebak menyimak perdebatan
mereka. Biarlah hal itu tetap menjadi wewenang literatur-literatur ekonomi pembangunan.
1.2.

Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

Upaya untuk memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya baru tampak nyata sejak Pelita
III, manakala strategi pembangunan secara eksplisit diubah dengan menempatkan pemerataan
sebagai aspek pertama dalam trilogi pembangunan. Semenjak itu dikenal kebijaksanaan delapan
jalur pemerataan, meliputi:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang,
dan perumahan
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air
8. Pemerataan kesempata memperoleh keadilan
Dalam kaitan khusus dengna pemerataan pembagian pendapatan (jalur ketiga), kita dapat
memilah tinjauan permasalahannya dari tiga segi, yaitu:
a. Pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat
b. Pembagian pendapatan antardaerah, dalam hal ini antara wilayah perkotaan dan
wilayah pedesaan
c. Pembagian pendapatan antarwilayah, dalam hal ini antarpropinsi dan antarkawasan
(barat, tengah, timur)
1.2.1. Ketidakmerataan Pendapatan Nasional
Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah
dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Koefisien Gini itu sendiri, perlu
dicatat, bukanlah merupakan indicator paling ideal tentang ketidakmerataan (ketimpangan,
kesenjangan) distribusi pendapatan antarlapisan. Namun setidak-tidaknya ia cukup memberikan
gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola pembagian pendapatan.
Angka-angka koefisien Gini di dalam Tabel 5.1 dihitung berdasarkan pendekatan
pengeluaran. Data yang ada menunjukkan fluktuasi, mencerminkan bahwa distribusi pendapatan
nasional di tanah air tidak senantiasa membaik dari tahun ke tahun. Apabila tahun 1965 dapat
dianggap mewakili masa orde lama maka, dengan angka-angka koefisien Gini yang lebih kecil
untuk tahun 1969 dan sesudahnya, dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan sesudah orde
baru lebih baik. Koefisien-koefisien yang ada, secara umum, relatif cukup rendah; pertanda
distribusi pendapatan di Indonesia cukup merata.
Soroton khusus pantas diarahkan ke koefisien untuk tahun 1978 dan 1979. Dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, angka untuk kedua tahun itu (naik) agak tinggi. Kiranya, tingginya
koefisien Gini pada tahun terakhir Pelita II inilah yang turut mendorong Pemerintah untuk
mengubah urutan prioritas Trilogi Pembangunan dalam Pelita III (dimulai tahun anggaran
1979/80).
Koefisien Gini yang ditaksir melalui pendekatan pengeluaran sebenarnya kurang realistis,
cenderung kerendahan (under-estimated). Hal ini mengingat di dalam data pengeluaran, unsur
tabungan yang merupakan bagian dari pendapatan tidak turut terhitung. Padalah porsi
pendapatan ditabung pada umumnya cukup besar di lapisan masyarakat berpendapatan tinggi.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

Perhitungan yang membuahkan taksiran lebih realistis adalah dengan mendasarkan pada data
pendapatan. Perhatikan Tabel 5.2, koefisien Gini yang dihitung berdasarkan data pendapatan
lebih tinggi daripada yang didasarkan data pengeluaran.
TABEL 1.1

Koefisien Gini Indonesia, pada Tahun 1969 - 1990

Tahun
1965
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977

Koefisien
0,389 [s]
0,339 [v]
0,346 [s]
0,315 [p]
0,313 [p]
0,315 [p]
0,335 [p]
0,326 [p]
0,346 [b]
0,337 [p]

Tahun
1978
1979
1980
1981
1982
1984
1985
1987
1990
1993

Koefisien
0,380 [b]
0,381 [p]
0,340 [b]
0,330 [b]
0,355 [p]
0,330 [b]
0,364 [p]
0,320 [b]
0,320 [b]
0,340 [b]

Sumber: [b] Biro Pusat Statistik; (p) Sri Bintang Pamungkas, 1984
[s] - Sundrum; [v] van Ginneken

TABEL 1.2
Pendekatan
Pendapatan
Pengeluaran

Koefisien Gini Indonesia Berdasarkan Pendekatan Pengeluaran dan


Pendekatan Pendapatan, pada Tahun 1976 - 1993
1976
0,492
0,346

1978
0,504
0,380

1984
0,421
0,330

1990
0,320

1993
0,340

Sumber: Biro Pusat Statistik

TABEL 1.3

Persentase Pembagian Pendapatan Nasional Indonesia di Antara Tiga


Lapisan Pendapatan Masyarakat, pada Tahun 1984 - 1993

Lapisan Masyarakat menurut


Kelas Pendapatan
20% Berpenghasilan Tertinggi
40% Berpenghasilan Menengah
40% Berpenghasilan Terendah
Rasio Gini tahun yang sama
Sumber: Biro Pusat Statistik

TABEL 1.4
Negara

1984
41,97
37,28
20,75
0,33

Persentase
Pembagian Pendapatan
1987
1990
41,65
41,94
37,48
36,75
20,87
21,31
0,32

0,32

1993
42,76
36,91
20,34
0,34

Distribusi Pendapatan Nasional Beberapa Negara Asia


Tahun

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Lapisan Penduduk Berpendapatan

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
India
RR Cina

1990
1989
1988
1988
1990
1990

40% Bawah
20,8
12,9
16,6
15,5
21,3
17,4

40% Tengah
36,9
33,4
35,6
23,8
37,4
40,8

20% Atas
42,3
53,7
47,8
50,7
41,3
41,8

Sumber: World Development Report, 1995, World Bank

Ketidakmerataan distribusi pendapatan nasional dapat pula dilihat berdasarkan criteria


Bank Dunia. Angka-angkanya biasanya selaras dengan koefisien rasion Gini. Sebagaimana
tersaji di dalam Tabel. 1.3, pola angka-angka ketidakmerataan relative ini dari tahun ke tahun
senada denga pola koefisien Gini. Menyimak data periode 1984-1993, dapat disimpulkan bahwa
di tengah kurun waktu ini terdapat sedikit perbaikan distribusi pendapatan nasional. Namun
situasinya kemudian kembali memburuk. Perbandingan langsung antara tahun 1984 dengan
tahun 1993 membawa kita pada kesimpulan sebagian pendapatan nasional yang dinikmati oleh
40% penduduk berpendapatan terendah, dan 40% penduduk berpendapatan menengah beralih
dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tertinggi.
Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan nasional Indonesia tidak lebih
buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia. Hal ini bias disimak dari
Tabel 1.4. Dibandingkan dengan Republik Rakyat Cina; Malaysial; Filipina dan Thailand,
distribusi pendapatan nasional Indonesai relative lebih merata. Porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh lapisan 40 persen penduduk berpendapatan terendah, lebih besar.
1.2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial
Ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat bukan saja berlangsung
secara nasional. Akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau antardaerah, yakni antara
daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Di Indonesia pembagian pendapatan relative lebih
merata di daerah perdesaan daripada di daerah perkotaan. Data periode 1984-1993, sebagaimana
tercantum di dalam Tabel 1.5, menunjukkan hal itu. Bandingkan rasio Gini antara desa dan kota
untuk tahun-tahun yang sama, koefisien-koefisiennya lebih rendah untuk daerah perdesaan.
Dilihat dengan perspektif distribusi relatif, pembagian pendapatan di kalangan penduduk
perdesaan bahkan jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara mereka yang tinggal di daerah
perkotaan. Porsi pendapatan yang dinikmati oleh lapisan 40% masyarakat berpendapatan
terendah di desa senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Tidak demikian halnya di kalangan
orang-orang kota.

TABEL 1.5

Distribusi Pendapatan Nasional Indonesai pada Tahun 1984 1993 di


Daerah Perdesaaan dan di Daerah Perkotaan (dihitung berdasarkan
data pengeluaran)

Lapisan Masyarakat

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Persentase

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

6
Menurut Kelas Pendapatan
20% Tertinggi, Perdesaan
Perkotaan
40% Menengah, Perdesaan
Perkotaan
40% Terendah, Perdesaan
Perkotaan
Rasio Gini tahun yang sama
Pedesaan
Perkotaan

1984
37,82
41,12

Pembagian Pendapatan
1987
1990
36,45
36,36
40,51
42,67

1993
36,45
42,23

39,35
38,25
22,35
20,63

39,25
38,01
24,30
21,48

39,23
37,66
24,41
19,67

38,43
37,29
25,13
20,48

0,28
0,32

0,26
0,32

0,25
0,34

0,26
0,33

Sumbe: Biro Pusat Statistik

Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antardaerah tidak hanya dalam hal


distribusinya, tapi juga dalam hal tingkat atau besarnya pendapatan itu sendiri. Hal ini dapat
dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk perdesaan terhadap penduduk
perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan. Porsi penduduk perdesaaan yang berada pada
rentang pendapatan lapis bawah lebih bear daripada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya, pada
rentang pendapatan lapis atas, porsi penduduk perdesaan lebih kecil. Perhatikan Tabel 5.6 yang
menyajikan data tahun 1993 mengenai persentase penduduk menurut golongan pendapatan,
dalam hal ini pendapatan dtaksir dengan pendekatan pengeluaran. Secara keseluruhan (desa =
kota), sebagian besar penduduk Indonesia (tepatnya 48,97 persen) berada pada golongan
pengeluaran yang merentang dari Rp20.000.000,00 hingga Rp39.999,00 per bulang. Penduduk
perdesaan yang termasuk di dalam rentang pengeluaran ini sebanyak 58,07%, sedangkan
penduduk perkotaan 30,67%.
Rentang pengeluaran 20-39 ribu rupiah per bulan pada tahun 1993 rupanya merupakan
pembatas pola ketidakmerataan pendapatan antardaerah. Untuk rentang pengeluaran di
bawahnya, yaitu kurang dari Rp20.000,00 sebulan, porsi penduduk perdesaan lebih besar
daripada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya untuk rentang-rentang pengeluaran di atasnya,
porsi penduduk perkotaan yang justru lebih besar daripada porsi penduduk perdesaan. Orangorang desa yang pengeluaran bulannya Rp100.000,00 atau lebih hanya 1,27 persen. Sedangkan
orang-orang kota yang pengeluarannya sebesar ini sebesar 13,62 persen. Ingat bahwa Tabel 1.6
ini menyajikan data pendapatan yang ditaksir dengan pengeluaran. Di dalam pengeluaran tidak
termasuk tabungan, bagian dari pendapatan yang tidak dipakai untuk pengeluaran konsumsi.
Apabila pendapatan ditaksir dengan pendekatan pendapatan, berarti angka tabungan turut
diperhitungkan, ketidakmerataan pendapatan antardaerah di tanah air agaknya akan lebih buruk
lagi.

TABEL 1.6

Daerah
Perdesaan

Persentase Penduduk Menurut Golongan Pengeluaran, pada Tahun


1993

< 20
18,67

Rentang Pengeluaran (dalam ribuan Rupiah per bulan)


20 39
40 59
60 70
80 99 100149 150-199
58,07
16,26
4,31
1,44
0,91
0,19

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

200
0,17

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

7
Perkotaan
Desa + Kota

2,99
13,46

30,65
48,97

27,40
19,96

16,46
8,34

8,87
3,91

8,53
3,44

2,67
1,01

2,42
0,92

Sumber: Statistik Indonesia, 1993, Biro Pusat Statistik

1.2.3

Ketidakmerataan Pendapatan Regional

Secara regional atau antarwilayah, berlangsung pula ketidakmerataan distribusi


pendapatan antarlapisan masyarakat. Bukan hanya itu. Di antara wilayah-wilayah di Indonesia
bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam perspektif
antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antara
wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan di
kalangan penduduk masing-masing wilayah. [Istilah wilayah (region) di dalam hal ini dapat
berarti propinsi, atau Pulau Jawa dihadapkan dengan Luar Jawa, atau (dalam konteks tertentu)
kawasan barat dan kawasan tengah serta kawasan timur Indonesia].
Dalam perbandingan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa, secara umum distribusi
pendapatan di kalangan lapisan-lapisan masyarakat di luar Jawa lebih baik daripada di Jawa.
Namun demikian, distribusi itu sendiri semakin membaik di kedua wilayah. Dalam perspektif
perbandingan antardaerah di masing-masing wilayah, terdapat kecenderungan yang sama di
kedua wilayah. Pada tahun 1976, baik di Jawa maupun di luar Jawa, distribusi pendapatan di
daerah perdesaan lebih timpang daripada di daerah perkotaan. Akan tetapi pada tahun 1984,
distribusi pendapatan orang-orang desa di kedua wilayah ini menjadi lebih merata dibandingkan
distribusi pendapatan orang-orang kotanya.
TABEL 1.7

Koefisien Gini di Pulau Jawa dan Luar Jawa


Daerah Perdesaan dan Daerah Perkotaan, pada Tahun 1976 1984
(dihitung berdasarkan data pendapatan)

Wilayah dan Daerah


Pulau Jawa
Daerah Perdesaan
Daerah Perkotaan
Luar Jawa
Daerah Perdesaan
Daerah Perkotaan

1976

1978

1982

1984

0,505
0,479
0,445
0,461
0,456
0,402

0,521
0,483
0,487
0,425
0,437
0,360

0,447
0,411
0,394
0,464
0,460
0,365

0,435
0,380
0,418
0,389
0,356
0,391

Sumber: Biro Pusat Statistik

Dalam hal tingkat pendapatannya sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara
wilayah-wilayah di tanah air. Pembandingan untuk ini dapat dilakukan melalui angka-angka
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita antarpropinsi.
PDRB per kapita sangat tidak merata, merentang dari yang terendah sebesar Rp431 ribu
per tahun (Timor TImur) hingga yang tertinggi sebesar Rp6,33 juta per tahun (Kalimantan
Timur). Angka ini adalah data tahun 1991 menurut perhitungan nominal berdasarkan harga yang
berlaku (current prices), sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 1.8. Polanya tidak berbeda jika
dihitung secara riil berdasarkan harga konstan (contant prices) tahun 1983. Pola data tahun 1991

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

ini juga tak berbeda banyak dengan pola data tahun 1986. Perhatikan, 12 propinsi yang
tercantum di dalam table ini bertanda bintang (*). Maksudnya perhitungan PDRB mereka
termasuk nilai tambah dari minyak bumi dan hasil-hasilnya. Perhitungan PDRB propinsipropinsi selebihnya tidak demikan karena memang tidak menghasilkan minyak bumi.
Di antara 27 propinsi di tanah air, per tahun 1991 hanya ada 6 propinsi yang PDRB per
kapitanya lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Angka PDB per kapita Indonesia di
sini termasuk minyak bumi dan hasil-hasilnya. Keenam propinsi dimaksud adalah Daerah
Istimewa Aceh; Riau; Sumatera Selatan; Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Kalimantan Timur; dan
Irian Jaya. Berarti keenam propinsi inilah yang pendapatan per kapita penduduknya lebih tinggi
daripada pendapatan per kapita rata-rata Indonesia. Perhatikan, tidak semua propinsi yang
menghasilkan minyak bumi memiliki PDRB per kapita lebih besar daripada PDB per kapita. Di
lain pihak, di antara enam propinsi yang pendapatan per kapitanya lebih besar daripada per
kapita Indonesia, ada yang tidak menghasilkan minyak bumi yakni DKI Jakarta.
Lebih besarnya pendapatan per kapita penduduk Jakarta daripada penduduk Indonesia
sebagai keseluruhan, meskipun propinsi ini tidak menghasilkan minyak bumi, rasanya mudah
dimaklumi. Jakarta merupakan ibukota negara. Wilayah ini bukan saja pusat pemerintahan, tapi
sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Kegiatan ekonomi Indonesia bertumpu di sini.
Boleh jadi tumpuan konsentrasi itu sudah berlebihan, menyebabkan wilayah-wilayah lain
menjadi kurang berkembang. Bertolak dari fakta ini, cukup beralasan untuk mentengarai bahwa
selama ini berlangsung ketidakmerataan aktivitas ekonomi atau kegiatan pembangunan
antarwilayah di tanah air. Tengarai ini semakin berbukti apabila kita melihat fakta-fakta lain yang
segera akan ditunjukkan di dalam sub bab berikut nanti.

TABEL 1.8

Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Harga Berlaku


dan Harga Konstan, pada Tahun 1986 dan 1991 (dalam ribuan rupiah)

Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.

Daerah Istimewa Aceh*


Sumatera Utara*
Sumatera Barat
Riau*
Jambi*

Tahun 1986
HB
HK-83
1.712
1.930
551
440
495
381
2.732
2.660
407
336

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Tahun 1991
HB
HK-83
2.228
1.669
1.173
616
932
484
4.445
2.597
755
429

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

9
6. Sumatera Selatan*
7. Bengkulu
8. Lampung
9. DKI Jakarta
10. Jawa Barat*
11. Jawa Tengah*
12. DI Yogyakarta
13. Jawa Timur*
14. Kalimantan Barat
15. Kalimantan Tengah
16. Kalimantan Selatan*
17. Kalimantan Timur*
18. Sulawesi Utara
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
22. Bali
23. Nusa Tenggara Barat
24. Nusa Tenggara Timur
25. Maluku*
26. Irian Jaya*
27. Timor Timur
INDONESIA

838
458
335
1.702
495
423
408
510
475
627
526
3.537
378
353
405
366
641
250
243
445
769
202

772
339
260
1.364
426
348
311
415
387
498
432
3.419
315
277
327
321
436
204
193
367
588
151

1.410
779
597
3.112
1.026
906
754
1.043
990
1.142
1.040
6.333
685
630
750
707
1.251
461
404
941
1.349
431

802
411
330
1.757
535
453
391
549
513
589
556
3.205
413
365
434
434
620
258
227
495
707
203

623

523

1.254

679

Kembali ke Tabel 1.8, perhatikan data tahun 1986 menurut harga berlaku. PDRB per
kapita Bali, propinsi yang juga tidak menghasilkan minyak bumi, lebih besar daripada PDB per
kapita Indonesia. Mudah diduga, hal itu adalah berkat keberhasilannya meraup pendapatan dari
sektor pariwisata. Seperti diketahui, Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di tanah air.
Namun apabila data tahun 1986 itu dihitung menurut harga konstan tahun 1983, PDRB per
kapita Bali masih lebih kecil daripada PDB per kapita. Apa artinya? Propinsi ini, dalam
perbandingan antarwaktu antara tahun 1983 dan tahun 1986, ternyata tidak menghasilkan
kenaikan produksi riil! Kenaikan PDRB propinsi ini lebih disebabkan kenaikan harga-harga.
Dengan kata lain, laju inflasi propinsi ini pada tahun 1986 lebih cepat daripada laju inflasi
Indonesia sebagai keseluruhan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Gunawan Wibisono SH MSi


PEREKONOMIAN INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai