area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz akan semakin luas area yang dibagi;
rasio Gini-nya akan kian besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Rasio Gini
juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus:
n
G = 1 - (X
1
- X)(Y + Y)
i+1
i+1
0<G<1
G = 1 - f (Y + Y)
1
i i
i+1
G = rasio Gini
f = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i
i
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk
termiskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan
tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah
apabila 40 persen penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12 persen
pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40 persen penduduk
termiskin menikmati antara 12 hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40 persen
penduduk yang berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional,
maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dianggap
cukup merata.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula di pakai sekaligus sebagai criteria
kemiskinan relatif. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata
pendamping pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari masalah kemiskinana. Keduanya ibarat dua sisi
pada sekeping mata uang. Oleh karenanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa
terkait dengan pembahasan tentang kemiskinana. Hal ini perlu disadari, meskipun ikhwal tentang
kemiskinan dan upaya pengentasannya akan dibasa tersendiri di dalam bab lain.
Isu kemerataan dan pertumbuhan hinggi kini masih menjadi debat tak berkesudahan dalam
konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal lain yang juga setara kadar
perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi. Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan
pembangunan ekonomi tak pernah luput dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan
pertumbuhan di satu pihak melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan di lain pihak.
Pakar-pakar ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa di antara
mereka cenderung lebih berpihak di salah satu kutub, sementara beberapa selebihnya berpihak di
kutub seberangnya. Kita, dalam buku ini, tak perlu berpanjang lebak menyimak perdebatan
mereka. Biarlah hal itu tetap menjadi wewenang literatur-literatur ekonomi pembangunan.
1.2.
Upaya untuk memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya baru tampak nyata sejak Pelita
III, manakala strategi pembangunan secara eksplisit diubah dengan menempatkan pemerataan
sebagai aspek pertama dalam trilogi pembangunan. Semenjak itu dikenal kebijaksanaan delapan
jalur pemerataan, meliputi:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang,
dan perumahan
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air
8. Pemerataan kesempata memperoleh keadilan
Dalam kaitan khusus dengna pemerataan pembagian pendapatan (jalur ketiga), kita dapat
memilah tinjauan permasalahannya dari tiga segi, yaitu:
a. Pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat
b. Pembagian pendapatan antardaerah, dalam hal ini antara wilayah perkotaan dan
wilayah pedesaan
c. Pembagian pendapatan antarwilayah, dalam hal ini antarpropinsi dan antarkawasan
(barat, tengah, timur)
1.2.1. Ketidakmerataan Pendapatan Nasional
Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah
dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Koefisien Gini itu sendiri, perlu
dicatat, bukanlah merupakan indicator paling ideal tentang ketidakmerataan (ketimpangan,
kesenjangan) distribusi pendapatan antarlapisan. Namun setidak-tidaknya ia cukup memberikan
gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola pembagian pendapatan.
Angka-angka koefisien Gini di dalam Tabel 5.1 dihitung berdasarkan pendekatan
pengeluaran. Data yang ada menunjukkan fluktuasi, mencerminkan bahwa distribusi pendapatan
nasional di tanah air tidak senantiasa membaik dari tahun ke tahun. Apabila tahun 1965 dapat
dianggap mewakili masa orde lama maka, dengan angka-angka koefisien Gini yang lebih kecil
untuk tahun 1969 dan sesudahnya, dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan sesudah orde
baru lebih baik. Koefisien-koefisien yang ada, secara umum, relatif cukup rendah; pertanda
distribusi pendapatan di Indonesia cukup merata.
Soroton khusus pantas diarahkan ke koefisien untuk tahun 1978 dan 1979. Dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, angka untuk kedua tahun itu (naik) agak tinggi. Kiranya, tingginya
koefisien Gini pada tahun terakhir Pelita II inilah yang turut mendorong Pemerintah untuk
mengubah urutan prioritas Trilogi Pembangunan dalam Pelita III (dimulai tahun anggaran
1979/80).
Koefisien Gini yang ditaksir melalui pendekatan pengeluaran sebenarnya kurang realistis,
cenderung kerendahan (under-estimated). Hal ini mengingat di dalam data pengeluaran, unsur
tabungan yang merupakan bagian dari pendapatan tidak turut terhitung. Padalah porsi
pendapatan ditabung pada umumnya cukup besar di lapisan masyarakat berpendapatan tinggi.
Perhitungan yang membuahkan taksiran lebih realistis adalah dengan mendasarkan pada data
pendapatan. Perhatikan Tabel 5.2, koefisien Gini yang dihitung berdasarkan data pendapatan
lebih tinggi daripada yang didasarkan data pengeluaran.
TABEL 1.1
Tahun
1965
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
Koefisien
0,389 [s]
0,339 [v]
0,346 [s]
0,315 [p]
0,313 [p]
0,315 [p]
0,335 [p]
0,326 [p]
0,346 [b]
0,337 [p]
Tahun
1978
1979
1980
1981
1982
1984
1985
1987
1990
1993
Koefisien
0,380 [b]
0,381 [p]
0,340 [b]
0,330 [b]
0,355 [p]
0,330 [b]
0,364 [p]
0,320 [b]
0,320 [b]
0,340 [b]
Sumber: [b] Biro Pusat Statistik; (p) Sri Bintang Pamungkas, 1984
[s] - Sundrum; [v] van Ginneken
TABEL 1.2
Pendekatan
Pendapatan
Pengeluaran
1978
0,504
0,380
1984
0,421
0,330
1990
0,320
1993
0,340
TABEL 1.3
TABEL 1.4
Negara
1984
41,97
37,28
20,75
0,33
Persentase
Pembagian Pendapatan
1987
1990
41,65
41,94
37,48
36,75
20,87
21,31
0,32
0,32
1993
42,76
36,91
20,34
0,34
Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
India
RR Cina
1990
1989
1988
1988
1990
1990
40% Bawah
20,8
12,9
16,6
15,5
21,3
17,4
40% Tengah
36,9
33,4
35,6
23,8
37,4
40,8
20% Atas
42,3
53,7
47,8
50,7
41,3
41,8
TABEL 1.5
Lapisan Masyarakat
Persentase
6
Menurut Kelas Pendapatan
20% Tertinggi, Perdesaan
Perkotaan
40% Menengah, Perdesaan
Perkotaan
40% Terendah, Perdesaan
Perkotaan
Rasio Gini tahun yang sama
Pedesaan
Perkotaan
1984
37,82
41,12
Pembagian Pendapatan
1987
1990
36,45
36,36
40,51
42,67
1993
36,45
42,23
39,35
38,25
22,35
20,63
39,25
38,01
24,30
21,48
39,23
37,66
24,41
19,67
38,43
37,29
25,13
20,48
0,28
0,32
0,26
0,32
0,25
0,34
0,26
0,33
TABEL 1.6
Daerah
Perdesaan
< 20
18,67
200
0,17
7
Perkotaan
Desa + Kota
2,99
13,46
30,65
48,97
27,40
19,96
16,46
8,34
8,87
3,91
8,53
3,44
2,67
1,01
2,42
0,92
1.2.3
1976
1978
1982
1984
0,505
0,479
0,445
0,461
0,456
0,402
0,521
0,483
0,487
0,425
0,437
0,360
0,447
0,411
0,394
0,464
0,460
0,365
0,435
0,380
0,418
0,389
0,356
0,391
Dalam hal tingkat pendapatannya sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara
wilayah-wilayah di tanah air. Pembandingan untuk ini dapat dilakukan melalui angka-angka
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita antarpropinsi.
PDRB per kapita sangat tidak merata, merentang dari yang terendah sebesar Rp431 ribu
per tahun (Timor TImur) hingga yang tertinggi sebesar Rp6,33 juta per tahun (Kalimantan
Timur). Angka ini adalah data tahun 1991 menurut perhitungan nominal berdasarkan harga yang
berlaku (current prices), sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 1.8. Polanya tidak berbeda jika
dihitung secara riil berdasarkan harga konstan (contant prices) tahun 1983. Pola data tahun 1991
ini juga tak berbeda banyak dengan pola data tahun 1986. Perhatikan, 12 propinsi yang
tercantum di dalam table ini bertanda bintang (*). Maksudnya perhitungan PDRB mereka
termasuk nilai tambah dari minyak bumi dan hasil-hasilnya. Perhitungan PDRB propinsipropinsi selebihnya tidak demikan karena memang tidak menghasilkan minyak bumi.
Di antara 27 propinsi di tanah air, per tahun 1991 hanya ada 6 propinsi yang PDRB per
kapitanya lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Angka PDB per kapita Indonesia di
sini termasuk minyak bumi dan hasil-hasilnya. Keenam propinsi dimaksud adalah Daerah
Istimewa Aceh; Riau; Sumatera Selatan; Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Kalimantan Timur; dan
Irian Jaya. Berarti keenam propinsi inilah yang pendapatan per kapita penduduknya lebih tinggi
daripada pendapatan per kapita rata-rata Indonesia. Perhatikan, tidak semua propinsi yang
menghasilkan minyak bumi memiliki PDRB per kapita lebih besar daripada PDB per kapita. Di
lain pihak, di antara enam propinsi yang pendapatan per kapitanya lebih besar daripada per
kapita Indonesia, ada yang tidak menghasilkan minyak bumi yakni DKI Jakarta.
Lebih besarnya pendapatan per kapita penduduk Jakarta daripada penduduk Indonesia
sebagai keseluruhan, meskipun propinsi ini tidak menghasilkan minyak bumi, rasanya mudah
dimaklumi. Jakarta merupakan ibukota negara. Wilayah ini bukan saja pusat pemerintahan, tapi
sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Kegiatan ekonomi Indonesia bertumpu di sini.
Boleh jadi tumpuan konsentrasi itu sudah berlebihan, menyebabkan wilayah-wilayah lain
menjadi kurang berkembang. Bertolak dari fakta ini, cukup beralasan untuk mentengarai bahwa
selama ini berlangsung ketidakmerataan aktivitas ekonomi atau kegiatan pembangunan
antarwilayah di tanah air. Tengarai ini semakin berbukti apabila kita melihat fakta-fakta lain yang
segera akan ditunjukkan di dalam sub bab berikut nanti.
TABEL 1.8
Propinsi
1.
2.
3.
4.
5.
Tahun 1986
HB
HK-83
1.712
1.930
551
440
495
381
2.732
2.660
407
336
Tahun 1991
HB
HK-83
2.228
1.669
1.173
616
932
484
4.445
2.597
755
429
9
6. Sumatera Selatan*
7. Bengkulu
8. Lampung
9. DKI Jakarta
10. Jawa Barat*
11. Jawa Tengah*
12. DI Yogyakarta
13. Jawa Timur*
14. Kalimantan Barat
15. Kalimantan Tengah
16. Kalimantan Selatan*
17. Kalimantan Timur*
18. Sulawesi Utara
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
22. Bali
23. Nusa Tenggara Barat
24. Nusa Tenggara Timur
25. Maluku*
26. Irian Jaya*
27. Timor Timur
INDONESIA
838
458
335
1.702
495
423
408
510
475
627
526
3.537
378
353
405
366
641
250
243
445
769
202
772
339
260
1.364
426
348
311
415
387
498
432
3.419
315
277
327
321
436
204
193
367
588
151
1.410
779
597
3.112
1.026
906
754
1.043
990
1.142
1.040
6.333
685
630
750
707
1.251
461
404
941
1.349
431
802
411
330
1.757
535
453
391
549
513
589
556
3.205
413
365
434
434
620
258
227
495
707
203
623
523
1.254
679
Kembali ke Tabel 1.8, perhatikan data tahun 1986 menurut harga berlaku. PDRB per
kapita Bali, propinsi yang juga tidak menghasilkan minyak bumi, lebih besar daripada PDB per
kapita Indonesia. Mudah diduga, hal itu adalah berkat keberhasilannya meraup pendapatan dari
sektor pariwisata. Seperti diketahui, Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di tanah air.
Namun apabila data tahun 1986 itu dihitung menurut harga konstan tahun 1983, PDRB per
kapita Bali masih lebih kecil daripada PDB per kapita. Apa artinya? Propinsi ini, dalam
perbandingan antarwaktu antara tahun 1983 dan tahun 1986, ternyata tidak menghasilkan
kenaikan produksi riil! Kenaikan PDRB propinsi ini lebih disebabkan kenaikan harga-harga.
Dengan kata lain, laju inflasi propinsi ini pada tahun 1986 lebih cepat daripada laju inflasi
Indonesia sebagai keseluruhan.