Anda di halaman 1dari 3

Pro dan Kontra Revisi UUPA

DI tengah merebaknya konflik pertanahan di berbagai daerah, dari sudut hukum muncul
berbagai pertanyaan, antara lain: di mana letak kesalahannya. Apakah peraturan hukumnya
tidak memadai, atau penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Jawabnya, bisa salah satu,
bisa dua-dua bidang tersebut bermasalah. Jika asumsinya persoalan sudah dimulai sejak
peraturan hukumnya maka wajar kalau sekarang ini makin menguat spekulasi perlunya
merevisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni UU Nomor 5 Tahun 1960. Bahkan
RUU Pertanahan saat ini sudah terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR.
Mengapa UUPA menjadi sasaran utama? Posisi UUPA sebagai jangkar peraturan hukum
bidang pertanahan memang sangat vital. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya
UUPA tahun 1960, memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di bidang pertanahan
yang nasionalistis. Namun hasilnya masih parsial dan sektoral serta tidak bisa menaungi
semua kebutuhan hukum yang diperlukan.
Salah satu contohnya adalah UU Nomor 13 Tahun 1948 dan UU Nomor 5 Tahun 1950, yang
mencabut Staatsblad Nomor 20 Tahun 1918 yang mengatur hak konversi. Ketentuan ini
menghapuskan hak atas tanah yang diperoleh pengusaha asing di wilayah Surakarta dan
Yogyakarta. Hak ini mendasarkan hak feodal raja yang memilik seluruh tanah di wilayahnya,
dan bisa menyewakan pada pengusaha asing. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1952, yang
membatasi persewaan tanah rakyat untuk tanaman tebu yang berdasarkan Staatsblad Nomor
20 Tahun 1918 bisa sampai 20 tahun, dibatasi sampai 1-2 tahun saja. Juga UU Nomor 1
Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, yang mencabut kepemilikan tanah
partikelir, tanah tersebut kemudian dikuasai oleh negara.
Baru UUPA (namanya resminya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria), diundangkan September 1960, yang melakukan perubahan mendasar dalam hukum
pertanahan di Indonesia, dan menetapkan tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga
hukum, dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Pertanahan Nasional.
Beberapa prinsip politik hukum yang ditegaskan dalam UUPA antara lain penggantian
Hukum Agraria Kolonial, pengakuan konsepsi Hukum Adat termasuk Hak Ulayat, unifikasi
hukum untuk seluruh wilayah, fungsi sosial hak atas tanah, penggunaan tanah terencana,
pendaftaran
tanah
secara
aktif,
dan
sebagainya.
Argumentasi Revisi
Walaupun peran UUPA sangat sentral, bagi yang mendukung revisi, sederet argumentasi telah
disiapkan. Pertama; usia UUPA sudah lebih dari 50 tahun. Kedua; desain sebagai undangundang pokok, menyulitkan kehadiran undang-undang lain yang akan menerjemahkan, atau
menutup celah kekurangannya. Ketiga; perubahahan di bidang pertanahan terjadi sangat
cepat, tidak bisa diantisipasi dengan konsep-konsep yang diprediksikan setengah abad lalu.
Keempat, desain besar ruang lingkup UUPA juga perlu dipertimbangkan ulang.
UUPA disebut sebagai undang-undang pokok, artinya menjadi sandaran atau acuan bagi
undang-undang lain, terutama undang-undang yang akan menjadi turunan, ataupun mengatur

bidang sejenis. Faktanya secara yuridis, pemberian nama undang-undang pokok tidak
mempunyai makna khusus. Hanya sering dimengerti bahwa dengan nama UU Pokok
mengandung informasi bahwa UUPA baru berisi konsepsi, asas-asas, dan ketentuanketentuan dalam garis besar saja, adapun penjabarannya diatur oleh peraturan perundangan
lain.
Inilah yang merepotkan undang-undang berikutnya, yang secara teknis perundangan tidak
bisa dikatakan sebagai pelaksana dari undang-undang lain. Jadi hanya bisa diterjemahkan
melalui peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Ini yang kemudian
menyebabkan UU yang berikutnya bertentangan dengan UUPA, tidak bisa disingkirkan
begitu saja.
Memang istilah undang-undang pokok, pada masa itu banyak dipakai, misalnya UU Nomor
1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, atau UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, dan sebagainya.
Belum lagi soal istilah agraria yang digunakan, tidak mencerminkan masalah konkret yang
dihadapi dunia sekarang. Memang ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun lalu, masalah
tanah lebih banyak berhubungan dengan soal pertanian karena itu lebih banyak digunakan
istilah agraria, yang berarti tanah pertanian. Pemerintah Kolonial Belanda sendiri pernah
memperkenalkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada 1870.
Dunia saat ini, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan tanah yang lebih kompleks, bukan
hanya untuk pertanian melainkan juga untuk pemukiman, pertambangan, industri,
perdagangan, dan sebagainya. Karenanya istilah Hukum Tanah, atau lebih luas lagi Hukum
Pertanahan dianggap lebih tepat. Beberapa negara menggunakan nama Land Law, dan sering
menggunakan istilah Land Reform. Bahkan judul RUU yang sekarang ada di DPR adalah
RUU
Pertanahan.
Berbagai masalah pertanahan yang muncul akhir-akhir ini juga menimbulkan pertanyaan
konseptual, karena konsepsi ataupun politik hukum yang diterjemahkan dalam UU Nomor 5
Tahun 1960 dinilai tidak tegas. Misalnya mengenai posisi Hukum Adat sebagai basis Hukum
Pertanahan Nasional, termasuk eksitensi Hak Ulayat yang sangat lemah perlindungan
hukumnya. Termasuk posisi negara sebagai wali amanah atas tanah yang belum diberikan
haknya pada perseorangan atau badan hukum, sering ditumpangi kepentingan pemerintah
yang seolah-olah sebagai pemilik yang bebas menggunakan tanah sekehendaknya.

Kontra Revisi
Namun bagi yang kontra revisi UUPA juga punya cukup banyak argumentasi untuk
mempertahankan keberadaan undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia
merdeka itu. Konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional
masih cukup relevan. Jika ada kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih

banyak disebabkan oleh politisasi hukum, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan
perundang-undangan. Politisasi hukum ini membuat negara (pemerintah dan DPR) tidak
konsisten menerjemahkan semangat Pasal 33 UUD 1945, dalam perundangan-undangan
bidang pertanahan.
Menurut pihak yang kontra revisi, yang harus dilakukan justru segera memenuhi kelengkapan
peraturan perundangan yang disebut UUPA, misalnya UU Hak Milik yang sampai sekarang
belum terwujud. Memang agak lumayan walaupun sangat terlambat, akhirnya UU Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum, baru saja disahkan. Sebelumnya soal
pengadaan tanah untuk pembangunan, termasuk soal ganti rugi, hanya diatur dalam peraturan
presiden. Sementara beberapa undang-undang yang secara materi bertentangan dengan UU
Nomor 5 Tahun 1969 seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pemerintah Daerah, dan
sebagainya harus disesuaikan, direvisi, atau di-yudicial review.
Sebenarnya, melalui revisi UUPA atau tidak, dalam jangka dekat yang dibutuhkan adalah
membangun sistem hukum pertanahan yang terbuka, memihak kepentingan rakyat di satu
sisi, tetapi di sisi lain mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi. Menjamin tertib
administrasi pertanahan, hak milik perseorangan ataupun kolektif, serta menyelesaikan
konflik secara transparan, dan mengedepankan pendekatan hukum. Dalam jangka panjang,
reformasi Hukum Agraria, harus diarahkan demi terciptanya sistem hukum yang harmonis,
operasional, dan memenuhi rasa keadilan rakyat. (10)

Anda mungkin juga menyukai