Anda di halaman 1dari 14

Tugas Kelompok

REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


Disusun Oleh:

Scania Evana Putri

1202112679

Gita Mustika

1202112753

Novi Fitriyani

1202112830

Monalisa

1202154438

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS RIAU
2014

RMK BAB II
REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

2.1. DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


Menurut UUUD 1945, pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara professional,
terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.1.1. Dasar Hukum Keuangan Negara


Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasi sebagai segala bentuk
kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan pelaksanaannya.
Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup antara lain:
-

Hak monopoli mencetak dan mengedarkan uang


Hak untuk memungut sumber-sumber keuangan, seperti pajak, dan bea cukai
Hak untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh khalayak umum yang
dalam hal ini pemerintah dapat memperoleh kontraprestasi sebagai sumber penerimaan
negara
Kewajiban Negara adalah berupa pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan

pembukaan UUD 1945, yaitu :


-

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


Memajukan kesejahteraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial
Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah dapat berupa pengeluaran dan diakui

sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur mengenai
Keuangan Negara, yaitu pada BAB VII pasal 23 sebagai berikut :

Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang.


Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah

menjalankan anggaran tahun yang lalu.


Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan UU
Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan UU
Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan UU
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan UU. Hasil pemeriksaan itu
diberitahu kepada DPR.
Maka ditetapkan UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk

tahun anggaran yang bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan
konstitusional, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah
dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Maka penyusunannya didasarkan atas Rencana
Strategi dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan di salam UU yang harus dijalankan
oleh Presiden / Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara
lainnya. Setelah pengesahan UU APBN, APBN dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dalam
bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

2.1.2. Dasar Hukum Keuangan Daerah


Kriteria keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah tertampungnya aspirasi semua
warga, dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pertanggungjawaban eksplorasi
sumber daya yang ada dan pengembangan sumber-sumber pembiayaan.
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 Amandemen IV, tujuan pembentukan Daerah Otonom
adalah meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut
pasal 64 UU No. 5 tahun 1974, fungsi penyusunan APBN adalah untuk :
-

Menetukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat daerah yang bersangkutan
Mewujudkan otonimi yang nyata dan bertanggungjawab
Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab Pemerintah Daerah umumnya dan Kepala
Daerah khususnya, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu menggambarkan
seluruh kebijaksanaan Pemerintah Daerah

Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daeah dengan cara yang lebih mudah

dan berhasil guna


Merupakan suatu pemberian kuasa kepada Kepala Daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan Keuangan Daerah di dalam batas-batas tertentu
Dalam penyusunan APBD, harus diletakkan dalam kerangka perencanaan pembangunan

jangka menengah yang mempertimbangkan skala prioritas pembangunan


Dalam pelaksanaaan APBD, harus dikendalikan menurut sasaran yang jelas dan terukur.
Jadi, baik penyusunan maupun pelaksanaan APBD tidak dapat dipisahkan dengan proses
pembangunan berjangaka menengah dan berskala nasional.

2.2. AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI


Tujuan akuntansi sektor public adalah untuk memastikan kualitas laporan keuangan dalam
pertanggungjawaban public. Kebijakan desentralisasi mengubah sifat hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, antara BUMN dan Pemerintah Pusat, antar Pemerintah dan
Masyarakat. Peranana pelaporan keuangan membuka peluang bagi akuntansi sektor public dalam
manajemen pemerintahan dan organisasi sektor public lainnya.
Berikut berbagai prasarana akuntansi sektor public yang perlu dibangun:
-

Standar Akuntansi Sektor Publik untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah, dan

organisasi sektor public lainnya


Account code untuk Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, maupun organisasi sektor
public lainnya, di mana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat dilakukan dalam

rangka konsolidasi dan audit


Jenis buku besar atau ledger yang menjadi pusat pencatatan data primer atas semua

transaksi keuangan Pemerintah


Manual Sistem Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi lainnya yang menjadi pedoman
atas jenis-jenis transaksi dan perlakuan akuntansinya.
Dengan kelengkapan sarana tersebut, para petugas di bidang akuntansi dapat melakukan

pencatatan, peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secara manual maupun komputasi. Jika
tidak tersedia prasarana demikian, akan memunculkan persepsi bahwa :

Akuntansi adalah sesuatu yans sulit


Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam jangka waktu yang panjang.

2.3 REVIEW REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR


PUBLIK
2.3.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik Di Era Pra Reformasi
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi di dasari pada undang-undang nomor 5
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pengertian Daerah dalam era pra reformasi
adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II yang meliputi kotamadya atau
kabupaten. Di samping itu, ada beberapa peraturan pelaksanaan yang diturunkan dari perundangundangan, antara lain :
1. Peraturan pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan,Pertanggungjawaban, dan
Pengawasan Keuangan Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1975 tentang penyusunan APBD,pelaksanaan tata usaha
keuangan daerah, dan penyusunan perhitungan APBD.
3. Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang manual administrasi keuangan
daerah.
4. Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBD.
5. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 tahun 1999 tentang bentuk dan susunan perhitungan APBD.
Berdasarkan peraturan diatas, karakter pengelolaan keuangan daerah di era pra reformasi dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Pengertian Pmerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 tahun 1975). Artinya,tidak terdapat pemisahan secara konkrit antara eksekutif
dan legislatif.
2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban Kepala Daerah (pasal 33
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1975).
3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas :
a. Perhitungan APBD.
b. Nota Perhitungan.
c. Perhitungan Kas dan Pencocokan antar Sisa Kas dan Sisa Perhitungan dilengkapi dengan
lampiran ringkasan perhitungan pendapatan dan belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6
tahun 1975 dan Keputusan Mendagri nomor 3 tahun 1999).
4. Pinjaman, baik pinjaman Pemda maupun pinjaman BUMD,diperhiyungkan sebagai pendapatan
pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No.903-057 Tahun 1988

tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos
Penerimaan Pembangunan.
5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah Pemerintah Daerah yang terdiri atas
Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.
6. Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup :
a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.
b. Perbandingan antara standar biaya dan realisasinya.
c. Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam penjabaran Perhitungan APBD
(Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD).
7. Laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD,baik
yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD, tidak mengandung konsekuensi terhadap
masa jabatan Kepala Daerah.

2.3.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik Di Era Reformasi


Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutan good
governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakankorupsi,kolusi dan nepotisme. Pemisahan
kekuasaan antar eksekutif,judikatif,dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi masyarakat akan
mendorong praktik domokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai dengan jiwa otonomi
daerah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua undang-undang yang
berupaya mewujudkan otonomi daerah yang lebih luas. Sebagai penjabaran otonomi tersebut di bidang
administrasi keuangan daerah,berbagai peratusan perundang-indangan yang lebih operasional dalam era
reformasipun telah dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan bisa disebut sebagai berikut :
1. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische comptabiliteitswet,staastsblad Tahun 1925
Nomor 448),sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1968 (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53).
2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
75,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah dalam rangka Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala
Daerah;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD;
11. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3930);
12. Surat Edaran Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 17 november 2000 Nomor
903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran
2001;
13. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2002;
14. Kepmendagri No 29 Tahun 2002 tentang Pedoman dan Pengurusan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah APBD.

2.3.3 Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik Di Era Reformasi


Paradigma baru dalam Reformasi Manajemen Sektor Publik adalah penerapan akuntansi
dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governence. Landasan hukum pelaksanaan reformasi
tersebut telah disiapkan oleh pemerintah dalam suatu paket Undang-undang (UU) Bidang Keuangan
Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara ,UU Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Sebelum menjadi UU ,paket RUU Bidang Keuangan Negara diajukan oleh Pemerintah kepada
DPR pada tanggal 29 September 2000.
Dan sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara tersebut , pada tanggal 5 April 2003
telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 ini menjabarkan lebih lanjut aturan-aturan pokok yang telah di tetapkan dalam
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam asas-asas umum pengelolaan keuangan
negara. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara,dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara yang ditetapkan
dalam APBN, dan APBD, perlu ditetapkan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara.

Sebelum pengesahan Undang-undang diatas, kaidah-kaidah tersebut masih didasarkan atas


undang-undang perbendaharaan Indonesia tahun 1925 nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah
,terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1968
nomor 53,Tambahan Lembaran Negara nomor 2860), undang-undang perbendaharaan Indonesia tersebut
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan demokrasi ,ekonomi, dan teknologi. Oleh karena itu, undang-undang tersebut perlu diganti
dengan undang-undang baru yang mengatur kembali ketentuan di bidang perbendaharaan negara, sesuai
dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi modern.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 paket
UU Bidang Keuangan Negara tersebut . yaitu :
1.
2.
3.
4.

Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;


Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
Pemberdayaan manajer profesional;
Adanya lembaga pemeriksaan eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya
duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsipdesentralisasi dan otonomi daerah yang

telah ditetapkan dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undangundang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
demikian, pelaksanaan tiga Undang-undang Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi
acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen keuangan pemerintah, diharapkan akan memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara kesatuan Republi Indonesia.
Selanjutnya, pembahasan akan dilanjutkan dengan pengertian manajemen keuangan pemerintah,
latar belakang reformasi manajemen keuangan pemerintah, dan pokok-pokok reformasi di bidang
penganggaran, di bidang perbendaharaan, dan dibidang auditing, serta peranan Pemerintah Pusat dalam
reformasi manajemen keuangan daerah, dan akhirnya, akan dijelaskan secara ringkas agenda pelaksanaan
reformasi tersebut .
Masyarakat

juga

memberikan

dukungan

yang

kuat

terhadap

pelaksanaan

reformasi

penyelenggaraan pemerintahan, yaitu : (a) reformasi hukum dan yudikatif, termasuk pembentukan Komisi
Ombudsman untuk menanggapi masalah korupsi dan pembentukan Komisi Reformasi Hukum, (b)
perumusan strategi reformasi pegawai negeri sipil, (c) rancangan undang-undang untuk memantapkan
manajemen keuangan pemerintah, (d) pembentukan Komisi Anti Korupsi, dan (e) pembentukan

Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan di Indonesia yang didukung oleh UNDP, Bank Dunia, dan
ADB.
Demikian pula, dalam bidang pengadaan barang dan jasa, pemerintah telah menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
Instansi Pemerintah, sebagai penyempurnaan dari aturan dan prosedur sebelumnya, yaitu Kepres 80 tahun
2003. Peraturan-peraturan tersebut merupakan implementasi dari UU No 9tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, UU No.5 tahun 2000 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat,
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersihdan Bebas dari KKN, semuanya
ditujukan untuk mengatur pengguna dan penyedia barang/jasa

sesuai dengan tugas,fungsi, hak,dan

kewajiban serta peranan masing-masing pihak dalam proses pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan
Instansi Pemerintah.
Tujuannya adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah dalam
jumlah yang cukup, edengan kualitas dan harga yang dapat dipertanggungjawabkan, serta dalam waktu
dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Kepres No. 61 Tahun 2004 telah mengatur dengan tegas dan jelas mengenai prosedur pengadaan
barang/jasa termasuk pembinaan dan pengawasannya. Peranan asosiasi dunia usaha yang telah mengenal
dan mengerti tentang pentingnya manajemen usaha profesional perlu dioptimalkan. Asosiasi dunia usaha
perlu berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam pembangunan.

2.5.ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK


Pihak pemberi amanah (principal) percaya bahwa pemegang amanah (agent) mempunyai
kapasitas yang memadai untuk menjalankan amanah yang didedelegasikan. Makna kapasitas di sini
tidak hanya terlihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku etis.
Etika sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang berwujud (tangible).Ditengah masyarakat
yang masih mempercayai simbol simbol, tanda-tanda, dan berbagai bentuk asesoris fisik lain, standar
etika amat diperlukan untuk menentukan perilaku etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan bisa dikategorikan sebagai etis atau
tidaketis. Berikut adalahpemikiran para ahli filsafat :
Socrates mencoba membangun suatu dasar rasional atas sikap atau perbuatan yang disebut etis.
Teori ini didasarkan pada pengetahuan dan menekankan pada peran dari pengetahuan tersebut dalam
menyediakan pedoman praktis tentang perbuatanetis seseorang.

Selanjutnya, Hume menjelaskan teori etika berdasarkan pendekatan empiris. Dia tidak
menekankan pada pertanyaan apa yang boleh dilakukan seseorang atau mengapa seseorang boleh
melakukan sesuatu. Hume menekankan pada makna berbagi istilah yang sering dijadikan dasar untuk
menilai etika seperti ought (diizinkan),virtue (kebajikan), dan moral. Selanjutnya Hume mengemukakan
alasan bahwa sebenarnya perilaku etis ini dapat dimunculkan dengan beberapa alasan,seperti : perasaan
sebagai manusia, perasaan pribadi, atau keinginan untuk berbuat baik. Hume berpendapat bahwa perilaku
seseorang yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang
bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.
Sementara Jhon berargumen bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang
sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Teori yang dikemukakan Jhon Locke ini hanya didasarkan atas
analisis logis dan tidak membutuhkan pembuktian.Selanjutnya Jhon Lock mengemukakan bahwa hukum
merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Terdapat tiga
tipe dari hukum ini yaitu divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum atau
norma yang berlaku dimasyarakat).,dan law of opinion and reputation ( hukum yang berhubungan denagn
opini dan reputasi).
Kant melihat perilaku etis dari sisi yang berbeda. Tindakan moral seseorang sudah seharusnya
dialkukan. Hal ini tidak didasari bahwa seseorang itu senang atau sukses, tetapi hanya pada tugas secara
individual memang harus dilakukan. Kant juga mengemukakan pentingnya standar formal sebagai
pedoman umum untuk menilai perilaku seseorang. Namun Kant tidak sependapat bahwa perilaku etis ini
dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman.
Jadi,etika umum ini menekankan pada berbagai pedoman individual yang mampu mengarahkan
perilaku seseorang. Dalam menyikapi fenomena pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian
perilakau etis sebaiknya berpedoman pada etika umum ini. Dengan demikian, opini sekuler yang justru
memicu perdebatan tidak muncul tanpa pernah ada kompromi dan konsensus. Pedoman tersebut antara
(1)pengetahuan, (2)kesadaran akan hidup bermasyarakat, (3) respek terhada divine law, (4) memahami
bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, dan (5) menyadari bahwa norma dari perilaku
etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apa pun.

2.6.KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI


KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Pemerintah diharapkan bisa mendorong organisasi-organisasi penyedia layanan publik untuk
memenuhi kualitas pelayanan publik secara terus menerus. Di satu sisi, informasi tentang kebutuhan

masyarakat harus selalu digali agar mengurangi kesenjangan antara harapan dengan praktek
penyelenggaraan layanan publik yang ada. Masyarkat berpatisipasi dalam menentukan prioritas
kebutuhannya dan mengembangkan tingkat produktivitas yang tinggi.
Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain.
Kenaikan harga yang tidak bisa dihindari hanya bisa diimbangi dengan peningkatan kualitas manfaat
pelayanan publik.
Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara
individual. Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas
jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan denganhrapan konsumen. Dalam
rangka memperbaiki kualitas layanan ini, manajemen menetapkan teknik manajemen yang mampu
memenuhi kebutuhan konsumen.
Kinerja merupakan konsep multidimensional. Ukuran kinerja bagi pelayanan publik tidak hanya
bersifat keuangan. Kinerja organisasi layanan publik harusdiukur dari outcome-nya, karena outcome
merupakan variable kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas operasional, baik aspek keuangan
dan nonkeuangan.
Selanjutnya monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat. Langkah-langkah penting dalam memonitoring kinerja organisasi
layanan publik adalah : (1) mengembangkan indikator kinerja yang menggambarkan pencapaian tujuan
organisasi, (2) memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja, (3) mengidentifikasi
apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagi dasar pengusulan program perbaikan kualitas
pelayanan.

2.7. PROSES JUDICAL REVIEW


Berikut hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan proses Judical Review:
a. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai regulasi terkait, kita dapat
mengajukan surat permohonan Judical Review kepada Ketua Mahkamah Agung / Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Contohnya sebagai berikut:
Pengajuan Pengujian UU No. tentang
Diajukan Oleh :
.
Hal : Permohonan Pengujian UU No

, Januari 2005
Yang terhormat,
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Di Jakarta
Dengan hormat,
Nama-nama di bawah ini mengajukan pengujian UU No. Tahun tentang .
1. Nama
:
No. Identitas
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
2. Nama
:
No. Identitas
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
.dst.
1.
2.
3.
4.

Dalam hal ini memberikan kuasa, berdasarkan Surat Kuasa Khusus kepada :
..S.H
..S.H
..S.H
..dll
Kesemuanya merupakan dari ., yang memilih domisili hukum di Jalan
Yogyakarta, untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON.

b. Kemudian untuk susunan materi Judical Review tersebut, dapat aplikasikan seperti contoh
outline Judical Review atas UU berikut:
Pendahuluan
I.
Kedudukan Hukum dan Kepentingan Konstitusional Pemohon
II.
Fakta yang Ada di Masyarakat
III.
Alasan-alasan Formil
IV.
Fakta Hukum
a. Tentang Peraturan UU terkait
b. Masalah Upaya Hukum
V.
Alasan-alasan Permohonan dan Fakta-fakta Hukum
VI.
Petitum
Berdasarkan uraian di atas, PARA PEMOHON meminta kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutuskan
Permohonan Pengujian UU No. Tahun , sebagai berikut:
1. Menerima atau mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU No. Tahun
oleh yang diajukan PARA PEMOHON
2. Menyatakan bahwa UU No. Tahun , .

3. Memerintahkan amar Putusan Majellis Hakim dari Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia yang mengabulkan permohonan Pengujian UU No. Tahun untuk
dimuat dalam berita Negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh (30) hari
kerja sejak putusan diucapkan.
Dalam hal Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai pendapat lain, mohom
sekiranya untuk diputuskan dengan seadil-adilnya dengan tetap memperhatikan prinsip
keindependenan suatu entitas atau lembaga.
Demikianlah Permohonan UU No. Tahun ini.

. Januari 2005
Susunan tim Advokasi
1. S.H
2. S.H
3. .dll

DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra. 2010. Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai