Pandangan bahwa akuntansi tidak bebas nilai telah terbukti secara aksiomatik (axiomatic
value laden accounting) . Pembuktian awal akuntansi yang sarat dengan pengaruh nilai-nilai
dalam masyarakat, dimulai tahun 1980an. Yaitu munculnya paper pada Accounting,
Organization and Society, yang ditulis Burchell, Clubb, Hopwood, Hughes dan Nahapiet,
berjudul The Roles of Accounting in Organization and Society (Roslender, 1992). Artikel itu
kemudian telah memicu penelitian yang lebih jauh, seperti Richardson, Tinker, Merino dan
Neimark, dan lain-lain. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai
rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan.
Ketika dipahami bahwa akuntansi tidak bebas nilai, pertanyaan yang muncul kemudian
adalah nilai apa yang terkandung dalam domain akuntansi konvensional saat ini? Perubahan
orientasi sebagai penyaji informasi, memang telah terjadi dalam akuntansi konvensional.
Mulai dari hanya sebagai metode pencatatan book-keeping (tata-buku) yang dipakai oleh
para pedagang di jaman pra-modern. Kemudian, menjelma menjadi salah satu senjata yang
dipakai oleh Kapitalisme, seperti dijelaskan oleh Weber (2003;101)
dalam Andreski (1989:105), sebagai spirit dari kapitalisme, lengkapnya sebagai berikut :
Kapitalisme biasa didapati di manapun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekelompok
manusia dilakukan oleh bisnis swasta. Lebih khusus lagi, suatu bentukan kapitalisme rasional
adalah bentukan yang memiliki akuntansi kapital, yaitu suatu bentukan yang berusaha
memastikan asset-asset penghasilan-pendapatannya, keuntungannya dan ongkos-ongkosnya
melalui kalkulasi menurut metode-metode pembukuan modern.
Hingga, berkembang bukan hanya sebagai alat bantu (tools) dalam dunia bisnis, akuntansi
normatif, yang lebih mengarah pada membangun teori akuntansi untuk dapat menjelaskan
tujuan dari laporan keuangan perusahaan, (seperti yang dilakukan oleh Belkaoui
dan Hendricksen misalnya). Akuntansi dilihat sebagai arus yang mengikuti evolusi dan
pendekatan positivistic ilmu ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Watts danZimmerman (1986),
bahwa tujuan akuntansi lebih luas daripada praktek yang selama ini ada, yaitu konsep teori
yang didasarkan scientific methodology (metodologi ilmiah), yang bertujuan to
explain(menjelaskan) dan to predict (memprediksi) praktek akuntansi. Ini yang disebut oleh
Watts and Zimmerman (1986) sebagai Positive Accounting Theory.
AGENCY THEORY: EXTREME ACCOUNTING WAYS
berbasis pada economic consequences analysis. Dari pemikiran tersebut mereka kemudian
menyetujui pemikiran Tinker (1980) mengenai perlunya perubahan asumsi dasar akuntansi
yang berbasis pada political economy of accounting (PEA).Cooper dan Sherer (1984) lebih
percaya pada asumsi dasar konflik daripada harmoni yang dapat menjadi tempat
bersembunyinya domnasi dan alienasi. Meskipun begitu penekanan realitas yang selalu
konflik juga akan mempengaruhi struktur perusahaan yang akan selalu didera dominasi
power dan konflik. Artinya bentuk laporan distribusiincome, wealth dan power harus selalu
dilandasi nilai normatif konflik dan adanya pemaksaan bentuk laporan akuntansi. Meskipun
yang mungkin menurut saya sesuai hanyalah asumsi dasar keseimbangan dan emansipasi.
Gagasan PEA memang baik dalam cara melakukan perlawanan terhadap dominasi nilai
akuntansi yang akut berbasis self-interest dan kooptasi metodologi berbasis statistical
context. Positive approach memang menekankan pada prediksi dan ekplanasi, berbeda
dengan PEA, atau dapat dikatakanvalue-free versus value laden. Artinya PEA tidak menolak
penekanan normatif, deskriptif, tetapi hal itu merupakan penekanan pada tahapan dan
kepentingan penelitian. PEA tidak harus kualitatif dapat pula berbentuk kuantitatif. Dengan
syarat setiap metodologi tidak pernah hilang dari masalah value laden. Tawaran alternatif ini
memberi gambaran yang lebih konkret bahwa yang paling penting dalam perubahan bukan
metodologinya tetapi paradigma dan nilai.Tetapi PEA masih terperangkap dalam realitas
empiris yang sarat konflik dan politisasi kepentingan-kepentingan dengan cara memperluas
karakter pelaporan akuntansi dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik.
Belum sampai pada karakter penyelamatan kerusakan lingkungan akibat dominasi akuntansi
saat ini. Kalaupun dari critical approach yang kemudian memunculkan social
accounting dengan bentuk konsep riilnya yaitucorporate social responsibility dengan bentuk
laporan keuangan corporate social reporting (misalnya Gray et. al. 1988; Gray et. al. 1995;
Gray et. al. 1996; Mook 2003; Mook et. al. 2003; Mook et. al. 2005) sebagai supplant dan
bukan supplement dari Imperium Triumvirat Financial Statement (Income Statement, Balance
Sheet dan Cashflow). Tetapi ekstensi yang dilakukan PEA maupun social accountingtetap pada
konsepsi materi. Perluasannya adalah pada konsepsi pengukuran finansial dan non-finansial.
Nilai-nilai non materi tidak pernah terdeteksi. Akuntabilitas dan social welfare yang asasi
bukan demi kepentingan masyarakat atau lingkungan saja.Di samping itu PEA belum
mendefinisikan nilai lebih utuh, tetapi baru meletakkan konsepsi nilai dalam konteks
ontologi dan epistemologi. Konteks aksiologis dianggap terpisah meskipun hal itu secara
implisit ada. Tetapi nilai aksiologis tidak seharusnya bermakna implisit. Aksiologis memang
biasanya berkonotasi kebaikan dan bukannya konflik atau mengakui ketidakseimbangan. Hal
ini sama seperti nyanyian Kantata Takwa:
Orang-orang harus dibangunkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi
Kenyataan harus dikabarkan,
Aku bernyanyi menjadi saksi
Tetapi lirik lagu Kantata Takwa harusnya mungkin lebih dari itu: