oleh :
Maybi Prabowo
1406518755
No. absensi 15 kelas B
FAKULTASILMUSOSIALDANILMUPOLITIK
PROGRAMPASCASARJANADEPARTEMENILMUKOMUNIKASI
JAKARTA
DESEMBER 2014
SOAL 1.
JAWABAN 1
Hubungan antara pemberitaan yang mengandung unsur kekerasan di televisi
dengan tindakan kekerasan susulan, merujuk kepada literatur Mass Communication
Theories karya Dennis McQuail yang mengutip Wartella dkk (1998), bisa dielaborasi
dengan melandaskannya kepada tiga teori dasar, yakni teori belajar sosial (social
learning) yang dicetuskan oleh Albert Bandura (1977), teori dampak priming (priming
effects) yang bertolak dari pandang Leonard Berkowitz (1983), dan teori script yang
disodorkan oleh L Rowell Huesmann (1986).1
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial diperkenalkan oleh ilmuwan bidang psikologi, Albert Bandura
pada tahun 1977. Teori ini bermula dari eksperimen yang dilakukan Bandura dkk. pada
tahun 1961 untuk menyelidiki gejala perilaku sosial pada anak-anak (khususnya
agresivitas) yang dianggap sebagai hasil dari proses belajar dengan cara observasi dan
imitasi.2 Dari penelitian yang terkenal dengan sebutan "Bobo Doll Experiment" tersebut,
ditemukan bahwa anak-anak belajar berperilaku sosial, khususnya kelakuan agresif,
melalui proses observasi dengan cara melihat perlaku orang lain. 3 Kesimpulan inilah
1 lihat McQuail, Denis, 2010, McQuails Mass Communication Theory: 6th Edition, London: Sage, hal.
480-481
2 dikutip dari McLeod, S A, 2011, Bandura - Social Learning Theory, artikel ilmiah, diunduh dari situs
http://www.simplypsychology.org/bandura.html
3 lihat McLeod, S A, 2011, Bobo Doll Experiment, artikel ilmiah, diunduh dari situs
http://www.simplypsychology.org/bobo-doll.html
yang kemudian digunakan Bandura sebagai dasar untuk memperkenalkan teori belajar
sosial pada tahun 1977.
Di dalam teori belajar sosial, Bandura menyatakan bahwa perilaku dipelajari
seseorang dari lingkungan sekitar melalui proses belajar dengan cara mengobservasi. 4
Bandura kemudian menguraikan tiga model dasar tindakan observasi sebagai proses
belajar sosial, yakni:5
1. A live model, pembelajaran melibatkan individu yang menunjukkan atau
memeragakan suatu perilaku.
2. A verbal instructional model, pembelajaran melibatkan deskripsi dan penjelasan
tentang suatu perilaku.
3. A symbolic model, pembelajaran terhadap karakter nyata maupun rekaan yang
menunjukkan perilaku-perilaku melalui buku, film, program televisi, dan media
online.
Beranjak dari model nomor tiga uraian Bandura tersebut, maka pemberitaan
televisi yang mempertontonkan perilaku kekerasan atau agresivitas, memiliki potensi
untuk digunakan pemirsanya sebagai symbolic model di dalam proses belajar sosial.
Namun Bandura sendiri mendeskripsikan teori belajar sosial ini lebih sebagai social
cognitive theory.6 Di dalam tindakan observasi sebagai proses belajar sosial, seseorang
akan melibatkan penilaian kognitifnya (Bandura menyebutnya sebagai intrinsic
reinforcement7) untuk membuka kemungkinan apakah ia akan menerapkan ke dalam
perilakunya.
Jadi, manakala televisi menayangkan berita yang menunjukkan para mahasiswa
pengunjuk rasa melempari aparat keamanan dengan batu di Jakarta, maka perilaku agresif
para pengunjuk rasa di televisi tersebut akan menjadi symbolic model dari proses
observasi seorang mahasiswa di daerah lain yang menontonnya. Jika si mahasiswa
tersebut sependapat dengan sikap para pengunjuk rasa (intrinsic reinforcement), dan
kemudian ia dan teman-temannya juga melakukan aksi unjuk rasa dan melempari aparat
keamanan setempat dengan batu, maka bisa jadi tindakan agresif tersebut dipengaruhi
4 dikutip dari Cherry, Kendra, 2014, How People Learn By Observation, artikel ilmiah, diunduh dari situs
http://psychology.about.com/od/developmentalpsychology/a/sociallearning.htm
5 ibid
6 ibid
7 ibid
oleh berita serupa di televisi. Namun jika ternyata si mahasiswa berbeda sikap dengan
para pengunjuk rasa di televisi, maka observasinya terhadap perilaku para pengunjuk rasa
di televisi kemungkinan besar tidak akan memicu perilaku susulan.
Mari kita lihat kejadian faktual tindakan agresif yang menyasar kelompok minoritas
Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia. Sepanjang tahun 2011 lalu, setidaknya tujuh
kali kelompok minoritas ini mengalami penyerbuan dan perusakan, diantaranya disertai
penganiayaan bahkan pembunuhan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas. 8 Seorang
pengkaji pluralisme menyebut bahwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah ini sebagai
siklus kekerasan yang terus berulang. 9 Diamati berdasarkan teori belajar sosial, maka ada
kemungkinan bahwa agresi susulan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terangsang oleh
pemberitaan aksi serupa yang terjadi sebelumnya di tempat lain. Sikap antipati terhadap
kelompok minoritas yang dianggap menganut ajaran sesat merupakan salah satu intrinsic
reinforcement dan pemberitaan perilaku agresif penyerbu Ahmadiyah bisa ditempatkan
sebagai symbolic model bagi individu anggota kelompok mayoritas di tempat lain.
9 Lihat Azis, Munawir, 11 Mei 2013, Siklus Kekerasan terhadap Ahmadiyah, artikel opini dimuat di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/11/224353/Siklus-Kekerasan-terhadapAhmadiyah, Semarang: Suara Merdeka.
10 Lihat Berkowitz, Leonard, 1964, The Effects of Observing Violence, Scientific American, Vol. 210, No.
2, 1964 (Scientific American Offprint 481), Scientific American, Inc., hal, 313-324
menggarisbawahi, mengutip pernyataan dari juru bicara dinas Secret Service AS,
ancaman pembunuhan terhadap Presiden Reagan ternyata meningkat tajam pada hari-hari
setelah media secara luas mengulas kasus ini.11
Perilaku agresif yang di-primed oleh media melalui ulasan-ulasan pemberitaan
memiliki potensi untuk memicu perilaku serupa dari individu-individu lain yang memiliki
latar belakang psikologis yang sama. Mengutip dari makalah ilmiah karya pasangan
David dan Beverly Roskos Ewoldsen12, beberapa penelitian yang sudah dilakukan
menunjukkan bahwa kekerasan di televisi dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, baik
jangka pendek maupun jangka panjang, serta dapat berpengaruh mulai dari menurunkan
kepekaan pada kekerasan hinga meningkatkan tindak kekerasan itu sendiri (Potter, 2003).
Bahkan Bushman dan Anderson (2001) menyebutkan bahwa kekuatan hubungan antara
melihat tayangan kekerasan di televisi dan perilaku agresif hampir setara dengan
hubungan antara merokok dua bungkus sehari dan kanker paru-paru. Beberapa studi juga
menjelaskan bahwa orang-orang yang sering melihat adegan kekerasan di televisi atau
memainkan video game kekerasan lebih sering memikirkan tentang hal-hal yang agresif
(Anderson, 2004).
11 lihat Berkowitz, Leonard, 1983, Violence on the Screen and Printed Page: Immediate Effects, bab di
dalam Aggression: Its Causes, Consequences, and Control, Philadelphia, PA: Temple University Press.
12 Makalah ilmiah berjudul CurrentResearchinMediaPriming ini dimuat di Nabi, Robin L dan Mary
Beth Oliver (ed.), 2009, The SAGE Handbook Media Processes and Effects, Los Angeles: SAGE, hal. 177192.
15 lihat Qian, Zhang, Dajun Zhang, dan Lixin Wang, 2013, Is Aggressive Trait Responsible for Violence?
Priming Effects of Aggressive Words and Violent Movies, makalah hasil penelitian dimuat di jurnal
Psychology Vol.4, No.2, 96-100,dipublikasikan secara online oleh SciRes
(http://www.scirp.org/journal/psych)
17 ibid
18 dikutip dari Anderson, Craig A. and Brad J. Bushman, 2002, Human Aggression, makalah ilmiah,
dimuat di dalam jurnal Annu. Rev. Psychol. 2002. 53:2751, AnnualReviews
19 ibid
agresif? Bagaimana pola hubungan antara redaksi, para jurnalis di lapangan, dan para
pelaku tindakan agresif di dalam menghasilkan berita-berita berunsur kekerasan?
Secara teoritis, untuk mununjuk alasan di balik pemuatan berita televisi, bisa
dilihat melalui pendekatan terkait prinsip-prinsip ekonomi industri media televisi yang
menggantungkan pendapatannya dari pengiklan. Untuk mendapatkan iklan, redaksi
televisi harus menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya (rating tinggi) dengan cara
menampilkan visual-visual sesuai kemauan pemirsanya. Kondisi seperti ini secara umum
disimpulkan oleh McQuail dengan menyatakan bahwa media yang memiliki
ketergantungan yang tinggi pada iklan akan cenderung mengabaikan isi atau informasi
yang disampaikan.20 McQuail menambahkan, dengan mengutip Tunstall (1991), bahwa
prinsip ekonomi media dalam menghadapi persaingan untuk meraih sumber pendapatan
tunggal, mengakibatkan keseragaman.21 Jadi jika pemuatan materi dengan unsur
kekerasan ternyata menjadi yang paling dimaui pemirsa, maka pola seperti ini akan
diikuti redaksi di televisi nasional lainnya.
Pandangan teoritik yang mendasari bagaimana televisi bekerja menayangkan berita
mengacu kepada teori gatekeeper yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin (1947)22.
Berdasarkan
perannya
sebagai
gatekeeper
ini,
televisi
di
dalam
aktivitas
21 ibid
22 lihat Roberts, Chris, August 2005, Gatekeeping theory: An evolution, makalah ilmiah, San Antonio,
Texas: Association for Education in Journalism and Mass Communication.
23 lihat Clayman, Steven E dan Ann Reisner, Apr 1998, Gatekeeping in action: Editorial conferences and
assessments of newsworthiness, makalah hasil penelitian dimuat di American Sociological Review; 63, 2;
ABI/INFORM Global
edisi pemeberitaan yang akan diterbitkan atau ditayangkan. Keputusan rapat redaksi yang
dihasilkan melalui assesment terhadap newsworthiness dilakukan melalui proses yang
kompleks.24
Secara khusus, kriteria newsworthiness berita televisi adalah menekankan kepada
pertimbangan audio-visual. Bahkan di dalam beberapa kasus, pertimbangan audio-visual
lebih utama dibandingkan pertimbangan newsworthiness yang berpijak kepada kriteriakriteria nilai berita (news value) yang umum (proximity, relevance, immediacy, interest,
drama, dan entertainment25). Pemahaman ini tidak ditolak oleh Frank Barnas dan Ted
White di dalam karya mereka berjudul
Producing (2013) dengan membenarkan pernyataan: Poor pictures, short stories; good
pictures, long stories!26
Kriteria berita yang ditetapkan redaksi televisi dengan mengedepankan gambar yang
dinamis27 tentu kemudian menjadi panduan kerja jurnalis televisi pada saat melakukan
peliputan di lapangan. Jurnalis akan selalu berkomunikasi dengan redaksi yang berada di
dalam maupun di luar newsroom, untuk mendapatkan panduan sebelum, pada saat,
ataupun sesudah melakukan peliputan.
Menarik untuk mengamati kebiasaan-kebiasaan para redaksi pemberitaan televisi
di Jakarta saat berkomunikasi dengan para jurnalis yang tengah melaporkan situasi
peliputannya di lapangan. Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para jurnalis
sebagai penjajakan newsworthiness kejadian berpotensi aksi agresif, mengindikasikan
hasrat penayangan visualisasi tindakan agresif. Saat seorang jurnalis di lapangan
menelpon seorang redaksi melaporkan kejadian unjuk rasa, sudah biasa si redaksi akan
langsung menanyakan: Bentrok nggak? atau Rusuh nggal? Dari pertanyaan ini bisa
diproyeksikan bahwa peristiwa unjuk rasa yang diwarnai bentrokan atau kerusuhan akan
ditayangkan, namun jika tidak, belum tentu si redaksi menayangkannya.
24 ibid
25 lihat Boyd, Andrew, 1988, Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television
News. London: Focal Press, hal. 18
26 Barnas, Frank dan Ted White, 2013, Broadcast News Writing, Reporting, and Producing: sixth edition,
Burlington, MA: Focal Press
27 istilah ini biasa saya gunakan pada saat bekerja sebagai redaksi berita televisi untuk mengkategorikan
materi audio visual yang bergerak secara sequential action shots maupun follow shot seiring gerakan
subyek visual.
Lebih menarik lagi saat kita amati bagaimana para jurnalis lepas 28 memahami kriteria
newsworthiness peristiwa unjuk rasa dari cara mereka berhubungan dengan redaksi.
Sehari-hari mereka menggunakan email untuk menginformasikan berita-berita yang telah
mereka liput. Aksi unjuk rasa adalah peristiwa yang jamak terjadi di berbagai daerah di
Indonesia pada era reformasi ini. Tanpa visualisasi aksi agresif, peristiwa-peristiwa ini
dianggap sudah tidak memiliki newsworthiness lagi. Sementara para jurnalis lepas
bersaing satu sama lain agar peristiwa tersebut ditayangkan di tengah keterbatasan durasi
program. Di sisi lain, redaksi juga memiliki keterbatasan waktu untuk mem-preview satu
per satu video-video kiriman para jurnalis dari seluruh Indonesia. Para redaksi lebih
sering hanya membaca subject (judul) dari email yang dikirim para jurnalis lepas mereka
untuk memilih mana yang dianggap layak untuk ditayangkan. Kondisi ini kemudian
dipahami oleh para jurnalis lepas dengan cara menuliskan judul email mereka yang
mengindikasikan adanya visualisasi aksi agresif, contohnya: Demo BBM Mahasiswa
Makassar - Bakar Mobil Tanki, Demo Buruh Surabaya Rusuh, Penertiban PKL di
Tegal - Bentrok dengan Satpol PP, dan sebagainya. Para jurnalis lepas menggunakan
kata-kata tambahan, seperti bakar, rusuh, bentrok, untuk mengasosiasikan hasil
peliputan mereka dengan hasrat para redaksi televisi akan visualisasi tindakan agresif.
Tidak hanya berhenti kepada para jurnalis di lapangan, hasrat akan visualisasi aksi agresif
ini juga menjalar kepada pelaku yang menjadi subyek berita. Sudah umum di dalam
setiap unjuk rasa, para pelakunya berkeinginan agar tuntutan mereka mendapatkan
ekspos yang luas sehingga mempengaruhi pihak yang mereka tuntut. Apa yang terjadi di
kota Makassar menarik untuk diamati. Para mahasiswa pelaku unjuk rasa di kota tersebut
biasa mengundang para jurnalis untuk meliput aksi unjuk rasa yang hendak mereka
lakukan. Ternyata para pengunjuk rasa ini sudah memahami tentang bagaimana aksi
unjuk rasa yang menarik perhatian para redaksi di Jakarta untuk memuatnya di dalam
berita nasional. Mereka akan menginformasikan secara tidak resmi kepada para jurnalis
yang mereka undang tentang rencana aksi agresif di tengah unjuk rasa yang akan mereka
lakukan.29
Situasi yang hampir sama juga terjadi beberapa tahun lalu pada peristiwa
penyerbuan disertai perusakan dan penganiayaan oleh sebuah ormas ke kantor redaksi
28 Beberapa televisi di Indonesia menggunakan sebutan koresponden atau kontributor untuk para
jurnalis yang bekerja kepada mereka dengan pola hubungan beli-putus; diberikan honor hanya jika berita
mereka ditayangkan.
29 Informasi ini saya dapatkan saat beberapa kali menjalankan tugas di Makassar sebagai redaksi berita
televisi nasional yang berhubungan langsung dengan para jurnalis lepas di sana.
majalah Tempo dan kantor LSM Kontras. Pada dua kasus ini, ormas-ormas pelaku
tindakan agresif mengirimkan undangan kepada para jurnalis secara berantai melalui
SMS beberapa saat sebelum melakukan penyerbuan. Di tempat kejadian, para anggota
ormas ini tampak mengalami gejala keranjingan untuk menunjukkan aksi agresif mereka
di depan kamera televisi yang tengah merekam. 30 Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan Berkowitz terkait kasus Hinckley, Jr. bahwa beberapa pemberitaan yang
memuat tindakan agresif memancing tindakan-tindakan serupa baik dari pelaku yang
sama maupun pelaku-pelaku lain.
Pembatasan untuk Melindungi
Pembatasan dan pengawasan secara khusus oleh pihak internal televisi terhadap
materi pemberitaannya perlu diintensifkan di dalam upaya melindungi kelompokkelompok minoritas yang berpotensi menjadi sasaran tindakan agresif oleh kelompok
mayoritas, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Peningkatan pembatasan dan
pengawasan ini diterapkan baik pada tataran kebijakan maupun pedoman teknis.
Sebenarnya pedoman teknis jurnalistik terkait hal ini banyak tersedia dan sudah dipahami
khususnya oleh sebagian redaktur senior. Namun kebanyakan mereka abai di dalam
pengawasan dan beberapa kali kecolongan hingga melolos-tayangkan materi yang secara
vulgar menggambarkan aksi agresif.
Secara legal formal, sebenarnya kita sudah memiliki lembaga dan seperangkat
aturan yang membatasi pekerjaan jurnalistik dari pemuatan unsur-unsur kekerasan.
Artinya, secara resmi, kita menyetujui adanya pembatasan terhadap pemuatan materi
berunsur kekerasan. Namun di dalam praktiknya, tingkat kesadaran dari banyak pekerja
jurnalistik
televisi
belumlah
seperti
yang
diharapkan.
Diperlukan
usaha
30 Informasi ini saya dapatkan saat menjalankan tugas menjadi jurnalis televisi dan meliput langsung dua
kejadian tersebut.