Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

HUKUM PERBANKAN
Mengenai Bank Syariah Di Indonesia

Oleh:
Tri Hadi Mulyono

E0013398

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

1.

Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah


Filsafat
Bank Syariah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam
seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang
menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan
oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang
dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil.
Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah
diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti
sistem bunga berbunga yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya
kewajiban salah satu pihak. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar
disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.

Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada
pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar
beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen. Dengan kata lain bunga bank adalah
sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non Islam) sebagai suatu
lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian
disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan
usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran
Islam. Karena bunga telah berakar sedemikian dalam kehidupan masyarakat, Allah Yang
Mahabijaksana dan Mahamengetahui menurunkan larangan bungan secara bertahap,
sehingga aturan baru ini tidak mengacaukan pertumbuhan kehidupan ekonomi masyarakat
atau akan menimbulkan kesulitan bagi setiap masyarakat. Bedanya riba dengan bunga/rente
(bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente
(bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif. Namun demikian, pada hakikatnya

baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi
peminjam.
Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar
zakat, menghimpun, dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang
melekat pada Bank syariah untuk penggunaan dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
Produk
Bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja
sama atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah), dan prinsip sewa (ijarah). Sedangkan
pada Bank konvensional terdapat deposito, pinjaman uang tunai berbunga, dll.
Tujuan
Prinsip laba bagi Bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena Bank syariah
mengupayakan bagaimana memanfaatkan sumber dana yang ada untuk membangun
kesejahteraan masyarakat.
Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan
laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan
teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan
rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan untuk memberikan sangsi.

Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris convention, dalam bahasa
Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme
operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan
(kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak
pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba
dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu
yang bukan hak milik demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian

bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang
No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Di
Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1. Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah
bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2. Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang
baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan
kepada nasabah tidak bertambah.
Perbedaan pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara ringkas
dapat dilihat seperti terlihat pada tabel berikut ini:
No
1

Perbedaan Aspek
Falsafah

Operasional

Sosial

Organisasi

Fungsi

BankIslam (Bank Syariah)


Tidak berdasarkan atas bunga,
spekulasi dan ketidakjelasan
- Dana masyarakat berupa titipan
dan investasi yang baru akan
mendapatkan
hasil
juka
diusahakan terlebih dahulu

Bank Konvensional
Berdasarkan atas bunga

- Dana masyarakat berupa


simpanan yang harus
dibayar bunganya pada
saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor
- Penyaluran pada sektor usaha yang
menguntungkan,
yang halal dan menguntungkan
aspek halal tidak menjadi
pertimbangan utama
Dinyatakan secara eksplisit dan Tidak tersirat secara tegas
tegas yang tertuang dalam Visi
dan Misi bank
Harus memiliki Dewan Pengawas Tidak memiliki Dewan
Syariah (DPS).
Pengawas Syariah.
Bisnis dan Sosial
Bisnis

2. Prospek Bank Syariah Dalam Menghadapi Krisis Moneter


Dalam dunia perbankan di Indonesia , krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998
membuktikan kekuatan imunitas lembaga perbankan syariah dibandingkan dengan Bank
Konvensional yang pada saat itu rata-rata mengalami kebangkrutan. Sebanyak 650 Trilyun dana
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sepenuhnya mengalir pada Bank Konvensional,
bukan pada Bank Syariah yang pada saat itu adalah Bank Muamalat, Bank Syariah pertama dan
satu-satunya di Indonesia pada masa itu. Imunitas Bank Muamalat pada saat itu membuat isu
mengenai perbankan syariah melejit sebagai salah satu alternatif baru di dunia perbankan.
Pengalaman pada masa krisis ekonomi 1997-1998 menciptakan banyak kajian mengenai alasanalasan mengapa Bank Syariah lebih mampu bertahan dalam krisis ekonomi dibanding dengan
Bank Konvensional seiring dengan tumbuhnya Bank-Bank Syariah baru di Indonesia.
Pertahanan sistem perbankan Indonesia kembali diuji ketika krisis ekonomi kembali
terjadi pada pertengahan tahun 2008. Diawali dengan kolapsnya lembaga-lembaga keuangan
Amerika seperti beberapa bank-bank komersial, lembaga investasi dan lembaga keuangan non
bank yang besar di negeri Adidaya ini. Dan tentunya krisis, mengimbas kepada lembaga-lembaga
keuangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perekonomian maupun perbankan Indonesia menghadapi permasalahan krusial akibat
dampak krisis ekonomi global, sejak September 2008 hingga 2010 meskipun tidak separah di
tahun 1997. Salah satu elemen yang menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi krisis
ekonomi global adalah dengan mulai tumbuhnya perbankan syariah di negeri kita. Selain BMI,
bank-Bank Konvensional mulai menerapkan dual banking System, Seperti Bank Mandiri,
mempunyai Bank Syariah Mandiri, begitu pula Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia,
mempunyai

divisi

syariah

ataupun

Bank

Syariah.

Bank-bank

swasta

pun

telah

memperlakukan dual banking System,seperti Bank Niaga, Bank IFI, Bank Permata, BCA
maupun bank-bank pemerintah, BUMN, maupun bank swasta lainnya. Bukti nyata eksistensi
perbankan syariah di tengah krisis ekonomi global adalah pada periode tersebut Bank Muamalat
justru berhasil membukukan laba lebih dari 300 Milyard (Fachrizal, 2009).

Krisis moneter dan penurunan nilai tukar rupiah terjadi karena adanya krisis kualitas
lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku
bunga

sebagai

penyebab

dari

krisis

moneter

mengakibatkan

ambruknya

dunia

perbankan konvensional dan sektor riil yang berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan
ekonomi.Ada beberapa hal yang terjadi pada Bank Konvensional dan perekonomian Indonesia
ketika krisis moneter melanda:
Pertama, Perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup
untuk operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk mengembalikan
dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan pengembalian dana pinjaman dari
pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk
mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga
melonjak tinggi, kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter
perbankan konvensional.
Hal yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank
disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi
antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang
dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut.
Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan
tanggung jawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika
terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai
kesepakatan.
Namun bukan berarti dengan tidak digunakannya sistem bunga di Bank Syariah maka
perbankan syariah tidak akan terpengaruh sama sekali dengan krisis ekonomi. Pengaruh ini
sedikit banyak akan tetap dirasakan oleh Bank Syariah Ketika suku bunga Bank naik, maka
kredit menjadi mahal dan kegiatan investasi menjadi surut. Hal ini mengakibatkan kegiatan
perekonomian di masyarakat menurun. Penurunan aktivitas ekonomi ini berakibat pada
penurunan profit usaha yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan bagi hasil yang bisa
diberikan oleh Bank Syariah. Jika aktivitas ekonomi menurun tajam, maka nilai bagi hasil bisa
menjadi sangat kecil. Kecilnya nilai bagi hasil ini bisa mempengaruhi jumlah nasabah yang
menggunakan jasa Bank Syariah, sehingga Bank Syariah harus benar-benar mempertimbangkan

langkah untuk menjaga nilai bagi hasil ini untuk mempertahankan nasabahnya, termasuk, salah
satu jalannya, dengan memangkas margin keuntungannya.
Kedua, Bank Konvensional berbasis sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ekonomi
yang berbasis kapitalis, prinsip dasarnya adalah interest base yang menempatkan uang sebagai
komoditi yang diperdagangkan. Hal ini ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap
kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Perdagangan valas yang cenderung
mengarah kepada spekulasi yang memanfaatkan rumor-rumor politik untuk mengeruk
keuntungan sempit sesaat yang dapat merugikan sendi-sendi perekonomian secara mekro
menggambarkan sebuah distorsi terhadap paradigma tentang uang dan fungsi substansialnya.
Menurut ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas sebagaimana
yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut
ekonomi syariah, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor
riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan impor, berbelanja atau membayar jasa di luar
negeri, dan sebagainya. Jual beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam
perspektif syariah. Jual beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif
bagi perekonomian, antara lain menimbulkan ketidakstabilan mata uang, sehingga menggusarkan
para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas cenderung mendorong
jatuhnya nilai mata uang rupiah dan selanjutnya berakibat bagi terjadinya inflasi adalah realitas
ekonomi yang tidak diinginkan ekonomi syariah.
Meskipun Bank Syariah menghindari jual beli valas bukan berarti gejolak valas yang
terjadi di luar perbankan syariah tidak berpengaruh pada sistem yang dimilikinya. Ketika nilai
tukar rupiah bergejolak, maka bahan baku dan barang modal yang dibeli dari luar negeri akan
meningkat harganya, hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat dan mengurangi profit
pengusaha. Berkurangnya profit inilah yang akan berdampak pada Bank Syariah, yaitu
berkurangnya jumlah bagi hasil. Dalam segi pembiayaan, ketika rupiah melemah maka nilai
utang perusahaan yang dinilai dengan rupiah akan membengkak dan berpengaruh juga jika
pembiayaan perusahaan tersebut didanai oleh Bank Syariah.

Ketiga, perbankan konvensional juga cenderung kurang dalam pengembangan sektor riil
dan lebih bermain pada transaksi yang spekulatif berdasarkan nilai suku bunga. Ini yang
dikabarkan menjadi biang terjadi krisis moneter.
Dalam ekonomi syariah, segala bentuk transaksi maya dilarang. Bila transaksi ini
dibolehkan, maka pasar uang akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pasar barang
dan jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang akan menjadi sumber krisis. Transaksi mudharabah (
Trust financing / trust invesment ) dan musyarakah ( joint financing ) yang diterapkan Bank
Syariah, jelas mengaitkan sektor moneter dan sektor riil. Demikian pula transaksi jual beli
murabahah (deferred payment sale), salam ( in front payment sale ),istisna ( purchase by order
or manufacture ), dan ijarah ( leasing ),semakin tampak keterkaitan antara sektor moneter dan
sektor riil.
Oleh kerena itu pula, salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang ( makud
alaih). Dengan demikian, future tradingdan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman
barang adalah tidak sah, sebagaimana yang banyak terjadi dalam bisnis spot komoditi saat
ini. Jelaslah bahwa konsep ekonomi syariah menjaga keseimbangan sektor riil dan sektor
moneter. Begitu pula dengan perbankan syariah yang pertumbuhan pembiayaan tidak dapat
terlepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya.
Kemudian sistem manajemen syariah disebut-sebut dan diyakini dapat menjadi solusi
dalam membangun kembali sistem perekonomian di Indonesia. Sistem ini menggarisbawahi
bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat
diperdagangkan, apalagi mengandung unsur spekulasi yang diyakini dapat mendatangkan
kerugian bagi masyarakat. Selain itu, sistem syariah juga menekankan bahwa peredaran uang
tidak boleh terjadi hanya dibeberapa kelompok saja, karena akan terjadi konsentrasi modal yang
mengakibatkan lumpuhnya perekonomian pada masyarakat ditingkat bawah. Hal-hal tersebut
yang menjadi pembeda antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah.sehingga bank syariah
dianggap mampu dan memiliki imunitas dalam menghadapi krisis moneter.

3. Lembaga Yang Mengontrol Bank berlabel Syariah


a. Dewan Syariah Nasional
Dewan Syariah merupakan sebuah lembaga yang berperan dalam menjamin ke-Islaman
keuangan syariah di seluruh dunia.Di Indonesia, peran ini dijalankan oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 dan
dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754/MUI/II/1999 tanggal 10 Februari
1999.
Dewan Syariah Nasional bertugas:
Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan
reksa dana.
Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
Wewenang dari Dewan Syariah Nasional:
Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah

dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.


Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan

oleh instansi yang berwenang seperti Departemen Keuangan dan BI.


Memberikan rekomendasi dan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk

sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.


Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam dan

luar negeri.
Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan

penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.


Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila

peringatan tidak diindahkan.


Mekanisme Kerja
DSN mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN

DSN melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana

diperlukan.
Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual
report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi

segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
b. Dewan Pengawas Syariah
Berdasarkan Surat Keputusan DSN No. 3 tahun 2000, dijelaskan bahwa Dewan
Pengawas Syariah (DPS) adalah bagian dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang
bersangkutan, dimana penempatannya atas persetujuan DSN.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS):
Melakukan pengawasan secara periodik

pada LKS

yang berada di

bawah

pengawasannya.
Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang

bersangkutan dan kepada DSN.


Melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN

sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran.


Merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
Struktur Dewan Pengawas Syariah DPS
Kedudukan DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris

sebagai pengawas direksi.


Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka
DPS melakukan pengawasan kepada manajemen dalam kaitan dengan implementasi

sistem dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam.


Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem

pembinaan ke-Islaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.


Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut..
Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro

Syariah
Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Setiap LKS harus memiliki setidaknya tiga orang anggota DPS.
Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
Masa tugas keanggotaan DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian
antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh LKS yang
bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.

Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah(DPS)


DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang

berada di bawah pengawasannya.


DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah

kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.


DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang

diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.

Daftar isi
1. http://rowchie.blogspot.com/2010/03/peluang-pengembangan-perbankansyariah.html
2. http://partikeluang.blogspot.com/2012/06/perbankan-syariah-solusi-alternatif.html

3. https://maxzhum.wordpress.com/2009/04/22/fungsi-dewan-syariah-nasional-dan-

dewan-pengawas-syariah/

Anda mungkin juga menyukai