Anda di halaman 1dari 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI

Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan
pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan
dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Artinya pengguna sebagaimana dimaksud menurut pendapat saya adalah pelanggan, karena
pembuktian kebenaran secara de facto maupun de jure hanya diberikan kepada pihak yang
memiliki hubungan hukum. Dalam hal ini hanya pelangganlah pengguna yang memiliki
hubungan hukum dengan operator telekomunikasi. Jika penyelenggara jasa telekomunikasi
(operator telekomunikasi) terbukti membuat klasul kontrak yang membolehkan data transaksi
pelanggan diberikan kepada pihak lain dan menerapkannya, maka menurut pendapat kami dapat
dikatakan operator tersebut melanggar UU Telekomunikasi maupun PP Telekomunikasi.
Contoh kasus pada pasal 41 Aturan Permintaan Rekaman dari Operator Telekomunikasi:
1. Saya mempunyai pengalaman pada saat melaporkan suatu kasus teror via sms, oleh
petugas polisi akhirnya dibuat laporan "perbuatan tidak menyenangkan". Berbekal surat
laporan, saya bersama petugas polisi meminta keterangan kepada kantor operator
telekomunikasi untuk mengetahui data/posisi pemilik nomor hp yang menteror via sms,
tetapi jawaban dari bagian legal-nya adalah mereka tidak bisa memberikan data yang
diminta, karena ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun. Pertanyaan saya,
apakah tindakan dari bagian legal operator itu dibenarkan? Dan dasar hukumnya apa?
Jawaban:

Permintaan data atau biasa disebut sebagai permintaan rekaman atau bisa juga disebut
permintaan Call Data Record (CDR) terkait penggunaan jasa telekomunikasi diatur secara
jelas berdasarkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi). Penyelenggara Jasa
Telekomunikasi (operator) berdasarkan Pasal 18 UU Telekomunikasi dan Pasal 16
Peraturan Pemerintah Nomor 52. Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(PP 52) wajib mencatat/ merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang
digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
Pemberian rekaman berdasarkan perspektif UU Telekomunikasi dibagi 2 (dua), yaitu
pemberian rekaman kepada pengguna jasa telekomunikasi dalam rangka pembuktian kebenaran
pemakaian fasilitas telekomunikasi dan pemberian rekaman untuk keperluan proses peradilan
pidana.
Berdasarkan Pasal 41 UU Telekomunkasi, terdapat 2 (dua) jenis perekaman yang diatur yaitu:
1.

Perekaman Pemakaian Fasilitas Telekomunikasi yaitu perekaman yang dilakukan


penyelenggara jasa telekomunikasi yang bersifat wajib (mandatory) untuk keperluan
pengguna jasa telekomunikasi itu sendiri, seperti perekaman rincian data tagihan

2.

(billing) dan lain-lain.


Perekaman Informasi yaitu perekaman informasi tertentu yang diatur sesuai
peraturan

perundangundangan, seperti rekaman percakapan antarpihak yang

bertelekomunikasi.
Kendali dari Pasal 41 UU Telekomunikasi tersebut terdapat pada Pasal 42 UU
Telekomunikasi, yang mana
operator telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima
oleh

pelanggan jasa telekomunikasi

melalui jaringan telekomunikasi dan

atau jasa

telekomunikasi yang diselenggarakannya.


Sanksi jika operator tidak menjaga kerahasiaan tersebut adalah pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 57 UU Telekomunikasi).
Pasal 42 Ayat 3

Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pasal tersebut, yang berhak membuka rekaman pemakaian jasa telekomunikasi,
selain pengguna berkepentingan memakai jasa, adalah Jaksa Agung dan/atau Kapolri dan
penyidik untuk tindak pidana tertentu. Selain dari yang disebutkan dalam UU Telekomunikasi
haram hukumnya diberi rincian pemakaian atau sekedar informasi. Tata cara permintaannya
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, untuk hal tindak pidana dan demi
kelancaran proses peradilan, maka rekaman rincian pemakaian jasa telekomunikasi dapat dibuka,
dengan catatan berdasarkan permintaan aparat penegak hukum.
Prosedur permintaan detail catatan dan rekaman pemakaian jasa telekomunikasi

Ada permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan/atau Kapolri

Permintaan tertulis tersebut ditembuskan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika

Rekaman harus merinci obyek yang direkam, masa rekaman, dan waktu laporan

Hasil rekaman disampaikan secara tertulis kepada Jaksa Agung dan/atau Kapolri atau
penyidik secara RAHASIA, bukan diumbar ke publik.

Contoh kasus
Pelanggaran Penyadapan Australia Menanggapi sejumlah pemberitaan hari ini terkait dengan
beberapa kali tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat
pemerintah Indonesia, bersama ini disampaikan sikap dan pandangan Kementerian Kominfo
sebagai berikut:
1.

Kementerian Kominfo searah dengan penyataan Menteri Luar Negeri Marty


Natalegawa dalam jumpa persnya pada tanggal 18 November 2013 sangat

2.

menyesalkan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia.


Untuk langkah selanjutnya, Kementerian Kominfo akan menunggu langkah-langkah
berikutnya dari Kementerian Luar Negeri mengingat penanganan masalah tersebut
leading sector-nya adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

3.

Dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuantujuan tertentu tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus izin pimpinan aparat
penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi
menyebutkan (ayat 1), bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya;
dan ayat (2) bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan
atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik
Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana
tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula kemungkinan
penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31
ayat (3) UU ITE yang menyebutkan, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang
dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt542035736d3d2/aturan-hukum-pemberianinformasi-terkait-pengguna-kartu-seluler
http://barcelonista17.blogspot.com/2014/09/contoh-kasus-pelanggaran-net-etik-uu-ite.html

Anda mungkin juga menyukai