Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara
yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri
dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad
ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini
juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum:
a) Untuk memenuhi tugas Mata Ajar Keperawatan Anak dengan Difteri
b) Diperoleh pengalaman dalam membuat Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri
2. Tujuan Khusus:
a) Mampu melakukan pengkajian pada anak dengan Difteri
b) Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien anak dengan Difteri
c) Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada anak dengan Difteri
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien anak dengan Difteri
e) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan Difteri

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas
bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI:
2007).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit,
yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium
ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan
diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini
(Acang: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau
mukosa (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008).
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan local (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
2.2 JENIS-JENIS DIFTERI
1. Anterior nasal difteri

Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah)
yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik
toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar

Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin
diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam
jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya
edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring

Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak,
dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan
kematian.
4. Difteri kulit
3

Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus
dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari
konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri
dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal
jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering
mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan
kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas,
terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan
tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah
berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir. (Iskandar,Nurbaiti,dkk:2000)

2.3 FAKTOR RESIKO DIFTERI


Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan
kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :
1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang
tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang
menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang
rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat
mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
4

4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi rendah
dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.
Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu. (Hastomo:2008)
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 C, ada pseudomembrane bisa di
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak
jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya,
walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. (Hastomo:2008)
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher
sering terjadi. (Hastomo:2008)
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi
dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang
timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak
penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian
yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
paralysis jaringan saraf atau nefritis. (Ditjen P2PL Depkes,2003)
2.5 PATOFISIOLOGI
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
5

sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,2003).

2.6 ETIOLOGI
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi
kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini,
karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type
gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Widoyono, 2005).
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan
mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan
bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring.
6

Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran


ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan
bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan
dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman
difteri menurun dengan drastic (Hastomo, 2008).

2.7 PATOGENESIS
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi
penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama
saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang
lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel
epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih
berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan
mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct
toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot
pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan
dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan
faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada
obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat
komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

2.8 PATHWAY
Corynebacterium diphteriae Kontak langsung
dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang
yang terkontaminasi
Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau
pernafasan
7

Aliran
sistemik
Masa inkubasi 2-5 hari

Mengeluarkan toksin
(eksotoksin)

Nasal

Tonsil/faringeal

Laring

Pelebaran pembuluh darah dan mengeluarakan sel


darah putih
Se-sel epitedi sekitar rusak dan terbentuk
membran putih
Peradangan
mukosa hidung (flu,
sekret hidung
serosa)
Bersihan jalan
nafas tidak efektif
dan ansietas
terhadap adanya
sekret

Tenggorokan sakit,
demam, anoreksia,
lemah membran
berwarna putih atau
abu-abu, linfadenitis
(bulls neck), toxemia,

Demam, suara
serak, batuk,
obstruksi
saluran nafas,
sesak nafas,
sianosis

Pemenuhan nutrisi
berkurang, sehingga
berat badan menurun

RR tidak efektif

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala
klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena preparat smear kurang dapat di percaya,
sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari.
8

Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa
penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.tetapi membran pada difteri agak berbeda
dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan
disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat
terjadi pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
I.
Diagnosis Banding
Pada difteri nasal perdarahan yang timbul Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka
dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.
Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih.anak harus dianggap sebagai
penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran
putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat.tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang
tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah,faring dan tonsil tampak hiperimis dengan
membran putih kekuningan,rapuh dan lembek,tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada
tonsil saja.
Angina plaut vincent
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh,tebal,berbau dan tidak mudah
berdarah.sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram
negatif).
Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai
pembengkakan kelenjar umum.khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah
tepi.
Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)
Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil.difteri laring harus
dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran
rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanyaakan memberikan gejala
stridor inspirasi dan sesak. (Hastomo:2008)
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1. Miokarditis

Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit Pemerikasaan
Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tandatanda payah jantung. Gambaran EKG :
Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan
perubahan interval QT
Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelectasis
3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama
sistem motorik (terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit dan tanda-tanda
renjatan : TD menurun (systol 80 mmHg), Tekanan nadi menurun, Kulit keabu-abuan dingin
dan basah, serta anak gelisah). (IKA FKUI :2007)

2.10 PENATALAKSANAAN DIFTERI


1. Tindakan Umum
Tujuan :
a.

Mencegah terjadinya komplikasi

b.

Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum

c.

Mengatasi gejala /akibat yang timbul

Jenis Tindakan :
a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk
hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada
kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
c. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma,
laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
d. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
e. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
f. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
10

g. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas : Berikan Oksige, Trakeostomi, yang mana
disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson:
1)

Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal

2)

Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah

3)

Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah

4)

Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu
tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.

Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.


2. Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
1. 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil
secara unilateral/bilateral.
2. 80.000 IU untuk difteri berat,yakni luas membran menutupi hingga melewati toksil,
meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
3. 120.000 UI untuk difteri sangat berat,yakni ada bull neck,kombinasi difteri laring dan
faring,komplikasi berupa miokarditis,kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit


Tipe difteri

Dosis DS (KI)

Cara Pemberian

Difteri hidung

20.000

IM

Difteri tonsil

40.000

IM atau IV

Difteri faring

40.000

IM atau IV

Difteri laring

40.000

IM atau IV

11

Kombinasi lokasi di atas

80.000

IV

Difteri + penyulit, bullneck

80.000-120.000

IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi


dimana saja

80.000-120.000

IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam
200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh
karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik pada pemberiann.ya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan
Uji Kepekaan
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan
sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan (dosisnya 0,01 cc/kg BB
im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
1. Tes kulit
- SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah
15- 20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit
10 mm. Tes Mata.1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada
salah satu kelopak mata bagian bawah 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras
pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 20 menit kemudian , Dianggap (+)
bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ) , Konjungtivitis diobati
dengan adrenalin 1:1000. Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak
diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis
yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit.
SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
12

2.

3.

SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik
segera berikan adrenalin 1:1000.
Antibiotik
Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia). (IKA FKUI
:2007)

2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab)
Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
Enzim CPK, segera saat masuk RS
Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi
biasa dilakukan 2-3x seminggu.
Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat
menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan
dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji
Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam.
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan
dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi.
Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

13

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan
Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan
klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi
dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya
10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri
dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi
terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya
menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin
akan menetap selama beberapa hari.
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat
positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji
schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan
ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif
palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. ( Kadun I Nyoman: 2006)

2.12 PENGOBATAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1.
Pengobatan Umum
14

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
humidifier.
2.
Pengobatan Khusus
-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
-Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin, Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
-Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
3.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
4.
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa
tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
5.
Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. (Widoyono:2005)
Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri
Biakan

Uji Shick

Tindakan

(-)

(-)

Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan


booster toksoid difteria
15

(+)

(-)

Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan,


atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

(+)

(+)

Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB


+ ADS 20.000 KI

(-)

(+)

Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

2.13 PENCEGAHAN
1.

2.

3.

Isolasi
Penderita penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturutturut.
Imunisasi
Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang
waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang
telah di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml
subcutan atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir
dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya
setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus
(vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.
Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri
Dilkukan dengan uji schick,yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah
mendapat imunisasi)mka harus dilakukan hapusan tenggorok.jika ternyata ditemukan
corynebacterium diphtheria,penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
(Widoyono:2005)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a).

IDENTITAS

b).

RIWAYAT KESEHATAN
16

Riwayat Kesehatan Sekarang


Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri
Riwayat Kesehatan Dahulu
Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala
difteri yang masih akut
Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri
c).

PEMERIKSAAN FISIK

Memeriksa TTV pada anak dan bmelakukan observasi secara IPPA dari kepala samapai kaki
(Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring
dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog
Pemeriksaan fisik ROS
B1

: Breathing (Respiratory System)


RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring,
penumpukan sekret dihidung,

B2

: Blood (Cardiovascular system)


Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.

B3

: Brain (Nervous system)


Normal

B4

: Bladder (Genitourinary system)


Normal

B5

: Bowel (Gastrointestinal System)


Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

B6

: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit

d).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
17

Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit. Jika
orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan
tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan
terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 7 hari. Jika
uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun
harus diimunisasi secara aktif.
e).

POLA AKTIVITAS

1. Pola nutrisi dan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu amakan
berkuarang (anoreksia) muntah dsb
2. Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat frekuensi
sehari
3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah
dan lesu
4. Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur
5. Kognitif & perseptual : anak akan susah berkonsentrasi
6. Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih dalam tahap
perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita atau kerna
perspisahan
7. Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
2. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang kurang).

18

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit


(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

3.3 RENCANA KEPERAWATAN


DIAGNOSA
NOC
NIC
KEPERAWATAN
Tidak efektifnya
Tujuan dan kriteria : Intervensi:
jalan nafas
Anak akan menunjukan
Mengkaji status pernafasan dengan
berhubungan
tanda jalan nafas efektif
menobservasi irama dan bunnyi
dengan obstruksi
pernafasan
pada jalan nafas.
Mengatur posisi kepala dengan posisi
ekstensi
Melakukan suction jalan nafas jika
terdapat sumbatan
Melakukan fisioterapi dada
Mempersiapkan anak untuk
dilakukan trakeostomi
Melakukan pemeriksaan analisa gas
darah
Melakukan intubasi jika ada indikasi
Resiko
Penyebar luasan infeksi
penyebarluasan
tidak terjadi
infeksi
berhubungan
dengan organisme
virulen.

Menempatkan anak pada daerah


khusus
Mempertahankan isolasi yang ketat
di rumahg sakit
Menggunakan prosedur perlindungan
infeksi jika melakukan kontak
dengan anak
Memberikan antibiotik sesuai dengan
order

Perubahan nutrisi anak menunjukan


kurang dari
tanda-tanda kebutuhan
kebutuhan tubuh nutrisi terpenuhi
berhubungan
dengan intake
nutrisi yang
kurang).

Mengkaji ketidak mampuan anak


untuk makan
Memasang NGT untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi anak
Melakukan kolaborasi dalam
pemberian nutrisi parenteral
19

Resiko kurangnya volume cairan adekuat


volume cairan
berhubungan
dengan proses
penyakit
(metabolisme
meningkat, intake
cairan menurun).

Menilai indikator terpenuhinya


kebutuhan nutrisi (berat badan,
lingkar lengan, membran mukosa)
yang adekuat
Memonitor intake output secara
tepat, pertahankan intake cairan dan
elektrolit yang tepat
Mengakji adanya tanda-tanda
dehidrasi (membran mukosa kerin,
turgor, kulit kurang, produksi urin
menurun, frekuensi denyut nadi dan
pernafasan, meningkat tekannan
darah, fontanel cekung
Berkolaborasi untuk pemberian
cairan parenteral jika pemberian
cairan melalui oral tidak
memungkinkan

BAB IV
PENUTUP
20

4.1 KESIMPULAN
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit
yang mencemari tanah sekitarnya.
Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : Panas lebih dari 38 C,Adapsedomembrane bisa
dipharynx,larynx atau tonsil. Sakit waktu menelan. Leher membengkak seperti leher sapi
(bullneck), disebabkan karena pembengkakakn kelenjar leher
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu : Isolasi penderita, Imunisasi, dengan
memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar
Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria

4.2 SARAN
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anakanak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
21

sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan
yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga:
Jakarta.

22

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.
Hastomo.2008.Makalah Tentang Penyakit Menular Difteri.Politeknik Kesehatan Yogyakarta,
diakses dari http://www.scribd.com/doc/22270094/difteri
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian
Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta
Kadun I Nyoman. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag.
IKA FK UI: Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam:
Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai