Anda di halaman 1dari 26

Pertemuan Ilmiah Nasional Ke-3 PB PAPDI Hotel Horison Bandung, 23-25 September 2005

Penatalaksanaan
Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar

Editor
Samsuridjal Djauzi, Zubairi Djoerban

Pokdisus AIDS FKUI RSUPNCM Jakarta


Kerjasama dengan
Yayasan Pelita Ilmu

Para penulis :
Arwin AP Akib, Bagian Ilmu Kedsehatan Anak FKUI/RSCM
Nanang Sukmana, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Rino A. Gani, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Samsuridjal Djauzi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Zubairi Djoerban, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Kata Pengantar Cetakan Kedua

Buku kecil Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan dasar ternyata mendapat


sambutan dari para petugas kesehatan sehingga dalam waktu 5 bulan sudah harus dicetak ulang.
Kesempatan untuk mencetak ulang kami pergunakan untuk memperluas isi buku ini.
Dengan semakin banyaknya kasus infeksi HIV pada anak maka ditambahkan bab
mengenai penatalaksanaan infeksi HIV pada anak. Untuk itu kami meminta bantuan Dr Arwin Akib
SpA (K) untuk menulis bab ini. Selain itu bab mengenai efek samping diperluas sehingga jika
keadaan ini ditemukan dapat diatasi dengan baik.
Infeksi HIV pada pengguna narkoba suntikan sering disertai infeksi Heptitis C karena itu
pemahaman mengenai penatalaksanaan Heptitis C perlu pada petugas kesehatan yang
menatalaksana infeksi HIV. Dr. Rino A. Gani, SpPD-KGEH telah menulis bab mengenai hal ini.
Sedangkan mengenai penatalaksanaan penyalahgunaan narkoba kami mengemukakan
penyulitpenyulit yang mungkin dihadapi pada pengguanaan narkoba suntikan yang ditulis oleh Dr.
Nanang Sukmana SpPD-KIA.
Dalam perkembangan penatalaksanaan infeksi HIV di Indonesia tak dapat diabaikan
adanya gerakan untuk meningkatkan Akses terapi Infeksi HIV/AIDS. Gerakan ini bertujuan untuk
meningkatkan layanan pada orang Odha yang memerlukan baik dalam mengakses ARV atau
layanan lain yang diperlukan. Gerakan ini juga telah menyusun sasaran yang akan dicapai pada
tahun 2005 nanti. Pengetahuan mengenai gerakan ini diharapkan akan dapat merangsang petugas
kesehatan untuk bergabung dalam kegiatan gerakan ini.
Editor buku ini mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Rachmadi Kurniawan SKM,
Pokdisus AIDS FKUI/RSCM, serta Sdri. Enna Meilina S.Si., Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKU/RSCM yang telah membantu menyiapkan data-data yang diperlukan untuk buku ini.
Editor :
Samsuridjal Djauzi
Zubairi Djoerban

Pendahuluan
Jumlah kasus baru infeksi HIV dewasa ini meningkat tajam terutama pada pengguna
narkoba suntikan. Mengingat penggunaan narkoba suntikan sudah amat meluas terutama di kotakota besar di Indonesia maka layanan penatalaksanaan infeksi HIV pada pelayanan kesehatan
dasar hendaknya juga dapat disiapkan. Para dokter Puskesmas serta dokter praktek swasta
diharapkan menjadi tulang punggung layanan ini.
Obat antiretroviral (ART) amat bermanfaat dalam menurunkan jumlah HIV dalam tubuh
sehingga penurunan Limfosit CD4 dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral selama 6
bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi (undetectable) dan jumlah Limfosit
CD4 meningkat. Akibatnya risiko terjadinya infeksi oportunistik menurun dan kualitas hidup
penderita meningkat. Bahkan cukup banyak penderita yang dapat kembali bekerja dan produktif.
Buku ini ditulis secara singkat dengan tujuan dapat digunakan oleh petugas kesehatan di
tingkat pelayanan dasar secara mudah. Jika diperlukan informasi yang lebih lengkap maka
pembaca dapat melihat berbagai website yang daftarnya disediakan pada daftar kepustakaan.
Buku ini juga ditulis untuk situasi Indonesia dengan pelayanan kesehatan yang sederhana dan
biaya kesehatan yang masih rendah, WHO telah membuat panduan pengobatan antiretroviral
pada negara yang mempunyai sumber daya yang terbatas. Karena itu pedoman yang digunakan di
negara maju disesuaikan dengan situasi Indonesia. Pada buku ini juga dicantumkan data-data dan
pengalaman yang didapat pada pelaksanaan infeksi HIV di Pokdisus AIDS FKUI-RSCM Jakarta
Penulis amat mengharapkan masukan untuk memperbaiki buku ini. Masukan tersebut
dapat dikirimkan ke Pokdisus AIDS FKUI melalui fax (021) 3162788 atau e-mail :
pokdisus@centrin.net.id. Selain disediakan dalam bentuk cetakan buku ini juga dapat diakses
melalui website http:\\www.pelita-ilmu.or.id. Informasi pada buku ini dalam di website diperbaharui
sesuai dengan kemajuan yang ada penatalaksanaan infeksi HIV .

Samsuridjal Djauzi
Zubairi Djoerban

Masalah Infeksi HIV


Infeksi HIV di Indonesia sudah merupakan masalah kesehatan yang memerlukan
perhatian. Menurut Dirjen P2MPLP Depkes RI pada akhir bulan Desember 2002 tercatat 3568
kasus. Namun jumlah kasus ini diakui jauh lebih rendah daripada keadaan yang sebenarnya
karena sistem pelaporan kita yang belum sempurna. Menurut Menteri Kesehatan Republik
Indonesia jumlah kasus Infeksi HIV/AIDS di negeri kita sekitar 80.000 sampai 120.000. Para pakar
yang mengamati permasalahan infeksi HIV ini memperkirakan jumlah kasus HIV sebenarnya jauh
lebih tinggi daripada perkiraan tersebut mengingat tingginya angka penggunaan narkoba suntikan
di Indonesia.
Di kalangan pengguna narkoba suntikan infeksi HIV berkisar antara 50 sampai 90%.
Dengan demikian dewasa ini masalah infeksi HIV tidak hanya berkaitan erat dengan hubungan
seks yang tidak aman tapi amat erat hubungannya dengan penggunaan narkoba suntikan.
Sayangnya penggunaan narkoba suntikan biasanya dilakukan dengan cara tidak terbuka sehingga
tidak mudah memperkirakan penggunaan narkoba suntikan di Indonesia.
Puskesmas Kelurahan di Kp. Bali Tanah Abang Jakarta Pusat yang melakukan program
penjangkauan berhasil mendapatkan 323 orang remaja yang menggunakan narkoba suntikan.
Agaknya situasi yang dialami oleh Puskesmas lain di Jakarta tidaklah akan terlalu jauh berbeda.
Karena itu perlu dilakukan program untuk menjangkau remaja pengguna narkoba serta diikuti
dengan upaya intervensi untuk mengurangi risiko penularan penyakit serta upaya menghentikan
penggunaan narkoba.
Mengingat masalah yang dihadapi cukup besar maka dokter umum diharapkan dapat
menjadi tulang punggung penatalaksanaan infeksi HIV di masyarakat. Apalagi dengan tersedianya
akses secara luas dengan harga yang tak banyak berbeda dengan obat TBC maka layanan ini
perlu diadakan di seluruh Indonesia.

Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam :
1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimtomatik
5. Infeksi kronik simtomatik
6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3)
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50 /mm3
Gejala Infeksi Primer
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer.
Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan gejala ini berlangsung selama 2-6
minggu (rata-rata 2 minggu) setelah terinfeksi. Gejala ini dapat ringan sampai berat dan sekitar
42% penderita memerlukan perawatan di rumah sakit. Gejala-gejala infeksi primer ini dapat dibagi
menjadi gejala umum berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan rasa lemah. Di samping itu
terdapat gejala akibat kelainan mukokutan seperti ruam kulit, ulkus di mulut serta di genital. Selain
itu sekitar 50% kasus disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe. Sedangkan gejala-gejala lain
berupa kelainan neurologi berupa nyeri kepala, nyeri di belakang mata, fotofobia, dan depresi.
Kelainan neurologi yang lain dapat berupa meningitis tetapi kelainan jarang terjadi. Dapat juga
timbul kelainan saluran cerna berupa anoreksia, nausea, diare, dan jamur di mulut. Gejala klinik
infeksi primer HIV ini dapat dilihat pada tabel 1.5

Tabel 1. Gejala klinis infeksi primer HIV5


Kelompok
Gejala
Umum
Demam
Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Mukokutan
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Limfadenopati
Neurologi
Nyeri kepala
Nyeri belakang mata
Fotofobia
Depresi
Meningitis
Saluran cerna
Anoreksia
Nausea
Diare
Jamur di mulut

Kekerapan (%)
90
54
70
12
74
32
12
32
12

Gejala infeksi primer di atas berlangsung selama 2-6 minggu dan akan membaik dengan
atau tanpa pengobatan. Setelah itu perjalanan penyakit menuju stadium tanpa gejala yang pada
orang dewasa lamanya 5-10 tahun. Masa tanpa gejala ini akan memendek apabila viral load pada
titik keseimbangan (set point) tinggi. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala-gejala
pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfe yang kemudian diikuti oleh infeksi
oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki
stadium AIDS.

Testing dan Konseling


Infeksi HIV mempunyai masa asimtomatik yang panjang. Karena itu pemeriksaan
laboratorium penting untuk menentukan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan laboratorium yang
banyak dipakai adalah tes anti HIV. Tes ini mempunyai sensitivitas yang tinggi (>99,9%).
Hasil tes Positif Palsu dapat disebabkan oleh :
1. Otoantibodi
2. Penerima vaksin HIV. Pada penelitian vaksin HIV didapatkan orang yang divaksinasi HIV
dapat menimbulkan tes HIV positif.
3. Kesalahan teknik.pemeriksaan.
Pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif terdapat antibodi terhadap HIV kelas
Imunoglobolin G yang berasal dari darah ibu. Imunoglobulin ini dapat bertahan selama 15 bulan.
Karena itu bayi yang lahir dari ibu HIV positif jika tes anti HIVnya positif belum tentu tertular. Tes
harus diulang pada usia 18 bulan. Jika ingin tahu lebih cepat apakah bayi tertular harus dilakukan
pemeriksaan untuk mendeteksi virus dengan test PCR (Polymerase Chain Reaction).
Hasil Tes Negatif disebabkan oleh
1. Orang yang di tes dalam masa jendela.
2. Serokonversi, pada keadaan AIDS lanjut dapat terjadi penurunan kekebalan tubuh yang
tajam sehingga tubuh tak mampu membentuk antibodi.
3. Agammaglobulinemia.
4. Kesalahan teknik pemeriksaan.
Untuk tujuan diagnosis hasil tes dinyatakan positif apabila tes penyaring dua kali positif
ditambah tes konfirmasi dengan Western Blot positif. Namun karena sekarang tes Western Blot
biayanya mahal maka digunakan tes penyaring 3 kali positit (dengan kit yang berbeda).

Tes Cepat
Sekarang tersedia tes cepat yang dapat dibaca dalam 10-15 menit (Abbott Diagnostics).
Tes ini mempunyai sensitivitas 99,9% dan spesivitas 99,6%
Tes saliva dan Tes Urin
Sebenarnya pemeriksaan HIV dapat juga dilakukan pada saliva (air liur) dan urin. Kit
untuk pemeriksaan ini tak tersedia di Indonesia.
Tes Untuk Deteksi Virus
Selain dengan cara mendeteksi antibodi terhadap HIV dapat juga dilakukan tes untuk
mendeteksi virus (antigen HIV). Biasanya yang dideteksi adalah DNA atau RNA virus. Di FKUIRSCM tersedia pemeriksan PCR untuk menentukan viral load.
Tes Hitung jumlah Limfosit CD4
Untuk memulai terapi antiretroviral serta memantau hasil pengobatan digunakan tes
jumlah Limfosit CD4. Tes ini dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya dengan
Imunofluoresensi dan Flowsitometer.
Cara mengirimkan bahan untuk Pemeriksaan Viral Load dan Limfosit CD4
Pemeriksaan viral Load dan CD4 hanya dapat dilakukan di Laboratorium yang mempunyai
fasilitas lengkap. Bagi daerah yang belum mempunyai fasilitas tersebut bahan pemeriksaan dapat
dikirimkan dengan cara sebagai berikut.
Prosedur untuk pengambilan dan pengiriman sampel darah untuk pemeriksaan:
1. CD4: - darah 10ml + heparin 5 tetes dan darah EDTA 3 ml dalam vacutainer.
Sampel ini tidak bisa disimpan dan harus segera dikerjakan maksimal 8 jam
2. VL : Serum 3cc atau darah EDTA 3cc.
- Bila disimpan dalam suhu kamar max hanya tahan selama 8 jam.
- Bila dibekukan dengan suhu -20C (sampel dalam keadaan beku) max bertahan
dalam 2 minggu.
- Pengiriman sebaiknya menggunakan sterofoam box dilapisi dengan Dry Ice
supaya suhu tetap terjaga. Biasanya TIKI punya box untuk pengiriman sampel
darah.
- Sampel tidak bisa diperiksa lagi di laboratorium bila telah mencair dan dibekukan
lagi (beku ulang) beberapa kali, karena hal ini bisa merusak RNA dalam sampel
darah.
Konseling merupakan salah satu proses yang harus dilakukan sebelum seseorang
memutuskan untuk menjalani test anti-HIV. Pengertian konseling adalah: hubungan kerjasama
yang bersifat menolong antar dua orang (konselor dan klien) yang bersepakat untuk:
Bekerja sama dalam upaya menolong klien agar dapat menguasai permasalahan dalam
hidupnya.
Berkomunikasi untuk membantu mengidentifikasi problem-problem klien.
Terlibat dalam proses yang menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan akses
terhadap sumber-sumber informasi maupun pelayanan.
Membantu klien mengubah sikap/persepsi yang negatif terhadap problemnya, sehingga
klien dapat mengatasi kekuatirannya dan memutuskan apa yang akan ia lakukan
dengan permasalahan yang dihadapinya.
Konseling HIV/AIDS adalah konseling yang secara khusus memberi perhatian terhadap
permasalahan yang berkaitan dengan HIV/AIDS, baik terhadap orang yang terinfeksi maupun
terhadap lingkungan yang terpengaruh. Tujuan dari konseling HIV/AIDS adalah memberi dukungan
sosial dan psikologik kepada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan keluarganya serta mengubah
perilaku yang berisiko sehingga dapat menurunkan penularan infeksi HIV/AIDS.

Konseling HIV/AIDS biasanya dilakukan dua kali, yaitu: sebelum tes (pra-test) atau sesudah
tes (pasca test) HIV/AIDS. Selama konseling berlangsung biasanya ada beberapa topik yang di
bicarakan:
Indentifikasi perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Membantu membuat keputusan untuk mengubah perilaku itu.
Mengganti dengan perilaku-perilaku yang berisiko lebih rendah/aman serta
mempertahankan perilaku itu.
Membantu klien dalam mengambil keputusan untuk menjalani tes HIV dengan informed
consent (pernyataan persetujuan).
Khusus untuk konseling HIV/AIDS pelaksanaannya harus dengan sukarela tanpa paksaan dan
bersifat rahasia (confidentiality).
Bila klien memutuskan untuk memeriksakan diri, maka klien perlu disiapkan untuk
menghadapi hasil yang akan diterimanya. Ada 3 kemungkinan hasil yang akan terjadi:
Hasil tes negatif dan bukan dalam periode jendela
1. Jelaskan bahwa ini bukan berarti bebas HIV seumur hidup sehingga boleh
berperilaku apapun.
2. Andaikata ada perilaku berisiko tinggi, perlu mengubah perilaku tersebut menjadi
lebih aman dan dipertahankan seumur hidup sesuai dengan pilihan A, B, C atau
kombinasi demi pencegahan HIV.
Hasil tes negatif dalam periode jendela
1. Perlu mengulang tes dalam jangka waktu 3 bulan kemudian, untuk kepastian
status HIV-nya.
2. Sudah harus mengubah perilaku risiko tingginya, sesuai pilihan A, B, C atau
kombinasi.
Hasil tes positif
1. Perhatikan reaksi klien saat menerima hasil tes, konselor perlu berempati.
2. Jelaskan bahwa positif bukan berarti mati.
3. Rujukan untuk dukungan dan pengobatan.
4. Jaminan kerahasiaan.
5. Kemungkinan memberitahu pasangan.
6. Mengubah perilaku berisiko tingginya berdasarkan pilihan A, B, C, atau
kombinasinya.
Selain itu karena pengobatan ART sekarang ini sudah lebih mudah diakses maka klien
juga perlu mendapatkan konseling tentang pengobatan (manfaat, efek samping, lama pengobatan,
biaya, dst).
Konseling HIV/AIDS juga diperlukan jika Odha ingin menikah, punya anak dsb. Konseling
dalam keadaan khusus ini diperlukan Odha dan konselor dapat menginformasikan perkembangan
terakhir dalam bidang tersebut sehingga Odha dapat mengambil keputusan terbaik untuk dirinya.

Diagnosis
Pada umumnya pendekatan diagnosis infeksi HIV dilakukan dengan cara yang sama
seperti penyakit lain yaitu melalui manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang. Namun cara ini
hanya dapat dilakukan bila penderita sudah mempunyai gejala (simtomatik atau AIDS). Pada
keadaan asimtomatik perlu dilakukan pemeriksaan anti HIV.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan jika ada perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkoba suntikan). Diagnosis infeksi HIV harus dilakukan dengan
hati-hati karena dapat menimbulkan dampak yang besar pada orang yang didiagnosis.

Hubungan jumlah Limfosist CD4 dan kategori klinis dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Definisi Kasus Survailens AIDS untuk Dewasa
Kategori Klinis
CD4 Kategori
A
B
Asimptomatik
Simptomatik
> 500/mm3
A1
B1
3
200-499/mm
A2
B2
3
< 200/mm
A3
B3

C
AIDS
C1
C2
C3

Gejala AIDS
Gejala AIDS pada umumnya merupakan gejala infeksi oportunistik atau kanker yang terkait
dengan AIDS. Kanker yang terkait dengan AIDS adalah sarkoma kaposi, limfoma malignum dan
karsinoma serviks invasif. Sedangkan gejala yang sering ditemukan pada penderita AIDS di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dapat dilihat pada tabel 3.6
Tabel 3. Gejala AIDS di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala
Frekuensi
Demam lama
100 %
Batuk
90,3 %
Penurunan berat badan
80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan
78,8 %
Diare
69,2 %
Sesak napas
40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening
28,8 %
Penurunan kesadaran
17,3 %
Gangguan penglihatan
15,3 %
Neuropati
3,8 %
Ensefalopati
4,5 %

Penatalaksanaan Umum
Pengobatan HIV AIDS dapat dibagi dalam :
1. Pengobatan suportif
2. Pengobatan infeksi opoturnistik
3. Pengobatan antiretroviral (ART)
Tujuan pengobatan suportif adalah untuk meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri atas pemberian gizi yang sesuai, obat simtomatik, serta vitamin. Di samping
itu perlu diupayakan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti
semula. Pengobatan suportif ini penting dan pada umumnya dapat dilaksanakan di rumah atau
layanan kesehatan yang sederhana.
Diagnosis infeksi oportunistik ditegakkan melalui manifestasi klinis dan acapkali perlu
ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Namun pada layanan
kesehatan dasar diagnosis infeksi oportunistik dapat diltegakkan melalui pendekatan klinis saja,
adapun pengobatan dilakukan secara empiris.
Anggapan bahwa obat antiretroviral merupakan obat yang rumit dan mahal sehingga hanya
mampu laksana di negara maju sekarang sudah berubah. Dengan tersedianya obat generik
antiretroviral yang relatif lebih murah maka terbuka kesempatan bagi negara berkembang untuk
melaksanakan pengobatan antiretroviral. Namun harus kita sadari bahwa untuk dapat
melaksanakan pengobatan ini dengan baik perlu peningkatan kemampuan petugas kesehatan,
penyediaan obat ART yang berkesinambungan dan informasi mengenai obat yang lengkap.
Dengan demikian meski dengan keterbatasan sarana negara berkembang dapat melakukan
pengobatan ART dengan cara yang baik dan sesuai dengan etika kedokteran.

Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik terjadi karena kekebalan tubuh yang amat menurun. Pola infeksi
oportunistik berbeda di berbagai negara bergantung pola mikroba yang ada dalam tubuh atau di
lingkungan Odha. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroba yang semula bersifat komensal

(misalnya kandidiasis), reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada dalam tubuh Odha (misalnya
TBC, toksoplasma dan Sitomegalo ) atau infeksi baru.
Infeksi oportunistik yang sering dijumpai di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Infeksi Oportunistik di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Infeksi Oportunistik
Frekuensi
Kandidiasis mulut - esofagus
80,8 %
Tuberkulosis
40,1 %
Sitomegalovirus
28,8 %
Ensefalitis toksoplasma
17,3 %
Pneumonia P. carinii (PCP)
13,4 %
Herpes simpleks
9,6 %
M. avium kompleks (MAC)
4,0 %
Kriptosporodiosis
2,0 %
Histoplasmosis paru
2,0 %
Catatan : Pada tabel ini tidak didapati infeksi kriptokokokosis meningeal yang sering dilaporkan di
ASEAN. Secara klinis infeksi ini sering juga dijumpai di RSCM namun karena tidak dilakukan
pungsi lumbal maka diagnosis tidak dapat ditegakkan secara pasti. Untuk diagnosis
kriptokokokosis meningeal diperlukan pemeriksaan cairan likuor dengan tinta India. Dari sebuah
rumah sakit swasta di Jakarta telah dilaporkan infeksi kriptokokkosis meningeal ini. Pengobatan
dengan obat anti jamur sistemik memberi hasil yang baik.
Dengan demikian, dalam menegakkan diagnosis infeksi HIV peran pemeriksaan anti HIV
penting. Pada keadaan asimtomatik diagnosis ditegakkan berdasarkan tes anti HIV. Sedangkan
pada masa sudah terdapat gejala, yang berasal dari infeksi oportunistik, maka tes HIV tetap
diperlukan. Adapun jika fasilitas kesehatan yang tersedia amat sederhana, dibenarkan untuk
mendiagnosis AIDS berdasarkan gejala saja. Khusus untuk di Indonesia karena sudah tersedia tes
HIV yang tersebar luas, hendaknya gejala klinis tersebut juga ditunjang oleh tes HIV.7
Tabel 5. Infeksi Oportunistik dan Terapinya8
Infeksi
Terapi
Kandidiasis esofagus
Flukonazol
Tuberkulosis
Rifampisin, INH, Etambutol, Pirazinamid, Streptomisin
MAC
Klaritromisin, Etambutol, Rifabutin, Siprofloksasin
Toksoplasmosis
Pirimetamin, Sulfadiazin, Asam Folat, Klindamisin
Sitomegalovirus
Gansiklovir, Foskarmet
Herpes simpleks
Asiklovir
Herpes zoster
Asiklovir
kriptokokkosis meningeal
Amfoterisin B, Flukonasol, Itrakonasol
PCP
Kotrimoksazol
Dosis obat dapat dilihat pada lampiran.
Pengobatan kanker yang terkait AIDS yaitu limfoma malignum, sarkoma kaposi, dan
karsinoma serviks invasif disesuaikan dengan standar terapi penyakit kanker.

Pencegahan Infeksi Oportunistik


Pencegahan infeksi oportunistik dapat dibagi dalam :
1. Pencegahan primer yaitu mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya pemberian
Kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200 untuk mencegah PCP. Pencegahan ini dapat
mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contoh
setelah terapi PCP dengan Kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang
lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.

Tabel 6. Pencegahan Infeksi Oportunistik


Penyakit
Mulai
Obat yang digunakan
PCP
10 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
TB

PPD > 5 ml
Kontak Positif

INH 300mg/hari + Piridoksin

T. Gondii

CD4 < 100


IGG Toksoplasma aviditas rendah

TMP.SMX 1 DS/hari

S. pneumoniae
Hepatitis B
Hepatitis A

CD4 > 200


Anti HBs (-)
HBs Ag(-)

Vaksinasi pneumovax
Vaksinasi Hepatitis B

Anti HAV (-)


Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, Vaksinasi Hepatitis A
dll)

Catatan : Vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A diajurkan apabila penderita mampu.
Apabila kekebalan tubuh (CD4) meningkat maka risiko terkena infeksi oportunistik berkurang
sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun
kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi.

Tabel 7. Saat menghentikan dan memulai kembali pencegahan


Penyakit
Saat Menghentikan
PCP
10 CD4 > 200 > 3 bulan
20 CD4 > 200 > 3 bulan

Saat Memulai Kembali


CD4 < 200

Toksoplasmosis

10 CD4 > 200 x 3 bulan


20 CD4 > 200 x 6 bulan
+ terapi selesai+ asimtomatik

10 CD4 < 100-200


20 CD4 < 200

CMV

20 CD4 > 100-150 x 6 bulan +


tidak ada penyakit aktif + CD4 < 100
pemeriksaan mata teratur

Terapi Antiretroviral
Data selama 5 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV obat ART bermanfaat menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dan
dapat bekerja normal dan produktif.
Manfaat ART dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya
kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik. Perjalanan penyakit infeksi HIV dan amat
dipengaruhi ART. Secara umum kondisi kesehatan odha menjadi jauh lebih baik. Infeksi
kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani, demikian pula
kanker Kaposi bisa spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Infeksi penyakit oportunistik lain
yang berat, seperti infeksi cytomegalovirus (CMV) dan infeksi atypical mycobacterial, dapat
disembuhkan.
Penyakit radang paru pada Odha yang disebabkan pneumocystis carinii pneumonia,
yang hilang timbul, biasanya mengharuskan Odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun
sekarang dengan minum obat ART teratur, banyak Odha yang tidak memerlukan obat profilaksis
terhadap pneumonia. Diharapkan di masa mendatang infeksi HIV dapat dianggap serupa dengan
penyakit menahun yang dapat dikelola selama bertahun-tahun.

Pendekatan pengobatan ART dan regimen pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa


data hasil penelitian, yaitu antara lain: (a) replikasi virus HIV ternyata berlangsung dengan kadar
yang tinggi sejak awal infeksi, tidak hanya pada tahap AIDS, (b) tubuh Odha mampu menunjukkan
respons imun yang baik terhadap HIV pada awal infeksi, namun secara bertahap respons imun
mulai menurun sejak bulan-bulan pertama infeksi HIV. Setiap hari lebih dari 1010 partikel virus
diproduksi dan dihancurkan.
Banyak penelitian membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load kita dapat
memprediksi risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV. Kombinasi obat anti
retroviral (ART) tidak hanya secara konsisten menekan replikasi HIV, namun juga secara
bermakna memperlambat kecepatan perjalanan penyakit menjadi tahap AIDS. Manfaat pada
survival dan perbaikan harapan hidup terlihat lebih mencolok pada pasien yang belum pernah
mendapat pengobatan ART.
Replikasi virus HIV yang berkelanjutan menyebabkan penyakit infeksi HIV menjadi
progresif sehingga menyebabkan kerusakan sistem kekebalan. Hal inilah yang menjadi target
pengobatan ART, yaitu menekan replikasi virus. Banyak ART yang terbukti dapat digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Teknik yang canggih dan bisa dipercaya untuk menghitung HIV di dalam darah saat ini
sudah didapatkan, yaitu penghitungan viral load dengan teknik PCR (Polymerase Chain
Reaction). Cara inilah yang memudahkan kita dalam memantau efektifitas obat ART.
Jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indikator yang dapat dipercaya untuk
memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan kita untuk
mengambil keputusan memberikan pengobatan ART.
Walaupun kemajuan pengobatan HIV bisa dikatakan amat pesat dan impresif, namun
masih ada beberapa kendala yang dijumpai dan masih banyak yang harus dikerjakan dan diteliti.
Kendala pengobatan HIV antara lain (a) kesukaran Odha untuk minum obat teratur, (b) efek
samping jangka panjang dan (c) cross-resistance atau resistensi silang antar berbagai obat anti
retroviral. Dengan obat ART yang paling modernpun, masih ada Odha yang gagal mencapai
respons virologik yang lengkap dan jangka panjang. Kendala tersebut lebih sering dijumpai pada
Odha yang mempunyai viral load tinggi, Odha yang pernah mendapat pengobatan sebelumnya
dan pada Odha yang sudah masuk tahap AIDS yang lanjut.
Dapat disimpulkan bahwa obat anti retroviral amat bermanfaat untuk pengobatan penyakit
infeksi HIV dan AIDS. ART menekan angka kesakitan dan angka kematian HIV/AIDS. Penyakit
infeksi oportunistik menjadi lebih mudah diatasi. Infeksi oportunistik juga lebih jarang ditemukan.
Kendala pengobatan HIV antara lain kesukaran Odha untuk minum obat teratur, efek samping
ART timbulnya resistensi HIV terhadap obat anti retroviral.
WHO menganjurkan agar mitos-mitos tentang obat retroviral yang mengatakan bahwa
pengobatan ini hanya bersifat eksperimental, terlalu rumit dan tidak mampu laksana di negara
berkembang dihilangkan. Karena itu WHO menyusun panduan yang amat sederhana sehingga
dapat dilaksanakan di layanan kesehatan yang mempunyai peralatan laboratorium sederhana.
Dengan kebijakan ini diharapkan sekitar 6 juta penderita yang memerlukan ART dapat dicakup
secara bertahap. WHO mentargetkan pada tahun 2005 sekitar 3 juta orang yang sebagian besar
berada di negara miskin dapat menikmati pengobatan ini.
ARV ini bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan HIV dalam tubuh. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa kombinasi obat antiretroviral dapat menurunkan secara tajam viral load di
darah.
Obat ini diberikan dalam bentuk kombinasi golongan RTI (reverse transcriptase inhibitor) dan
PI (protease inhibitor). Dewasa ini terapi standar yang banyak dianut adalah kombinasi 2 RTI dan 1
PI.9 Meski demikian uji klinik terus dikerjakan dengan menggunakan berbagai kombinasi, misalnya
2 PI saja atau bahkan ada kombinasi 4-5 obat yang bertujuan untuk mencapai eradikasi HIV di
tubuh. Sekarang obat kombinasi ini masih asing bagi kebanyakan dokter yang berpraktek umum
tetapi di masa depan bila kasus semakin banyak bukan tak mungkin standar terapi ini semakin
populer, seperti halnya standar terapi antituberkulosis.
Tabel 8. Obat yang tergolong RTI dan PI10
RTI
Azidotimidin (AZT)
Nevirapin (Viramune)
Didanosin (ddI)
Delavirdin (Rescriptor)
Dideoksisitidin (ddC)
Efapirenz (Sustiva)
Stavudin (d4T)
Lamivudin (3TC)

PI
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
Nelvinavir

10

WHO menganjurkan pemberian ART untuk negara yang mempunyai dana yang terbatas dengan
kombinasi sebagai berikut :
2 NRTI + 1 NNRTI atau Abacavir atau PI
Di Pokdisus AIDS FKUI RSCM disediakan jenis obat yang banyak digunakan yaitu :
AZT, 3TC, Nevirapin, Nelvinavir.
Kombinasi yang dianjurkan adalah : AZT, 3TC, Nevirapin atau AZT, 3TC, Nelvinavir.
Selain itu bila diperlukan disediakan juga ddI dan d4T.
Prinsip Menggunakan Antiretroviral
Untuk menggunakan obat antiretroviral perlu dipertimbangkan : gejala klinis, CD4, viral load,
serta kemampuan penderita untuk menggunakan obat dalam jangka panjang. Pemeriksaan CD4
dapat dilakukan dengan cara imunofluoresen atau flow cytometry. Kedua pemeriksaan ini telah
dapat dilakukan di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Sedangkan pemeriksaan viral load yang tersedia
di RSCM menggunakan cara RT-PCR assay (Ampiclor).
Pemberian antiretroviral direkomendasikan untuk penderita dengan sindrom HIV akut akibat
infeksi primer HIV, dan mereka yang mengalami serokonversi dalam waktu 6 bulan serta semua
penderita infeksi HIV yang menunjukkan gejala.
Sedangkan untuk penderita infeksi HIV yang tanpa gejala, antiretroviral diberikan bila CD4 <
350/dl atau viral load > 55.000 kopi/mL. Sekali keputusan memberikan obat antiretroviral diberikan
perlu dijaga agar pemberian obat dapat berlangsung secara berkelanjutan. Sasaran hasil
pengobatan dalam 8 minggu terjadi penurunan viral load menjadi 1/10 viral load semula.
Contohnya bila viral load semula 100.000 kopi/mL maka setelah 8 minggu pengobatan baru dapat
dikatakan berhasil bila viral load menjadi 10.000 kopi/mL. Sedangkan dalam waktu 6 bulan
sasaran yang ingin dicapai adalah viral load undetectable. Penurunan viral load biasanya diikuti
oleh kenaikan CD4 sehingga risiko terjadinya infeksi oportunistik juga berkurang. Indikasi memulai
terapi yang dianjurkan oleh WHO untuk negara berkembang terutama ditujukan untuk kasus yang
sudah lanjut.

Indikasi Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa


Indikasi terapi ART didasarkan pada kemungkinan 15 % terjadinya AIDS dalam 3 tahun.
Sehingga berdasarkan data tersebut indikasi ART adalah :
1. Simptomatik
2. Viral load > 55.000 kopi /ml
3. CD4 < 350 sel/mm3
Tabel 11 . Saat memulai ART
Kategori Klinis
HIV akut atau < 6 bulan
Simtomatik
Asimtomatik
Asimtomatik
Asimtomatik

CD4 dan Viral load


Semua
Semua
CD4 < 200
CD4 200-350
CD4 > 350

Anjuran
Obati
Obati
Obati
VL < 20.000,
sebagian ahli mengobati
Tunggu kecuali
VL > 55.000, obati

11

Tabel 12. Pemilihan obat ART


Anjuran
Terpilih

Alternatif

Tidak dianjurkan
Tidak dianjurkan

Kolom A
EFV
IDV
NFV
SQV/RVT
LPV/RTV
IDV/RTV
ABC
APV
DLV
NVP
RTV
SQV(FTV)
NFV/FTV
HU
RTV/APV
RTV/NFV
SQV (INV)

Kolom B
d4T/3TC
AZT/ddL
AZT/3TC
D4t/ddl*
Ddl/3TC
AZT/ddC

TDF
DdC/ddl
DdC/d4t
DdC/3TC
AZT/d4T

Pemilihan pada keadaan tertentu


Viral load > 100.000
Dianjurkan 2NRTI + EFV atau 2NRTI + LPV/RTV
Mungkin efektif 3NRTI (AZT/3TC/ABC) + PI atau NNRTI.
2NRTI + 2PI
Alasan merubah obat :
1. Viral load tidak menurun
2. Toksisitas obat
3. Pasien tidak patuh (adheren)
4. Kehamilan (jangan gunakan EFV, d4T +ddl)
Indikasi memulai terapi ART yang dianjurkan WHO pada negara yang mempunyai dana terbatas
adalah :
Anti HIV positif dikombinasikan dengan
Gejala / AIDS atau
CD4 < 200/mm3 atau
Limfosit total < 1200/mm3

12

Pemantauan
Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan mengamati keadaan klinis, hitung CD4
dan viral load. Bila keadaan memungkinkan juga perlu dilakukan pemeriksaan resistensi.
Pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Mengingat biaya pemeriksaan CD4 dan viral
load cukup mahal maka pemantauan untuk kedua pemeriksaan ini cukup dilaksanakan 6 bulan
sekali, kecuali bila keadaan klinis memburuk.
Kualitas hidup penderita AIDS meningkat tajam dengan penggunaan obat antiretroviral.
Jumlah CD4 meningkat, risiko infeksi oportunistik menurun sehingga penderita dapat produktif
kembali. Pemeriksaan viral load yang tidak dapat mendeteksi HIV menambah keyakinan penderita
tentang manfaat pengobatan. Namun demikian perlu dihindari kesalahpahaman sehingga
penderita tidak menganggap dirinya sembuh serta menghentikan pengobatan. Karena bila
pengobatan dihentikan viral load akan meningkat, sehingga RNA virus akan kembali ke jumlah
sebelum pengobatan.
Di Indonesia bukan hanya harga obat antiretroviral yang mahal tetapi pemeriksaan CD4
dan viral load juga mahal. Bila biaya terbatas pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
secara klinis serta pemeriksaan limfosit total. Anjuran WHO untuk pemantauan laboratorium hasil
terapi maupun efek samping obat anti retroviral adalah :
1. Pemeriksaan CD4 (limfosit total) setiap 6 bulan
2. Pemeriksaan bilirubin serum
3. Amilase
4. Trigliserida
5. Bila tersedia pemeriksaan viral load dilakukan pemeriksaan ini bersamaan dengan CD4
Selain itu bila mungkin tersedia pemeriksaan darah tepi, SGOT, SGPT, ureum, gula darah dan tes
kehamilan.

Efek Samping
ARV dapat menimbulkan efek samping namun pada umumnya efek samping inii dapat
ditoleransi. Bila timbul efek samping yang berat maka perlu dipikirkan untuk mengganti obat
tersebut dengan obat lain. Efek samping yang cukup sering dijumpai adalah :
1. Anemia dapat disebabkan oleh penggunaan AZT
2. Gejala gangguan syaraf pusat dapat disebabkan oleh penggunaan EFZ
3. Hepatotoksik, diare dan rash (kemerahan pada kulit) dapat disebabkan oleh NVP
4. Nefrolitiasis dapat disebabkan oleh IDV
5. Gangguan metabolik dapat disebabkan oleh PI
6. Kemungkinan teratogenik perlu diwaspadai pada penggunaan EFZ
Pada penggunaan nevirapin dalam program akses terapi Pokdisus AIDS FKUI/RSCM ditemukan
sekitar 15% penderita dengan alergi dan beberapa penderita memerlukan rawat inap karena
menunjukkan gejala Steven Jhonson. Penatalaksanaan efek samping ini pada prinsipnya sama
dengan reaksi alergi obat pada umumnya yaiitu menghentikan pemakaian obat, pemberian
antihistamin serta steroid. Pada gejala alergi obat berat (Steven Johnson) penderita perlu dirawat
karena biasanya terjadi lesi di saluran cerna dan saluran napas serta mata dan alat kelamin.
Pemasukan kalori dan cairan perlu diperhatikan serta dihindari terjadinya infeksi sekunder.
Selain efek samping perlu juga interaksi obat. NVP misalnya berinteraksi dengan rifampisin
sehingga dianjurkan tidak digunakan secara bersamaan. Untuk informasi yang lengkap mengenai
efek samping dan interaksi obat ini dapat dilihat pada website :
http://www.hopkins-aids.edu, http://eagis.com, http://www.who.org,
http://www.cdc.gov/nchstp/hiv_aids?dhap.htm, http://www.hivinsite.ucsf.edu

13

Penatalaksanaan Pasca Paparan


Sampai Juni 1997 CDC melaporkan 52 kasus petugas kesehatan yang tertular HIV akibat
kecelakaan di tempat kerja. Sedangkan 114 orang petugas kesehatan lain diduga juga terinfeksi di
tempat kerja, namun catatan kejadiannya tidak lengkap. Para petugas kesehatan ini tidak
mempunyai riwayat risiko penularan melalui cara lain. Lima puluh dua orang tertular akibat
terpapar dengan darah, seorang terpapar cairan tubuh yang bercampur darah, tiga orang terpapar
langsung dengan virus di laboratorium, sedang seorang lagi tak jelas paparannya. Lima puluh lima
orang terpapar melalui tusukan atau luka benda tajam, lima orang terpapar melalui percikan cairan
tubuh tercemar ke selaput lendir dan seorang lagi terpapar melalui tusukan jarum dan percikan
cairan tubuh.
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan tubuh
amatlah rendah. Pada penelitian prospektif didapatkan risiko penularan melalui perlukaan kulit
(tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanyalah 0,3%, sedangkan
risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada selaput lendir sebesar
0,09%. Risiko penularan akibat paparan cairan tubuh tercemar pada kulit yang tak utuh dianggap
lebih rendah daripada selaput lendir. Tiap cairan tubuh sumber infeksi juga mempunyai risiko
penularan yang berbeda seperti dalam tabel 13.
Tabel 13. Risiko penularan HIV dari cairan tubuh.
Risiko tinggi
Risiko masih sulit
ditentukan
Darah, serum
Cairan amnion
Semen
Cairan serebrospinal
Sputum
Cairan pleura
Sekresi vagina
Cairan peritoneal
Cairan perikardial
Cairan sinovial

Risiko rendah selama tidak


terkontaminasi darah
Mukosa seriks
Muntah
Feses
Saliva
Keringat
Air mata
Urin

Penelitian pada binatang menunjukkan didapatkan risiko meningkat bila paparan terjadi
dengan darah yang volumenya banyak dan luka yang dalam. Risiko juga meningkat bila orang
yang menjadi sumber penularan dalam keadaan AIDS lanjut atau viral load tinggi. Pada keadaan
tersebut risiko penularan dapat melampaui 0,3%. Sebaliknya, status kekebalan tubuh petugas
kesehatan yang mengalami kecelakaan juga berpengaruh. Petugas kesehatan yang terpapar tapi
tidak mengalami infeksi ternyata respons limfosit T sitotoksiknya lebih baik.
Pasca paparan HIV terdapat masa yang merupakan kesempatan untuk mencegah
replikasi virus. Sasaran HIV setelah masuk tubuh melalui kulit yang terluka atau selaput lendir
adalah sel dendritik. Infeksi sel dendiritik ini terjadi dalam 24 jam pertama. Dalam 24 sampai 48
jam sel tersebut bermigrasi ke kelenjar limfe regional dan HIV dapat dideteksi di sirkulasi pada hari
ke-5. Replikasi HIV di sel limfosit berlangsung dengan cepat, setiap sel limfosit dapat
mengeluarkan 5000 partikel virus. Peningkatan jumlah virus yang berlangsung secara
eksponensial di sel limfosit berlanjut terus, kecuali bila dihambat oleh obat antiretroviral atau sistem
kekebalan tubuh. Agar obat antiretroviral dapat bekerja secara efektif dalam mencegah penularan,
dianjurkan obat antiretroviral diberikan sebelum 36 jam pasca paparan.
Obat antiretroviral yang banyak digunakan adalah Azidotimidin (AZT). Perkembangan
dalam obat antiretroviral memungkinkan hasil yang lebih baik bila AZT digabung dengan obat lain
(3TC dan obat golongan protease inhibitor).
Kejadian kecelakaan yang berisiko terpapar HIV
Selama tahun 2000 tercatat 9 kecelakaan berisiko terpapar HIV di kalangan petugas
kesehatan yang dilaporkan ke Pokdisus AIDS FKUI atau Yayasan Pelita Ilmu. Pada umumnya
kejadian ini dilaporkan untuk tujuan konsultasi atau permintaan obat profilaksis. Kasus-kasus
tersebut dapat dilihat pada tabel 14.

14

Tabel 14. Kejadian kecelakaan yang berisiko paparan HIV pada petugas Kesehatan yang
dilaporkan ke Pokdisus AIDS FKUI/RSUPN-CM tahun 2000
No
Jenis
Pekerjaan
Jenis
Obat
Tes HIV
Tes HIV
kelamin
Kecelakaan
profilaksis
setelah 3
setelah
bulan
6 bulan
1
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negative
2
Perempuan
Petugas lab Tusukan jarum
Tidak
negatif
Negative
3
Perempuan
Perawat
Percikan
Tidak
negatif
Negative
Ke mata
4
Laki-laki
Perawat
Luka
Ya
negatif
Negative
karena pisau
5
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
6
Laki-laki
Dokter
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
7
Perempuan
Perawat
Tangan terkena Tidak
negatif
Negatif
darah
8
Laki-laki
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
9
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
10 Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
Negatiif
Negatif
11 Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
Negaitif
Negatif
12 Perempuan
Perawat
Percikan cairan Tidak
Negatif
Negatif
tubuh pada mata
Penatalaksanaan Pasca Paparan HIV
1. Pembersihan tempat tusukan atau percikan.
Tempat yang tertusuk atau terkena cairan tubuh dibersihkan dengan air dan sabun. Memijat
tempat yang tertusuk untuk mengeluarkan darah tidak mengurangi risiko penularan. Begitu
pula pemberian desinfektan juga tidak mengurangi risiko penularan HIV. Selaput lendir yang
terpercik cairan tubuh dibilas dengan air yang bersih.
2. Tentukan status HIV orang yang menjadi sumber cairan tubuh.
Bila orang yang menjadi sumber cairan tubuh tersebut belum diketahui status HIV-nya,
dilakukan tes HIV. Untuk mendapat hasil yang cepat, dapat dilakukan tes HIV dengan metode
cepat (tes spot). Jika hasil tes HIV belum diperoleh dalam waktu 72 jam dan orang yang
menjadi sumber cairan tubuh dicurigai mempunyai risiko tinggi penularan HIV, cairan tubuh
tersebut dianggap HIV positif untuk sementara.
3. Konseling terhadap petugas kesehatan yang terpapar HIV.
Petugas kesehatan tersebut perlu memperoleh informasi yang lengkap dan benar mengenai
risiko penularan HIV, manfaat, dan efek samping pemberian antiretroviral. Informasi mengenai
upaya mencegah penularan pada pasangan seksual petugas kesehatan tersebut juga perlu
disampaikan. Setelah mendapat informasi yang lengkap, petugas kesehatan dapat memilih
apakah akan menggunakan obat antiretroviral atau tidak.
4. Penggunaan obat antiretroviral profilaksis.
Pemberian obat kombinasi antiretroviral diperkirakan akan dapat mencegah penularan HIV
secara lebih baik. Namun, karena obat ini masih sulit didapatkan di Indonesia, dianjurkan
pemberian obat satu macam saja, yaitu AZT 500 mg setiap hari selama empat sampai enam
minggu.
5. Tindak lanjut.
Tindak lanjut untuk memantau kemungkinan terjadinya serokonversi dilakukan secara klinis
dan laboratoris (anti HIV). Pemeriksaan anti HIV dilakukan pada saat terjadi paparan, tiga
bulan, enam bulan, dan dua belas bulan setelah paparan.
6. Pelaporan.
Paparan terhadap HIV di tempat kerja ini perlu dilaporkan kepada tim AIDS rumah sakit. Bila di
rumah sakit tersebut belum ada tim AIDS, dapat dilaporkan Kelompok Studi Khusus(Poksisus)
AIDS FKUI/RSCM (telp. 0213905250 pada jam kerja) atau Yayasan Pelita Ilmu (telp.
02183795480, 24 jam). Pokdisus AIDS dan Yayasan Pelita Ilmu menyediakan layanan
konsultasi dan obat AZT dan 3TC cuma-cuma.

15

Algoritma penentuan profilaksis pascapaparan HIV pada petugas kesehatan


Langkah pertama: tentukan kode paparan (KP)
Apakah sumber penularan darah, cairan tubuh, atau sumber lain yang mungkin infeksius ( other potentially infectious
material/OPIM, seperti semen, cairan vagina, serebrospinal, sinovium, pleura, peritoneal, perikardial, amnion, atau jaringan),
atau instrumen yang terkontaminasi cairan tubuh tersebut?

ya

tidak

OPIM

Tidak perlu obat profilaksis pascapaparan

Darah atau cairan tubuh


Jenis paparan apa yang terjadi?

Membran mukosa atau kulit tidak intak

Volume

Sedikit
beberapa
tetes,
terpapar
sebentar

Kulit intak

Tertusuk/perkutan

Tidak perlu profilaksis

Banyak
tetesan lebih banyak, terpercik
dan/atau paparan lebih lama
(beberapa menit atau lebih)

Beratnya

Kurang berat
Jarum kecil,
goresan superfisial

Kode paparan 2

Kode paparan 1

Lebih berat jarum besar,


tusukan dalam, darah
terlihat pada instrumen,
atau jarum yang digunakan
pada arteri atau vena

Kode paparan 3

Langkah kedua: tentukan kode status HIV sumber penularan (KS HIV)
Bagaimana status HIV sumber penularan?

HIV negatif

HIV positif

Status tidak diketahui

Sumber penularan tidak diketahui

Tidak perlu profilaksis


Titer virus rendah
asimtomatik atau kadar
CD4 masih tinggi

KS HIV 1

Titer virus tinggi full blown AIDS, infeksi


HIV primer, viral load tinggi atau meningkat,
atau kadar CD4 rendah

KS HIV 2

KS HIV tidak diketahui

16

Langkah ketiga. Menentukan kebutuhan profilaksis pascapaparan


Kode paparan

KS HIV

Rekomendasi profilaksis pascapaparan

Mungkin tidak diperlukan

Pertimbangkan regimen standar

Dianjurkan regimen standar

Dianjurkan regimen tambahan

1 atau 2

Dianjurkan regimen tambahan

Tidak

Tidak

Jika dicurigai kode paparan 2 atau 3, regimen standar

diketahui

diketahui

dianjurkan

Regimen standar: Azidotimidin 600 mg per hari dalam dosis terbagi (2x300 mg, atau 3x200 mg,,
atau 6x100mg) dan Lamivudin 2x150 mg selama 4 minggu.
Regimen tambahan: regimen standar ditambah Indinavir 3x800mg, atau Nelfinavir 3x750mg.

Pencegahan Transmisi Perinatal


Transmisi Perinatal
Risiko penularan HIV dari ibu positif kepada bayinya sekitar 30%. Penularan ini dapat
terjadi pada saat janin dalam kandungan, semasa partus atau menyusui. Risiko terbesar terjadi
pada masa partus. Risiko penularan pada masa menyusui sekarang mendapat perhatian yang
lebih karena agaknya pengamatan terakhir menunjukkan risiko penularan pada masa menyusui
cukup besar yaitu sekitar 14 sampai 29%. Faktor risiko penularan HIV dari ibu hamil ke janin dapat
dilihat pada tabel 15.
Tabel 15. Faktor risiko penularan HIV dari ibu hamil ke janin
Waktu penularan
Faktor risiko
In utero
Hubungan seks tidak aman
Penggunaan narkoba suntikan
Infeksi penular seksual
Intrapartum
Viral load tinggi
Jumlah limfosit CD4 rendah
Prematuritas
Korioamionitis
Partus pervaginam
Postpartum
Lama menyusui
Mastitis
Infeksi HIV pada kelompok perempuan hamil di Afrika dan Thailand cukup tinggi. Di
Indonesia penelitian mengenai masalah ini belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian dengan
sampel yang amat terbatas menunjukkan ibu hamil masih HIV negatif. Kustin dkk dari Yayasan
Pelita Ilmu bekerjasama dengan Bagian Kebidanan FKUI/RSCM mendapatkan pada 546 ibu hamil
di daerah miskin di Jakarta (Kampung Melayu, Tanah Abang, Petamburan) yang positif sebanyak 6
orang (1,1%). Angka ini cukup tinggi mengingat angka HIV positif di kalangan donor masih berkisar
antara 1-3/100.000.
Upaya pencegahan penularan perinatal dapat dilakukan dengan pemberian antiretroviral,
operasi Caesar dan pemberian susu formula. Untuk negara berkembang upaya ini masih tergolong
mahal. Masa pemberian obat anti retroviral dapat dilihat pada tabel 16.

17

Tabel 16. Masa pemberian obat anti retroviral


Nama Obat
Masa pemberian
AZT
14 - 34 minggu (ACTG 076)
36 minggu (Regimen jangka pendek)
Waktu melahirkan :
1 minggu setelah melahirkan untuk bayi
6 minggu setelah melahirkan untuk bayi
AZT + 3TC
36 minggu
Waktu melahirkan :
Sampai 1 minggu setelah melahirkan ( Ibu & Anak)
NVP
Waktu melahirkan :
2 3 hari setelah melahirkan untuk bayi
Keberhasilan pencegahan penularan perinatal dapat meningkatkan perempuan HIV positif
untuk mempunyai anak. Pengalaman di Bangkok menunjukan pemberian konseling berupa
informasi yang lengkap tentang upaya pencegahan transmisi perinatal dapat menurunkan
permintaan ibu untuk mengakhiri kehamilan.

Penatalaksanaan Hepatitis C
Dalam 2-3 tahun terakhir ini banyak media masa melaporkan peningkatan jumlah kasus
pengguna narkotika. Di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dalam 1 tahun (1998-1999) tercatat 230
kasus intoksikasi opiat yang pada tahun-tahun sebelumnya hal ini sangat jarang dilaporkan. RS
Ketergantungan Obat juga mencatat kenaikan pengguna narkotika yang amat pesat dalam 2
tahun terakhir.
Meningkatnya penggunaan narkotika tentu membawa banyak permasalahan baik berupa
masalah sosial maupun medis. Pengguna narkotika suntik terutama sangat rentan untuk
mendapatkan infeksi yang ditularkan melalui darah seperti hepatitis C, hepatitis B dan HIV.
Penyebaran hepatitis C di banyak negara dimana persoalan narkotika sudah lebih dahulu timbul
merupakan jalur utama terjadinya penularan virus hepatitis C. Di Amerika misalnya dilaporkan lebih
dari 50% penderita hepatitis C kronik mempunyai riwayat penggunaan narkotika secara suntik
Penyebaran hepatitis C melalui alat suntik pengguna narkotika di Indonesia adalah hal
baru karena studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa penularan utama hepatitis C adalah
melalui transfusi darah. PMI sudah menyelenggarakan penapisan untuk virus hepatitis C karena
itu, penularan melalui pengguna narkotika bisa menjadi masalah utama dalam penyebaran virus
hepatitis C di kemudian hari.
Karakteristik Pengguna Narkotika
Studi yang kami lakukan pada 200 orang pengguna narkotika diakhir tahun 1999
menunjukkan beberapa karakteristik pengguna narkotika. Rata-rata umur mereka yang masuk
dalam studi kami adalah 21 tahun dan telah menggunakan narkotika rata-rata selama 2,5 tahun
sehingga umur rata-rata saat pertama menggunakan adalah 18 tahun. Hampir setengah dari
mereka (49,2%) berumur rata-rata 12-20 tahun. Lebih dari 80% pengguna narkotika menggunakan
suntikan.
Di negara lain, studi yang dilakukan pada tempat rehabilitasi narkotika menunjukkan
keadaan yang berbeda dimana persentasi pengguna narkotika non-suntik biasanya lebih tinggi
daripada pengguna suntik. Umur pengguna narkotika di negara lain rata-rata lebih tua daripada
yang kami dapatkan.
Penggunaan narkotika pada subjek yang kami teliti berkaitan dengan perilaku berisiko
tinggi untuk penyebaran penyakit. Hubungan seksual (tanpa pelindung yang memadai) diakui oleh
38,5% pengguna narkotika. Tato dan tindik dilakukan oleh 58% dari mereka. Keadaan ini tidak
dapat terlepas dari perilaku remaja kota besar seperti Jakarta ini. Penelitian lain mengenai perilaku
pada remaja (anak gaul, usia 13-20 tahun) di Blok M, Jakarta menunjukkan hal yang lebih kurang
hampir sama. Sebanyak 57,2% diantara mereka mengaku pernah menggunakan NAZA dan 42%
menggunakan jarum suntik. Tato dan tindik dikerjakan oleh 47% anak gaul. Sebanyak 42%
mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Perilaku demikian pada remaja mendorong
penyebaran penyakit khusus hepatitis C, hepatitis B dan HIV.

18

Hepatitis C pada Pengguna Narkoba


Dalam studi kami, anti-HCV didapatkan positif pada 81,2% pengguna narkotika sedangkan
pada pengguna narkotika non-suntik, hanya 32% saja yang positif. Analisis multivariat dari
beberapa faktor risiko yang sebagian telah diperlihatkan diatas, menunjukkan bahwa tato dan
penggunaan alat suntik berganti merupakan faktor risiko yang berkaitan dengan positifitas antiHCV pada pengguna narkotika.
Tingginya prevalensi anti-HCV pada pengguna narkotika suntik, dilaporkan pula oleh
negara-negara lain dengan angka prevalensi yang bervariasi mulai dari 50-98%. Penggunaan alat
suntik secara berganti antara pengguna narkotika itu pada beberapa penelitian diidentifikasikan
sebagai faktor risiko penularan virus hepatitis C. Taiwan juga melaporkan selain penggunaan alat
suntik secara berganti, tato juga merupakan faktor risiko penularan virus hepatitis C seperti halnya
yang kami dapatkan.
Genotipe yang didapatkan pada pengguna narkotika di Jakarta kebanyakan adalah
genotipe 1a (57,5%) diikuti dengan 1b (10%) sehingga total genotipe terbanyak adalah genotipe 1
(67,5%). Keadaan ini sangat tidak menguntungkan karena genotipe 1 mempunyai prognosis yang
lebih buruk dan lebih sulit diobati dibandingkan dengan genotipe non-satu.
Menarik untuk dicatat dengan metode yang sama, pola penyebaran genotipe pada
pengguna narkotika ini berbeda dengan genotipe yang didapat dari penderita hepatitis kronik C
yang tidak mempunyai riwayat menggunakan narkotika. Pada golongan bukan pengguna
narkotika, genotipe terbanyak adalah 1b (43 %) sedangkan genotipe 1a tidak didapatkan. Khusus
mengenai genotipe 1c yang spesifik untuk penderita hepatitis kronik C di Indonesia, teknik
pemeriksaan yang kami gunakan belum memadai untuk identifikasinya dan masih menunggu
penelitian lebih lanjut.
Ko-infeksi dengan Virus Lain
Ko-infeksi dengan Virus Hepatitis B
Infeksi VHC pada pengguna narkotika mempunyai potensi untuk terjadinya ko-infeksi
dengan virus-virus lainnya yang dapat masuk melalui darah penderita. Pada penelitian kami koinfeksi dengan virus hepatitis B (VHB) didapatkan pada 11% pengguna narkotika. Bila
dibandingkan dengan populasi normal, dimana ko-infeksi VHB dan VHC hanya 2%, tingkat koinfeksi VHC dan VHB pada pengguna narkotika relatif tinggi. Keadaan ini mempunyai indiksi buruk
karena telah diketahui bahwa ko-infeksi VHB dan VHC mempunyai risiko relatif terjadinya
karsinoma hati yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanpa adanya ko-infeksi tersebut.
Ko-infeksi Human Immunodeficient Virus
Penggunaan alat suntik secara bergantian membawa pula risiko penularan Human
Immunodeficient Virus (HIV). Pada penelitian kami total terdapat ko-infeksi HCV dan HIV pada
11,5% kasus. Terjadinya ko-infeksi dengan virus yang sangat berbahaya ini mungkin merupakan
hal yang baru terjadi di pertengahan tahun 1999. Pada 3 bulan pertama pengumpulan serum
penderita, tidak kami temukan anti-HIV yang positif namun pada 3 bulan berikutnya, anti-HIV mulai
didapatkan dan tiap bulannya terus meningkat sampai mencapai 13,3% di bulan terakhir penelitian
ini. Penelitian lain yang dilakukan oleh POKDISUS FKUI di bulan April 2000 didapatkan anti-HIV
positif pada 30% kasus pengguna narkotika. Hal ini menunjukkan masuknya pola penularan baru
pada HIV dikalangan pengguna narkotika yang sangat berperan dalam pesatnya penularan HIV.
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu di kampung Bali jakarta Pusat
amat memprihatinkan. Puskesmas Kampung Bali bersama Yayasan Pelita Ilmu berhasil
menjangkau 500 orang remaja pengguna narkoba di daerah tersebut. Kepada mereka dilakukan
penyuluhan dan ditawarkan layanan Testing dan Konseling Sukarela . Seratus sembilan berlas
remaja pengguna narkoba suntikan mengikuti layanan testing dan konseling sukarela dan hasilnya
107 orang positif (98%). Hasil HIV positif ini amat tinggi meski dapat kita pahami bahwa mereka
yang mengikuti layanan testing dan konseling sukarela ini telah mempunyai kesadaran akan
kemungkinan tertular HIV
Adanya ko-infeksi HCV dengan HIV telah diketahui dapat mempercepat terjadinya gagal hati
dan menyulitkan terapi HIV karena banyak obat-obat untuk HIV yang hepatotoksik. Pada negaranegara dimana sudah lebih dahulu mempunyai masalah dengan pengguna narkotika, ko-infeksi
HCV dan HIV masih menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Infeksi oportunistik banyak yang
sudah dapat diatasi namun infeksi oleh virus hepatitis C belum bisa ditanggulangi dengan baik
sehingga meningkatkan angka kematian penderita HIV karena terjadi kegagalan fungsi hati. Selain
itu hubungan yang sebaliknya juga terjadi dimana HCV genotipe 1 dilaporkan mempercepat
terjadinya AIDS pada penderita dengan HIV positif.

19

Pengobatan Hepatitis C pada Pengguna Narkoba


Pengobatan penderita hepatitis C pada pengguna narkotika mempunyai persoalan
tersendiri. Biasanya pengguna narkotika yang diketahui terinfeksi oleh VHC dalam waktu yang
belum terlalu lama. Penelitian kami menunjukkan rata-rata mereka sudah menggunakan narkotika
selama 2 tahun. Jangka waktu ini relatif singkat bila dibandingkan dengan penderita hepatitis C
lainnya yang biasanya sudah lebih lama menderita infeksi hepatitis C. Umur mereka juga pada
umumnya relatif lebih muda. Hal-hal ini merupakan faktor dengan prognosis yang baik. Namun
lebih dari separuh pengguna narkotika suntik menderita infeksi dengan genotipe 1 yang telah
diketahui lebih sulit diobati dibandingkan dengan genotipe lainnya. Lebih dari itu, kesulitan
pengobatan pasien pengguna narkotika adalah besarnya kecenderungan untuk memakai kembali
narkotika dengan alat suntik yang tidak steril sehingga memudahkan infeksi baru VHC.
Penelitian Ali Sulaiman dkk, [ada tahun 2000, dari kelompok pasien pengguna narkotika
yang diberi terapi dengan interferon dan ribavirin menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Dua
kelompok pasien diberi terapi masing-masing dengan dosis standar interferon 3 juta unit 3 kali
seminggu dengan ribavirin 1000 1200 mg/hari dan kelompok lainnya diberi terapi dengan
interferon dosis induksi 3 juta unit setiap hari selama satu bulan diikuti dengan 3 juta unit 3 kali
seminggu selama 5 bulan setelahnya dan ribivirin 1000 1200 mg setiap hari selama 6 bulan.
Hasil terapi pada kedua kelompok ini pada akhir masa pengobatan didapatkan respons virologi
(HCV-RNA negatif) 94,1% pada kelompok pertama dan 100% pada kelompok kedua. Keadaan ini
lebih baik dibandingkan pada kelompok bukan pengguna narkotika yang diberi terapi dengan
interferon dosis standar dimana respons virologi di akhir terapi hanya mencapai 72,2%.
Keberhasilan pengobatan ini tentunya masih harus dilihat kembali 6 bulan pasca terapi dimana
faktor penggunaan kembali alat suntik yang tidak steril akan cukup menentukan untuk adanya
respons yang menetap.
Indikasi Pengobatan
Kadar ALT meningkat > 6 bulan
HCV RNA terdeteksi dalam serum
Bebas dari narkoba atau alkohol
Gambaran histopatologi sesuai dengan hepatitis kronik
Tidak ada indikasi kontra
Kontraindikasi absolut Interferon
Depresi berat
Neutropenia (<500/L) dan trombositopenia (<50.000/L)
Tranplantasi organ kecuali hati
Penyakit jantung simtomatik
Sirosis dekompensasi
Hamil atau tidak menggunakan kontrasepsi
Kontraindikasi relatif
Gangguan autoimun
Tiroiditis
Efek samping interferon
Simdroma flu
Imsonia, depresi
Diare, gangguan saluran cerna
Leukopenia
Pening dan sakit kepala
Jarang
Retinopati
Disfungsi tiroid
Hepatitis autoimun

20

Efek samping Ribavirin


Anemia
Batuk
Sesak napas
Gangguan gastrointestinal
Kriteria keberhasilan
ALT normal
HVC RNA tidak terdeteksi
Perbaikan gambaran histopatologis
Perjalanan infeksi HIV dapat dilihat pada algoritma berikut.

Infeksi HCV

75% Kronik

30-40% normal ALT

25% resolusi spontan

60-70% abnormal ALTk

Prognosis baik

Pengobatan ?

Respon terus menerus IFN + RBV

10-20% sirosis
1-5% HCC, 2-5% gagal hati

Terapi ko-infeksi Hepatitis C dan HIV menggunakan protokol terapi yang sama namun waktu
untuk terapi Hepatitis C dan HIV perlu ditetapkan dengan benar. Pada prinsipnya terapi Hepatitis C
dan HIV dapat dilakukan secara bersama namun akan menimbulkan beban biaya yang cukup
besar. Karena lama terapi Hepatitis C lebih pendek daripada HIV maka terapi hepatitis C dapat
dimulai terlebih dahulu. Respons terapi Hepatitis C pada penderita yang mempunyai CD4 dibawah
200 sel/dl kurang baik. Sehingga pada penderita yang infeksi HIV yang jumlah CD4 nya dibawah
200 sebaiknya dimulai terapi ARV terlebih dahulu sehingga kadar CD4 dapat meningkat melebihi
200 barulah dilakukan terapi Hepatitis C. Secara skematis terapi Hepatitis C dan HIV dapat dilihat
pada tabel 17.
Tabel 17. Terapi Hepatitis C dan HIV.
1.

Jumlah CD4 melebihi 200: Terapi Hepatitis C dulu setelah selesai diikuti oleh
terapi HIV.

2.

Jumlah CD4 kurang dari 200: Terapi HIV terlebih dahulu sampai CD4
meningkat melebihi 200, selanjutnya terapi Hepatitis C dapat dimulai..

Rujukan Penderita
Seperti juga penyakit lainnya penatalaksanaan infeksi HIV memerlukan dukungan sistem
rujukan. Sebagian kasus dapat ditatalaksana secara berobat jalan namun sebagian lagi
memerlukan perawatan di Rumah Sakit.

21

Indikasi rawat di RS diantaranya adalah :


1. Asupan makanan dan minum sulit
2. Penurunan kesadaran dan kesadaran terganggu
3. Infeksi berat (pneumonia berat, sepsis, dan lain-lain)
4. Sesak napas
5. Diare hebat dengan dehidrasi
6. Kejang-kejang/ Nyeri kepala hebat
7. Febris tinggi
8. Pendarahan (batuk darah, muntah darah, BAB hitam dan lain-lain)
Nama obat Dosis dan Cara Pemakaian
Nama Obat
Viramune (nevirapine)
Rescriptor (delavirdine)

Dosis Harian
2 x 200 mg
3 x 400 mg (3 x 4 tab)

Perhatian khusus
14 hari pertama 1 x 200mg
Harus dimakan paling sedikit 1 jam
sebelum memakan ddi dan
antasida

Stocrin (efavirenz)
Zerit ( stavudine/d4T)
Retrovir (zidovudine)
3TC (lamivudine)
Combivir (AZT/3TC)
Trizivir (Abacavir/3TC/AZT)
Hivid (Zalcitabine/ddC)

3 x 200 mg kapsul
2 x 40 mg kapsul (BB>60kg) 2 x30 mg. BB <60 kg
2 x 300 mg tab.
2 x 150 mg
2 x 300 mg / 150 mg
2 x 300 mg/ 150 mg/ 300 mg
3 x 0,75 mg tab
Penyerapan kurang bila ada
makanan
Videx (didanosine/ddi)
2 x 100 mg tab
Minum 30 menit sebelum makan
atau setelah 2 jam makan
Videx EC (ddi)
1 x 400 mg kap
Minum pada waktu perut kosong
Ziagen (abacavir)
2 x 300 mg tab
Crixivan (indinavir)
3 x 800 mg (3x2 kap)
1 jam sebelum makan atau 2 jam
setelah makan. Munim air 1,5 L/hari
Viracept (nervinavir)
3 x 750 mg (3x3 kap)
Minum obat bersama makanan
Invirase (saquinavir)
3 x 600 mg (3x2 kap)
Fortovase (saquinavir) soft gel 3 x 1200 mg (3x6 kap)
Setelah makan
capsule
Norvir (ritonavir)
2 x 600 mg ( 2x6 kap)
Bersama makanan
Kaletra (lopinavir/ritonavir)
2 x 39,99 mg/ 99,99 mg ( 2 Bersama makanan
x3 kap)
Agenerase (amprenavir)
2 x 1200 mg (2x8 kap)
Akses Obat Antiretroviral
Obat antiretroviral bisa diakses di Indonesia sejak tahun 1997 itupun harus membeli dari
luar negeri. Hal itu bisa dilakukan karena POM memberikan ijin untuk membeli obat-obat tersebut
melalui pengiriman Pos. Setelah itu Pokdisus bersama beberapa perusahanan multi-nasional
farmasi (produsen obat dan reagen) mengadakan pertemuan kecil. Akhirnya November 1999,
Pokdisus AIDS membuat program Akses Diagnosis dan Terapi. Prisipnya adalah Pokdisus hanya
memfasilitasi kebutuhan dan keperluan teman-teman Odha.
Tahun-tahun berikutnya kasus HIV/AIDS semakin meningkat. Mereka yang terinfeksi
makin bervariasi (kaya-miskin), akan tetapi yang tidak mampu jauh lebih banyak. Melihat hal itu
Pokdisus mengadakan pembicaraan ulang dengan perusahaan multi-nasional farmasi untuk
menurunkan harga obat agar lebih terjangkau, sampai saat ini belum ada jawaban. Upaya lainnya
juga telah dilakukan, November 2001 Pertemuan Nasional Untuk Akses Pengobatan HIV/AIDS
diadakan oleh Badan POM (Pengawasan Obat dan makanan). Hadir pada pertemuan tersebut
perusahan multi-nasional farmasi dan teman-teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Sampai
saat ini hasilnya masih sama belum juga ada jawaban dari perusahaan multi-nasional farmasi.
Melihat keadaan tersebut Pokdisus AIDS segara melakukan pertemuan dan berinisiatif
untuk melakukan kontak langsung dengan produsen obat generik di India dan Thailand. Sampai
akhirnya obat-obat generik tersebut bisa dipakai di Indonesia.

22

Saat ini berkat bantuan impor obat dari PT. Indo Farma di Pokdisus AIDS FKI/ RSUPN-CM
telah tersedia obat-obatan antiretroviral yang murah. Obat ini sama dengan obat-obatan yang ada
di negera-negara maju, hanya saja dibuat dalam bentuk generik sehingga harganya menjadi lebih
murah. Obat-obat antiretroviral ini didatangkan dari India dan harganya hanya 10% dari harga
obat-obat paten. Obat-obat yang tersedia adalah AZT, 3TC, d4T, Stavudin, ddI, Nevirapin, dan
Nelfiravin.
Awalnya penyediaan obat-obatan hanya untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun
sekarang ini obat-obatan tersebut juga tersedia untuk teman-teman di luar Jakarta dan juga luar
Pulau Jawa. Untuk dapat mengakses obat anti-retroviral harus ada dokter yang bertanggung jawab
dalam pengobatan. Selanjutnya mengisi formulir persetujuan untuk mengikuti dan menjalani
pengobatan. Setelah itu mereka harus mengirimkan copy resep dari dokter yang mengobati (lihat
lampiran). Setelah itu formulir-formulir tersebut dikirimkan ke Pokdisus AIDS melalui fax 0213162788. Kemudian setelah itu Pokdisus akan mengirimkan obat yang diperlukan.
Selain itu obat antiretroviral tersedia juga obat-obatan untuk infeksi oportunistik diflukan.
Prosedur Untuk mengakses obat:
1. Membuat pemesanan dengan mengisi from inform consent
2. Harus dengan resep dokter (1& 2 di kirim ke fax: 3162788)
3. Kami akan kirim obat sesegera mungkin dan pasien mengambilnya ke dokter
4. Dokter menjelaskan bagaimana dosisnya, monitoringnya, kemajuan dan efek samping
pengobatan serta pemeriksaan laboratorium.
5. Bagi rumah sakit atau layanan kesehatan yang ingin menyediakanobat ini dapat
menghubungi Pokdisus AIDS FKUI/RSCM.
Penggunaan ART pada Keadaan Khusus
1. Ibu Hamil
WHO menganjurkan penggunaan ZDV, 3TC, NVP, NFV dan SQV kombinasi dengan dosis
rendah ritonavir. Penggunaan EFZ tidak dianjurkan karena potensi efek teratogenik pada
fetus dalam trimester pertama dalam kehamilan.
Jika perempuan hamil belum menggunakan ART maka saat memulai ART yang tepat
adalah setelah trimester pertama meski jika keadaan klinis memerlukan (berat) ART dapat
dimulai pada trimester pertama.
Gabungan d4T dan ddI juga tidak dianjurkan karena risiko asidosis laktat pada kehamilan.
2. Anak
ART yang digunakan pada dewasa juga dapat digunakan pada anak dengan
menyesuaikan dosis. Obat yang dianjurkan untuk anak adalah gabungan ZDV/3TC + salah
satu NNRTI (NVP atau EFZ) atau ABC (lihat bab terapi antiretroviral pada anak)
3. Penderita TBC
Dianjurkan untuk menyelesaikan pengobatan TBC terlebih dahulu sebelum memulai terapi
ART kecuali dikuatirkan infeksi HIV menjadi berat (CD4 < 200). Anjuran ini untuk
menghindari terjadinya interaksi obat ART dan obat TBC. Namun bila diperlukan
pengobatan yang bersamaan kombinasi yang dianjurkan adalah ZDV/3TC dengan EFZ.
4. Pengguna Narkoba Suntikan
Penggunaan ART hanyalah salah satu cara pengobatan yang diperlukan pada pengguna
narkoba suntik yang terinfeksi HIV. Pendekatan lain seperti terapi adiksi, terapi hepatitis C
serta infeksi lain yang mungkin timbul juga harus dilakukan. Ko-infeksi hepatitis C pada
HIV dianggap tidak mempercepat perjalanan penyakit HIV. Sebaliknya ko-infeksi HIV pada
hepatitis C dapat mempercepat fibrosis hati pada hepatitis C kronik. Pemberian terapi
interferon dan ribavirin akan memberikan hasil yang lebih baik pada orang terinfeksi HIV
apabila CD4 > 200.
5. Kepatuhan minum obat
Kepatuhan untuk minum obat dapat ditingkatkan apabila penderita memahami manfaat
obat, lama penggunaan serta cara menggunakan. Jumlah obat yang lebih sedikit dapat
digunakan 1 kali sehari akan meningkatkan kepatuhan. Sekarang sudah tersedia
kombinasi 3 obat (ZDV, 3TC, NPV) dalam 1 tablet yang dapat digunakan 2 kali sehari.

23

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Carpenter CC, Cooper DA, Fischl MA, et al. Antiretroviral therapy in adults: updated
recommendations of the International AIDS Society-USA Panel. Jama 2000; 283:381-90.
Keiser P, Nassar N, Kvanli MB, Turner D, Smith JW, Skiest D. Long-term impact of highly active
antiretroviral therapy on HIV-related health care costs. J Acquir Immune Defic Syndr 2001; 27:14-9.
Matthews GV, Sabin CA, Mandalia S, et al. Virological suppression at 6 months is related to choice
of initial regimen in antiretroviral-naive patients: a cohort study. Aids 2002; 16:53-61.
Powderly WG, Saag MS, Chapman S, Yu G, Quart B, Clendeninn NJ. Predictors of optimal
virological response to potent antiretroviral therapy. Aids 1999; 13:1873-80.
Hogg RS, Yip B, Chan KJ, et al. Rates of disease progression by baseline CD4 cell count and viral
load after initiating triple-drug therapy. Jama 2001; 286:2568-77.
Phillips AN, Staszewski S, Weber R, et al. HIV viral load response to antiretroviral therapy
according to the baseline CD4 cell count and viral load. Jama 2001; 286:2560-7.
Sterling TR, Chaisson RE, Moore RD. HIV-1 RNA, CD4 T-lymphocytes, and clinical response to
highly active antiretroviral therapy. Aids 2001; 15:2251-7.
Fournier AM, Sosenko JM. The relationship of total lymphocyte count to CD4 lymphocyte counts in
patients infected with human immunodeficiency virus. Am J Med Sci 1992; 304:79-82.
Mellors JW, Munoz A, Giorgi JV, et al. Plasma viral load and CD4+ lymphocytes as prognostic
markers of HIV-1 infection. Ann Intern Med 1997; 126:946-54.
Bartlett JA, DeMasi R, Quinn J, Moxham C, Rousseau F. Overview of the effectiveness of triple
combination therapy in antiretroviral-naive HIV-1 infected adults. Aids 2001; 15:1369-77.
Eron JJ, Jr. The treatment of antiretroviral-naive subjects with the 3TC/zidovudine combination: a
review of North American (NUCA 3001) and European (NUCB 3001) trials. Aids 1996; 10 Suppl
5:S11-9.
Hogg RS, Rhone SA, Yip B, et al. Antiviral effect of double and triple drug combinations amongst
HIV-infected adults: lessons from the implementation of viral load-driven antiretroviral therapy. Aids
1998; 12:279-84.
Dabis F, Msellati P, Meda N, et al. 6-month efficacy, tolerance, and acceptability of a short regimen
of oral zidovudine to reduce vertical transmission of HIV in breastfed children in Cote d'Ivoire and
Burkina Faso: a double-blind placebo-controlled multicentre trial. DITRAME Study Group.
DIminution de la Transmission Mere-Enfant. Lancet 1999; 353:786-92.
Guay LA, Musoke P, Fleming T, et al. Intrapartum and neonatal single-dose nevirapine compared
with zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 in Kampala, Uganda:
HIVNET 012 randomised trial. Lancet 1999; 354:795-802.
USPHS. Recommendations for the use of antiretroviral drugs in pregnant HIV-1 infected women for
maternal health and interventions to reduce perinatal HIV-1 transmission in the United States,
2002. http://www.hivatis.org/guidelines/perinatal/Feb4_02/Perin.pdf
Connor EM, Sperling RS, Gelber R, et al. Reduction of maternal-infant transmission of human
immunodeficiency virus type 1 with zidovudine treatment. Pediatric AIDS Clinical Trials Group
Protocol 076 Study Group. N Engl J Med 1994; 331:1173-80.
O'Sullivan MJ, Boyer PJ, Scott GB, et al. The pharmacokinetics and safety of zidovudine in the
third trimester of pregnancy for women infected with human immunodeficiency virus and their
infants: phase I acquired immunodeficiency syndrome clinical trials group study
Mandelbrot L, Landreau-Mascaro A, Rekacewicz C, et al. Lamivudine-zidovudine combination for
prevention of maternal-infant transmission of HIV-1. Jama 2001; 285:2083-93.
Wagner KR, Bishai WR. Issues in the treatment of Mycobacterium tuberculosis in patientswith
human immunodeficiency virus infection. Aids 2001; 15 Suppl 5:S203-12.
Dean GL, Edwards SG, Ives NJ, et al. Treatment of tuberculosis in HIV-infected persons in the era
of highly active antiretroviral therapy. Aids 2002; 16:75-83.
Ribera E, Pou L, Lopez RM, et al. Pharmacokinetic interaction between nevirapine and rifampicin
in HIV-infected patients with tuberculosis. J Acquir Immune Defic Syndr 2001; 28:450-3.
Fellay J, Boubaker K, Ledergerber B, et al. Prevalence of adverse events associated with potent
antiretroviral treatment: Swiss HIV Cohort Study. Lancet 2001; 358:1322-7.
Ho TT, Wong KH, Chan KC, Lee SS. High incidence of nevirapine-associated rash in HIV-infected
Chinese. Aids 1998; 12:2082-3.
Powderly WG. Manual of HIV Therapeutic. 2ed. Lippincot William & Wilkins. Philadelphia. 2001.
Djoerban Z, et al. Membidik AIDS ikhtiar memahami HIV dan ODHA. Jakarta, Galang Press dan
Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Dalam:1999;227:281.
Samsuridjal Djauzi, Penatalaksanaan Infeksi HIV. Jakarta, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia dan Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia, 1997.

24

Daftar Homepage/ Web-site:


http://www.youandaids.org/
http://www.hivatis.org/trtgdlns.html
http://www.globaltreatmentaccess.org/
http://www.healthgap.org/
http://www.icaso.org/
http://www.31stcentury.com/apcaso/
http://www.natap.org/
http://www.ias.se/
http://www.communitysa.org.za/new.htm
http://www.ashm.org.au/
http://www.virology-education.com/
http://www.intelihealth.com/
http://www.aidsalliance.org/
http://www.cirp.org/library/statements/gmc/
http://www.hopkins-aids.edu/
http://www.eci.harvard.edu/
http://www.i-base.org.uk/
http://www.pelita-ilmu.or.id/
http://www.ama-assn.org/special/hiv/
http://www.who.int/HIV_AIDS/HIV_AIDS_Care/executive_sum.htm
http://www.aidsmap.com
www.jama.ama-assn.org.

www.cdc.gov/mmwr//indrr
www.cdc.gov/mmwr//preview//mmvwrhtml/00055357.htm

Untuk teman-teman sejawat yang berjuang


di garis depan ....................

25

Anda mungkin juga menyukai