Workshop HIVAIDS - Zubairi Djoerban PDF
Workshop HIVAIDS - Zubairi Djoerban PDF
Penatalaksanaan
Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar
Editor
Samsuridjal Djauzi, Zubairi Djoerban
Para penulis :
Arwin AP Akib, Bagian Ilmu Kedsehatan Anak FKUI/RSCM
Nanang Sukmana, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Rino A. Gani, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Samsuridjal Djauzi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Zubairi Djoerban, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Pendahuluan
Jumlah kasus baru infeksi HIV dewasa ini meningkat tajam terutama pada pengguna
narkoba suntikan. Mengingat penggunaan narkoba suntikan sudah amat meluas terutama di kotakota besar di Indonesia maka layanan penatalaksanaan infeksi HIV pada pelayanan kesehatan
dasar hendaknya juga dapat disiapkan. Para dokter Puskesmas serta dokter praktek swasta
diharapkan menjadi tulang punggung layanan ini.
Obat antiretroviral (ART) amat bermanfaat dalam menurunkan jumlah HIV dalam tubuh
sehingga penurunan Limfosit CD4 dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral selama 6
bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi (undetectable) dan jumlah Limfosit
CD4 meningkat. Akibatnya risiko terjadinya infeksi oportunistik menurun dan kualitas hidup
penderita meningkat. Bahkan cukup banyak penderita yang dapat kembali bekerja dan produktif.
Buku ini ditulis secara singkat dengan tujuan dapat digunakan oleh petugas kesehatan di
tingkat pelayanan dasar secara mudah. Jika diperlukan informasi yang lebih lengkap maka
pembaca dapat melihat berbagai website yang daftarnya disediakan pada daftar kepustakaan.
Buku ini juga ditulis untuk situasi Indonesia dengan pelayanan kesehatan yang sederhana dan
biaya kesehatan yang masih rendah, WHO telah membuat panduan pengobatan antiretroviral
pada negara yang mempunyai sumber daya yang terbatas. Karena itu pedoman yang digunakan di
negara maju disesuaikan dengan situasi Indonesia. Pada buku ini juga dicantumkan data-data dan
pengalaman yang didapat pada pelaksanaan infeksi HIV di Pokdisus AIDS FKUI-RSCM Jakarta
Penulis amat mengharapkan masukan untuk memperbaiki buku ini. Masukan tersebut
dapat dikirimkan ke Pokdisus AIDS FKUI melalui fax (021) 3162788 atau e-mail :
pokdisus@centrin.net.id. Selain disediakan dalam bentuk cetakan buku ini juga dapat diakses
melalui website http:\\www.pelita-ilmu.or.id. Informasi pada buku ini dalam di website diperbaharui
sesuai dengan kemajuan yang ada penatalaksanaan infeksi HIV .
Samsuridjal Djauzi
Zubairi Djoerban
Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam :
1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimtomatik
5. Infeksi kronik simtomatik
6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3)
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50 /mm3
Gejala Infeksi Primer
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer.
Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan gejala ini berlangsung selama 2-6
minggu (rata-rata 2 minggu) setelah terinfeksi. Gejala ini dapat ringan sampai berat dan sekitar
42% penderita memerlukan perawatan di rumah sakit. Gejala-gejala infeksi primer ini dapat dibagi
menjadi gejala umum berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan rasa lemah. Di samping itu
terdapat gejala akibat kelainan mukokutan seperti ruam kulit, ulkus di mulut serta di genital. Selain
itu sekitar 50% kasus disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe. Sedangkan gejala-gejala lain
berupa kelainan neurologi berupa nyeri kepala, nyeri di belakang mata, fotofobia, dan depresi.
Kelainan neurologi yang lain dapat berupa meningitis tetapi kelainan jarang terjadi. Dapat juga
timbul kelainan saluran cerna berupa anoreksia, nausea, diare, dan jamur di mulut. Gejala klinik
infeksi primer HIV ini dapat dilihat pada tabel 1.5
Kekerapan (%)
90
54
70
12
74
32
12
32
12
Gejala infeksi primer di atas berlangsung selama 2-6 minggu dan akan membaik dengan
atau tanpa pengobatan. Setelah itu perjalanan penyakit menuju stadium tanpa gejala yang pada
orang dewasa lamanya 5-10 tahun. Masa tanpa gejala ini akan memendek apabila viral load pada
titik keseimbangan (set point) tinggi. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala-gejala
pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfe yang kemudian diikuti oleh infeksi
oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki
stadium AIDS.
Tes Cepat
Sekarang tersedia tes cepat yang dapat dibaca dalam 10-15 menit (Abbott Diagnostics).
Tes ini mempunyai sensitivitas 99,9% dan spesivitas 99,6%
Tes saliva dan Tes Urin
Sebenarnya pemeriksaan HIV dapat juga dilakukan pada saliva (air liur) dan urin. Kit
untuk pemeriksaan ini tak tersedia di Indonesia.
Tes Untuk Deteksi Virus
Selain dengan cara mendeteksi antibodi terhadap HIV dapat juga dilakukan tes untuk
mendeteksi virus (antigen HIV). Biasanya yang dideteksi adalah DNA atau RNA virus. Di FKUIRSCM tersedia pemeriksan PCR untuk menentukan viral load.
Tes Hitung jumlah Limfosit CD4
Untuk memulai terapi antiretroviral serta memantau hasil pengobatan digunakan tes
jumlah Limfosit CD4. Tes ini dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya dengan
Imunofluoresensi dan Flowsitometer.
Cara mengirimkan bahan untuk Pemeriksaan Viral Load dan Limfosit CD4
Pemeriksaan viral Load dan CD4 hanya dapat dilakukan di Laboratorium yang mempunyai
fasilitas lengkap. Bagi daerah yang belum mempunyai fasilitas tersebut bahan pemeriksaan dapat
dikirimkan dengan cara sebagai berikut.
Prosedur untuk pengambilan dan pengiriman sampel darah untuk pemeriksaan:
1. CD4: - darah 10ml + heparin 5 tetes dan darah EDTA 3 ml dalam vacutainer.
Sampel ini tidak bisa disimpan dan harus segera dikerjakan maksimal 8 jam
2. VL : Serum 3cc atau darah EDTA 3cc.
- Bila disimpan dalam suhu kamar max hanya tahan selama 8 jam.
- Bila dibekukan dengan suhu -20C (sampel dalam keadaan beku) max bertahan
dalam 2 minggu.
- Pengiriman sebaiknya menggunakan sterofoam box dilapisi dengan Dry Ice
supaya suhu tetap terjaga. Biasanya TIKI punya box untuk pengiriman sampel
darah.
- Sampel tidak bisa diperiksa lagi di laboratorium bila telah mencair dan dibekukan
lagi (beku ulang) beberapa kali, karena hal ini bisa merusak RNA dalam sampel
darah.
Konseling merupakan salah satu proses yang harus dilakukan sebelum seseorang
memutuskan untuk menjalani test anti-HIV. Pengertian konseling adalah: hubungan kerjasama
yang bersifat menolong antar dua orang (konselor dan klien) yang bersepakat untuk:
Bekerja sama dalam upaya menolong klien agar dapat menguasai permasalahan dalam
hidupnya.
Berkomunikasi untuk membantu mengidentifikasi problem-problem klien.
Terlibat dalam proses yang menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan akses
terhadap sumber-sumber informasi maupun pelayanan.
Membantu klien mengubah sikap/persepsi yang negatif terhadap problemnya, sehingga
klien dapat mengatasi kekuatirannya dan memutuskan apa yang akan ia lakukan
dengan permasalahan yang dihadapinya.
Konseling HIV/AIDS adalah konseling yang secara khusus memberi perhatian terhadap
permasalahan yang berkaitan dengan HIV/AIDS, baik terhadap orang yang terinfeksi maupun
terhadap lingkungan yang terpengaruh. Tujuan dari konseling HIV/AIDS adalah memberi dukungan
sosial dan psikologik kepada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan keluarganya serta mengubah
perilaku yang berisiko sehingga dapat menurunkan penularan infeksi HIV/AIDS.
Konseling HIV/AIDS biasanya dilakukan dua kali, yaitu: sebelum tes (pra-test) atau sesudah
tes (pasca test) HIV/AIDS. Selama konseling berlangsung biasanya ada beberapa topik yang di
bicarakan:
Indentifikasi perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Membantu membuat keputusan untuk mengubah perilaku itu.
Mengganti dengan perilaku-perilaku yang berisiko lebih rendah/aman serta
mempertahankan perilaku itu.
Membantu klien dalam mengambil keputusan untuk menjalani tes HIV dengan informed
consent (pernyataan persetujuan).
Khusus untuk konseling HIV/AIDS pelaksanaannya harus dengan sukarela tanpa paksaan dan
bersifat rahasia (confidentiality).
Bila klien memutuskan untuk memeriksakan diri, maka klien perlu disiapkan untuk
menghadapi hasil yang akan diterimanya. Ada 3 kemungkinan hasil yang akan terjadi:
Hasil tes negatif dan bukan dalam periode jendela
1. Jelaskan bahwa ini bukan berarti bebas HIV seumur hidup sehingga boleh
berperilaku apapun.
2. Andaikata ada perilaku berisiko tinggi, perlu mengubah perilaku tersebut menjadi
lebih aman dan dipertahankan seumur hidup sesuai dengan pilihan A, B, C atau
kombinasi demi pencegahan HIV.
Hasil tes negatif dalam periode jendela
1. Perlu mengulang tes dalam jangka waktu 3 bulan kemudian, untuk kepastian
status HIV-nya.
2. Sudah harus mengubah perilaku risiko tingginya, sesuai pilihan A, B, C atau
kombinasi.
Hasil tes positif
1. Perhatikan reaksi klien saat menerima hasil tes, konselor perlu berempati.
2. Jelaskan bahwa positif bukan berarti mati.
3. Rujukan untuk dukungan dan pengobatan.
4. Jaminan kerahasiaan.
5. Kemungkinan memberitahu pasangan.
6. Mengubah perilaku berisiko tingginya berdasarkan pilihan A, B, C, atau
kombinasinya.
Selain itu karena pengobatan ART sekarang ini sudah lebih mudah diakses maka klien
juga perlu mendapatkan konseling tentang pengobatan (manfaat, efek samping, lama pengobatan,
biaya, dst).
Konseling HIV/AIDS juga diperlukan jika Odha ingin menikah, punya anak dsb. Konseling
dalam keadaan khusus ini diperlukan Odha dan konselor dapat menginformasikan perkembangan
terakhir dalam bidang tersebut sehingga Odha dapat mengambil keputusan terbaik untuk dirinya.
Diagnosis
Pada umumnya pendekatan diagnosis infeksi HIV dilakukan dengan cara yang sama
seperti penyakit lain yaitu melalui manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang. Namun cara ini
hanya dapat dilakukan bila penderita sudah mempunyai gejala (simtomatik atau AIDS). Pada
keadaan asimtomatik perlu dilakukan pemeriksaan anti HIV.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan jika ada perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkoba suntikan). Diagnosis infeksi HIV harus dilakukan dengan
hati-hati karena dapat menimbulkan dampak yang besar pada orang yang didiagnosis.
Hubungan jumlah Limfosist CD4 dan kategori klinis dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Definisi Kasus Survailens AIDS untuk Dewasa
Kategori Klinis
CD4 Kategori
A
B
Asimptomatik
Simptomatik
> 500/mm3
A1
B1
3
200-499/mm
A2
B2
3
< 200/mm
A3
B3
C
AIDS
C1
C2
C3
Gejala AIDS
Gejala AIDS pada umumnya merupakan gejala infeksi oportunistik atau kanker yang terkait
dengan AIDS. Kanker yang terkait dengan AIDS adalah sarkoma kaposi, limfoma malignum dan
karsinoma serviks invasif. Sedangkan gejala yang sering ditemukan pada penderita AIDS di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dapat dilihat pada tabel 3.6
Tabel 3. Gejala AIDS di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala
Frekuensi
Demam lama
100 %
Batuk
90,3 %
Penurunan berat badan
80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan
78,8 %
Diare
69,2 %
Sesak napas
40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening
28,8 %
Penurunan kesadaran
17,3 %
Gangguan penglihatan
15,3 %
Neuropati
3,8 %
Ensefalopati
4,5 %
Penatalaksanaan Umum
Pengobatan HIV AIDS dapat dibagi dalam :
1. Pengobatan suportif
2. Pengobatan infeksi opoturnistik
3. Pengobatan antiretroviral (ART)
Tujuan pengobatan suportif adalah untuk meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri atas pemberian gizi yang sesuai, obat simtomatik, serta vitamin. Di samping
itu perlu diupayakan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti
semula. Pengobatan suportif ini penting dan pada umumnya dapat dilaksanakan di rumah atau
layanan kesehatan yang sederhana.
Diagnosis infeksi oportunistik ditegakkan melalui manifestasi klinis dan acapkali perlu
ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Namun pada layanan
kesehatan dasar diagnosis infeksi oportunistik dapat diltegakkan melalui pendekatan klinis saja,
adapun pengobatan dilakukan secara empiris.
Anggapan bahwa obat antiretroviral merupakan obat yang rumit dan mahal sehingga hanya
mampu laksana di negara maju sekarang sudah berubah. Dengan tersedianya obat generik
antiretroviral yang relatif lebih murah maka terbuka kesempatan bagi negara berkembang untuk
melaksanakan pengobatan antiretroviral. Namun harus kita sadari bahwa untuk dapat
melaksanakan pengobatan ini dengan baik perlu peningkatan kemampuan petugas kesehatan,
penyediaan obat ART yang berkesinambungan dan informasi mengenai obat yang lengkap.
Dengan demikian meski dengan keterbatasan sarana negara berkembang dapat melakukan
pengobatan ART dengan cara yang baik dan sesuai dengan etika kedokteran.
(misalnya kandidiasis), reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada dalam tubuh Odha (misalnya
TBC, toksoplasma dan Sitomegalo ) atau infeksi baru.
Infeksi oportunistik yang sering dijumpai di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Infeksi Oportunistik di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Infeksi Oportunistik
Frekuensi
Kandidiasis mulut - esofagus
80,8 %
Tuberkulosis
40,1 %
Sitomegalovirus
28,8 %
Ensefalitis toksoplasma
17,3 %
Pneumonia P. carinii (PCP)
13,4 %
Herpes simpleks
9,6 %
M. avium kompleks (MAC)
4,0 %
Kriptosporodiosis
2,0 %
Histoplasmosis paru
2,0 %
Catatan : Pada tabel ini tidak didapati infeksi kriptokokokosis meningeal yang sering dilaporkan di
ASEAN. Secara klinis infeksi ini sering juga dijumpai di RSCM namun karena tidak dilakukan
pungsi lumbal maka diagnosis tidak dapat ditegakkan secara pasti. Untuk diagnosis
kriptokokokosis meningeal diperlukan pemeriksaan cairan likuor dengan tinta India. Dari sebuah
rumah sakit swasta di Jakarta telah dilaporkan infeksi kriptokokkosis meningeal ini. Pengobatan
dengan obat anti jamur sistemik memberi hasil yang baik.
Dengan demikian, dalam menegakkan diagnosis infeksi HIV peran pemeriksaan anti HIV
penting. Pada keadaan asimtomatik diagnosis ditegakkan berdasarkan tes anti HIV. Sedangkan
pada masa sudah terdapat gejala, yang berasal dari infeksi oportunistik, maka tes HIV tetap
diperlukan. Adapun jika fasilitas kesehatan yang tersedia amat sederhana, dibenarkan untuk
mendiagnosis AIDS berdasarkan gejala saja. Khusus untuk di Indonesia karena sudah tersedia tes
HIV yang tersebar luas, hendaknya gejala klinis tersebut juga ditunjang oleh tes HIV.7
Tabel 5. Infeksi Oportunistik dan Terapinya8
Infeksi
Terapi
Kandidiasis esofagus
Flukonazol
Tuberkulosis
Rifampisin, INH, Etambutol, Pirazinamid, Streptomisin
MAC
Klaritromisin, Etambutol, Rifabutin, Siprofloksasin
Toksoplasmosis
Pirimetamin, Sulfadiazin, Asam Folat, Klindamisin
Sitomegalovirus
Gansiklovir, Foskarmet
Herpes simpleks
Asiklovir
Herpes zoster
Asiklovir
kriptokokkosis meningeal
Amfoterisin B, Flukonasol, Itrakonasol
PCP
Kotrimoksazol
Dosis obat dapat dilihat pada lampiran.
Pengobatan kanker yang terkait AIDS yaitu limfoma malignum, sarkoma kaposi, dan
karsinoma serviks invasif disesuaikan dengan standar terapi penyakit kanker.
PPD > 5 ml
Kontak Positif
T. Gondii
TMP.SMX 1 DS/hari
S. pneumoniae
Hepatitis B
Hepatitis A
Vaksinasi pneumovax
Vaksinasi Hepatitis B
Catatan : Vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A diajurkan apabila penderita mampu.
Apabila kekebalan tubuh (CD4) meningkat maka risiko terkena infeksi oportunistik berkurang
sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun
kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi.
Toksoplasmosis
CMV
Terapi Antiretroviral
Data selama 5 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV obat ART bermanfaat menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dan
dapat bekerja normal dan produktif.
Manfaat ART dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya
kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik. Perjalanan penyakit infeksi HIV dan amat
dipengaruhi ART. Secara umum kondisi kesehatan odha menjadi jauh lebih baik. Infeksi
kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani, demikian pula
kanker Kaposi bisa spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Infeksi penyakit oportunistik lain
yang berat, seperti infeksi cytomegalovirus (CMV) dan infeksi atypical mycobacterial, dapat
disembuhkan.
Penyakit radang paru pada Odha yang disebabkan pneumocystis carinii pneumonia,
yang hilang timbul, biasanya mengharuskan Odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun
sekarang dengan minum obat ART teratur, banyak Odha yang tidak memerlukan obat profilaksis
terhadap pneumonia. Diharapkan di masa mendatang infeksi HIV dapat dianggap serupa dengan
penyakit menahun yang dapat dikelola selama bertahun-tahun.
PI
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
Nelvinavir
10
WHO menganjurkan pemberian ART untuk negara yang mempunyai dana yang terbatas dengan
kombinasi sebagai berikut :
2 NRTI + 1 NNRTI atau Abacavir atau PI
Di Pokdisus AIDS FKUI RSCM disediakan jenis obat yang banyak digunakan yaitu :
AZT, 3TC, Nevirapin, Nelvinavir.
Kombinasi yang dianjurkan adalah : AZT, 3TC, Nevirapin atau AZT, 3TC, Nelvinavir.
Selain itu bila diperlukan disediakan juga ddI dan d4T.
Prinsip Menggunakan Antiretroviral
Untuk menggunakan obat antiretroviral perlu dipertimbangkan : gejala klinis, CD4, viral load,
serta kemampuan penderita untuk menggunakan obat dalam jangka panjang. Pemeriksaan CD4
dapat dilakukan dengan cara imunofluoresen atau flow cytometry. Kedua pemeriksaan ini telah
dapat dilakukan di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Sedangkan pemeriksaan viral load yang tersedia
di RSCM menggunakan cara RT-PCR assay (Ampiclor).
Pemberian antiretroviral direkomendasikan untuk penderita dengan sindrom HIV akut akibat
infeksi primer HIV, dan mereka yang mengalami serokonversi dalam waktu 6 bulan serta semua
penderita infeksi HIV yang menunjukkan gejala.
Sedangkan untuk penderita infeksi HIV yang tanpa gejala, antiretroviral diberikan bila CD4 <
350/dl atau viral load > 55.000 kopi/mL. Sekali keputusan memberikan obat antiretroviral diberikan
perlu dijaga agar pemberian obat dapat berlangsung secara berkelanjutan. Sasaran hasil
pengobatan dalam 8 minggu terjadi penurunan viral load menjadi 1/10 viral load semula.
Contohnya bila viral load semula 100.000 kopi/mL maka setelah 8 minggu pengobatan baru dapat
dikatakan berhasil bila viral load menjadi 10.000 kopi/mL. Sedangkan dalam waktu 6 bulan
sasaran yang ingin dicapai adalah viral load undetectable. Penurunan viral load biasanya diikuti
oleh kenaikan CD4 sehingga risiko terjadinya infeksi oportunistik juga berkurang. Indikasi memulai
terapi yang dianjurkan oleh WHO untuk negara berkembang terutama ditujukan untuk kasus yang
sudah lanjut.
Anjuran
Obati
Obati
Obati
VL < 20.000,
sebagian ahli mengobati
Tunggu kecuali
VL > 55.000, obati
11
Alternatif
Tidak dianjurkan
Tidak dianjurkan
Kolom A
EFV
IDV
NFV
SQV/RVT
LPV/RTV
IDV/RTV
ABC
APV
DLV
NVP
RTV
SQV(FTV)
NFV/FTV
HU
RTV/APV
RTV/NFV
SQV (INV)
Kolom B
d4T/3TC
AZT/ddL
AZT/3TC
D4t/ddl*
Ddl/3TC
AZT/ddC
TDF
DdC/ddl
DdC/d4t
DdC/3TC
AZT/d4T
12
Pemantauan
Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan mengamati keadaan klinis, hitung CD4
dan viral load. Bila keadaan memungkinkan juga perlu dilakukan pemeriksaan resistensi.
Pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Mengingat biaya pemeriksaan CD4 dan viral
load cukup mahal maka pemantauan untuk kedua pemeriksaan ini cukup dilaksanakan 6 bulan
sekali, kecuali bila keadaan klinis memburuk.
Kualitas hidup penderita AIDS meningkat tajam dengan penggunaan obat antiretroviral.
Jumlah CD4 meningkat, risiko infeksi oportunistik menurun sehingga penderita dapat produktif
kembali. Pemeriksaan viral load yang tidak dapat mendeteksi HIV menambah keyakinan penderita
tentang manfaat pengobatan. Namun demikian perlu dihindari kesalahpahaman sehingga
penderita tidak menganggap dirinya sembuh serta menghentikan pengobatan. Karena bila
pengobatan dihentikan viral load akan meningkat, sehingga RNA virus akan kembali ke jumlah
sebelum pengobatan.
Di Indonesia bukan hanya harga obat antiretroviral yang mahal tetapi pemeriksaan CD4
dan viral load juga mahal. Bila biaya terbatas pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
secara klinis serta pemeriksaan limfosit total. Anjuran WHO untuk pemantauan laboratorium hasil
terapi maupun efek samping obat anti retroviral adalah :
1. Pemeriksaan CD4 (limfosit total) setiap 6 bulan
2. Pemeriksaan bilirubin serum
3. Amilase
4. Trigliserida
5. Bila tersedia pemeriksaan viral load dilakukan pemeriksaan ini bersamaan dengan CD4
Selain itu bila mungkin tersedia pemeriksaan darah tepi, SGOT, SGPT, ureum, gula darah dan tes
kehamilan.
Efek Samping
ARV dapat menimbulkan efek samping namun pada umumnya efek samping inii dapat
ditoleransi. Bila timbul efek samping yang berat maka perlu dipikirkan untuk mengganti obat
tersebut dengan obat lain. Efek samping yang cukup sering dijumpai adalah :
1. Anemia dapat disebabkan oleh penggunaan AZT
2. Gejala gangguan syaraf pusat dapat disebabkan oleh penggunaan EFZ
3. Hepatotoksik, diare dan rash (kemerahan pada kulit) dapat disebabkan oleh NVP
4. Nefrolitiasis dapat disebabkan oleh IDV
5. Gangguan metabolik dapat disebabkan oleh PI
6. Kemungkinan teratogenik perlu diwaspadai pada penggunaan EFZ
Pada penggunaan nevirapin dalam program akses terapi Pokdisus AIDS FKUI/RSCM ditemukan
sekitar 15% penderita dengan alergi dan beberapa penderita memerlukan rawat inap karena
menunjukkan gejala Steven Jhonson. Penatalaksanaan efek samping ini pada prinsipnya sama
dengan reaksi alergi obat pada umumnya yaiitu menghentikan pemakaian obat, pemberian
antihistamin serta steroid. Pada gejala alergi obat berat (Steven Johnson) penderita perlu dirawat
karena biasanya terjadi lesi di saluran cerna dan saluran napas serta mata dan alat kelamin.
Pemasukan kalori dan cairan perlu diperhatikan serta dihindari terjadinya infeksi sekunder.
Selain efek samping perlu juga interaksi obat. NVP misalnya berinteraksi dengan rifampisin
sehingga dianjurkan tidak digunakan secara bersamaan. Untuk informasi yang lengkap mengenai
efek samping dan interaksi obat ini dapat dilihat pada website :
http://www.hopkins-aids.edu, http://eagis.com, http://www.who.org,
http://www.cdc.gov/nchstp/hiv_aids?dhap.htm, http://www.hivinsite.ucsf.edu
13
Penelitian pada binatang menunjukkan didapatkan risiko meningkat bila paparan terjadi
dengan darah yang volumenya banyak dan luka yang dalam. Risiko juga meningkat bila orang
yang menjadi sumber penularan dalam keadaan AIDS lanjut atau viral load tinggi. Pada keadaan
tersebut risiko penularan dapat melampaui 0,3%. Sebaliknya, status kekebalan tubuh petugas
kesehatan yang mengalami kecelakaan juga berpengaruh. Petugas kesehatan yang terpapar tapi
tidak mengalami infeksi ternyata respons limfosit T sitotoksiknya lebih baik.
Pasca paparan HIV terdapat masa yang merupakan kesempatan untuk mencegah
replikasi virus. Sasaran HIV setelah masuk tubuh melalui kulit yang terluka atau selaput lendir
adalah sel dendritik. Infeksi sel dendiritik ini terjadi dalam 24 jam pertama. Dalam 24 sampai 48
jam sel tersebut bermigrasi ke kelenjar limfe regional dan HIV dapat dideteksi di sirkulasi pada hari
ke-5. Replikasi HIV di sel limfosit berlangsung dengan cepat, setiap sel limfosit dapat
mengeluarkan 5000 partikel virus. Peningkatan jumlah virus yang berlangsung secara
eksponensial di sel limfosit berlanjut terus, kecuali bila dihambat oleh obat antiretroviral atau sistem
kekebalan tubuh. Agar obat antiretroviral dapat bekerja secara efektif dalam mencegah penularan,
dianjurkan obat antiretroviral diberikan sebelum 36 jam pasca paparan.
Obat antiretroviral yang banyak digunakan adalah Azidotimidin (AZT). Perkembangan
dalam obat antiretroviral memungkinkan hasil yang lebih baik bila AZT digabung dengan obat lain
(3TC dan obat golongan protease inhibitor).
Kejadian kecelakaan yang berisiko terpapar HIV
Selama tahun 2000 tercatat 9 kecelakaan berisiko terpapar HIV di kalangan petugas
kesehatan yang dilaporkan ke Pokdisus AIDS FKUI atau Yayasan Pelita Ilmu. Pada umumnya
kejadian ini dilaporkan untuk tujuan konsultasi atau permintaan obat profilaksis. Kasus-kasus
tersebut dapat dilihat pada tabel 14.
14
Tabel 14. Kejadian kecelakaan yang berisiko paparan HIV pada petugas Kesehatan yang
dilaporkan ke Pokdisus AIDS FKUI/RSUPN-CM tahun 2000
No
Jenis
Pekerjaan
Jenis
Obat
Tes HIV
Tes HIV
kelamin
Kecelakaan
profilaksis
setelah 3
setelah
bulan
6 bulan
1
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negative
2
Perempuan
Petugas lab Tusukan jarum
Tidak
negatif
Negative
3
Perempuan
Perawat
Percikan
Tidak
negatif
Negative
Ke mata
4
Laki-laki
Perawat
Luka
Ya
negatif
Negative
karena pisau
5
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
6
Laki-laki
Dokter
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
7
Perempuan
Perawat
Tangan terkena Tidak
negatif
Negatif
darah
8
Laki-laki
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
9
Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
negatif
Negatif
10 Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
Negatiif
Negatif
11 Perempuan
Perawat
Tusukan jarum
Ya
Negaitif
Negatif
12 Perempuan
Perawat
Percikan cairan Tidak
Negatif
Negatif
tubuh pada mata
Penatalaksanaan Pasca Paparan HIV
1. Pembersihan tempat tusukan atau percikan.
Tempat yang tertusuk atau terkena cairan tubuh dibersihkan dengan air dan sabun. Memijat
tempat yang tertusuk untuk mengeluarkan darah tidak mengurangi risiko penularan. Begitu
pula pemberian desinfektan juga tidak mengurangi risiko penularan HIV. Selaput lendir yang
terpercik cairan tubuh dibilas dengan air yang bersih.
2. Tentukan status HIV orang yang menjadi sumber cairan tubuh.
Bila orang yang menjadi sumber cairan tubuh tersebut belum diketahui status HIV-nya,
dilakukan tes HIV. Untuk mendapat hasil yang cepat, dapat dilakukan tes HIV dengan metode
cepat (tes spot). Jika hasil tes HIV belum diperoleh dalam waktu 72 jam dan orang yang
menjadi sumber cairan tubuh dicurigai mempunyai risiko tinggi penularan HIV, cairan tubuh
tersebut dianggap HIV positif untuk sementara.
3. Konseling terhadap petugas kesehatan yang terpapar HIV.
Petugas kesehatan tersebut perlu memperoleh informasi yang lengkap dan benar mengenai
risiko penularan HIV, manfaat, dan efek samping pemberian antiretroviral. Informasi mengenai
upaya mencegah penularan pada pasangan seksual petugas kesehatan tersebut juga perlu
disampaikan. Setelah mendapat informasi yang lengkap, petugas kesehatan dapat memilih
apakah akan menggunakan obat antiretroviral atau tidak.
4. Penggunaan obat antiretroviral profilaksis.
Pemberian obat kombinasi antiretroviral diperkirakan akan dapat mencegah penularan HIV
secara lebih baik. Namun, karena obat ini masih sulit didapatkan di Indonesia, dianjurkan
pemberian obat satu macam saja, yaitu AZT 500 mg setiap hari selama empat sampai enam
minggu.
5. Tindak lanjut.
Tindak lanjut untuk memantau kemungkinan terjadinya serokonversi dilakukan secara klinis
dan laboratoris (anti HIV). Pemeriksaan anti HIV dilakukan pada saat terjadi paparan, tiga
bulan, enam bulan, dan dua belas bulan setelah paparan.
6. Pelaporan.
Paparan terhadap HIV di tempat kerja ini perlu dilaporkan kepada tim AIDS rumah sakit. Bila di
rumah sakit tersebut belum ada tim AIDS, dapat dilaporkan Kelompok Studi Khusus(Poksisus)
AIDS FKUI/RSCM (telp. 0213905250 pada jam kerja) atau Yayasan Pelita Ilmu (telp.
02183795480, 24 jam). Pokdisus AIDS dan Yayasan Pelita Ilmu menyediakan layanan
konsultasi dan obat AZT dan 3TC cuma-cuma.
15
ya
tidak
OPIM
Volume
Sedikit
beberapa
tetes,
terpapar
sebentar
Kulit intak
Tertusuk/perkutan
Banyak
tetesan lebih banyak, terpercik
dan/atau paparan lebih lama
(beberapa menit atau lebih)
Beratnya
Kurang berat
Jarum kecil,
goresan superfisial
Kode paparan 2
Kode paparan 1
Kode paparan 3
Langkah kedua: tentukan kode status HIV sumber penularan (KS HIV)
Bagaimana status HIV sumber penularan?
HIV negatif
HIV positif
KS HIV 1
KS HIV 2
16
KS HIV
1 atau 2
Tidak
Tidak
diketahui
diketahui
dianjurkan
Regimen standar: Azidotimidin 600 mg per hari dalam dosis terbagi (2x300 mg, atau 3x200 mg,,
atau 6x100mg) dan Lamivudin 2x150 mg selama 4 minggu.
Regimen tambahan: regimen standar ditambah Indinavir 3x800mg, atau Nelfinavir 3x750mg.
17
Penatalaksanaan Hepatitis C
Dalam 2-3 tahun terakhir ini banyak media masa melaporkan peningkatan jumlah kasus
pengguna narkotika. Di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dalam 1 tahun (1998-1999) tercatat 230
kasus intoksikasi opiat yang pada tahun-tahun sebelumnya hal ini sangat jarang dilaporkan. RS
Ketergantungan Obat juga mencatat kenaikan pengguna narkotika yang amat pesat dalam 2
tahun terakhir.
Meningkatnya penggunaan narkotika tentu membawa banyak permasalahan baik berupa
masalah sosial maupun medis. Pengguna narkotika suntik terutama sangat rentan untuk
mendapatkan infeksi yang ditularkan melalui darah seperti hepatitis C, hepatitis B dan HIV.
Penyebaran hepatitis C di banyak negara dimana persoalan narkotika sudah lebih dahulu timbul
merupakan jalur utama terjadinya penularan virus hepatitis C. Di Amerika misalnya dilaporkan lebih
dari 50% penderita hepatitis C kronik mempunyai riwayat penggunaan narkotika secara suntik
Penyebaran hepatitis C melalui alat suntik pengguna narkotika di Indonesia adalah hal
baru karena studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa penularan utama hepatitis C adalah
melalui transfusi darah. PMI sudah menyelenggarakan penapisan untuk virus hepatitis C karena
itu, penularan melalui pengguna narkotika bisa menjadi masalah utama dalam penyebaran virus
hepatitis C di kemudian hari.
Karakteristik Pengguna Narkotika
Studi yang kami lakukan pada 200 orang pengguna narkotika diakhir tahun 1999
menunjukkan beberapa karakteristik pengguna narkotika. Rata-rata umur mereka yang masuk
dalam studi kami adalah 21 tahun dan telah menggunakan narkotika rata-rata selama 2,5 tahun
sehingga umur rata-rata saat pertama menggunakan adalah 18 tahun. Hampir setengah dari
mereka (49,2%) berumur rata-rata 12-20 tahun. Lebih dari 80% pengguna narkotika menggunakan
suntikan.
Di negara lain, studi yang dilakukan pada tempat rehabilitasi narkotika menunjukkan
keadaan yang berbeda dimana persentasi pengguna narkotika non-suntik biasanya lebih tinggi
daripada pengguna suntik. Umur pengguna narkotika di negara lain rata-rata lebih tua daripada
yang kami dapatkan.
Penggunaan narkotika pada subjek yang kami teliti berkaitan dengan perilaku berisiko
tinggi untuk penyebaran penyakit. Hubungan seksual (tanpa pelindung yang memadai) diakui oleh
38,5% pengguna narkotika. Tato dan tindik dilakukan oleh 58% dari mereka. Keadaan ini tidak
dapat terlepas dari perilaku remaja kota besar seperti Jakarta ini. Penelitian lain mengenai perilaku
pada remaja (anak gaul, usia 13-20 tahun) di Blok M, Jakarta menunjukkan hal yang lebih kurang
hampir sama. Sebanyak 57,2% diantara mereka mengaku pernah menggunakan NAZA dan 42%
menggunakan jarum suntik. Tato dan tindik dikerjakan oleh 47% anak gaul. Sebanyak 42%
mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Perilaku demikian pada remaja mendorong
penyebaran penyakit khusus hepatitis C, hepatitis B dan HIV.
18
19
20
Infeksi HCV
75% Kronik
Prognosis baik
Pengobatan ?
10-20% sirosis
1-5% HCC, 2-5% gagal hati
Terapi ko-infeksi Hepatitis C dan HIV menggunakan protokol terapi yang sama namun waktu
untuk terapi Hepatitis C dan HIV perlu ditetapkan dengan benar. Pada prinsipnya terapi Hepatitis C
dan HIV dapat dilakukan secara bersama namun akan menimbulkan beban biaya yang cukup
besar. Karena lama terapi Hepatitis C lebih pendek daripada HIV maka terapi hepatitis C dapat
dimulai terlebih dahulu. Respons terapi Hepatitis C pada penderita yang mempunyai CD4 dibawah
200 sel/dl kurang baik. Sehingga pada penderita yang infeksi HIV yang jumlah CD4 nya dibawah
200 sebaiknya dimulai terapi ARV terlebih dahulu sehingga kadar CD4 dapat meningkat melebihi
200 barulah dilakukan terapi Hepatitis C. Secara skematis terapi Hepatitis C dan HIV dapat dilihat
pada tabel 17.
Tabel 17. Terapi Hepatitis C dan HIV.
1.
Jumlah CD4 melebihi 200: Terapi Hepatitis C dulu setelah selesai diikuti oleh
terapi HIV.
2.
Jumlah CD4 kurang dari 200: Terapi HIV terlebih dahulu sampai CD4
meningkat melebihi 200, selanjutnya terapi Hepatitis C dapat dimulai..
Rujukan Penderita
Seperti juga penyakit lainnya penatalaksanaan infeksi HIV memerlukan dukungan sistem
rujukan. Sebagian kasus dapat ditatalaksana secara berobat jalan namun sebagian lagi
memerlukan perawatan di Rumah Sakit.
21
Dosis Harian
2 x 200 mg
3 x 400 mg (3 x 4 tab)
Perhatian khusus
14 hari pertama 1 x 200mg
Harus dimakan paling sedikit 1 jam
sebelum memakan ddi dan
antasida
Stocrin (efavirenz)
Zerit ( stavudine/d4T)
Retrovir (zidovudine)
3TC (lamivudine)
Combivir (AZT/3TC)
Trizivir (Abacavir/3TC/AZT)
Hivid (Zalcitabine/ddC)
3 x 200 mg kapsul
2 x 40 mg kapsul (BB>60kg) 2 x30 mg. BB <60 kg
2 x 300 mg tab.
2 x 150 mg
2 x 300 mg / 150 mg
2 x 300 mg/ 150 mg/ 300 mg
3 x 0,75 mg tab
Penyerapan kurang bila ada
makanan
Videx (didanosine/ddi)
2 x 100 mg tab
Minum 30 menit sebelum makan
atau setelah 2 jam makan
Videx EC (ddi)
1 x 400 mg kap
Minum pada waktu perut kosong
Ziagen (abacavir)
2 x 300 mg tab
Crixivan (indinavir)
3 x 800 mg (3x2 kap)
1 jam sebelum makan atau 2 jam
setelah makan. Munim air 1,5 L/hari
Viracept (nervinavir)
3 x 750 mg (3x3 kap)
Minum obat bersama makanan
Invirase (saquinavir)
3 x 600 mg (3x2 kap)
Fortovase (saquinavir) soft gel 3 x 1200 mg (3x6 kap)
Setelah makan
capsule
Norvir (ritonavir)
2 x 600 mg ( 2x6 kap)
Bersama makanan
Kaletra (lopinavir/ritonavir)
2 x 39,99 mg/ 99,99 mg ( 2 Bersama makanan
x3 kap)
Agenerase (amprenavir)
2 x 1200 mg (2x8 kap)
Akses Obat Antiretroviral
Obat antiretroviral bisa diakses di Indonesia sejak tahun 1997 itupun harus membeli dari
luar negeri. Hal itu bisa dilakukan karena POM memberikan ijin untuk membeli obat-obat tersebut
melalui pengiriman Pos. Setelah itu Pokdisus bersama beberapa perusahanan multi-nasional
farmasi (produsen obat dan reagen) mengadakan pertemuan kecil. Akhirnya November 1999,
Pokdisus AIDS membuat program Akses Diagnosis dan Terapi. Prisipnya adalah Pokdisus hanya
memfasilitasi kebutuhan dan keperluan teman-teman Odha.
Tahun-tahun berikutnya kasus HIV/AIDS semakin meningkat. Mereka yang terinfeksi
makin bervariasi (kaya-miskin), akan tetapi yang tidak mampu jauh lebih banyak. Melihat hal itu
Pokdisus mengadakan pembicaraan ulang dengan perusahaan multi-nasional farmasi untuk
menurunkan harga obat agar lebih terjangkau, sampai saat ini belum ada jawaban. Upaya lainnya
juga telah dilakukan, November 2001 Pertemuan Nasional Untuk Akses Pengobatan HIV/AIDS
diadakan oleh Badan POM (Pengawasan Obat dan makanan). Hadir pada pertemuan tersebut
perusahan multi-nasional farmasi dan teman-teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Sampai
saat ini hasilnya masih sama belum juga ada jawaban dari perusahaan multi-nasional farmasi.
Melihat keadaan tersebut Pokdisus AIDS segara melakukan pertemuan dan berinisiatif
untuk melakukan kontak langsung dengan produsen obat generik di India dan Thailand. Sampai
akhirnya obat-obat generik tersebut bisa dipakai di Indonesia.
22
Saat ini berkat bantuan impor obat dari PT. Indo Farma di Pokdisus AIDS FKI/ RSUPN-CM
telah tersedia obat-obatan antiretroviral yang murah. Obat ini sama dengan obat-obatan yang ada
di negera-negara maju, hanya saja dibuat dalam bentuk generik sehingga harganya menjadi lebih
murah. Obat-obat antiretroviral ini didatangkan dari India dan harganya hanya 10% dari harga
obat-obat paten. Obat-obat yang tersedia adalah AZT, 3TC, d4T, Stavudin, ddI, Nevirapin, dan
Nelfiravin.
Awalnya penyediaan obat-obatan hanya untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun
sekarang ini obat-obatan tersebut juga tersedia untuk teman-teman di luar Jakarta dan juga luar
Pulau Jawa. Untuk dapat mengakses obat anti-retroviral harus ada dokter yang bertanggung jawab
dalam pengobatan. Selanjutnya mengisi formulir persetujuan untuk mengikuti dan menjalani
pengobatan. Setelah itu mereka harus mengirimkan copy resep dari dokter yang mengobati (lihat
lampiran). Setelah itu formulir-formulir tersebut dikirimkan ke Pokdisus AIDS melalui fax 0213162788. Kemudian setelah itu Pokdisus akan mengirimkan obat yang diperlukan.
Selain itu obat antiretroviral tersedia juga obat-obatan untuk infeksi oportunistik diflukan.
Prosedur Untuk mengakses obat:
1. Membuat pemesanan dengan mengisi from inform consent
2. Harus dengan resep dokter (1& 2 di kirim ke fax: 3162788)
3. Kami akan kirim obat sesegera mungkin dan pasien mengambilnya ke dokter
4. Dokter menjelaskan bagaimana dosisnya, monitoringnya, kemajuan dan efek samping
pengobatan serta pemeriksaan laboratorium.
5. Bagi rumah sakit atau layanan kesehatan yang ingin menyediakanobat ini dapat
menghubungi Pokdisus AIDS FKUI/RSCM.
Penggunaan ART pada Keadaan Khusus
1. Ibu Hamil
WHO menganjurkan penggunaan ZDV, 3TC, NVP, NFV dan SQV kombinasi dengan dosis
rendah ritonavir. Penggunaan EFZ tidak dianjurkan karena potensi efek teratogenik pada
fetus dalam trimester pertama dalam kehamilan.
Jika perempuan hamil belum menggunakan ART maka saat memulai ART yang tepat
adalah setelah trimester pertama meski jika keadaan klinis memerlukan (berat) ART dapat
dimulai pada trimester pertama.
Gabungan d4T dan ddI juga tidak dianjurkan karena risiko asidosis laktat pada kehamilan.
2. Anak
ART yang digunakan pada dewasa juga dapat digunakan pada anak dengan
menyesuaikan dosis. Obat yang dianjurkan untuk anak adalah gabungan ZDV/3TC + salah
satu NNRTI (NVP atau EFZ) atau ABC (lihat bab terapi antiretroviral pada anak)
3. Penderita TBC
Dianjurkan untuk menyelesaikan pengobatan TBC terlebih dahulu sebelum memulai terapi
ART kecuali dikuatirkan infeksi HIV menjadi berat (CD4 < 200). Anjuran ini untuk
menghindari terjadinya interaksi obat ART dan obat TBC. Namun bila diperlukan
pengobatan yang bersamaan kombinasi yang dianjurkan adalah ZDV/3TC dengan EFZ.
4. Pengguna Narkoba Suntikan
Penggunaan ART hanyalah salah satu cara pengobatan yang diperlukan pada pengguna
narkoba suntik yang terinfeksi HIV. Pendekatan lain seperti terapi adiksi, terapi hepatitis C
serta infeksi lain yang mungkin timbul juga harus dilakukan. Ko-infeksi hepatitis C pada
HIV dianggap tidak mempercepat perjalanan penyakit HIV. Sebaliknya ko-infeksi HIV pada
hepatitis C dapat mempercepat fibrosis hati pada hepatitis C kronik. Pemberian terapi
interferon dan ribavirin akan memberikan hasil yang lebih baik pada orang terinfeksi HIV
apabila CD4 > 200.
5. Kepatuhan minum obat
Kepatuhan untuk minum obat dapat ditingkatkan apabila penderita memahami manfaat
obat, lama penggunaan serta cara menggunakan. Jumlah obat yang lebih sedikit dapat
digunakan 1 kali sehari akan meningkatkan kepatuhan. Sekarang sudah tersedia
kombinasi 3 obat (ZDV, 3TC, NPV) dalam 1 tablet yang dapat digunakan 2 kali sehari.
23
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Carpenter CC, Cooper DA, Fischl MA, et al. Antiretroviral therapy in adults: updated
recommendations of the International AIDS Society-USA Panel. Jama 2000; 283:381-90.
Keiser P, Nassar N, Kvanli MB, Turner D, Smith JW, Skiest D. Long-term impact of highly active
antiretroviral therapy on HIV-related health care costs. J Acquir Immune Defic Syndr 2001; 27:14-9.
Matthews GV, Sabin CA, Mandalia S, et al. Virological suppression at 6 months is related to choice
of initial regimen in antiretroviral-naive patients: a cohort study. Aids 2002; 16:53-61.
Powderly WG, Saag MS, Chapman S, Yu G, Quart B, Clendeninn NJ. Predictors of optimal
virological response to potent antiretroviral therapy. Aids 1999; 13:1873-80.
Hogg RS, Yip B, Chan KJ, et al. Rates of disease progression by baseline CD4 cell count and viral
load after initiating triple-drug therapy. Jama 2001; 286:2568-77.
Phillips AN, Staszewski S, Weber R, et al. HIV viral load response to antiretroviral therapy
according to the baseline CD4 cell count and viral load. Jama 2001; 286:2560-7.
Sterling TR, Chaisson RE, Moore RD. HIV-1 RNA, CD4 T-lymphocytes, and clinical response to
highly active antiretroviral therapy. Aids 2001; 15:2251-7.
Fournier AM, Sosenko JM. The relationship of total lymphocyte count to CD4 lymphocyte counts in
patients infected with human immunodeficiency virus. Am J Med Sci 1992; 304:79-82.
Mellors JW, Munoz A, Giorgi JV, et al. Plasma viral load and CD4+ lymphocytes as prognostic
markers of HIV-1 infection. Ann Intern Med 1997; 126:946-54.
Bartlett JA, DeMasi R, Quinn J, Moxham C, Rousseau F. Overview of the effectiveness of triple
combination therapy in antiretroviral-naive HIV-1 infected adults. Aids 2001; 15:1369-77.
Eron JJ, Jr. The treatment of antiretroviral-naive subjects with the 3TC/zidovudine combination: a
review of North American (NUCA 3001) and European (NUCB 3001) trials. Aids 1996; 10 Suppl
5:S11-9.
Hogg RS, Rhone SA, Yip B, et al. Antiviral effect of double and triple drug combinations amongst
HIV-infected adults: lessons from the implementation of viral load-driven antiretroviral therapy. Aids
1998; 12:279-84.
Dabis F, Msellati P, Meda N, et al. 6-month efficacy, tolerance, and acceptability of a short regimen
of oral zidovudine to reduce vertical transmission of HIV in breastfed children in Cote d'Ivoire and
Burkina Faso: a double-blind placebo-controlled multicentre trial. DITRAME Study Group.
DIminution de la Transmission Mere-Enfant. Lancet 1999; 353:786-92.
Guay LA, Musoke P, Fleming T, et al. Intrapartum and neonatal single-dose nevirapine compared
with zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 in Kampala, Uganda:
HIVNET 012 randomised trial. Lancet 1999; 354:795-802.
USPHS. Recommendations for the use of antiretroviral drugs in pregnant HIV-1 infected women for
maternal health and interventions to reduce perinatal HIV-1 transmission in the United States,
2002. http://www.hivatis.org/guidelines/perinatal/Feb4_02/Perin.pdf
Connor EM, Sperling RS, Gelber R, et al. Reduction of maternal-infant transmission of human
immunodeficiency virus type 1 with zidovudine treatment. Pediatric AIDS Clinical Trials Group
Protocol 076 Study Group. N Engl J Med 1994; 331:1173-80.
O'Sullivan MJ, Boyer PJ, Scott GB, et al. The pharmacokinetics and safety of zidovudine in the
third trimester of pregnancy for women infected with human immunodeficiency virus and their
infants: phase I acquired immunodeficiency syndrome clinical trials group study
Mandelbrot L, Landreau-Mascaro A, Rekacewicz C, et al. Lamivudine-zidovudine combination for
prevention of maternal-infant transmission of HIV-1. Jama 2001; 285:2083-93.
Wagner KR, Bishai WR. Issues in the treatment of Mycobacterium tuberculosis in patientswith
human immunodeficiency virus infection. Aids 2001; 15 Suppl 5:S203-12.
Dean GL, Edwards SG, Ives NJ, et al. Treatment of tuberculosis in HIV-infected persons in the era
of highly active antiretroviral therapy. Aids 2002; 16:75-83.
Ribera E, Pou L, Lopez RM, et al. Pharmacokinetic interaction between nevirapine and rifampicin
in HIV-infected patients with tuberculosis. J Acquir Immune Defic Syndr 2001; 28:450-3.
Fellay J, Boubaker K, Ledergerber B, et al. Prevalence of adverse events associated with potent
antiretroviral treatment: Swiss HIV Cohort Study. Lancet 2001; 358:1322-7.
Ho TT, Wong KH, Chan KC, Lee SS. High incidence of nevirapine-associated rash in HIV-infected
Chinese. Aids 1998; 12:2082-3.
Powderly WG. Manual of HIV Therapeutic. 2ed. Lippincot William & Wilkins. Philadelphia. 2001.
Djoerban Z, et al. Membidik AIDS ikhtiar memahami HIV dan ODHA. Jakarta, Galang Press dan
Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Dalam:1999;227:281.
Samsuridjal Djauzi, Penatalaksanaan Infeksi HIV. Jakarta, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia dan Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia, 1997.
24
www.cdc.gov/mmwr//indrr
www.cdc.gov/mmwr//preview//mmvwrhtml/00055357.htm
25