Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk
menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Gejala yang dapat
ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang, atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup
parah biasanya terjadi memburuk pada malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak.
Croup berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama
kali dikenal pada tahun 1928.
Croup sindrom ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya terpapar antara usia 6
bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari penerimaan rumah sakit dalam suatu
populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang
tertua sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita
penyakit ini adalah 50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi di musim gugur.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi sampai ke bronkus
digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang
saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi
yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat.
Croup sindrom terbanyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas.
Virus yang paling sering menyebabkan sindroma croup ini biasanya adalah Para-influenza tipe 1
virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4, influenza A dan virus B, adenovirus, Respiratory
Syncytial Virus (RSV) dan campak virus. Selain dapat disebabkan oleh virus, croup sindrom ini
dapat pula disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini antara
lain Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae ,
Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis Moraxella.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat
bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup sindrom harus
dirawat d Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah
kortikosteroid telah digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di Rumah
Sakit menurun drastis, dan intubasi endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu dari 170 anak)
memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 4% (satu dari 4500 anak) harus dilakukan intubasi.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang
mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk
yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan
napas1.
1.2 KLASIFIKASI
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu1:
A. Viral Croup
Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi saluran
pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Beberapa penulis menyebutkan kelompok ini
sebagai Laringotrakeobronkitis
B. Spasmodic Croup
Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal, anak tibatiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada malam hari sebelum
menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali normal.
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat keparahan batuk
atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori1:
1.
Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul, Stridor
yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan
2.
3.
Berat: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, akan tetapi, lebih, dan kadang-kadang disertai
4.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15
tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini cukup kecil.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan
rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur pada negaranegara sub-tropis sedangkan pada negara tropis seperti indonesia angka kejadian cukup tinggi
pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup
merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama 1.
1.4 ETIOLOGI
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza
virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2, 3, dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory
Syncytial virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditmukan Mycoplasma
pneumonia.1
1.5 PATOGENESIS
Seperti
infeksi
respiratori
pada
umumnya,
infeksi
virus
pada
laringotrakeitis,
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada
dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami
iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati
saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan
retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak
teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan
ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.1
Viral Croup
6 bulan 6 tahun
Ada
Ada
Sepanjang waktu
Ada (tinggi)
2-7 hari
Tidak ada
Tidak ada
Spasmodic Croup
6 bulan 6 tahun
Tidak jelas
Ada
Terutama malam hari
Bisa ada, tidak tinggi
2-4 jam
Ada
Ada
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit
meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi,
bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia,
drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya Croup adalah Skor
Westley.
Kriteria
Retraksi
Masuknya udara
Srtidor inspirasi
Sianosis
Derajat Kesadaran
Nilai
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Normal
Berkurang
Sangat berkurang
Tidak ada
Gelisah
Tidak ada
Gelisah
Istirahat
Sadar
Gelisah, cemas
Penurunan kesadaran
Skor 0-1 adalah ringan, skor 2-7 sedang dan skor 8 atau lebih adalah berat.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu
dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan
telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
1.8.1 Pemeriksaan Radiologis dan CT-Scan
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher. Konvektivitas
lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan
konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita suara
yang benar. Penyempitan dari lumen subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara
trakea, yang menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.
pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah 6 bulan
atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran
radiologis dicurigai adanya massa2.
1.9 TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian
besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat di
RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar
stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas,
hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak
ada respons terhadap terapi 1,5.
1.
Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis 0,5 ml larutan
racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan
tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2.
L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi dalam
dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai
sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan
jantung seperti Tetralogy Fallot.
1.9.3 Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme anti radang.
Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang
diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo.
1.9.4 Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular sebanyak satu
kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan.
Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon dengan dosis 1-2
mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24 RCT) tentang pemakaian
kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24
jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.
1.9.5 Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya adalah E2 bila
dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml) diberikan melalui nebulizer dan
dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30
menit, sedangkan kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah
dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan epinefrin dapat digunakan
secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada
deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali pada anak
yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (1
mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi Candida albicans.
1.9.6 Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak
responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi alternative selain trakeostomi
untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya
hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat
peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding
dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu
yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi1,5.
1.9.7 Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk mengatasi
sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas dan viskositas
yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan
meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium
dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa nyaman dan
kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi
oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin.
1.9.8 Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan
laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien
diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan
sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan
pada pasien sindrom croup.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup, sebagai berikut1:
CROUP
Diagnosis banding
Aspirasi benda asing
Epiglotitis
TIDAK
YA
Kortikosteroid
deksametason 0,15-0,30
mg/kg atau Prednison 1-2
mg/kg (oral) atau
nebulisasi Budesonide 2
mg jika kortikosteroid oral
tidak berpengaruh
DIPULANGKAN
Minimal handling
O2 4 lpm dan nebulisasi
adrenalin dan
kortikosteroid sistemik
(dosis sama dengan
croup derajat sedang)
Intubasi
RAWAT RS
Membaik
Dipulangkan bila tidak
ada stridor saat istirahat
Edukasi orang tua pasien
Rawat/observasi di IGD
Ulangi pemberian
kortikosteroid oral/12 jam
Edukasi ortu pasien
Sediakan penjelasan
tertulis untuk dokter umum
yang akan follow up
Perbaikan
Sebagian
Tidakmembaik
Evaluasiulang
Rawat
Hubungikonsulen
Evaluasi diagnosis
Nebulisasi adrenalin (dosis
sama) dan kortikosteroid
sistemik (dosis sama)
Persiapkan pelayanan untuk
tindakan darurat
Pertimbangkan intubasi
Evaluasi diagnosis
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung
dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat2.
Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik2.
BAB II
LAPORAN KASUS
:R
Umur
: 4 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
MR
: 797599
2.2 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 4 tahun 7 bulan masuk ke bangsal anak RS. Dr.M.Djamil
Padang tanggal 1 September 2012 dengan :
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 15 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 2 hari yang lalu, tingi, terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat,
Anak tunggal, lahir sectio caesaria atas indikasi ibu hipertensi dan panggul sempit, cukup
bulan, berat badan lahir 3000 gram, panjang badan lupa, langsung menangis
Ibu tamat SMA, bekerja sebagai ibu rumah tangga, ayah tamat SMP, wiraswasta dengan
penghasilan 2.000.000 rupiah perbulan
Riwayat Imunisasi
BCG
: tidak ada
DPT
: tidak ada
Polio
Hepatitis B
: tidak ada
Campak
: 9 bulan
Psikomotor :
tengkurap
duduk
berdiri
berjalan
bicara
: 3 bulan
: 6 bulan
: 10 bulan
: 13 bulan
: 15 bulan
perkembangan mental:
isap jempol (-), gigit kuku (-), mengompol (-), aktif sekali (-), apati (-), ketakutan (-), pergaulan
jelek (-)
ASI
Bubur Susu
: 4 8 bulan
Nasi tim
: 8 10 bulan
Nasi lunak
: 10 12 bulan
Nasi biasa
: tidak ada
Rumah permanen
Sampah dibakar
Kesan higiene dan sanitasi lingkungan cukup baik
: sakit berat
Kesadaran
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 130x/menit
Suhu
Berat badan
: 13 kg
Tinggi badan : 98 cm
Sianosis
: Tidak ada
Edema
: Tidak ada
Anemis
: Tidak ada
Ikterik
: Tidak ada
Status Gizi :
BB/U
: 83,87%
: sadar
: 37,9C
TB/U
: 98,49%
BB/TB
: 86,87%
Kesan
: Gizi kurang
Pemeriksaan Sistemik :
Kulit
: Teraba hangat
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorok
: Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, detritus tidak ada, faring tidak hiperemis,
pseudomembran tidak ada
Mulut
Leher
KGB
Dada
:
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor.
Auskultasi
: Bronkial, stridor inspirasi dan ekspirasi (+), rhonki basah halus nyaring
di kedua lapangan paru, wheezing tidak ada
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi
Perut :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Punggung
Ekstremitas
: 12,2 gr/dl
Leukosit
: 7.400 /mm3
Hitung jenis
: 0/0/0/49/36/1
Urin :
Reduksi
(-)
(-)
Bilirubin
(-)
Urobilinogen (-)
2.5 DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumoni
Gizi Kurang
Epiglotitis
AGD
GDR
Kultur darah
2.9 TERAPI
Sementara puasa
2.10 FOLLOW UP
1 September 2012
Tabel skor Westley
Kriteria
Retraksi :
Nilai
Tidak ada
Ringan
Sedang
berat
Pasien
Masuknya udara:
Nomal
Berkurang
Sangat berkurang
Stridor inspirasi:
tidak ada
gelisah
Sianosis:
Tidak ada
Gelisah
Istirahat
Derajat kesadaran:
Sadar
Gelisah, cemas
Penurunan kesadaran
Total
14
Kesimpulan skor Croup 14 >8 = Croup berat
Terapi : nebulisasi adrenalin 1 : 1000
Hasil AGD :
pH
: 7,21
pCO2
: 45 mmHg
pO2
: 72 mmHg
HCO3-
: 17,6 mmol/L
BE
: -97
SO2
: 88%
5 ml
Kesan :
asidosis respiratorik akut
asidosis metabolik
hipoksemia
Terapi :
Beri oksigen 3 liter/menit nasal
Elektrolit :
Na
O/
KU : sakit berat, sadar, nadi : 130 x/menit, nafas : 46 x/menit, T: 37,9
Nafas cuping hidung (+)
Mata
Thoraks
Ekstremitas
Kesan :
perbaikan minimal
Terapi :
dexamethason 0,6 mg/kgBB IV = 7,8 mg IV
1 September 2012, pukul 22.00 WIB
S/
O/
KU
: sakit berat
Nadi
: 120 x/ menit
Nafas
: 48 x/menit
Suhu
: 37 C
Thoraks
Ekstremitas
Kesan :
Perburukan
Terapi :
Nebulisasi adrenalin 1:1000 5 ml
2 September 2012, 06.00 WIB
S/
O/
KU
Nadi
: 108 x/menit
Nafas
: 40 x/menit
Suhu
: 37,2 C
Mata
Thoraks
Ekstremitas
Kesan :
Perbaikan
Balance Cairan / 12 jam
p.o
p.e
500 cc
IWL
195
Urin
300 cc
Balance
+5 cc
Diuresis
1,9 cc kgBB/jam
Skor Westley
Retraksi ringan
:2
Air Entry
:0
:0
:0
Total
:4
Kesan
Terapi:
Oksigen 3 liter/menit
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
2 September 2012, pukul 08.00 WIB
S/
O/
KU
Nadi
: 100 x/menit
Nafas
: 40 x/menit
Suhu
: 37,0 C
Thoraks
Ekstremitas
Kesan:
Perbaikan
Observasi takipneu
Terapi :
Oksigen 3 liter/menit nasal
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
3 September 2012
S/
O/
KU
Nadi
: 102 x/menit
Nafas
: 36 x/menit
Suhu
: 37,2 C
Thoraks
Ekstremitas
Kesan:
Perbaikan
Terapi :
Oksigen 3 liter/menit nasal
IVFD KaEn IB 14 tetes/menit makro
Ceftriaxon 1 x 1 gr IV
Dexamethason 3 x 3,5 mg IV
Paracetamol 130 mg (T 38,5 C)
Coba minum 8 x 25 cc
BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien lak-laki, berusia 4 tahun 7 bulan di bangsal anak RSUP DR. M
Djamil Padang, dengan diagnosis saat masuk Suspek Croup disease. Pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas sejka 15 jam uang lalu. Pasien telah mengalami demam sejak 2 hari
yang lalu, tingi, terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Sesak
nafas sejak 15 jam yang lalu, berbunyi mengorok, tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi
cuaca, makanan, dan aktivitas. Pasien juga mengalami nyeri menelan sejak 15 jam yang lalu.
pasien lebih suka duduk atau setengah duduk sejak 15 jam yang lalu. Suara serak sejak 10 jam
yang lalu. Batuk menggongggong tidk ada, pilek tidak ada. Pasiein dirujuk dari RSUD M. Zein
Painan dengan keterangan suspek difteri dan telah diberi terapi oksigen 2 liter/menit nasal, IVFD
Kaen IB 10 tetes/menit makro, ceftriaxon 500 mg, dexamethason 6,5 mg intravenadan telah
dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks AP di RSUD M. Zein
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit berat dengan tekanan darah
110/80 mmHg, nafas sesak 54x/menit, nadi 130x/menit, suhu 37,9C. Pada pasien ditemukan
adanya nafas cuping hidung, retraksi dinding dada di epigastrium, interkosta dan suprasternal.
Ditemukan pula stridor inspirasi dan ekspirasi serta rhonki basah halus nyaring di kedua
lapangan paru.
Dari keseluruhan anamnesis, pemeriksaan fisik dan labor rutin maka pasien didiagnosis
sebagai suspek Croup Disease, kemudian direncanakan pemeriksaan foto rontgen leher. Dari
hasil rontgen tersebut didapatkan gambaran steeple sign yang memperkuat diagnosis. Pasien juga
didiagnosis bronkopneumoni dengan adanya rhonki basah halus nyaring di kedua lapangan paru
dan gizi kurang sehubungan dengan BB/TB pasien yang kurang dari 90%.
Pada pasien diberikan tatalaksana awal dengan pemberian oksigen 2 liter/menit nasal,
IVFD KaEn IB 85 cc/kgBB/hari, ceftriaxon 1 x 1 gram IV dan PCT 130 mg. Dari penialaian skor
Westley didapatkan skor 14 yang membuat pasien dikategorikan Croup berat. Dengan keadaan
pasien yang sesak dilakukan nebulisasi adrenalin 1:1000 5 ml. post nebulisasi perbaikan hanya
minimal, kemudian diberikan dexamethason 0,6 mg/kgBB. Karena kemudian masih terjadi
perburukan kembali dilakukan nebulisasi adrenalin. Pada rawatan hari ke-2 keadaan terus
membaik, terapi masih dilanjutkan, dan pasien telah dicoba untuk mulai minum.
Pasien didiagnosis DBD karena adanya demam tinggi mendadak yang terus menerus
selama 3 hari kemudian turun dan demam kembali hingga saat ini. Ditemukan adanya
manifestasi perdarahan berupa ptekie pada tangan, hepar teraba membesar 1/3-1/4, nadi lemah
dan cepat disertai tekanan nadi menurun (20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
trombositopenia dengan jumlah trombosit 29.000/mm3 dan hemokonsentrasi. Dikatakan Derajat
III karena ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi
menurun ( 20 mmHg) disertai kulit dingin.
Pasien diberikan cairan RL 20 cc/kg BB/jam sehingga cairan harus masuk 113 tetes. Pada
pasien dipasang 2 IV line. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium setengah jam setelah syok
ditemukan akral teraba hangat, nadi teraba kuat, tekanan nadi 30 mmHg. Hal ini menunjukkan
syok teratasi.
Terapi yang diberikan selanjutnya adalah IVFD RL 52 tetes/menit, ML 1400 kkal/hari,
paracetamol jika suhu 38,50C, dan banyak minum. Pada pemantauan 24 jam pertama rawatan
ditemukan TD 90/60 mmHg, nadi 120x/menit, nafas 34x/menit, Hb 10,2 g/dl, Ht 30%, trombosit
33.000/mm3 (penurunan Ht dan peningkatan trombosit dari sebelumnya). Hal ini menunjukkan
hemodinamik pasien stabil sehingga cairan yang diberikan terakhir adalah RL 5 ml/kgBB/jam.
Pada follow up terakhir cairan yang diberikan diturunkan menjadi 3 ml/kgBB/jam.