Disusun Oleh:
Dicky Risca Ferrysta
NIM. 135070209111044
Untuk
glomerulus
akut,
gangguan
fisiologis
utamanya
dapat
mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul
edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium.
Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif
lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan
bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus
mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya CKD
dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh
vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit
putih.
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang mengadakan
ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus
ginjal/kehilangan
HCO3
dalam
kemih
walaupun
GFR
yang
mamadai
tetap
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan
nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah
produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh
ginjal yang sehat.
Stag
e
1
2
3
4
5
Description
> 90
60-89
30-59
15-20
< 15 (or dialysis)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Creatinin Clearance (ml/menit) = (140-umur) x Berat badan (kg)
72 x creatinin serum
*Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi
secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100 persen, sehingga banyak penderita
yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium ini.
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat
berfungsi dengan baik.
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang
disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
o
Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering terbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami
oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Gatal gatal.
Keram otot
j.
D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).
E. PATOFISIOLOGI
Hipertensi dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya
pengaruh hipertensi terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya
menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama, makin berat pengaruh
terhadap ginjal yang mungkin ditimbulkan.
Hipertensi menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan kerusakan sebagian
nefron. Nefron yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi dan filtrasi, sehingga
terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk
sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejalagejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat
ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu.
Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA. Dimana renin akan
diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1 yang selanjutnya akan diubah menjadi
angiotensin 2 dan akan merangsag sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan
retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan pada akhirnya
mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada penderita GGK akan timbul sebagai
kondisi edema yang biasanya terjadi pada area ektremitas
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin.
Kemudian timbul kondisi perpospatemia yang akan menimbulkan kondis gatal-gatal dikulit.
Sindrom uremia juga menyebabkan gangguan asam basa dalam metabolism tubuh yang
akan mempangaruhi produksi asam dalam lambung. Produksi asam lambung ini selanjutnya
akan mengiritasi lambung.
Pathway (terlampir)
F. TANDA GEJALA
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a.
Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b.
Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c.
Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas
bau ammonia.
d.
Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas.
e.
Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f.
Gangguan endokrin
g.
h.
i.
System hematology
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urin
- Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)
- Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkanoleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin
- Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
- Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular dan
rasio urin/serum sering 1:1
- Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
- Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium
- Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
2. Darah
-
Kalium: meningkat
Magnesium;Meningkat
Kalsium ; menurun
2.
Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan
intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hatihati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
reguler
yang
adekuat,
medikamentosa
atau
operasi
subtotal
paratiroidektomi.
f.
3.
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan
hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi
(biasanya
dapat
diantisipasi)
imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
terutama
berhubungan
dengan
obat
HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi solut dari suatu larutan diubah dengan
memaparkan larutan tersebut dengan larutan lain melalui suatu membran semipermeabel.
Membran semipermeabel adalah suatu lembaran dengan pori-pori yang sangat kecil.
Molekul air dan solut dengan berat molekul (BM) kecil dalam kedua larutan dapat saling
menembus membran, tetapi solut yang lebih besar, misal protein tidak dapat melewati
membran sehingga jumlah solut dengan berat molekul besar di kedua sisi membran tidak
mengalami perubahan. Berdasar asal katanya, hemodialisis berasal dari kata hemo yang
berarti darah dan dalisis yang berarti
hemodialisis adalah memisahkan zat sisa hasil metabolisme atau toksin dalam darah lewat
membran semipermeabel dan kemudian dibuang.
B. Alat-Alat Hemodialisa
1. Dialyzer
Dialyzer adalah suatu alat tempat terjadinya proses dialisa yang berisi ribuan serat
berupa membran semipermeable yang memisahkan kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Membran semipermeable adalah lapisan sangat tipis dan memiliki pori-pori
mikroskopik. Partikel kecil dan air bisa lewat, sel-sel darah tak bisa lewat. Lewat membran
inilah terjadi proses difusi dan konveksi, antara kompartemen darah dengan kompartemen
dialisat. Membran dialyzer dapat berupa hollow fiber atau parallel plate.
a) Hollow-fiber
Penggunaan dialyzer hollow fiber mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
volume priming dan compliance yang rendah dan untuk reuse mudah. Jumlah darah
yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah dialyzer hollow fiber dengan luas membran
1,0 m sekitar 65 86 ml, sedangkan untuk dialyzer plate dengan ukuran yang sama
adalah 70 100 ml. Kerugian hollow fiber adalah adanya volume darah residu yang
lebih besar karena kloting dan adanya potting compound yang digunakan untuk
tempat pelekatan serabut-serabut pada tabung dialyzer. Adanya potting compound
menyebabkan lebih sulitnya untuk membersihkan residu ethylene oxide yang
digunakan untuk sterilisasi.
b) Membran
Material membran. Terdapat tiga tipe membran yang digunakan dalam dialyzer:
selulosa, substituted selulosa dan sintetik. Yang paling sering dipakai adalah
membran
selulosa
dengan
bermacam-macam
nama
(regenerated
selulosa,
tetapi
menggunakan
polyacrilonitrile
(PAN),
polysulfone
dan
polymethylmethacrylate (PMMA).
Aktifasi komplemen. Gugus hidroksil bebas pada permukaan membran selulosa
dipercaya dapat mengaktifkan sistem komplemen dalam darah yang melalui dialyzer.
Aktifasi komplemen lebih jarang pada pemakaian membran substituted cellulose
(asetat selulosa dan modified cellulose) dan sintetik. Aktifasi komplemen dapat
dikurangi dengan dialyzer re-used.
Permeabilitas membran terhadap solut dan air. Permeabilitas membran terhadap
solut dan air dapat diubah dengan mengubah ketebalan membran dan ukuran poripori
c) Metode Sterilisasi. Metode sterilisasi dialyzer yang paling sering adalah dengan gas
ethylene oxide. Pemakaian ethylene oxide dikaitkan dengan terjadinya reksi
anafilaksis saat dialisa. Metode lain menggunakan iradiasi gamma atau autoclav.
2. Air untuk Dialisa
Sekali terapi dialisa, diperlukan sekitar 120 liter air. Semua bahan dengan molekul
kecil yang ada dalam air akan berhubungan langsung dengan aliran darah pasien seperti
halnya jika diberikan secara injeksi intravena. Atas dasar ini, kemurnian air untuk dialisa
menjadi hal yang sangat penting dan harus tetap terkontrol.
a) Pentingnya kontaminan dalam air. Beberapa kontaminan kadang-kadang terdapat
dalam air yang digunakan untuk dialisa. Aluminium dapat menyebabkan penyakit
tulang, kemunduran neurologik progresif dan anemia. Tembaga dapat menyebabkan
anemia hemolitik. Hemolitik anemia juga bisa akibat kloramin, suatu bahan kimia
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi bekteri.
b) Sterilitas. Air untuk dialisa tidak harus steril, karena membran dialyzer sendiri dapat
berfungsi sebagai barier yang efektif terhadap bakteri dan endotoksin. Meskipun
demikian, hitung bakteri harus kurang dari 200 koloni/ml dalam air dan kurang dari
2000 koloni/ml dalam dialisat. Secara periodik harus dilakukan desinfeksi pada
sistem water treatment. Penggunaan membran high-flux dapat mempermudah
masuknya endotoksin dan produk-produk bakteri kedalam sirkulasi darah yang dapat
merangsang sel-sel monosit untuk untuk memproduksi sitokin (interleukin-1; IL-1)
yang menimbulkan panas badan.
c) Metode pemurnian air untuk dialisa. Metode reverse osmosis, yaitu dengan
mendorong air melalui membran semipermeabel dengan pori-pori yang cukup kecil
untuk menahan masuknya solut dengan BM yang kecil seperti urea, natrium dan
klorida. Metode ini dapat membuang lebih dari 90% kotoran yang sudah cukup
murni untuk dialisa. Metode lain dengan resin penukar ion (ion exchange resins)
membuang semua ion bermuatan dari sumber air dan harus digunakan bersama
dengan karbon aktif untuk membuang kontaminan non-ionik. Dapat juga metode
gabungan, pertama dengan reverse osmosis dilanjutkan dengan resin penukar ion
dan karbon.
3. Cairan Dialisa
a) Mengandung Asetat. Dialisat asetat biasanya dijual sebagai cairan konsentrat yang
diencerkan dengan air murni oleh mesin dialisa (biasanya dalam perbandingan 1 : 34).
b) Mengandung Bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak dicampur secara langsung
dalam
konsentrat
yang
mengandung
bikarbonat,
karena
dapat
menyebabkan
Kandungan
Natrium
Kalium
Kalsium
Magnesium
Klorida
Asetat
Bikarbonat
Dekstrosa
PCO 2 (mm Hg)
pH
(mEq/liter)
135 145
0 4.0
2.5 3.5
0.5 1.0
100 119
35 38
0
11
0.5
Variasi
4. Mesin Hemodialisa
a) Blood pump. Pompa darah memompa darah dari pasien ke dialyzer dan kembali ke
pasien. Percepatan aliran untuk pasien dewasa biasanya 200-300 ml/mnt (sampai 600
ml/mnt untuk dialysis efisiensi ultra-high)
b) Sistem Delivery Cairan dialisa.
Sistem delivery sentral dan individual. Pada sistem delivery sentral, semua larutan
untuk unit dialisa dihasilkan oleh satu mesin dan hasil akhirnya akan dipompa melalui
pipa ke setiap mesin dialisa. Sedangkan sistem individual, setiap mesin mencampur
sendiri konsentrat cairan dengan air murni untuk dialisanya.
Heating dan Degassing. Cairan dialisat harus dipanaskan dulu oleh mesin sebelum
dipompa ke dialyzer pada suhu yang tepat (34-39 C). Begitu juga dengan bahan
terlarut (udara) harus dibuang sebelum digunakan. Proses degassing ini biasanya
dikerjakan dengan memberikan tekanan negatif pada air yang sudah dipanaskan.
Tekanan Negatif: Pompa dialisat terletak pada line dari dialyzer ke drain. Lokasi ini
memungkinkan mesin untuk membuat tekanan negatif dalam kompartemen dialisat
dari dialyzer untuk melakukan ultrafiltrasi. Tekanan negatif dihasilkan dengan
melakukan oklusi parsial line jalur dialisat ke dialyzer.
c) Alat Monitor
1)
Sirkuit Darah
-
dari dialiser. Monitor yang berlokasi disini digunakan untuk menjaga penyedotan akses
vaskuler yang berlebihan oleh pompa darah, sedangkan monitor di distal dari dialyzer
(monitor vena) berguna untuk menjaga adanya tahanan berlebihan kembalinya darah
pada akses vaskuler dan juga dapat untuk estimasi tekanan kompartemen darah pada
dialiser.
Kadang-kadang monitor arteri diletakkan pada distal dari pompa darah dan
proksimal dari dialyzer. Monitor ini digunakan untuk mendeteksi kloting dalam dialyzer
dan untuk membantu mesin agar lebih tepat memperkirakan tekanan dalam
kompartemen darah dialiser.
-
udara ini adalah untuk mencegah gelembung udara masuk dalam sirkuit darah yang
kembali ke pasien.
2)
Konduktivitas dialisat
Jika sistem pencampuran (proporsi) yang melarutkan konsentrat dengan air
terganggu tidak tepat dapat timbul masalah. Paparan darah pada dialisat yang
hiperosmoler menyebabkan hipernatremia dan kelainan elektrolit yang lain. Paparan
pada dialisat yang hipoosmoler menyebabkan hemolisis atau hiponatremia. Oleh karena
solut dalam dialisat adalah elektrolit, maka derajat kadar dialisat direfleksikan oleh
konduktivitas elektriknya, dan proporsi konsentrat terhadap air dapat dimonitor dengan
suatu pengukur yang secara terus-menerus mengukur konduktifitas dari dialisat yang
dihasilkan yang akan ke dialyzer.
-
Temperatur Dialisat
Gangguan pada elemen pemanas dalam mesin dialisa dapat menyebabkan dialisat
yang sangat dingin atau panas. Pemakaian dialisat yang dingin tidak berbahaya, pasien
hanya akan mengeluh dingin dan menggigil, kecuali pasien tidak sadar karena dapat
terjadi hipotermia. Jika tertalu panas (>420C) dapat menyebabkan hemolisis.
-
Katub bypass. Bekerja jika konduktivitas dialisat atau suhu diluar batas.
Detektor kebocoran darah Detektor kebocoran darah terletak pada line outflow dialisat.
d) Lain-lain
1)
Pompa Heparin
2)
Bikarbonat
Pengontrol UF
C. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang paling sering hemodialisa berturut-turut dari yang tertinggi adalah
hipotensi (20-30%), kram (5-20%), nausea dan vomiting (5-15%), nyeri dada (2-5%),
back pain (2-5%), gatal (5%), panas/nggigil (<1%)
1. Hipotensi
Penyebab Sering Hipotensi
a) Akibat volume darah yang berkurang berlebihan atau perubahan yang cepat.
1) Gangguan kontrol UF. Idealnya kecepatan pengeluaran cairan saat HD terjadi secara
konstan. Fluktuasi pengeluaran cairan, terjadi jika tidak memakai alat pengontrol UF,
menyebabkan fluktuasi tekanan pada membran dialyzer. Pengeluaran cairan secara
cepat dan transien menyebabkan kontraksi akut volume darah dan hipotensi. Untuk
pencegahannya selalu gunakan pengontrol UF, bila tidak ada gunakan membran
dialyzer yang tidak terlalu permeabel terhadap air.
2)
Penambahan berat badan interdialitik yang besar atau terapi yang singkat. Hal ini
berakibat UF rate yang terlalu cepat.
3) UF berlebih dibawah berat badan kering. Saat berat badan kering sudah tercapai,
kecepatan pengisian kompartemen darah dari jaringan sekitarnya akan menurun.
Sehingga jika tetap berupaya mengeluarkan cairan tanpa ada tanda-tanda cairan
berlebih dapat menyebabkan hipotensi selama atau setelah dialisis dengan tandatanda kram, pusing dan lemah.
4) Sodium dialisat rendah. Jika menggunakan Na dialisat yang lebih rendah dari
plasma, maka darah dari dialyzer menjadi hipotonik. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik (osmotic equilibrium), air akan berpindah dari kompartemen
darah, sehingga terjadi penurunan volume darah. Efek ini paling jelas terlihat pada
saat awal dialisa.
Upaya pencegahan. Gunakan kadar Na sama atau lebih besar dari kadar Na plasma.
Jika menggunakan Na dialisat yang lebih rendah (< 4 mEq/L) maka UF rate pada awal
dialisa harus diturunkan untuk mengkompensasi penurunan osmotik dalam darah.
b) Akibat tidak adanya vasokonstriktor
Jika terjadi deplesi volume darah, maka konstriksi vena dan arteriol merupakan hal
yang penting dalam mempertahankan tekanan darah. Saat terjadi penurunan volume
darah, konstriksi pembuluh darah membantu mempertahankan pengisian volume kardiak
(cardiac filling) dan pengeluaran (cardiac output, COP). Kegagalan vasoknstriksi dapat
disebabkan oleh:
1) Obat Antihipertensi. perlu diberikan saran Jangan minum obat saat hari Dialisa
2) Memakai suhu dialisat normal. Suhu dialisat normalnya sekitar 380C, sedangkan
pasiennya sering sedikit hipotermik. Dengan penyebab yang belum jelas, pada saat
dialisis suhu tubuh seringkali sedikit meningkat. Panas adalah stimulus terjadinya
vasodilatasi baik vena maupun arteri. Memakai dialisat yang lebih dingin (34-36 0 C)
dapat menurunkan insiden hipotensi. Pasien hanya akan merasa dingin tidak enak.
3)
Memakai dialisat asetat. Asetat adalah vasodilator. Hipotensi akibat memakai dialisat
asetat sering terjadi pada wanita dan pasien diabet dan kondisinya membaik jika
diganti dengan bikarbonat. Asetat juga sebagai penyebab hipotensi jika memakai
dialisis efisiensi tinggi.
a) Hipotensi. Meskipun tidak semuanya, kram otot paling sering terjadi berkaitan
dengan hipotensi. Kram masih sering persisten meski tekanan darah sudah adekuat.
b) Pasien dibawah BB kering. Kram otot dapat berat dan lama (persisten beberapa
jam).
c) Menggunakan dialisat rendah Na. Terjadi akibat konstriksi pembuluh darah pada
otot.
Penatalaksanaan.
Jika didapatkan hipotensi dan kram otot, sebaiknya memakai pakai salin hipertonik
atau glukosa. Hipertonik juga dapat bertindak untuk transfer air secara osmotik kedalam
kompartemen darah dari jaringan sekitar. Kerugian salin hipertonik adalah timbulnya rasa
haus posdialisis. Untuk pasien non-DM lebih disukai glukosa hipertonik. Salin 0,9% tidak
efektif untuk kram, hanya efektif untuk hipotensi.
Pencegahan
Tabel Strategi Mencegah Hipotensi Saat Dialisis
Memakai mesin dengan pengontrol UF
Konseling pasien untuk membatasi peningkatan BB < 1 kg/hari
Jangan di UF pasien dengan BB dibawah dry weight
Jaga selalu kadar Na dialisat sesuai atau diatas kadar Na plasma ( 145
mEq/L)
Gunakan bikarbonat jika dengan Qb tinggi atau dialyzer dengan efisiensi tinggi
Pada kasus tertentu, dicoba menurunkan suhu dialisat menjadi 34 36 C
Kuinin sulfat oral 260 mg atau oxazepam 5-10 mg, 2 jam sebelum HD
Program latihan pelemasan otot, pada kelompok otot yang kram
Tabel Penatalaksanaan Komplikasi Hipotensi dan Kram
i. Turunkan tekanan ultrafiltrasi (UF) dan Qb
Turunkan UF dan Qb
Posisi Trendelenberg
NS: 100 500 cc atau
Salin hipertonik (15%): 20 cc atau
Glukosa hipertonik: 50 cc atau
Meningkatkan kadar Na dialisat
3. Mual dan Muntah
Etiologi. Terjadi pada pasien Hd sampai 10%. Penyebab multifaktor, tersering berkaitan
dengan hipotensi, atau dapat juga sebagai manifestasi awal dari sindrom disequilibrium.
Penatalaksanaan. Langkah pertama adalah mengatasi semua penyebab yang
mendasari, selanjutnya dapat diberikan antiemetik.
Pencegahan. Mencegah terjadinya hipotensi saat dialisis adalah hal yang sangat
penting. Dapat dicoba dengan penurunan Qb 30% saat jam-jam awal dialisa, atau ganti
kedialisat bikarbonat.
4. Sakit Kepala
Etiologi. Merupakan keluhan yang juga sering, dengan penyebab sebagian besar tidak
diketahui. Dapat terkait dengan sindrom disequilibrium atau terkait dengan dialisat asetat.
Pada pasien peminum kopi, dapat timbul nyeri akibat penurunan kadar kopi secara akut
saat dialisis.
Penatalaksanaan..Dapat diberikan parasetamol
Pencegahan. Seperti halnya pada mual dan muntah, dapat dicoba dengan penurunan
Qb 30% saat jam-jam awal dialisa, atau ganti kedialisat bikarbonat
5. Nyeri Dada
Nyeri dada (sering disertai nyeri punggung) terjadi pada 5% pasien dengan dialiser yang
baru. Penyebab tersering adalah first-use syndrome. Dapat juga akibat yang serius,
angina dan hemolisis. Angina harus menjadi diagnosis banding pasien dengan nyeri
dada. Bila diduga angina segera berikan oksigen, bila disertai syok kaki ditinggikan,
berikan nitrogliserin sublingual, Qb dan UF diturunkan.
Pencegahan (terhadap angina): - -bloker, nitrat atau penghambat kanal kalsium
(sebaiknya Verapamil) predialisis, tapi hati-hati terjadinya hipotensi, mungkin memakai
asetat, karena efek vasodilator (menurunkan afterload dan diduga dapat mendilatasi
arteri koroner)
6. Gatal Gatal
Banyak dikeluhkan pasien dialysis (sekitar 80%). Seringkali berat saat atau setelah HD.
Etiologi. Penyebab gatal-gatal belum dapat dipahami secara baik. Dapat sebagai akibat
toksin uremik sirkulasi,
dengan gangguan kadar histamin plasma (alergi terhadap heparin, tabung dan gas etilen
oksida)
Penatalaksanaan. Hasil terapi tidak selalu baik. Yang paling baik mungkin transplantasi
ginjal. Secara umum dapat diberikan pengobatan seperti berikut: lotion, antihistamin,
ultraviolet, karbon aktif, kolestiramin, lidocaine IV ,optimalkan kadar kalsium dan pospor,
normalisasi hormon paratiroid, dialisis yang adekuat
7. Panas
Etiologi dan patogenesa. Penyebab panas pada pasien dialisis tidak selalu karena
infeksi. Panas dengan derajat rendah (low-grade) dapat terkait dengan adanya zat
pirogen. Waktu terjadinya panas dapat membantu membedakan reaksi pirogen dengan
infeksi. Pasien yang sebelum dialisis tidak panas, baru timbul saat dialisis dan menurun
spontan setelah dialisis kemungkinan karena zat pirogen. Jika sebelum dialisis sudah
timbul panas kemungkinan karena infeksi. Tetapi pada pasien dengan uremia biasanya
terjadi gangguan:
Gangguan sistem imun (fungsi limfosit dan granulosit terganggu). Gangguan sistem
imun menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, jika infeksi lebih berat dan
progresif dan penyembuhannya lebih lambat.
Gangguan pengatur suhu. Pada sekitar 50% pasien, suhu tubuh pre-dialisis dibawah
normal. Respon panas terhadap suatu infeksi juga menurun.
Jadi dengan suhu yang hipotermia dan respon terhadap panas yang terganggu, maka
infeksi yang berat pada beberapa pasien dialisis mungkin tidak didapatkan panas. Panas
terkait infeksi terjadi akibat endotoksin atau fragmen endotoksin (suatu lipopolisakarida,
LPS dari bakteri gram negatif) yang merangsang pelepasan sitokin pirogen dari monosit
dan sel-sel endotel. Sumber kontaminan dapat berasal dari dialisat atau yang
terkontaminasi. Dapat juga berasal dari akses vaskuler. Sumber infeksi pada tempat
akses sekitar 50-80%
Penatalaksanaan. Pada prinsipnya harus dilakukan kultur darah pada setiap pasien
yang panas, meskipun penyebabnya diduga reaksi pirogen. Keterlambatan penanganan
infeksi dan sepsis adalah penyebab penting mortalitas pada pasien dialisis. Pasien panas
dengan akses vaskuler temporer (subklavia, jugularis interna atau femoral) dan belum
jelas sumber infeksinya, dilakukan kultur dan pencabutan kateter. Keterlambatan
mencabut pada kateter yang terinfeksi menyebabkan komplikasi sepsis (endokarditis).
Pengobatan antibiotik awal tergantung pada pola kuman dan sensitifitasnya terhadap
antibiotik.
ASKEP CKD
A. FOKUS PENGKAJIAN
1. Aktifitas /istirahat
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan malaise, Gangguan tidur (insomnis/gelisah atau
somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat, Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, Friction rub pericardia, Pucat
pada kulit, Kecenderungan perdarahan
3. Integritas ego
Gejala:Faktor stress contoh finansial, hubungan dengan orang lain, Perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekakuan
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah , mudah terangsang, perubahan kepribadian
4. Eliminasi
Gejala:Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria ( gagal tahap lanjut), Abdomen
kembung, diare, atau konstipasi
Tanda: Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat,
berawan, Oliguria,
Gangguan
status
mental,
contohnya
penurunan
lapang
perhatian,
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Klien dengan CKD yang belum dilakukan Hemodialisa
1. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan karena
retensi Na dan H2O
2. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah
3. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan pruritis
Diagnosa Keperawatan Klien dalam proses Hemodialisa
1. Nyeri Akut berhubungan dengan proses dialysis pada abdomen
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan kontaminasi selama proses pergantian dialisat
Diagnosa Keperawatan Klien setelah proses Hemodialisa
1. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebih
2. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan adanya retensi cairan (malposisi
kateter atau terlipat atau adanya bekuan, distensi usus, peritonitis dan jaringan parut
peritonium) atau masukan peroral berlebihan.
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC :
Electrolit and acid base
balance
Fluid balance
Hydration
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .
Kelebihan volume cairan
teratasi dengan kriteria:
Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi
vena jugularis,
Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign DBN
Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung
NIC :
Monitor elektrolit
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC:
aNutritional status: Adequacy of
nutrient
bNutritional Status : food and
Fluid Intake
c Weight Control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.nutrisi
kurang teratasi dengan
indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum
Hematokrit
Hemoglobin
Total iron binding capacity
Jumlah limfosit
Intervensi
DS:
Laporan secara verbal
DO:
Posisi untuk menahan nyeri
Tingkah laku berhati-hati
Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
Terfokus pada diri sendiri
Fokus menyempit (penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi, contoh : jalanjalan, menemui orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
Respon autonom (seperti diaphoresis,
perubahan tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi pupil)
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC :
Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes
Wound Healing : primer
dan sekunder
dipertahankan
(sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
Tidak ada luka/lesi
pada kulit
Perfusi jaringan baik
Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera
berulang
Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
Menunjukkan
terjadinya
proses
penyembuhan luka
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :
Pain
Level,
pain
control,
comfort
level
Setelah dilakukan tinfakan
keperawatan selama .
Pasien tidak mengalami
nyeri, dengan kriteria hasil:
Intervensi
NIC :
Lakukan
pengkajian
nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
Kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri:
...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti
minum
(skala,
intensitas,
frekuensi
dan
tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC :
Immune Status
Knowledge
:
Infection
control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
selama
pasien tidak mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:
Klien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukkan
perilaku
hidup sehat
Status
imun,
gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas
normal
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
jam
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC:
Fluid balance
Hydration
Nutritional Status : Food
and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.. defisit
volume cairan teratasi dengan
kriteria hasil:
Mempertahankan
urine
output sesuai dengan usia
dan BB, BJ urine normal,
Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda tanda
dehidrasi, Elastisitas turgor
kulit
baik,
membran
mukosa lembab, tidak ada
rasa haus yang berlebihan
Orientasi terhadap waktu
dan tempat baik
Jumlah
dan
irama
pernapasan dalam batas
normal
Elektrolit, Hb, Hmt dalam
batas normal
pH urin dalam batas normal
Intake oral dan intravena
adekuat
NIC :
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC :
Electrolit and acid base
balance
Fluid balance
Hydration
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .
Kelebihan volume cairan
teratasi dengan kriteria:
Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi
vena jugularis,
Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign DBN
Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung
NIC :
Monitor elektrolit
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3 Volume 8.
Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Edisi 2,
Jakarta ; EGC
Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001
(Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Mengenal Hipertensi, (Online), (http://
depkes.co.id/stroke.html)
DIKLIT RS Jantung Harapan Kita. (1993). Dasar-dasar Keperawatan Kardiovaskuler. RS
Jantung Harapan Kita. Jakarta
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 (Buku
asli diterbitkan tahun 1993)
Effendy.N (1998).Dasar- dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2.Jakarta; EGC
FKUI. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, Edisi 3.alih Bahasa:
Debora R. L & Asy. Y, Jakarta: EGC
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-bennyindra-6387-2-babiis-i.pdf
Long. Barbara. C. Essential of Medical Surgical Nursing, Penerjemah. Karnaen R, Et. All,
Edisi ke 3. 1996. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th
Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun
1992)
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J.
Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medicalsurgical nursing.
8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan
tahun 1996)
Suprajitno.(2004). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakata: EGC.
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2001
Tim POKJA RS Jantung Harapan Kita. (2003). Standar Asuhan Keperawatan Kardiovaskuler.
Direktorat Medik dan Pelayanan RS Jantung dan pembuluh darah Harapan kita.
Jakarta