Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN MEDIKAL RUANG HEMODIALISA

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) at causa HT (HIPERTENSI)


dengan Penatalaksanaan HD (HEMODIALISA)

Disusun Oleh:
Dicky Risca Ferrysta
NIM. 135070209111044

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015

CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) at causa HT (HIPERTENSI)


A. PENGERTIAN
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi
ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2000).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju
filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001).
B. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi
streptococcus.

Untuk

glomerulus

akut,

gangguan

fisiologis

utamanya

dapat

mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul
edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium.
Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif
lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan
bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus
mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya CKD
dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh
vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit
putih.
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang mengadakan
ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus
ginjal/kehilangan

HCO3

dalam

kemih

walaupun

dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic.


6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 2006)
C. KLASIFIKASI

GFR

yang

mamadai

tetap

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan
nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah
produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh
ginjal yang sehat.

Stag
e
1
2
3
4
5

Description

GFR (ml/min per 1,73


m2

Kidney damage with normal GFR


Kidney damage with mid decreased GFR
Moderate decreased GFR
Severely decreased GFR
Kidney failure

> 90
60-89
30-59
15-20
< 15 (or dialysis)

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Creatinin Clearance (ml/menit) = (140-umur) x Berat badan (kg)
72 x creatinin serum
*Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi
secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100 persen, sehingga banyak penderita
yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium ini.
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat
berfungsi dengan baik.
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang
disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
o

Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.

Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering terbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.

Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami
oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.

Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.

Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)


Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium
ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :
Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak
terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak.
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar
penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
a. Kehilangan napsu makan
b. Nausea.
c. Sakit kepala.
d. Merasa lelah.
e. Tidak mampu berkonsentrasi.
f.

Gatal gatal.

g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.


h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
i.

Keram otot

j.

Perubahan warna kulit

D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).
E. PATOFISIOLOGI
Hipertensi dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya
pengaruh hipertensi terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya

menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama, makin berat pengaruh
terhadap ginjal yang mungkin ditimbulkan.
Hipertensi menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan kerusakan sebagian
nefron. Nefron yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi dan filtrasi, sehingga
terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk
sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejalagejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat
ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu.
Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA. Dimana renin akan
diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1 yang selanjutnya akan diubah menjadi
angiotensin 2 dan akan merangsag sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan
retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan pada akhirnya
mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada penderita GGK akan timbul sebagai
kondisi edema yang biasanya terjadi pada area ektremitas
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin.
Kemudian timbul kondisi perpospatemia yang akan menimbulkan kondis gatal-gatal dikulit.
Sindrom uremia juga menyebabkan gangguan asam basa dalam metabolism tubuh yang
akan mempangaruhi produksi asam dalam lambung. Produksi asam lambung ini selanjutnya
akan mengiritasi lambung.
Pathway (terlampir)
F. TANDA GEJALA
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a.

Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.

b.

Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.

c.

Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas
bau ammonia.

d.

Gangguan musculoskeletal

Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas.
e.

Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

f.

Gangguan endokrin

g.

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi


dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.

h.

Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa


Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

i.

System hematology
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urin
- Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)
- Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkanoleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin
- Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
- Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular dan
rasio urin/serum sering 1:1
- Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
- Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium
- Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
2. Darah
-

BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir

Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl

SDM: menurun, defisiensi eritropoitin

GDA:asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2

Natrium serum : rendah

Kalium: meningkat

Magnesium;Meningkat

Kalsium ; menurun

Protein (albumin) : menurun

3. Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg\


4. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
6. Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
7. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masa
8. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006).
a. Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat
individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2.

Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan
intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hatihati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan


yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuscular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis

reguler

yang

adekuat,

medikamentosa

atau

operasi

subtotal

paratiroidektomi.
f.

Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan


kardiovaskular yang diderita.

3.

Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi
absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b.

Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat

ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:

1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan
hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi

(biasanya

dapat

diantisipasi)

imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

terutama

berhubungan

dengan

obat

HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi solut dari suatu larutan diubah dengan
memaparkan larutan tersebut dengan larutan lain melalui suatu membran semipermeabel.
Membran semipermeabel adalah suatu lembaran dengan pori-pori yang sangat kecil.
Molekul air dan solut dengan berat molekul (BM) kecil dalam kedua larutan dapat saling
menembus membran, tetapi solut yang lebih besar, misal protein tidak dapat melewati
membran sehingga jumlah solut dengan berat molekul besar di kedua sisi membran tidak
mengalami perubahan. Berdasar asal katanya, hemodialisis berasal dari kata hemo yang
berarti darah dan dalisis yang berarti

memisahkan dari yang lain. Secara klinis

hemodialisis adalah memisahkan zat sisa hasil metabolisme atau toksin dalam darah lewat
membran semipermeabel dan kemudian dibuang.
B. Alat-Alat Hemodialisa
1. Dialyzer
Dialyzer adalah suatu alat tempat terjadinya proses dialisa yang berisi ribuan serat
berupa membran semipermeable yang memisahkan kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Membran semipermeable adalah lapisan sangat tipis dan memiliki pori-pori
mikroskopik. Partikel kecil dan air bisa lewat, sel-sel darah tak bisa lewat. Lewat membran
inilah terjadi proses difusi dan konveksi, antara kompartemen darah dengan kompartemen
dialisat. Membran dialyzer dapat berupa hollow fiber atau parallel plate.
a) Hollow-fiber
Penggunaan dialyzer hollow fiber mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
volume priming dan compliance yang rendah dan untuk reuse mudah. Jumlah darah
yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah dialyzer hollow fiber dengan luas membran
1,0 m sekitar 65 86 ml, sedangkan untuk dialyzer plate dengan ukuran yang sama
adalah 70 100 ml. Kerugian hollow fiber adalah adanya volume darah residu yang
lebih besar karena kloting dan adanya potting compound yang digunakan untuk
tempat pelekatan serabut-serabut pada tabung dialyzer. Adanya potting compound
menyebabkan lebih sulitnya untuk membersihkan residu ethylene oxide yang
digunakan untuk sterilisasi.
b) Membran
Material membran. Terdapat tiga tipe membran yang digunakan dalam dialyzer:
selulosa, substituted selulosa dan sintetik. Yang paling sering dipakai adalah
membran

selulosa

dengan

bermacam-macam

nama

(regenerated

selulosa,

cuprammonium selulosa (=Cuprophan), cuprammonium rayon, saponified selulosa


ester). Selulosa mempunyai banyak gugus hidroksil pada permukaannya. Pada
membran selulosa asetat, gugus hidroksil ini secara kimia terikat pada asetat. Pada

selulosa yang dimodifikasi (modified cellulose = Hemophan), beberapa gugus


hidroksil terikat pada senyawa amino tersier. Pada bentuk sintetik tidak mengandung
selulosa,

tetapi

menggunakan

polyacrilonitrile

(PAN),

polysulfone

dan

polymethylmethacrylate (PMMA).
Aktifasi komplemen. Gugus hidroksil bebas pada permukaan membran selulosa
dipercaya dapat mengaktifkan sistem komplemen dalam darah yang melalui dialyzer.
Aktifasi komplemen lebih jarang pada pemakaian membran substituted cellulose
(asetat selulosa dan modified cellulose) dan sintetik. Aktifasi komplemen dapat
dikurangi dengan dialyzer re-used.
Permeabilitas membran terhadap solut dan air. Permeabilitas membran terhadap
solut dan air dapat diubah dengan mengubah ketebalan membran dan ukuran poripori
c) Metode Sterilisasi. Metode sterilisasi dialyzer yang paling sering adalah dengan gas
ethylene oxide. Pemakaian ethylene oxide dikaitkan dengan terjadinya reksi
anafilaksis saat dialisa. Metode lain menggunakan iradiasi gamma atau autoclav.
2. Air untuk Dialisa
Sekali terapi dialisa, diperlukan sekitar 120 liter air. Semua bahan dengan molekul
kecil yang ada dalam air akan berhubungan langsung dengan aliran darah pasien seperti
halnya jika diberikan secara injeksi intravena. Atas dasar ini, kemurnian air untuk dialisa
menjadi hal yang sangat penting dan harus tetap terkontrol.
a) Pentingnya kontaminan dalam air. Beberapa kontaminan kadang-kadang terdapat
dalam air yang digunakan untuk dialisa. Aluminium dapat menyebabkan penyakit
tulang, kemunduran neurologik progresif dan anemia. Tembaga dapat menyebabkan
anemia hemolitik. Hemolitik anemia juga bisa akibat kloramin, suatu bahan kimia
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi bekteri.
b) Sterilitas. Air untuk dialisa tidak harus steril, karena membran dialyzer sendiri dapat
berfungsi sebagai barier yang efektif terhadap bakteri dan endotoksin. Meskipun
demikian, hitung bakteri harus kurang dari 200 koloni/ml dalam air dan kurang dari
2000 koloni/ml dalam dialisat. Secara periodik harus dilakukan desinfeksi pada
sistem water treatment. Penggunaan membran high-flux dapat mempermudah
masuknya endotoksin dan produk-produk bakteri kedalam sirkulasi darah yang dapat
merangsang sel-sel monosit untuk untuk memproduksi sitokin (interleukin-1; IL-1)
yang menimbulkan panas badan.
c) Metode pemurnian air untuk dialisa. Metode reverse osmosis, yaitu dengan
mendorong air melalui membran semipermeabel dengan pori-pori yang cukup kecil
untuk menahan masuknya solut dengan BM yang kecil seperti urea, natrium dan
klorida. Metode ini dapat membuang lebih dari 90% kotoran yang sudah cukup
murni untuk dialisa. Metode lain dengan resin penukar ion (ion exchange resins)

membuang semua ion bermuatan dari sumber air dan harus digunakan bersama
dengan karbon aktif untuk membuang kontaminan non-ionik. Dapat juga metode
gabungan, pertama dengan reverse osmosis dilanjutkan dengan resin penukar ion
dan karbon.
3. Cairan Dialisa
a) Mengandung Asetat. Dialisat asetat biasanya dijual sebagai cairan konsentrat yang
diencerkan dengan air murni oleh mesin dialisa (biasanya dalam perbandingan 1 : 34).
b) Mengandung Bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak dicampur secara langsung
dalam

konsentrat

yang

mengandung

bikarbonat,

karena

dapat

menyebabkan

pengendapan kalsium dan magnesium karbonat. Untuk mengatasi masalah ini


konsentrat bikarbonat dibuat dalam dua komponen, yaitu komponen bikarbonat dan
komponen asam. Komponen asam mengandung sejumlah kecil asam laktat atau asam
asetat ditambah kalsium dan megnesium. Mesin dialisa yang didesain khusus
mencampur kedua komponen secara simultan dengan air murni untuk menghasilkan
cairan dialisat. Selama pencampuran, asam dalam konsentrat asam akan bereaksi
dengan bikarbonat untuk menghasilkan karbondioksida (CO2). Selanjutnya CO2 akan
membentuk asam karbonik yang akan menurunkan pH dialisat bikarbonat menjadi kirakira 7.0 7.4. Dengan rentang pH seperti ini dan lebih rendahnya kadar kalsium dan
magnesium dalam campuran final, maka kadar keduanya tetap dalam larutan. Meski
demikian kadang-kadang masih terjadi endapan mikro yang mengendap dalam pipa-pipa
mesin dialsa.
Tabel Komponen standar cairan dialisa asetat dan bikarbonat
Komponen

Kandungan

Natrium
Kalium
Kalsium
Magnesium
Klorida
Asetat
Bikarbonat
Dekstrosa
PCO 2 (mm Hg)
pH

(mEq/liter)
135 145
0 4.0
2.5 3.5
0.5 1.0
100 119
35 38
0
11
0.5
Variasi

Asetat Kandungan Bikarbonat


(mEq/liter)
135 145
0 4.0
2.5 3.5
0.5 1.0
100 119
24
30 38
11
40 -100
7.1 7.3

4. Mesin Hemodialisa
a) Blood pump. Pompa darah memompa darah dari pasien ke dialyzer dan kembali ke
pasien. Percepatan aliran untuk pasien dewasa biasanya 200-300 ml/mnt (sampai 600
ml/mnt untuk dialysis efisiensi ultra-high)
b) Sistem Delivery Cairan dialisa.

Sistem delivery sentral dan individual. Pada sistem delivery sentral, semua larutan
untuk unit dialisa dihasilkan oleh satu mesin dan hasil akhirnya akan dipompa melalui
pipa ke setiap mesin dialisa. Sedangkan sistem individual, setiap mesin mencampur
sendiri konsentrat cairan dengan air murni untuk dialisanya.

Heating dan Degassing. Cairan dialisat harus dipanaskan dulu oleh mesin sebelum
dipompa ke dialyzer pada suhu yang tepat (34-39 C). Begitu juga dengan bahan
terlarut (udara) harus dibuang sebelum digunakan. Proses degassing ini biasanya
dikerjakan dengan memberikan tekanan negatif pada air yang sudah dipanaskan.

Tekanan Negatif: Pompa dialisat terletak pada line dari dialyzer ke drain. Lokasi ini
memungkinkan mesin untuk membuat tekanan negatif dalam kompartemen dialisat
dari dialyzer untuk melakukan ultrafiltrasi. Tekanan negatif dihasilkan dengan
melakukan oklusi parsial line jalur dialisat ke dialyzer.

c) Alat Monitor
1)

Sirkuit Darah
-

Monitor Tekanan (pressure monitor)


Lokasi alat monitor tekanan umumnya pada proksimal dari pompa darah dan distal

dari dialiser. Monitor yang berlokasi disini digunakan untuk menjaga penyedotan akses
vaskuler yang berlebihan oleh pompa darah, sedangkan monitor di distal dari dialyzer
(monitor vena) berguna untuk menjaga adanya tahanan berlebihan kembalinya darah
pada akses vaskuler dan juga dapat untuk estimasi tekanan kompartemen darah pada
dialiser.
Kadang-kadang monitor arteri diletakkan pada distal dari pompa darah dan
proksimal dari dialyzer. Monitor ini digunakan untuk mendeteksi kloting dalam dialyzer
dan untuk membantu mesin agar lebih tepat memperkirakan tekanan dalam
kompartemen darah dialiser.
-

Perangkap (trap) dan detektor udara


Alat ini berlokasi distal dari monitor tekanan vena. Tujuan detektor dan perangkap

udara ini adalah untuk mencegah gelembung udara masuk dalam sirkuit darah yang
kembali ke pasien.
2)

Sirkuit Cairan Dialisat


-

Konduktivitas dialisat
Jika sistem pencampuran (proporsi) yang melarutkan konsentrat dengan air

terganggu tidak tepat dapat timbul masalah. Paparan darah pada dialisat yang
hiperosmoler menyebabkan hipernatremia dan kelainan elektrolit yang lain. Paparan
pada dialisat yang hipoosmoler menyebabkan hemolisis atau hiponatremia. Oleh karena
solut dalam dialisat adalah elektrolit, maka derajat kadar dialisat direfleksikan oleh
konduktivitas elektriknya, dan proporsi konsentrat terhadap air dapat dimonitor dengan

suatu pengukur yang secara terus-menerus mengukur konduktifitas dari dialisat yang
dihasilkan yang akan ke dialyzer.
-

Temperatur Dialisat
Gangguan pada elemen pemanas dalam mesin dialisa dapat menyebabkan dialisat

yang sangat dingin atau panas. Pemakaian dialisat yang dingin tidak berbahaya, pasien
hanya akan mengeluh dingin dan menggigil, kecuali pasien tidak sadar karena dapat
terjadi hipotermia. Jika tertalu panas (>420C) dapat menyebabkan hemolisis.
-

Katub bypass. Bekerja jika konduktivitas dialisat atau suhu diluar batas.

Detektor kebocoran darah Detektor kebocoran darah terletak pada line outflow dialisat.

Monitor tekanan outflow dialisat.

d) Lain-lain
1)

Pompa Heparin

2)

Bikarbonat

3) Sodium: Kadar Na biasanya diubah dengan mengubah proporsi kadarnya terhadap


air.
4)

Pengontrol UF
C. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi yang paling sering hemodialisa berturut-turut dari yang tertinggi adalah
hipotensi (20-30%), kram (5-20%), nausea dan vomiting (5-15%), nyeri dada (2-5%),
back pain (2-5%), gatal (5%), panas/nggigil (<1%)
1. Hipotensi
Penyebab Sering Hipotensi
a) Akibat volume darah yang berkurang berlebihan atau perubahan yang cepat.
1) Gangguan kontrol UF. Idealnya kecepatan pengeluaran cairan saat HD terjadi secara
konstan. Fluktuasi pengeluaran cairan, terjadi jika tidak memakai alat pengontrol UF,
menyebabkan fluktuasi tekanan pada membran dialyzer. Pengeluaran cairan secara
cepat dan transien menyebabkan kontraksi akut volume darah dan hipotensi. Untuk
pencegahannya selalu gunakan pengontrol UF, bila tidak ada gunakan membran
dialyzer yang tidak terlalu permeabel terhadap air.
2)

Penambahan berat badan interdialitik yang besar atau terapi yang singkat. Hal ini
berakibat UF rate yang terlalu cepat.

3) UF berlebih dibawah berat badan kering. Saat berat badan kering sudah tercapai,
kecepatan pengisian kompartemen darah dari jaringan sekitarnya akan menurun.
Sehingga jika tetap berupaya mengeluarkan cairan tanpa ada tanda-tanda cairan
berlebih dapat menyebabkan hipotensi selama atau setelah dialisis dengan tandatanda kram, pusing dan lemah.

4) Sodium dialisat rendah. Jika menggunakan Na dialisat yang lebih rendah dari
plasma, maka darah dari dialyzer menjadi hipotonik. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik (osmotic equilibrium), air akan berpindah dari kompartemen
darah, sehingga terjadi penurunan volume darah. Efek ini paling jelas terlihat pada
saat awal dialisa.
Upaya pencegahan. Gunakan kadar Na sama atau lebih besar dari kadar Na plasma.
Jika menggunakan Na dialisat yang lebih rendah (< 4 mEq/L) maka UF rate pada awal
dialisa harus diturunkan untuk mengkompensasi penurunan osmotik dalam darah.
b) Akibat tidak adanya vasokonstriktor
Jika terjadi deplesi volume darah, maka konstriksi vena dan arteriol merupakan hal
yang penting dalam mempertahankan tekanan darah. Saat terjadi penurunan volume
darah, konstriksi pembuluh darah membantu mempertahankan pengisian volume kardiak
(cardiac filling) dan pengeluaran (cardiac output, COP). Kegagalan vasoknstriksi dapat
disebabkan oleh:
1) Obat Antihipertensi. perlu diberikan saran Jangan minum obat saat hari Dialisa
2) Memakai suhu dialisat normal. Suhu dialisat normalnya sekitar 380C, sedangkan
pasiennya sering sedikit hipotermik. Dengan penyebab yang belum jelas, pada saat
dialisis suhu tubuh seringkali sedikit meningkat. Panas adalah stimulus terjadinya
vasodilatasi baik vena maupun arteri. Memakai dialisat yang lebih dingin (34-36 0 C)
dapat menurunkan insiden hipotensi. Pasien hanya akan merasa dingin tidak enak.
3)

Memakai dialisat asetat. Asetat adalah vasodilator. Hipotensi akibat memakai dialisat
asetat sering terjadi pada wanita dan pasien diabet dan kondisinya membaik jika
diganti dengan bikarbonat. Asetat juga sebagai penyebab hipotensi jika memakai
dialisis efisiensi tinggi.

c) Terkait faktor Jantung


Terjadi akibat kegagalan mekanisme kompensasi jantung pada saat terjadi
penurunan pengisian jantung, yang berupa peningkatan nadi dan stroke volume.
PENATALAKSANAAN
Letakkan pasien pada posisi Trendelenberg. Berikan bolus salin 0,9% secara
cepat lewat line vena, 100 ml atau lebih. Rate UF diturunkan sampai 0 bila mungkin
(kadang UFR 0 tidak memungkinkan, karena dapat menyebabkan tekanan dalam
kompartemen darah tinggi, dan tidak semua mesin di desain dapat membentuk tekanan
positif dalam kompartemen dialisat). Dapat juga diberikan salin hipertonik (terutama bila
ada kram), glukosa, manitol, albumin. Nasal oksigen
2. Kram Otot
Etiologi. Patogenesis kram otot saat dialisis tidak diketahui. Terdapat faktor-faktor
predisposisi penting terjadinya krom otot, yaitu:

a) Hipotensi. Meskipun tidak semuanya, kram otot paling sering terjadi berkaitan
dengan hipotensi. Kram masih sering persisten meski tekanan darah sudah adekuat.
b) Pasien dibawah BB kering. Kram otot dapat berat dan lama (persisten beberapa
jam).
c) Menggunakan dialisat rendah Na. Terjadi akibat konstriksi pembuluh darah pada
otot.
Penatalaksanaan.
Jika didapatkan hipotensi dan kram otot, sebaiknya memakai pakai salin hipertonik
atau glukosa. Hipertonik juga dapat bertindak untuk transfer air secara osmotik kedalam
kompartemen darah dari jaringan sekitar. Kerugian salin hipertonik adalah timbulnya rasa
haus posdialisis. Untuk pasien non-DM lebih disukai glukosa hipertonik. Salin 0,9% tidak
efektif untuk kram, hanya efektif untuk hipotensi.
Pencegahan
Tabel Strategi Mencegah Hipotensi Saat Dialisis
Memakai mesin dengan pengontrol UF
Konseling pasien untuk membatasi peningkatan BB < 1 kg/hari
Jangan di UF pasien dengan BB dibawah dry weight
Jaga selalu kadar Na dialisat sesuai atau diatas kadar Na plasma ( 145
mEq/L)
Gunakan bikarbonat jika dengan Qb tinggi atau dialyzer dengan efisiensi tinggi
Pada kasus tertentu, dicoba menurunkan suhu dialisat menjadi 34 36 C
Kuinin sulfat oral 260 mg atau oxazepam 5-10 mg, 2 jam sebelum HD
Program latihan pelemasan otot, pada kelompok otot yang kram
Tabel Penatalaksanaan Komplikasi Hipotensi dan Kram
i. Turunkan tekanan ultrafiltrasi (UF) dan Qb
Turunkan UF dan Qb
Posisi Trendelenberg
NS: 100 500 cc atau
Salin hipertonik (15%): 20 cc atau
Glukosa hipertonik: 50 cc atau
Meningkatkan kadar Na dialisat
3. Mual dan Muntah
Etiologi. Terjadi pada pasien Hd sampai 10%. Penyebab multifaktor, tersering berkaitan
dengan hipotensi, atau dapat juga sebagai manifestasi awal dari sindrom disequilibrium.
Penatalaksanaan. Langkah pertama adalah mengatasi semua penyebab yang
mendasari, selanjutnya dapat diberikan antiemetik.
Pencegahan. Mencegah terjadinya hipotensi saat dialisis adalah hal yang sangat
penting. Dapat dicoba dengan penurunan Qb 30% saat jam-jam awal dialisa, atau ganti
kedialisat bikarbonat.

4. Sakit Kepala
Etiologi. Merupakan keluhan yang juga sering, dengan penyebab sebagian besar tidak
diketahui. Dapat terkait dengan sindrom disequilibrium atau terkait dengan dialisat asetat.
Pada pasien peminum kopi, dapat timbul nyeri akibat penurunan kadar kopi secara akut
saat dialisis.
Penatalaksanaan..Dapat diberikan parasetamol
Pencegahan. Seperti halnya pada mual dan muntah, dapat dicoba dengan penurunan
Qb 30% saat jam-jam awal dialisa, atau ganti kedialisat bikarbonat
5. Nyeri Dada
Nyeri dada (sering disertai nyeri punggung) terjadi pada 5% pasien dengan dialiser yang
baru. Penyebab tersering adalah first-use syndrome. Dapat juga akibat yang serius,
angina dan hemolisis. Angina harus menjadi diagnosis banding pasien dengan nyeri
dada. Bila diduga angina segera berikan oksigen, bila disertai syok kaki ditinggikan,
berikan nitrogliserin sublingual, Qb dan UF diturunkan.
Pencegahan (terhadap angina): - -bloker, nitrat atau penghambat kanal kalsium
(sebaiknya Verapamil) predialisis, tapi hati-hati terjadinya hipotensi, mungkin memakai
asetat, karena efek vasodilator (menurunkan afterload dan diduga dapat mendilatasi
arteri koroner)
6. Gatal Gatal
Banyak dikeluhkan pasien dialysis (sekitar 80%). Seringkali berat saat atau setelah HD.
Etiologi. Penyebab gatal-gatal belum dapat dipahami secara baik. Dapat sebagai akibat
toksin uremik sirkulasi,

hiperparatiroid sekunder, kulit yang kering atau reaksi alergi

dengan gangguan kadar histamin plasma (alergi terhadap heparin, tabung dan gas etilen
oksida)
Penatalaksanaan. Hasil terapi tidak selalu baik. Yang paling baik mungkin transplantasi
ginjal. Secara umum dapat diberikan pengobatan seperti berikut: lotion, antihistamin,
ultraviolet, karbon aktif, kolestiramin, lidocaine IV ,optimalkan kadar kalsium dan pospor,
normalisasi hormon paratiroid, dialisis yang adekuat

7. Panas
Etiologi dan patogenesa. Penyebab panas pada pasien dialisis tidak selalu karena
infeksi. Panas dengan derajat rendah (low-grade) dapat terkait dengan adanya zat
pirogen. Waktu terjadinya panas dapat membantu membedakan reaksi pirogen dengan
infeksi. Pasien yang sebelum dialisis tidak panas, baru timbul saat dialisis dan menurun
spontan setelah dialisis kemungkinan karena zat pirogen. Jika sebelum dialisis sudah
timbul panas kemungkinan karena infeksi. Tetapi pada pasien dengan uremia biasanya
terjadi gangguan:

Gangguan sistem imun (fungsi limfosit dan granulosit terganggu). Gangguan sistem
imun menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, jika infeksi lebih berat dan
progresif dan penyembuhannya lebih lambat.

Gangguan pengatur suhu. Pada sekitar 50% pasien, suhu tubuh pre-dialisis dibawah
normal. Respon panas terhadap suatu infeksi juga menurun.

Jadi dengan suhu yang hipotermia dan respon terhadap panas yang terganggu, maka
infeksi yang berat pada beberapa pasien dialisis mungkin tidak didapatkan panas. Panas
terkait infeksi terjadi akibat endotoksin atau fragmen endotoksin (suatu lipopolisakarida,
LPS dari bakteri gram negatif) yang merangsang pelepasan sitokin pirogen dari monosit
dan sel-sel endotel. Sumber kontaminan dapat berasal dari dialisat atau yang
terkontaminasi. Dapat juga berasal dari akses vaskuler. Sumber infeksi pada tempat
akses sekitar 50-80%
Penatalaksanaan. Pada prinsipnya harus dilakukan kultur darah pada setiap pasien
yang panas, meskipun penyebabnya diduga reaksi pirogen. Keterlambatan penanganan
infeksi dan sepsis adalah penyebab penting mortalitas pada pasien dialisis. Pasien panas
dengan akses vaskuler temporer (subklavia, jugularis interna atau femoral) dan belum
jelas sumber infeksinya, dilakukan kultur dan pencabutan kateter. Keterlambatan
mencabut pada kateter yang terinfeksi menyebabkan komplikasi sepsis (endokarditis).
Pengobatan antibiotik awal tergantung pada pola kuman dan sensitifitasnya terhadap
antibiotik.

ASKEP CKD
A. FOKUS PENGKAJIAN
1. Aktifitas /istirahat
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan malaise, Gangguan tidur (insomnis/gelisah atau
somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat, Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, Friction rub pericardia, Pucat
pada kulit, Kecenderungan perdarahan
3. Integritas ego
Gejala:Faktor stress contoh finansial, hubungan dengan orang lain, Perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekakuan
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah , mudah terangsang, perubahan kepribadian
4. Eliminasi
Gejala:Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria ( gagal tahap lanjut), Abdomen
kembung, diare, atau konstipasi
Tanda: Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat,

berawan, Oliguria,

dapat menjadi anuria


5. Makanan/cairan
Gejala: Peningkatan BB cepat (edema), penurunan BB (malnutrisi), Anoreksia, nyeri ulu
hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut ( pernafasan amonia)
Tanda: Distensi abdomen/ansietas, pembesaran hati (tahap akhir), Perubahan turgor
kuit/kelembaban, Edema (umum,tergantung), Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah,
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
6. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, Kram otot/kejang, sindrom kaki gelisah, kebas
rasa terbakar pada telapak kaki, Kebas/kesemutan dan kelemahan khususnya
ekstrimitasbawah (neuropati perifer)
Tanda:

Gangguan

status

mental,

contohnya

penurunan

lapang

perhatian,

ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,


stupor, koma, Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang, Rambut tipis, uku rapuh dan tipis
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyei panggu, sakit kepala,kram otot/nyeri kaki
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
8. Pernapasan

Gejala:nafas pendek, dispnea nokturnal paroksismal, batuk dengan/tanpa Sputum


Tanda: takipnea, dispnea, pernapasan kusmaul, Batuk produktif dengan sputum merah
muda encer (edema paru)
9. Keamanan
Gejala: kulit gatal, ada/berulangnya infeksi
Tanda: pruritus, Demam (sepsis, dehidrasi)
10. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas
11. Interaksi sosial
Gejala: Kesulitan menurunkan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran dalam keluarga
12. Penyuluhan
-

Riwayat DM dan HT keluarga (resti GGK), penyakit pokikistik,


nefritis herediter, kalkulus urinaria

Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan

Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini berulang

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Klien dengan CKD yang belum dilakukan Hemodialisa
1. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan karena
retensi Na dan H2O
2. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah
3. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan pruritis
Diagnosa Keperawatan Klien dalam proses Hemodialisa
1. Nyeri Akut berhubungan dengan proses dialysis pada abdomen
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan kontaminasi selama proses pergantian dialisat
Diagnosa Keperawatan Klien setelah proses Hemodialisa
1. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebih
2. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan adanya retensi cairan (malposisi
kateter atau terlipat atau adanya bekuan, distensi usus, peritonitis dan jaringan parut
peritonium) atau masukan peroral berlebihan.

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Kolaborasi
Kelebihan Volume Cairan
Berhubungan dengan :
Mekanisme pengaturan
melemah
Asupan cairan berlebihan
DO/DS :
Berat badan meningkat pada
waktu yang singkat
Asupan berlebihan dibanding
output
Distensi vena jugularis
Perubahan pada pola nafas,
dyspnoe/sesak nafas, orthopnoe,
suara nafas abnormal (Rales atau
crakles), , pleural effusion
Oliguria, azotemia
Perubahan status mental,
kegelisahan, kecemasan

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk
memasukkan atau mencerna
nutrisi oleh karena faktor biologis,
psikologis atau ekonomi.
DS:
- Nyeri abdomen
- Muntah
- Kejang perut
- Rasa penuh tiba-tiba setelah
makan
DO:
- Diare
- Rontok rambut yang berlebih
- Kurang nafsu makan
- Bising usus berlebih
- Konjungtiva pucat
- Denyut nadi lemah

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC :
Electrolit and acid base
balance
Fluid balance
Hydration
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .
Kelebihan volume cairan
teratasi dengan kriteria:
Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi
vena jugularis,
Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign DBN
Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung

NIC :

Pertahankan catatan intake dan output yang


akurat

Pasang urin kateter jika diperlukan

Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi


cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin )

Monitor vital sign

Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan


(cracles, CVP , edema, distensi vena leher,
asites)

Kaji lokasi dan luas edema

Monitor masukan makanan / cairan

Monitor status nutrisi

Berikan diuretik sesuai interuksi

Kolaborasi pemberian obat:


....................................

Monitor berat badan

Monitor elektrolit

Monitor tanda dan gejala dari odema

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC:
aNutritional status: Adequacy of
nutrient
bNutritional Status : food and
Fluid Intake
c Weight Control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.nutrisi
kurang teratasi dengan
indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum
Hematokrit
Hemoglobin
Total iron binding capacity
Jumlah limfosit

Intervensi

Kaji adanya alergi makanan


Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
serat untuk mencegah konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
makanan harian.
Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein,
Hb dan kadar Ht
Monitor mual dan muntah
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
Monitor intake nuntrisi
Informasikan pada klien dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan
suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga
intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama
makan
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan :
Eksternal :
-Hipertermia atau hipotermia
-Substansi kimia
-Kelembaban
-Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat
menimbulkan luka, tekanan, restraint)
-Immobilitas fisik
-Radiasi
-Usia yang ekstrim
-Kelembaban kulit
-Obat-obatan
Internal :
-Perubahan status metabolik
-Tonjolan tulang
-Defisit imunologi
-Berhubungan dengan dengan
perkembangan
-Perubahan sensasi
-Perubahan status nutrisi (obesitas,
kekurusan)
-Perubahan status cairan
-Perubahan pigmentasi
-Perubahan sirkulasi
-Perubahan turgor (elastisitas kulit)
DO:
-Gangguan pada bagian tubuh
-Kerusakan lapisa kulit (dermis)
-Gangguan permukaan kulit (epidermis)

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan
-

DS:
Laporan secara verbal
DO:
Posisi untuk menahan nyeri
Tingkah laku berhati-hati
Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
Terfokus pada diri sendiri
Fokus menyempit (penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi, contoh : jalanjalan, menemui orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
Respon autonom (seperti diaphoresis,
perubahan tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi pupil)

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC :
Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes
Wound Healing : primer
dan sekunder

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan
selama..
kerusakan integritas kulit
pasien teratasi dengan
kriteria hasil:

Integritas kulit yang


baik
bisa

dipertahankan

(sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
Tidak ada luka/lesi
pada kulit
Perfusi jaringan baik

NIC : Pressure Management


Anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang longgar
Hindari kerutan pada tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
dua jam sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
derah yang tertekan
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun dan air
hangat
Kaji lingkungan dan peralatan yang
menyebabkan tekanan
Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman
luka, karakteristik,warna cairan, granulasi,
jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi
lokal, formasi traktus
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
perawatan luka
Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP,
vitamin
Cegah kontaminasi feses dan urin
Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
Berikan posisi yang mengurangi tekanan
pada luka

Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera

berulang
Mampu
melindungi
kulit
dan

mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
Menunjukkan
terjadinya
proses
penyembuhan luka

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :

Pain

Level,
pain

control,

comfort
level
Setelah dilakukan tinfakan
keperawatan selama .
Pasien tidak mengalami
nyeri, dengan kriteria hasil:

Mampu mengontrol nyeri


(tahu penyebab nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)

Melaporkan bahwa nyeri


berkurang
dengan
menggunakan
manajemen nyeri

Mampu mengenali nyeri

Intervensi
NIC :
Lakukan
pengkajian
nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
Kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri:
...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti

Perubahan autonomic dalam tonus otot


(mungkin dalam rentang dari lemah ke
kaku)
Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah,
merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
Perubahan dalam nafsu makan dan

minum

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko :
- Prosedur Infasif
- Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan
lingkungan
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan lingkungan
patogen
- Imonusupresi
- Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon
inflamasi)
- Penyakit kronik
- Imunosupresi
- Malnutrisi
- Pertahan primer tidak adekuat
(kerusakan kulit, trauma
jaringan, gangguan peristaltik)

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi

(skala,
intensitas,
frekuensi
dan
tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur

penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan


berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC :
Immune Status
Knowledge
:
Infection
control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
selama
pasien tidak mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:
Klien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukkan
perilaku
hidup sehat
Status
imun,
gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas
normal

NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
jam

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Defisit Volume Cairan


Berhubungan dengan:
- Kehilangan volume cairan secara
aktif
- Kegagalan mekanisme
pengaturan
DS :
- Haus
DO:
- Penurunan turgor kulit/lidah
- Membran mukosa/kulit kering
- Peningkatan denyut nadi,
penurunan tekanan darah,
penurunan volume/tekanan
nadi
- Pengisian vena menurun
- Perubahan status mental
- Konsentrasi urine meningkat
- Temperatur tubuh meningkat
- Kehilangan berat badan secara
tiba-tiba
- Penurunan urine output
- HMT meningkat
- Kelemahan

NOC:
Fluid balance
Hydration
Nutritional Status : Food
and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama.. defisit
volume cairan teratasi dengan
kriteria hasil:
Mempertahankan
urine
output sesuai dengan usia
dan BB, BJ urine normal,
Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda tanda
dehidrasi, Elastisitas turgor
kulit
baik,
membran
mukosa lembab, tidak ada
rasa haus yang berlebihan
Orientasi terhadap waktu
dan tempat baik
Jumlah
dan
irama
pernapasan dalam batas
normal
Elektrolit, Hb, Hmt dalam
batas normal
pH urin dalam batas normal
Intake oral dan intravena
adekuat

NIC :

Pertahankan catatan intake dan output yang


akurat
Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik ), jika diperlukan
Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi
cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin,
albumin, total protein )
Monitor vital sign setiap 15menit 1 jam
Kolaborasi pemberian cairan IV
Monitor status nutrisi
Berikan cairan oral
Berikan penggantian nasogatrik sesuai
output (50 100cc/jam)
Dorong keluarga untuk membantu pasien
makan
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
muncul meburuk
Atur kemungkinan tranfusi
Persiapan untuk tranfusi
Pasang kateter jika perlu
Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

Diagnosa Keperawatan/ Masalah


Kolaborasi
Kelebihan Volume Cairan
Berhubungan dengan :
Mekanisme pengaturan
melemah
Asupan cairan berlebihan
DO/DS :
Berat badan meningkat pada
waktu yang singkat
Asupan berlebihan dibanding
output
Distensi vena jugularis
Perubahan pada pola nafas,
dyspnoe/sesak nafas, orthopnoe,
suara nafas abnormal (Rales atau
crakles), , pleural effusion
Oliguria, azotemia
Perubahan status mental,
kegelisahan, kecemasan

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

NOC :
Electrolit and acid base
balance
Fluid balance
Hydration
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .
Kelebihan volume cairan
teratasi dengan kriteria:
Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi
vena jugularis,
Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign DBN
Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung

NIC :

Pertahankan catatan intake dan output yang


akurat

Pasang urin kateter jika diperlukan

Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi


cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin )

Monitor vital sign

Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan


(cracles, CVP , edema, distensi vena leher,
asites)

Kaji lokasi dan luas edema

Monitor masukan makanan / cairan

Monitor status nutrisi

Berikan diuretik sesuai interuksi

Kolaborasi pemberian obat:


....................................

Monitor berat badan

Monitor elektrolit

Monitor tanda dan gejala dari odema

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3 Volume 8.
Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Edisi 2,
Jakarta ; EGC
Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001
(Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Mengenal Hipertensi, (Online), (http://
depkes.co.id/stroke.html)
DIKLIT RS Jantung Harapan Kita. (1993). Dasar-dasar Keperawatan Kardiovaskuler. RS
Jantung Harapan Kita. Jakarta
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000 (Buku
asli diterbitkan tahun 1993)
Effendy.N (1998).Dasar- dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2.Jakarta; EGC
FKUI. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, Edisi 3.alih Bahasa:
Debora R. L & Asy. Y, Jakarta: EGC
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-bennyindra-6387-2-babiis-i.pdf
Long. Barbara. C. Essential of Medical Surgical Nursing, Penerjemah. Karnaen R, Et. All,
Edisi ke 3. 1996. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th
Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun
1992)
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J.
Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medicalsurgical nursing.
8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan
tahun 1996)
Suprajitno.(2004). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakata: EGC.
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2001
Tim POKJA RS Jantung Harapan Kita. (2003). Standar Asuhan Keperawatan Kardiovaskuler.
Direktorat Medik dan Pelayanan RS Jantung dan pembuluh darah Harapan kita.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai