Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasiyang
menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan
mekanisme homeostasis.Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi
keadaansyok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke
jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada systemperedaran darah yang
menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian tubuh, terutama ke
organ yang penting, cedera pada jantungatau pembuluh darah, atau berkurangnya jumlah darah
yang mengalir, biasmenyebabkan syok
Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau
ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.
Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan
darah yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau
tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah syok hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang
terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai
akhirnya pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien

tersebut. Hal ini disebut sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa
pasien syok dapat diresusitasi dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan
pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih banyak pasien yang meninggal
tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi juga dari efek syok berat
yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena
sebenarnya banyak pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah
perdarahan berat ditangani. Hal ini terjadi karena koagulopati dan hipotermia
berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun terus menerus dapat terjadi
asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik
mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah
apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan
transfusi darah diperlukan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah


Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa
yang sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan
(dalam kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan
volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.1
Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan
Total cairan tubuh
Whole blood
Plasma
Eritrosit

Pria
600 mL/kg
66 mL/kg
40 mL/kg
26 mL/kg

Wanita
500 mL/kg
60 mL/kg
36 mL/kg
24 mL/kg

Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu
untuk mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling
awal meliputi perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian
transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini
menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasisistem reninangiotensin-aldosteron oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium.Natrium
yang dipertahankan berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan

interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan


akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan
oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan
cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa
cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai
sebagai cairan resusitasi untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai
meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahanlahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2
bulan.
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang
adekuat pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume
darah). Saat darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan
penggantian volume darah.
Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi
napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding
dengan kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)

1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea,


penurunan tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler
terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin
yang menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul
dengan peningkatan TD diastolik.
Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok,
TO sistolik turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal
bingung atau gaduh gelisah.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40%
adalah jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan
penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun
keputusan memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap
pemberian cairan.
Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok,
tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin
sedikit atau tidak ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran),
kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab

syok. Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok


lainnya, antara lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher
distensi), tension pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang
pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak
sebesar yang diduga, defisit neurologis).
Kehilangan darah

Kelas 1
Sampai 750

Kelas 2
750-1500

Kelas 3
1500-2000

Kelas 4
>2000

(ml)
Kehilangan darah

Sampai 15%

15-30%

30-40%

>40%

(%BV)
Nadi
Tekanan darah
Tekanan nadi

<100
Normal
Normal atau

>100
Normal
Menurun

>120
Menurun
Menurun

>140
Menurun
Menurun

Frekuensi napas
Urin (ml/jam)
Status mental

meningkat
14-20
>30
Gelisah ringan

20-30
20-30
Gelisah

30-40
5-15
Gelisah dan

>35
Tidak ada
Gelisah dan

Cairan pengganti

kristaloid

sedang
kristaloid

bingung
Kristaloid

letargi
Kristaloid

dan darah

dan darah

B. Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan
untuk menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya
terhadap aliran sirkulasi dan fungsi organ.1,3,4
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk


mengetahui sebab dan jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan
seperti mekanisme trauma, lama perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada
pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan pre rumah sakit terutama
pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan
a. Sumber perdarahan biasanya terlihat
b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang
signifikan
c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda
2. Dada
a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas,
dan perkusi pekak
c. Tension hemothorax

3. Abdomen
a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok
perdarahan. Ruptur spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga
menyebabkan perdarahan intraabdominal berat dan syok

b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri


tekan dan peritonitis
c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada
perdarahan intraabdominal
4. Pelvis
a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif
b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan
retroperitoneal
5. Ekstremitas
a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi
b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan
6. Sistem Saraf
a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan
b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral
Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal
yang umum ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang
tidak ditemukan takikardi pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang
hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih sering ditemukan bradikardi pada
perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada posisi
terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif. Hipotensi
umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan

darah merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami


perdarahan, karena pada tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering
memberikan nilai rendah yang palsu. Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya,
direkomendasikan pemeriksaan intraarterial langsung untuk memonitor tekanan
darah pada pasien yang mengalami perdarahan.
C. Penatalaksanaan Syok Hemorargik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan.
Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan
perdarahan yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan
pernapasan (airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan
gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap
pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan
tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal.
Bila usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau
perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit
seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif secepatnya dilakukan.

D. Dasar Resusitasi Cairan


Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan
oleh penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok
hipovolemik secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi

organ. Di bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang
berhubungan.4
1. Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses
pemberian cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok
hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan cairan yang
hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang
menolong. Akses vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang
terluka.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena
yang disarankan adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan
pertama adalah infus perifer seperti vena pergelangan tangan dan
punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain yang
jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan
jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok
hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena
vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit
pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema,
kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka
bakar. Pada keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter
besar dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi.
Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli.

10

Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada


paru kiri karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi.
Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau arteri atau emboli udara
vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang digunakan karena
kecurigaan trauma servikal.
2. Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan
konsentrat eritrosit/ packed cells)
2. Cairan

yang

mengandung

molekul-molekul

besar

yang

kemampuan terbatas untuk keluar dari pembuluh darah (cairan


koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida)
dan molekul-molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh
darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada
viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satusatunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air.
Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air
dan albumin 5% sementara aliran packedRBCs adalah yang paling lambat.
Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada
kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan cairan garam

11

faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah. Kesalahpahaman


yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih
rendah dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah
fungsi dari densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan
laju aliran air.
E. Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdriri
atas dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat
(late resuscitation).6 Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu
siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja.
Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi
dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu,
cairantubuh yang meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena
adanya efek reversal dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan
perdarahan yang semakin banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan
resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat,
perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi terus
menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung
pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat
dikontrol. Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari
kedua resusitasi ini berbeda.

12

Tujuan dari resusitasi dini adalah:6


- Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.
- Mempertahankan hematokrit 25-30%.
- Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.
- Mempertahankan trombosit > 50.000.
- Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.
- Mempertahankan suhu > 35C.
- Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.
- Mencegah peningkatan serum laktat.
- Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase
selanjutnya yaitu fase lambat. Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
- Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
- Normalisasi status koagulasi.
- Normalisasi keseimbangan elektrolit.
- Normalisasi temperatur tubuh.
- Mengembalikan output urin ke batas normal.
- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
- Memperbaiki asidosis sistemik.
- Menurunkan laktat ke batas normal.

13

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap
dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah
mempertahankan ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan
kelangsungan metabolisme aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai
dengan cairan yang keluar atau yang mendekati. Kontroversi masih terjadi
seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai pengembang
plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid
berpendapat

bahwa

kristaloid

lebih

tepat

menangani

syok

karena

menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok


terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah
walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid
memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang
mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua
cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah
jantung dan konsentrasi hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi
mencakup bagaimana cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi
kekurangan hemoglobin.
F. Meningkatkan Curah Jantung

14

Konsekuensi

dari

curah

jantung

yang

menurun

jauh

lebih

membahayakan dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam


penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah meningkatkan curah
jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung
dinilai dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit =
450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek
infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam meningkatkan curah jantung
adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L) adalah dua
kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole
blood, enam kali lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif
dibanding cairan kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk
meningkatkan curah jantung adalah karena efek viskositas darah. Jika
peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam penatalaksanaan
perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi awal
resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena
keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi
volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang terdistribusi
merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan

15

ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya


20% cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan
interstisial. Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena
molekul koloid yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah.
Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular
dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus.
Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan
volume darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas
darah). Berikut poin penting dalam resusitasi cairan:

Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan
kristaloid untuk meningkatkan curah jantung

Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung


sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid


menambah volume interstisial

Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus
cairan kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan
koloid

16

Memperkirakan volume cairan total


Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan


menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah <
15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah,
kelas III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah
lebih dari 40% volume darah.

Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali


% kehilangan darah

Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan


dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume
infus whole blood, 50-75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume
infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit
volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L
dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra
vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L
cairan koloid.

17

Tabel 2. Estimasi Volume Resusitasi


Tahapan Determinasi
1. Estimasi volume darah normal (BV)

Jumlah Volume
BV = 70mL/kg ()

= 65 mL/kg ()
2. Estimasi % volume darah yang Kelas I: < 15%
hilang

Kelas II: 15-30%


Kelas III: 30-40%
Kelas IV: > 40%
VD = BV x % BV yang hilang
RV = VD x 1 (koloid)

3. Kalkulasi defisit volume (VD)


4. Determinasi volume resusitasi (RV)

= VD x 3 (kristaloid)
Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung
berdasarkan kondisi klinis pasien.
G. Pemantauan Resusitasi
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi
napas, urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat
digunakan untuk memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan
laboratorium

rutin

termasuk

diantaranya

gas

darah,

elektrolit

dan

keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan
koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui
efektivitas dukungan kardiovaskular.

18

BAB III
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
Agama
Ruangan
Tanggal Masuk
Tanggal Pemeriksaan
No.Rek.Medis
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD

: Nn. Selvian
: 21 Tahun
: Desa Lombogia Poso
: Honorer
: Islam
:Intensive Care Unit RSUD Undata Palu
: 21Maret 2014
: 21Maret 2015
: 567387
: robek pada kelamin dan paha
:
Poso dengan diagnosa Vulnus Laseratum

Regio Inguinal-Genital Eksterna-Femoralisdan Close Fracture TibiaFibula setelah kecelakaan lalu lintas menabrak truk tronton. Pasien
mengeluhkan nyeri pada vagina, yang dirasakan setelah kecelakaan.
Dalam perjalanan, pasien mengalami pendarahan yang cukup banyak,
mulai gelisah, akral dingin dan penurunan tekanan darah berulang,
pernapasan cepat dan nadi cepat
Riwayat Penyakit Sebelumnya
o Riwayat pendarahan sebelumnya (-)
o Riwayat alergi (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Sakit Berat
Kesadaran
: Composmentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan

: 51 kg

19

Status Gizi

: Gizi Baik

Primary Survey
Airway
: Paten
Breathing
: Respirasi23 kali/menit
Circulation
: Tekanan darah
:70mmhg/ palpasi
Nadi
: 126kali/menit, ireguler, lemah,tidak

Secondary Survey

kuatangkat

Kepala

Bentuk
Rambut
Kulit kepala
Wajah

Kulit

: Normocephal
: Warna hitam distribusi padat
: Psoriasis (-), lesi (-)
:Simetris, paralisis facial (-), afek ekspresi serasi,
deformitas (-)
:Keriput (-), pucat (+), sianosis (-), turgor 3 detik.

Mata :Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-),ptosis (-),


kalazion (-),konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik(-).
Pupil
Hidung & Sinus
Mulut &Faring

Leher

:Bentuk isokor, bulat, diameter 2mm/2mm,


refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung +/+.
: Deviasi septum nasi (-), polip (-), rhinorrhea (-),
epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus (-)
:Bibir
: sianosis (-), pucat (+)
Lidah
: deviasi lidah (-), lidah kotor (-),
:Inspeksi
Palpasi

tremor (-)
: jaringan parut (-), massa (-)
:pembengkakan kelenjar limfe (-),

pembesaran pada kelenjar tiroid (-)


Trakhea
: Deviasi trakhea (-)
Thorax
Inspeksi

Palpasi

: Normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-), spider


nevi (-)
: nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan,
fremitus taktil kesan normal.

20

Perkusi

VI dextra.
Auskultasi : vesicular +/+, bunyi tambahan (-).

: sonor (+) diseluruh lapang paru, batas paru hepar SIC

Jantung
Inspeksi
Palpasi

: lctus cordis tidak tampak


: lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s),

thrill (-)
: Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar terhadap thorax dan symphisis pubis,

Perkusi

massa (-).
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal ( 20 kali/menit) diseluruh

kuadran abdomen ,Bruit (-).


: Timpani (+) diseluruh kuadran abdomen.
: hepar tidak teraba
Spleen tidak teraba
Nyeri tekan (-)
Ginjal tidak teraba

Perkusi
Palpasi

Genitalia

: terdapat darah yang keluar terus menerus dari vulnus


laseratum inguinal, genital

Ekstremitas

Atas:Edema (-), Akral dingin (+/+), refleks fisiologis normal,kekuatan


5/5, tonus normal

21

Bawah:Edema (-), Akral dingin (+/-), refleks fisiologis tidak bisa


dilakukan, kekuatan -/-, tonus normal

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 21 Maret 2015
Hematologi Rutin
Parameter
RBC
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit
PLT
WBC

Hasil
2,09
6,2
18,5
105
4,6

Satuan
106/mm3
gr/dl
%
103/mm3
103/mm3

Range Normal
3,80-5,80
11,5-16,0
37,0-47,0
150-500
4,0-10,0

5. RESUME
Pasien usia21 tahun. Masuk dengan vulnus laseratum regio genitalia
eksterna-inguinal-femoralis dan close fracture tibia fibula setelah kecelakaan
lalu lintas. Setelah kecelakaan, pasien mengalami pendarahan yang cukup
banyakm diikuti dengan hipotensi, takipnoe, gelisah, dan takikardi.
Pemeriksaan Fisik
Airway
: Paten
Breathing
: Respirasi32 kali/menit
Circulation
: Tekanan darah
:60mmhg/ palpasi
Nadi
: 126kali/menit, ireguler, lemah,tidak
kuatangkat
6. Diagnosis Kerja :
Vulnus Laseratum regio Inguinal-Genitalia Eksterna-Femoralis + Hipotensi
e.c Syok Hipovolemik Post KLL
7. Penatalaksanaan :

22

Airway

: O2 5 Lpm via nasal kanul

Breathing : Spontan
Circulation

: IVFD RL1000cc tiap jam dalam 2jam pertama


NaCl 300 cc
Transfusi Whole Blood 2x350 cc

Drug

:Ranitidin 2,5 mg/IV


Ketorolac 30 mg /IV
Ceftriaxone 1gr/12jam/iv

8. Anjuran Pemeriksaan

Pemeriksaan Darah Lengkap Serial


Pemeriksaan Kimia Darah (ureum kreatinin)
Pemeriksaan Fungsi Hemostasis

FOLLOW UP
Tanggal 22Maret 2014 (Perawatan Hari 1)
S

: Lemah (+), gelisah (+), nyeri kaki kiri (+), nyeri paha (+), pendarahan (-)

: Tek.Darah
Nadi

: 82/40 mmHg
: 107 kali/menit

Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu

: 370C

Konjungtiva anemis (+/+), Perdarahan daerah vulnus (+)


Input
Ringer Lactat 1500ml

Output
Urine 200/12 jam

23

Minum : 200ml
Total 1730

IWL 372
Total572

Hematologi Rutin
Parameter
RBC
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit
PLT
WBC

Hasil
3,59
9,1
27,7
115
10,9

Satuan
106/mm3
gr/dl
%
103/mm3
103/mm3

Range Normal
3,80-5,80
11,5-16,0
37,0-47,0
150-500
4,0-10,0

: Hipotensi + Anemia e.c Syok hipovolemik post KLL

: IVFD RL:NaCl 1:1 28tetes per menit


Ranitidin 2,5 mg/IV
Ketorolac 30 mg /IV
Ceftriaxone 1gr/12jam/iv

Pasien minta pulang paksa

24

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang wanita usia 21tahun dengan vulnus laseratum
regio ingunal-genitalia eksterna-femoralis dan close fracture tibia-fibula, tindakan
yang sudah dilakukan adalah resusitasi cairan dan immobilisasi daerah fraktur.
Berdasarkan klasifikasi perdarahan, pasien dalam kasus ini mengalami
perdarahan kelas III (kehilangan volume darah sekitar 30% - 40%), dimana pasien
menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, yaitu takikardi ringan,
takipnoe yang jelas, gelisah, dan penurunan tekanan darah sistolik. pasien dalam
kasus ini kehilangan darah sebesar 1500-2000 cc (pada pasien ini 1500cc)
Penatalaksanaan awal pasien dengan syok hipovolemik atau syok
hemoragik adalah dengan memperhatikan Airway (A), breathing (B), Circulation
(C), Disability (D), Exposure (E). pada pasien ini untuk pengelolan jalan nafas
(Airway) dilakukan pemberian terapi oksigen melalui nasal kanul 5 lpm,
sedangkan untuk pernapasan (Breathing) masih secara spontan. Untuk sikulasi (C)
pasien dilakukan resusitasi cairan berupa pemberian cairan kristaloid yaitu Ringer
Lactat 2000ml dalam waktu 2jam dan transfusi WB 700cc, posisi syok
(Trendelenbergs position) tidak bisa dilakukan karena fraktur pada kaki kiri
pasien dan nyeri pada regio femoralis saat digerakkan. Untuk disability (D),
pasien dilakukan pemeriksaan neurologis tetapi pemeriksaan neurologis tidak bisa
dilakukan pada ekstremitas bawah karena fraktur tibia fibula sinistradan vulnus

25

laseratum regio femoralis dextra dan semua masih dalam batas normal, hanya saja
pasien terlihat gelisah.selanjutnya pasien diperiksa dari ujung kepala sampai ujung
kaki, dan memperhatikan volume urine dalam urine bag. Volume urine
200cc/12jam.
Berdasarkan hasil laboratorium darah lengkap menunjukkan kadar
hemoglobin pasien adalah 6,2 gr/dl saat masuk rumah sakit, yang diikuti oleh
terjadinya perdarahan terus menerus, maka pasien ini diberikan transfuse darah
sebesar 350cc sebanyak 2 kali dan dilakukan pemeriksaan darah rutin
posttransfusi terjadi perbaikan dengan hasil hemoglobin 9,1gr/dl. Dari tanda-tanda
vital juga demikian, ketika masuk rumah sakit, tekanan darah pasien
70mmhg/palpasi, berikan terapi cairan 2000cc dalam 2 jam pertama, dan
menujukkan kemajuan yaitu 82/40mmhg.
Jika dilihat dari teori, terapi cairan yang diberikan seharusnya sebagai
berikut:
1. Estimasi volume darah normal (BV)

BV = 70mL/kg ()

= 65 mL/kg ()
2. Estimasi % volume darah yang Kelas I: < 15%
hilang

Kelas II: 15-30%


Kelas III: 30-40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD)


4. Determinasi volume resusitasi (RV)

Kelas IV: > 40%


VD = BV x % BV yang hilang
RV = VD x 1 (koloid)
= VD x 3 (kristaloid)

26

Atau pada pasien ini:


1. EBV:60ml/kgbb = 65ml x 51kg = 3315
2. EBL : kelas 3 (30-40%) 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD):
EBV x EBL
3315 x %40 = 1326cc
4. Terapi cairan:
o WB 2x350 = 700cc
o Kristaloid (RL) = 626 x 3 = 1878cc(1900cc)
Ditambahkan dengan maintenance 30-50cc/kgbb (40cc/kgbb)
Sehingga didapatkan 40x51= 2000cc/hari
Sehingga total kebutuhan cairan dari pasien adalah 3900cc
- Resusitasi cairan sendiri terbagi atas 2, yaitu resusitasi cepat
(20ml/kgbb dalam 1 jam pertama), atau resusitasi lambat yang dibagi
menjadi 2 yaitu 50% dalam 8jam pertama, 50% sisanya dalam 16jam
berikutnya. Pada pasien ini, perlu dilakukan resusitasi cepat karena
-

kondisi dari pasien (tekanan darah 70/palpasi)


Sehingga dilakukan resusitasi cepat yaitu 20ml/kgbb dalam 1 jam
pertama 1000cc

Pada resusitasi lambat, kebutuhan dibagi menjadi 2, yaitu

50% pada 8jam

pertama (1950cc dikurangi 1000cc dari resusitasi cepat = 950 dalam 7 jam
berikutnya)
Lalu dilanjutkan 50% pada 16 jam berikutnya yaitu 1950cc dalam 16 jam.
Berdasarkan teori, setelah terjadi perdarahan tanpa pertolongan, akan
terjadi mekanisme kompensasi dalam tubuh menurut pola tertentu yang
merupakan upaya tubuh mempertahankan hemodinamiknya agar tetap stabil guna
mempertahankan hidupnya. Apabila seseorang mengalami perdarahan, berarti
volume darahnya berkurang, ini menyebabkan curah jantung menurun, seterusnya
tekanan darah akan menurun. Dengan turunnya tekanan darah, baroreseptor yang

27

terletak pada arteri karotis akan mengirim impuls ke hipotalamus yang selanjutnya
akan terjadi reflex berupa timbulnya pacuan saraf simpatis yang selanjutnya akan
merangsang pengeluaran katekolamin berupa adrenalin dan noradrenalin baik
neural maupun hormonal. Katekolamin tersebut menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi pada sistem pembuluh darah akibat terangsangnya reseptor
alfa.Sedangkan pada jantung menyebabkan takikardi disertai dengan naiknya
kontraksi jantung akibat terangsangnya reseptor beta yang ada pada jantung
(chronotropic dan inotropic effect). Vasokonstriksi ini pada berbagai pembulu
darah yag mempunyai akibat yang berbeda.
Pada sistem vena, vasokonstriksi ini menyebabkan terjadinya penyesuaian
yang paling besar antara kapasitas pembuluh darah dan volume darah yang sisa,
seolah darah diperas dari sistem vena ke jantung agar curah jantung tidak banyak
menurun. Sistem darah vena disebut juga sebagai capacitance Vessels karena
memiliki kapasitas yang besar dalam menampung darah yang beredar dalam
tubuh, 75% darah beredar dalam tubuh berada pada sistem vena, 20% pada sistem
arteri, dan 5% berada ada kapiler.
Pada sistem arteri, vasokonstriksi ini tidak merata tergantung pada
organya. Sistem arteri ke jantung dan otak kurang peka terhadap pengaruh
katekolamin, di lain pihak sistem arteri untuk daerah ginjal, usus, hati, otot, dan
kulit sangat peka terhadap pengaruh katekolamin sehingga mengalami
vasokonstriksi yang lebih hebat. Sistem arteri ini disebut resistance vessels oleh
karena sistem arteri inilah yang menentukan tahanan perifer.Hasiil akhir dari

28

mekanisme inni menyebabkan perfusi jantung dan otak relative tidak berkurang,
sedangkan perfusi ginjal, usus, hati, dan lain-lain sudah banyak berkurang.
Akibat vasokonstriksi arteriole mengakibatkan naiknya tahanan perifer
sehingga walaupun curah jantung sedikit turun, tekanan darah tidak banyak turun,
erfusi otak dan jantung tetap terjamin.Tahap vasokonstriksi ini merupakan upaya
kompensasi tubuh untuk mempertahanka organ-organ vital kelassatu yaitu otak
dan jantung dengan mengorbankan organ-organ kkelas dua yaitu ginjal, usus, hati,
otot, kulit, dan lain-lain. Apabila syok tersebut berkelanjutan tanpa pertolongan
maka vasokontriksi pembuluh darah arteri dan vena akan bertambah hebat,
menyebabkan jaringan tubuh semakin hipoksia sampai anoksia. Hal ini akan
membawa akibat berupa gangguan metabolism aerob (Siklus Krebs) macet,
menyebabkan terjadinnya penimbunan asam laktat yang pada gilirannya
membawa suasana asam yang disebut asidosis metabolic. Suasana asam pada
jaringan tersebut menyebabkan arteriola tidak mampu mempertahankan tonusnya
lagi sehingga berelaksasi, pada saat yang sama venula tonusnya menetap.
Akibatnya darah dapat mengalir masuk ke dalam kapiler tetapi tertahan keluar
oleh tonus venula yang menetap, sehingga darah akan tertimbun dalam kapiler,
terjadi Congested Capillares akibatnya tekanan hidrostatik dalam kapier
meninggi sehingga cairan berbalik keluar dari ruang intravascular. Jika proses
stagnansi ini berlangsung terus, dinding kapiler akan hilang integritasnya
menyebabkan darah dan plasma dapat keluar ke dalam jaringan yang
menyebabkan komplikasi yaitu irreversible shock.

29

Setelah dilakukan perawatan di ruang ICU selama satu hari, pasien


mengalami perbaikan klinis. Perdarahan di daerah vulnus berhenti, tekanan darah
82/40, nadi 107 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, dan hasil laboratorium
menunjukkan angka hemoglobin menjadi 9,1 g/dl. Akan tetapi, keluarga pasien
meminta pulang paksa karena kecewa pasien tidak dapat langsung sembuh dengan
cepat.

30

DAFTAR PUSTAKA
1.

Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal

2.

of Emergency Surgery. 2006. 1-14


Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002.

3.

504-11
Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic

4.

shock:Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001


Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.

5.
6.

119-24
Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011
Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine
[monograph onthe Internet]. 7.Washington:Medscape reference; 2010

7.

[cited 2011 Nov 29]


Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on

8.

theInternet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]


Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical

9.

updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008


Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis

31

32

33

34

Anda mungkin juga menyukai