Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

BAHASA INDONESIA

Oleh :
Luh Asri Ramayanthi
1115051052 / VI B

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014

HASIL CETAR PROSES NOL BESAR


Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang
menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah
direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan
dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah
yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal
mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai
mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap
berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang
mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup
bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di
dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau
saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim
baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang
hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang
terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik
membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat
yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya
tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan
terbaik?

Tentu,

saya

pantas

menerimanya,

saya

telah

bekerja

keras

untuk

mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan
institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam
kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi,
karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus
dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan
jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan.

Teks pidato di atas merupakan pidato wisudawan SMA di Amerika, Erica Goldson. Ia
adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun 2010 di Coxsackie-Athens
High School, New York. Membaca teks pidato dari wisudawan terbaik Amerika itu seperti
membuka kembali pemahaman saya dan mengetuk kesadaran saya tentang arti penting
pendidikan. Setiap sususan kata-kata yang ia rangkai seperti memaksa saya untuk sedikit
berdiam diri, merenungi, dan menelaah kembali tujuan belajar. Mungkin hal ini tidak hanya
dirasakan oleh saya, tetapi juga beberapa pelajar di Indonesia lainnya. Sekian tahun saya
berjuang mengerjakan tugas, mengikuti ujian dan segala hal yang berhubungan dengan
sekolah dan pendidikan, apakah itu hanya sekedar status? Atau ada yang lebih dari itu?
Lalu apa yang sebenarnya tengah saya kejar?
Berdasarkan beberapa pemikiran pemikiran tersebut, saya mencoba untuk kembali
melihat kebelakang dan menilai apa yang telah saya dan pelajar lain lakukan. Di usia yang
baru menginjak 3 tahun, kebanyakan orang tua akan memasukan anaknya dalam sebuah
institusi awal dunia persekolahan seperti PAUD lalu dilanjutkan dengan (minimal) 1 tahun
TK, lalu 6 tahun SD, 3 Tahun SMP, 3 Tahun SMA, (minimal) 4 Tahun mengejar jenjang S1
belum dilanjutkan dengan mengejar gelar lainnya. Jika di total, butuh bertahun-tahun bagi
kita untuk menyelesaikan strata pendidikan dengan hasil yang memuaskan. Kata
memuaskan disini saya definisikan sebagai tingkat kepuasan dari orang lain, bukan diri
sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Hal itu disebabkan oleh kebanyakan pelajar yang
ada di Indonesia menempuh pendidikan sampai mendapatkan gelar tertentu bukan
berdasarkan niat atau kebutuhan diri sendiri, melainkan cara pandang masyarakt sekitar
bahwa pelajar yang pintar adalah pelajar yang memiliki jenjang pendidikan tertinggi.
Sesungguhnya pintar bukan hanya diukur dari tingkat pendidikannya saja.
Sering kali pelajar mendengar anggapan Bapaknya saja lulusan S1, masak anaknya
juga S1? Nggak malu tuh sama seperti orang jaman dulu? anggapan masyarakat yang
demikian bisa menjadi semacam cambuk bagi diri pelajar itu sendiri. Anggapan sederhana
namun bermakna dalam. Jika pelajar tersebut terpancing dengan anggapan masyarakat dan
menjadikan anggapan tersebut sebagai acuan dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi
dari orang tuanya maka secara otomatis pelajar tersebut akan menganggap bahwa belajar
bukan hanya sekedar hobi yang notabenenya dapat dilakukan dengan santai. Pelajar akan

mempertanggungjawabkan pendidikan yang ditempuh dengan sungguh-sungguh, namun


bukan karena dorongan hatinya.
Dewasa ini pengakuan berupa gelar merupakan hal penting untuk menenutkan status
sosial masyarakat. Berdasarkan hal tersebut pelajar berlomba-lomba untuk mendapatkan
gelar dan hasil sebaik mungkin tanpa menghiraukan keberhasilan proses belajar. Pelajar
seperti itu akan menggantungkan segalanya untuk mendapatkan pembuktian diri di tengah
masyarakat dengan mencapai gelar yang setinggi-tingginya. Jika hal ini dibiarkan, maka
pendidikan akan dijadikan ajang untuk sekedar mendapatkan nilai dan lulus. Hal tersebut
mengakibatkan momok buruk bagi pelajar, yaitu belajar akan menimbulkan rasa takut
karena mereka akan terus dihantui dengan harapan, pandangan, aturan dan komentar
masyarakat yang mengatakan tidak cukup. sedangkan kita ketahui bersama bahwa sistem
akan berkembang seiring zaman. Manusia tidak akan pernah puas pada satu titik
pencapaian, begitu pula dengan masyarakat.

Ketidakpuasan itu berdampak pada

pencapaian tinggi tanpa mengindahkan proses pencapaiannya. Hal ini tak ayal menjadikan
pendidikan hanya sekedar industri bagi beberapa oknum-oknum tertentu.
Masyarakat awam mendiskripsikan hasil akhir dari proses pencapaian itu setara
dengan pertanyaan Berapa IPK mu? atau Berapa rata-rata UN mu?. Hal itu sulit di
pungkiri bahwa memang sebagian besar orang-orang yang berhasil memiliki nilai atau IPK
yang tinggi. Tapi pernahkan kita berfikir bahwa kebanyakan kriminal-kriminal di negeri ini
juga berasal dari mereka yang berpredikat cumlaude ? Jika kita hanya melihat para kriminal
ecek-ecek seperti pencuri atau pelaku curanmor, kebanyakan dari mereka hanya masyarakat
biasa dengan ekonomi menengah kebahawah dan berpendidikan rendah. Namun jika kita
melihat sedikit keatas, beberapa kriminal yang ada ialah mereka yang justru meraih nilai
yang memuaskan saat bersekolah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi juga dilakukan
kebanyakan oleh mereka yang berpendidikan. Hal ini menjadi bukti bahwa selama ini,
pemerintah dan masyarakat menekankan pendidikan kepada hasil bukan proses.
Masyarakat melihat pendidikan pada hasil akhir, bukan proses dalam mencapainya. Belajar
tak

ubahnya

hanya

sekedar

mengejar

nilai

semata,

sementara

kreativitas

dan keterampilan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh
menjadi anak penurut dibandingkan anak kreatif. Sehingga, secara tidak langsung, sistem
pendidikan justru mematikan tingkat kreatifitas dan daya imajinatif anak. Sistem yang

seharusnya mampu menumbuhkan daya pemikiran-pemikiran kritis anak, menjadi berbalik


membuat anak terikat dan terkekang dalam lingkaran aturan yang kasat mata. Sistem
melahirkan para pelajar yang cerdas namun tidak memiliki keahlian bahkan tidak memiliki
kehidupan sosial karena selalu dituntut belajar dan belajar. Sehingga saat pelajar tersebut
keluar dari sistem itu, pelajar tersebut akan menjadi pasif dengan kehidupan nyata di
masyarakat.
Pernahkah kita melihat contoh bahwa ada beberapa pengangguran yang berkeliaran di
sudut kota dengan status S1 bahkan S2 ? Sejujurnya, itu bukanlah hal yang jarang dilihat
dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu disebabkan oleh kebanyakan sekolah
hanya mengajarkan pengetahuan-pengetahuan secara umum dibandingkan dengan
pemberian keterampilan. Sekolah lebih fokus terhadap sesuatu yang bisa dihitung berupa
nilai gelar kebanggaan. Pengetahuan dan informasi dalam bentuk sains dan sebagainya
akan terbuang percuma bila tidak diterapkan dan diapllikasikan secara apik oleh pelajar
dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu cara paling tepat dan mudah mengajarkan para
pelajar untuk menerapkan pengetahuan dan informasi yang telah didapatkan di bangku
pendidikan adalah dengan pemberian pengetahuan mengenai keterampilan untuk
bersosialisasi secara langsung dalam masyarakat. Hal ini ditujukan agar dapat
memaksimalkan ilmu yang telah didapat oleh pelajar di bangku pendidikan.
Keterampilan penting dalam dunia bermasyarakat guna membangun karakter yang
ada dalam diri pelajar. Hal ini bermanfaat untuk membantu mereka dalam pengambilan
inisiatif sehingga dalam kehidupan kedepannya bisa saling bekerja keras dan gigih. Selain
itu, dengan pemberian keterampilan, akan memberikan informasi dan pengetahuan kepada
pelajar mengenai bagaimana memimpin dalam masyarakat, memberikan kemampuan
berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Dengan gabungan yang tepat antara materi
belajar, pendidikan berkarakter, dan keterampilan kerja tentu akan memberikan dampak
yang lebih baik dibandingkan hanya dengan pemberian bekal berupa ilmu pengetahuan
semata.

Anda mungkin juga menyukai