BAHASA INDONESIA
Oleh :
Luh Asri Ramayanthi
1115051052 / VI B
Tentu,
saya
pantas
menerimanya,
saya
telah
bekerja
keras
untuk
mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan
institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam
kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi,
karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus
dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan
jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan.
Teks pidato di atas merupakan pidato wisudawan SMA di Amerika, Erica Goldson. Ia
adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun 2010 di Coxsackie-Athens
High School, New York. Membaca teks pidato dari wisudawan terbaik Amerika itu seperti
membuka kembali pemahaman saya dan mengetuk kesadaran saya tentang arti penting
pendidikan. Setiap sususan kata-kata yang ia rangkai seperti memaksa saya untuk sedikit
berdiam diri, merenungi, dan menelaah kembali tujuan belajar. Mungkin hal ini tidak hanya
dirasakan oleh saya, tetapi juga beberapa pelajar di Indonesia lainnya. Sekian tahun saya
berjuang mengerjakan tugas, mengikuti ujian dan segala hal yang berhubungan dengan
sekolah dan pendidikan, apakah itu hanya sekedar status? Atau ada yang lebih dari itu?
Lalu apa yang sebenarnya tengah saya kejar?
Berdasarkan beberapa pemikiran pemikiran tersebut, saya mencoba untuk kembali
melihat kebelakang dan menilai apa yang telah saya dan pelajar lain lakukan. Di usia yang
baru menginjak 3 tahun, kebanyakan orang tua akan memasukan anaknya dalam sebuah
institusi awal dunia persekolahan seperti PAUD lalu dilanjutkan dengan (minimal) 1 tahun
TK, lalu 6 tahun SD, 3 Tahun SMP, 3 Tahun SMA, (minimal) 4 Tahun mengejar jenjang S1
belum dilanjutkan dengan mengejar gelar lainnya. Jika di total, butuh bertahun-tahun bagi
kita untuk menyelesaikan strata pendidikan dengan hasil yang memuaskan. Kata
memuaskan disini saya definisikan sebagai tingkat kepuasan dari orang lain, bukan diri
sendiri. Mengapa saya katakan demikian? Hal itu disebabkan oleh kebanyakan pelajar yang
ada di Indonesia menempuh pendidikan sampai mendapatkan gelar tertentu bukan
berdasarkan niat atau kebutuhan diri sendiri, melainkan cara pandang masyarakt sekitar
bahwa pelajar yang pintar adalah pelajar yang memiliki jenjang pendidikan tertinggi.
Sesungguhnya pintar bukan hanya diukur dari tingkat pendidikannya saja.
Sering kali pelajar mendengar anggapan Bapaknya saja lulusan S1, masak anaknya
juga S1? Nggak malu tuh sama seperti orang jaman dulu? anggapan masyarakat yang
demikian bisa menjadi semacam cambuk bagi diri pelajar itu sendiri. Anggapan sederhana
namun bermakna dalam. Jika pelajar tersebut terpancing dengan anggapan masyarakat dan
menjadikan anggapan tersebut sebagai acuan dalam mencapai pendidikan yang lebih tinggi
dari orang tuanya maka secara otomatis pelajar tersebut akan menganggap bahwa belajar
bukan hanya sekedar hobi yang notabenenya dapat dilakukan dengan santai. Pelajar akan
pencapaian tinggi tanpa mengindahkan proses pencapaiannya. Hal ini tak ayal menjadikan
pendidikan hanya sekedar industri bagi beberapa oknum-oknum tertentu.
Masyarakat awam mendiskripsikan hasil akhir dari proses pencapaian itu setara
dengan pertanyaan Berapa IPK mu? atau Berapa rata-rata UN mu?. Hal itu sulit di
pungkiri bahwa memang sebagian besar orang-orang yang berhasil memiliki nilai atau IPK
yang tinggi. Tapi pernahkan kita berfikir bahwa kebanyakan kriminal-kriminal di negeri ini
juga berasal dari mereka yang berpredikat cumlaude ? Jika kita hanya melihat para kriminal
ecek-ecek seperti pencuri atau pelaku curanmor, kebanyakan dari mereka hanya masyarakat
biasa dengan ekonomi menengah kebahawah dan berpendidikan rendah. Namun jika kita
melihat sedikit keatas, beberapa kriminal yang ada ialah mereka yang justru meraih nilai
yang memuaskan saat bersekolah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi juga dilakukan
kebanyakan oleh mereka yang berpendidikan. Hal ini menjadi bukti bahwa selama ini,
pemerintah dan masyarakat menekankan pendidikan kepada hasil bukan proses.
Masyarakat melihat pendidikan pada hasil akhir, bukan proses dalam mencapainya. Belajar
tak
ubahnya
hanya
sekedar
mengejar
nilai
semata,
sementara
kreativitas
dan keterampilan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh
menjadi anak penurut dibandingkan anak kreatif. Sehingga, secara tidak langsung, sistem
pendidikan justru mematikan tingkat kreatifitas dan daya imajinatif anak. Sistem yang