Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment of
High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO dengan International Society
of Hypertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan
sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang
memakai obat anti hipertensi.
Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 persentil
dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur sekurang-kurangnya tiga kali pada
pengukuran yang terpisah. The sixth Report of The joint national Committee on Prevention,
detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure (JNC VII) mengklasifikasikan
tekanan darah untuk orang dewasa menjadi enam kelompok yang terlihat seperti pada tabel 1
dibawah.
Tabel I. Klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun
atau lebih.

Klasifikasi Tekanan TDS (mmHg)

TDD (mmHg)

Darah
Normal
Pre hipertensi
Stage 1 Hipertensi
Stage 2 Hipertensi

< 80
80 89
90 99
> 100

< 120
120 139
140 159
> 160

2.1.2 Epidemiologi
Hipertensi adalah masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat
memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung congestive, gagal ginjal, dan
penyakit vaskuler. Hipertensi disebut silent killer karena sifatnya asimptomatik dan setelah
beberapa tahun menimbulkan stroke yang fatal atau penyakit jantung. Meskipun tidak
dapatdiobati, pencegahan dan penatalaksanaan dapat menurunkan kejadian hipertensi dan
1

penyakit yang menyertainya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, diketahui
hampir seperempat (24,5%) penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun mengkonsumsi makanan
asin setiap hari, satu kali atau lebih. Sementara prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai
31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi
berakhir pada stroke.
Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan
tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat
penyakit kardiovaskuler.
Berdasarkan American Heart Association (AHA, 2001), terjadi peningkatan rata-rata
kematian akibat hipertensi sebesar 21% dari tahun 1989 sampai tahun 1999. Secara keseluruhan
kematian akibat hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%. Data Riskesdas menyebutkan
hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, jumlahnya
mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia.
Hipertensi perlu diwaspadai karena merupakan bahaya diam-diam. Tidak ada gejala atau
tanda khas untuk peringatan dini bagi penderita hipertensi. Selain itu, banyak orang merasa sehat
dan energik walaupun memiliki hipertensi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2007, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.
2.1.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi
esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam
ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko
seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada usia
30 50 tahun.
2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui,

seperti

penggunaan

estrogen,

penyakit

ginjal,

hipertensi

vaskular

renal,

hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi


yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain.
2.1.4

Faktor Risiko Hipertensi


Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui dengan jelas.

Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain :
a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua
atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih
besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal (tidak
menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung
secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan
dibawah 65

tahun dan laki laki dibawah 55 tahun.

b. Usia
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi usia
seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya.. Hal ini disebabkan elastisitas dindinG
pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya usia. Sebagian besar hipertensi
terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Sebelum usia 55 tahun tekanan darah pada laki
laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah usia 65 tekanan darah pada perempuan
lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi bertambah dengan
semakin bertambahnya usia.
c. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem rennin angiotensin. Secara
umum tekanan darah pada laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada perempuan
risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang mununjukkan adanya
pengaruh hormon.
d. Merokok

Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah.
Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah.
Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin
dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat
menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap
jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun
diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian
O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh
darah perifer.
e. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya penambahan
berat badan.

Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi pada

penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua obesitas dapat terkena
hipertensi. Tergantung pada masing masing individu. Peningkatan tekanan darah di atas
nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler. Penurunan berat badan efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan
berat badan sekitar 5 kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.
f. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama
dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang percobaan
dibuktikan bahwa pajanan terhadap stress menyebabkan binatang tersebut menjadi
hipertensi.
g. Aktifitas Fisik
Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar kemungkinan
aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik membantu dengan
mengontrol berat badan. Aerobik yang cukup seperti 30 45 menit berjalan cepat setiap
hari membantu menurunkan tekanan darah secara langsung. Olahraga secara teratur dapat
menurunkan tekanan darah pada semua kelompok, baik hipertensi maupun normotensi.
h. Asupan
4

Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum normal

adalah 136 sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan
dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa tubuh serta berperan
dalam transfusi saraf dan kontraksi otot. Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler
dan intraseluler ditentukan oleh kekuatan osmotik. Osmosis adalah perpindahan air
menembus membran semipermiabel ke arah yang mempunyai konsentrasi partikel tak
berdifusinya lebih

tinggi.

Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium dengan zat zat organik
pada cairan intraseluler, adalah zat zat terlarut yang tidak dapat menembus dan
sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran. Hampir
seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi terutama di usus halus.
Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama tama tergantung pada
perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah bagian dari
volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang melakukan perfusi aktif pada
jaringan.
Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler umumnya berubah ubah sesuai
dengan sirkulasi efektifnya dan berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh
total. Natrium diabsorpsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal,
disini natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup
untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah.
Kelebihan Na yang jumlahnya mencapai 90 99% dari yang dikonsumsi,
dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh

hormone

yang dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun.

aldosteron

Aldosteron

merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam urin

tinggi

bila konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi rendah. Garam dapat memperburuk
hipertensi pada orang secara genetik sensitif terhadap natrium, misalnya seperti:
orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang hipertensi atau diabetes.
Asosiasi jantung Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan
garam tidak lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih
dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan meningkatnya
5

usia, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan. Hubungan antara retriksi garam
dan pencegahan hipertensi masih belum jelas. Namun berdasarkan

studi

epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan darah ketika asupan garam ditambah.

Asupan Kalium
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium adalah

kebalikan dari Na. konsumsi kalium yang banyak akanmeningkatkan konsentrasinya


di dalam cairan intraseluler, sehinggacenderung menarik cairan dari bagian
ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan
sekresi aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium.
Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air juga
penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah penurunan
volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi kalium juga
dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang
mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi
dengan

asupan tinggi kalium tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih rendah

dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium.

Asupan Magnesium
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot halus

dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The Joint
national Committee on Prevention, detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure (JNC) melaporkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara
magnesium dan tekanan darah. Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan,
suplementasi magnesium tidak

efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal ini

dimungkinkan karena adanya efek pengganggu dari obat anti hipertensi. Meskipun
demikian, suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian
hipertensi.
6

Kalsium
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara diet kalsium dengan prevalensi hipertensi. Hubungan diet kalsiun dengan
hipertensi tampak pada perempuan ras Afrika Amerika. Peningkatan konsumsi per
hari (untuk total asupan kalsium 1500 mg per hari) tidak memberikan pengaruh
terhadap tekanan darah pada laki-laki. Dengan demikian, peran suplementasi kalsium
untuk mencegah hipertensi tidak terbukti. Namun, JNC VI merekomendasikan
peningkatan asupan kalium, magnesium dan kalsium untuk pencegahan dan
pengelolaan hipertensi.

Asupan kalsium yang direkomendasikan sebesar 1000

sampai 2000 mg par hari.


2.1.5 Patogenesis
Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (control jangka pendek) dan
ginjal (kontrol jangka panjang). Mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi
melibatkan perubahan perubahan pada curah jantung dan resistensi vaskular perifer. Pada tahap
awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini
disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Saraf simpatik mengeluarkan norepinefrin, sebuah
vasokonstriktor yang mempengaruhi pembuluh arteri dan arteriol sehingga resistensi perifer
meningkat.
Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan perifer
meningkat yang disebabkan oleh refleks autoregulasi. Yang dimaksud dengan reflex autoregulasi
adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal. Oleh
karena curah jantung yang meningkat terjadi konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peninggian tahanan perifer. Pada stadium awal sebagian besar
pasien hipertensi menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan
kenaikan tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.
2.1.6 Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi
esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda7

beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah
terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Perjalanan
penyakit hipertensi sangat berlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala
selama bertahun tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi
kerusakan organ yang bermakna. Terdapat gejala biasanya hanya bersifat spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tungkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi
tidak diketahui dan dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark
miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat
menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.
2.1.7 Penatalaksanaan hipertensi
a. Penatalaksanaan farmakologis
a. Diuretic. Obat golongan ini bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh melalui
urin. Dengan begitu kerja jantung menjadi lebih ringan. Contoh diuretic adalah
hidroklortiazid (HCT) dan furosemide.
b. Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE). Obat golongan ini akan
melebarkan pembuluh darah sehingga kerja jantung lebih mudah dan effisien.
Contohnya adalah captopril, dan lisinopril.
c. Antagonis reseptor angiotensin II. Bekerja dengan cara yang sama dengan
penghambat ACE. Contohnya, losartan dan irbesartan.
d. Beta bloker. Bekerja dengan cara mengurangi detak jantung sehingga tekanan
darah menjadi turun. Contohnya propanolol.
e. Antagonis kalsium. Bekerja dengan cara mengurangi daya pompa jantung dengan
menghambat kontraksi jantung. Contohnya nifedipin.

b. Penatalaksanaan non farmakologis


8

Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap penatalaksanaan


farmakologis, selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu terapi dietetik dan merubah gaya
hidup. Tujuan dari penatalaksanaan diet:
Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan mempertahankan tekanan
darah menuju normal.
Mampu menurunkan tekanan darah secara multifaktoral
Menurunkan faktor resiko lain seperti BB berlebih, tingginya kadar asam lemak,
kolesterol dalam darah.
Mendukung pengobatan penyakit penyerta seperti penyakit ginjal, dan DM.
Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :
Makanan beraneka ragam dan gizi seimbang
Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi penderita
Jumlah garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis makanan dalam daftar
diet
Konsumsi garam dapur tidak lebih dari - sendok teh/hr atau dapat menggunakan
garam lain diluar natrium.
Preventif
Resiko seseorang untuk mendapatkan hipertensi dapat dikurangi dengan cara :
o Memeriksa tekanan darah secara teratur
o Menjaga berat badan dalam rentang normal
o Mengatur pola makan, antara lain dengan mengkonsumsi makanan
berserat, rendah lemak dan mengurangi garam.
o
o
o
o
o

Hentikan kebiasaan merokok dan minuman beralkohol


Berolahraga secara teratur
Hidup secara teratur
Mengurangi stress dan emosi
Mengurangi makanan berlemak

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
9

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
2.2.2

Klasifikasi
Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus (ADA 2003)
a. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut) :

Proses imunologik

Idiopatik

b. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan sekresi insulin bersama resistensi
insulin).
c. Diabetes Melitus Tipe Lain

Defek genetik fungsi sel beta:

Kromosom 12, HNF-1 alfa ( dahulu MODY 3 )

Kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 )

Kromosom 20, HNF 4 alfa ( dahulu MODY 1 )

DNA mitokondria

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Pankreatitis

Trauma/pankreatektomi

Neoplasma
10

Cystik fibrosis

Hemochromatosis

Pankreatopati fibro kalkulus

Endokrinopati

Akromegali

Sindrom Cushing

Feokromositoma

Hipertiroidisme

Karena obat/zat kimia

Vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid tiazid,


dilantin, interferon alfa

Infeksi : Rubella kongenital, Cyto-MegaloViru (CMV)

Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, Huntington, Chorea,


Sindrom Prader Willi

d. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

2.2.3

Etiologi
Etiologi dari DM dapat tejadi karena berbagai aspek seperti disebabkan oleh munculnya

fenomena autoimunitas, yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi virus variola,
coxsackie B4, rubela ataupun paparan zat kimia yang bersifat sitotoksik nitrofenilurea atau
11

sianida dari singkong basi, hal ini yang terjadi pada DM type I. Pada DM type II terjadi kelainan
genetik pada kromosom 7, 12 & 20 yang menyebabkan insufisiensi enzim glukokinase dan
penurunan ekspresi gen hepatocyt nuclear factor 1 alpha dan 4 alpha yang dapat menghambat
sintesa proinsulin.
2.2.4 Patofisiologi
a. Diabetes Mellitus tipe I ( IDDM )
DM tipe I ( IDDM ) atau DM bergantung insulin, biasanya disebabkan oleh
munculnya fenomena autoimunitas, dimana telah terjadi molecular mimicry dari selsel beta pankreas (langerhans) yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi
virus variola, coxsackie B4, rubella ataupun paparan zat kimiawi yang bersifat
sitotoksik nitrofenilurea, atau sianida dari singkong basi. Mutasi yang tejadi pada
genom sel beta langerhans di pankreas akan menyebabkan terjadinya kelainan
ekspresi protein yang disandi oleh gen-gen yang terletak di kromosom 6 baik lengan
panjang maupun di sentromer. Pada lengan p atau panjang terdapat gen-gen yang
menyandi HLA A, B8 dan B18 serta Cw3 sedangkan pada sentromer disandi HLA
DR3 dan DR4. Pada IDDM terjadi defisiensi insulin yang berat, sehingga penderita
memerlukan terapi insulin untuk menghindari terjadinya ketoasidosis.
b. Diabetes Mellitus tipe II ( NIDDM )
Pada DM tipe II ( NIDDM ) atau DM tidak bergantung insulin, paling sedikit ada
dua kondisi patologis. Pertama, adanya penurunan kemampuan insulin untuk
berfungsi pada jaringan perifer untuk menstimulasi metabolisme glukosa dan
menghambat pengeluaran glukosa dari hati, suatu keadaan yang dinamakan resistensi
insulin. Obesitas menyebabkan resistensi insulin dan obesitas merupakan faktor
resiko utama terjadinya NIDDM. Kedua, ketidak mampuan kelenjar endokrin
dipankreas untuk mengkompensasi secara penuh penanganan resistensi insulin ini
(defisiensi insulin relatif ).
Pada DM tipe II didapat kelainan kromosomal 7, 12, 20, dimana kelainan
kromosomal 7 mengakibatkan terjadinya insufisiensi enzim glukokinase sehingga
terjadi hambatan pada proses stimulasi sel beta langerhans di pankreas. Kelainan
12

kromosom 12 dan 20 berdampak pada terjadinya penurunan ekspresi gen hepatocyt


nuclear faktor 1a dan 4a akan mengakibatkan terjadinya hambatan fosforilasi dan
kaskade kinase di sel langerhans yang akhirnya akan menghambat sintesa
proinsulin.

Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2


Tabel 1. Perbandingan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2
DM tipe 1

DM tipe 2

Nama Lama

DM Juvenil

DM dewasa

Umur (th)

Biasa < 40 (tapi tak Biasa > 40 (tapi tak selalu)


selalu)

Keadaan

Klinik

Berat

Ringan

saat diagnosis

2.2.5

Kadar Insulin

Tak ada Insulin

Berat Badan

Biasanya kurus

Pengobatan

Insulin, diet, olahraga

Insulin cukup atau tinggi


Biasanya gemuk/normal

Gejala Klinis
a. Gejala khas:

Poliuri
13

Diet,olahraga,tablet,Insulin

Polidipsi

Polifagi

Berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas

b. Gejala tidak khas

2.2.6

Kesemutan

Gatal di daerah genital

Keputihan

Infeksi sulit sembuh

Bisul yang hilang timbul

Penglihatan kabur

Cepat lelah

Mudah mengantuk , dll

Diagnosis
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT (toleransi
glukosa terganggu), dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu), sehingga kemudian
dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Peran aktif para pengelola kesehatan
sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan
sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada
kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:

kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)


kegemukan {BB (kg)> 110% BB idaman atau IMT > 23 (kg/m2)}
tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
riwayat keluarga DM
riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
riwayat DM pada kehamilan
dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl).
14

pernah TGT atau GDPT

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) standar (lihat skema langkah-langkah diagnostik DM)
(Supartondo, 1998; Soegondo, S ,dkk, 2004).
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang
berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3
tahun.
Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini
risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT sering
berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)
Bukan DM
Kadar glukosa darah

<

Belum pasti DM

110 110

DM

199 200

sewaktu(mg/dl)
Plasma vena

< 90

90 199

darah kapiler

15

200

Kadar glukosa darah

<

110 110

125 126

puasa(mg/dl)
Plasma vena
darah kapiler
2.2.7

< 90

90 109

110

Langkah-langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat

ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis
DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur
dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan > 200 mg/dl.
Cara Pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) :

(tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan
jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa


16

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1, 75 gram/kgBB (anak-anak),


dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus* dan gangguan toeransi glukosa :


a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl. Puasa berarti tidak ada
masukan kalori sejak 10 jam terakhir atau,
c. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO**
*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar
glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik
yang sama.

2.2.8

Tata Laksana
Ada empat cara pengelolaan DM :
a. Edukasi
b. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :

Karbohidrat sebanyak

60 70 %

Protein sebanyak

10 15 %
17

Lemak sebanyak

20 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan
kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai
rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan:

Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal

Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal

Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal

Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal
yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah
untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi
(gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai
dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam
beberapa porsi yaitu :

Makanan pagi sebanyak

20%

Makanan siang sebanyak

30%

Makanan sore sebanyak

25%

2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya

c. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
18

Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga
sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.

d. Intervensi farmakologis
a) Obat Hipoglikemik

Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

Menurunkan ambang sekresi insulin.

Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.


Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal

dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan
orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga
gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi
hati atau ginjal.

Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat
tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih
(imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea

Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :

Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM)


dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
19

DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan


diet (perencanaan makanan).
DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif

maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan
dinaikkan perlahan lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila
sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak
tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi
sulfonylurea dan insulin.

2.2.9

Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan untuk
menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus
diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu memasukkan
upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan.
Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya
kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak
terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan .

b. Pencegahan Sekunder

20

Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat


timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut
memerlukan biaya besar. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal berarti mengelola
DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut DM.
Dalam mengelola pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat
mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan mengenai DM
dan pengelolaannya memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien
berobat.
c. Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola
harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien
sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Sebagai contoh aspirin dosis
rendah (80 - 325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang
sudah mempunyai penyulit makro-angiopati.

2.2.10 Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan menahun.
a. Komplikasi akut :

ketoasidosis diabetik

hiperosmolar non ketotik

hipoglikemia

b. Komplikasi menahun

Makroangiopati atau makrovaskular

Pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)


21

Pembuluh darah tepi ( gangren perifer )

Pembuluh darah otak (stroke)

Mikroangiopati atau mikrovaskular

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati Diabetik

Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran
kemih

Gangren diabetik atau kaki diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)

2.2.11 Kriteria Pengendalian DM


Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik. DM terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus
secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid dan HbA1C seperti
tercantum pada tabel 3.
Untuk pasien berumur > 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari pada
biasa (puasa < 150 mg/dl dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan
darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang.
Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk
mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.
Tabel 3. Kriteria Pengendalian DM
Baik
Glukosa

darah

puasa 80 109

Sedang

Buruk

110 139

>140

(mg/dl)
22

Glukosa

darah

jam 110 159

160 199

>200

(mg/dl)
Hb A1c (%)

4 - 5,9

68

>8

Kolesterol total (mg/dl)

< 200

200 239

>240

(mg/dl) < 130

130 159

>160

Dengan PJK

< 100

100 129

>130

Kolesterol HDL (mg/dl)

> 45

35 45

< 35

200 249

>250

>200

Kolesterol

LDL

tanpa PJK

Trigliserida (mg/dl) tanpa < 200


PJK
Dengan PJK

< 150

150 199

BMI = IMT

18,5 - 22,9

23 25

>

25

atau

< 18,5

wanita
Pria

20 - 24,9

25 27

> 27 atau < 20

Tekanan darah (mmHg)

< 140/90

140 160

> 160/95

/ 90 95

BAB III

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Portofolio BPH
    Portofolio BPH
    Dokumen7 halaman
    Portofolio BPH
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Ambliopia
    Ambliopia
    Dokumen21 halaman
    Ambliopia
    Aulia Silkapianis
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar, Daftar Isi&Gambar
    Kata Pengantar, Daftar Isi&Gambar
    Dokumen5 halaman
    Kata Pengantar, Daftar Isi&Gambar
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Fix
    Kata Pengantar Fix
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Fix
    HasraMukhlisan
    Belum ada peringkat
  • Neuro Solok
    Neuro Solok
    Dokumen3 halaman
    Neuro Solok
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • JWBN Quiz
    JWBN Quiz
    Dokumen1 halaman
    JWBN Quiz
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Tugas Neuro Solok
    Tugas Neuro Solok
    Dokumen3 halaman
    Tugas Neuro Solok
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Case Neuro Abses Serebri
    Case Neuro Abses Serebri
    Dokumen20 halaman
    Case Neuro Abses Serebri
    Ferdy Moreza
    Belum ada peringkat
  • Syndrom Brown Sequard
    Syndrom Brown Sequard
    Dokumen20 halaman
    Syndrom Brown Sequard
    Agri Febria Sari
    Belum ada peringkat
  • Ensefalitis
    Ensefalitis
    Dokumen7 halaman
    Ensefalitis
    Ferdy Moreza
    Belum ada peringkat
  • Case Jumnahar - 229869 (Chordoma)
    Case Jumnahar - 229869 (Chordoma)
    Dokumen13 halaman
    Case Jumnahar - 229869 (Chordoma)
    vorez
    Belum ada peringkat
  • Case Demensia Puput
    Case Demensia Puput
    Dokumen19 halaman
    Case Demensia Puput
    Yashinta Octavian
    Belum ada peringkat
  • Buku Haram
    Buku Haram
    Dokumen5 halaman
    Buku Haram
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Teori Khordoma
    Teori Khordoma
    Dokumen3 halaman
    Teori Khordoma
    Suri Putri
    Belum ada peringkat
  • Cover Neuro
    Cover Neuro
    Dokumen2 halaman
    Cover Neuro
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Case Report Session Stroke Adik OK
    Case Report Session Stroke Adik OK
    Dokumen21 halaman
    Case Report Session Stroke Adik OK
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Slaid Case
    Slaid Case
    Dokumen40 halaman
    Slaid Case
    Nurdalila Zaba
    Belum ada peringkat
  • Epilepsi Oke 1
    Epilepsi Oke 1
    Dokumen9 halaman
    Epilepsi Oke 1
    Agri Febria Sari
    Belum ada peringkat
  • Meningitis PP
    Meningitis PP
    Dokumen44 halaman
    Meningitis PP
    Justin Darren Raj
    Belum ada peringkat
  • Case Report Session
    Case Report Session
    Dokumen1 halaman
    Case Report Session
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen7 halaman
    Bab Ii
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Anonymous j0uPPI
    Belum ada peringkat
  • Syndrom Brown Sequard
    Syndrom Brown Sequard
    Dokumen20 halaman
    Syndrom Brown Sequard
    Agri Febria Sari
    Belum ada peringkat
  • MTE Selulitis
    MTE Selulitis
    Dokumen11 halaman
    MTE Selulitis
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Meet The Expert
    Meet The Expert
    Dokumen34 halaman
    Meet The Expert
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Case Report Session
    Case Report Session
    Dokumen1 halaman
    Case Report Session
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Brown Sequard
    Brown Sequard
    Dokumen37 halaman
    Brown Sequard
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Brown Sequard
    Brown Sequard
    Dokumen37 halaman
    Brown Sequard
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan
    Penatalaksanaan
    Dokumen5 halaman
    Penatalaksanaan
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat
  • Etiologi Dan Faktor Risiko Selulitis
    Etiologi Dan Faktor Risiko Selulitis
    Dokumen7 halaman
    Etiologi Dan Faktor Risiko Selulitis
    Rachmat Saleh Eka Putra
    Belum ada peringkat