Anda di halaman 1dari 3

FISIOLOGI DEFEKASI

Menurut Pearce (2002) proses dari defekasi yaitu :


a. Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada
sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh
pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa.
Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi
haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu
8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke
kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan
menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
b. Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai
timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon
transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih
hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan
berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu
untuk menuruni kolon.
c. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama
kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit
berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih
jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap
hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari
lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong
massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi.
Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter
yang lemah 20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum
serta sudut tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi
pergerakan massa ke rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan
timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah
oleh

konstriksi

tonik

dari

1) sfingter

ani

interni;

2)sfingter

ani

eksternus (Sherwood, 2001).


Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal
aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang
peristaltic dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah

anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi
oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam
keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter
melemas sewaktu rectum teregang. Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter
ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat dicapai dengan secara volunter
melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot abdomen
(mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang
dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap
berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen
(Guyton, 2007).
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks
defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis
(segmen sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang,
sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke
kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis
nervous pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang
peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks
defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat (Arthur, 2006).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2006) dalam proses defekasi terjadi dua
refleks yaitu :
a.

Refleks Defekasi Instrinsik


Refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui
pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses
kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter anal
interna tidak menutup dan bila sfingter eksternal tenang maka feses keluar.

b.

Refleks Defekasi Parasimpatis


Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid
dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang
peristaltik, melemaskan sfingter anus internal dan meningkatkan refleks
defekasi instrinsik. Sfingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang

akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator


ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus.
Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan
tekanan didalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah
kearah rektum.

Guyton, Hall. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Ed 9. Jakarta : EGC


Kozier, B., Erb. G., Berman A.,Synder S., (2004). Fundamental of Nursing :
Concept, Process, and Practice, 7 th, New Jersey.
Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai