Anda di halaman 1dari 17

SINDROMA HEPATORENAL

Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diketahui bahwa sindroma
hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati dengan
ascites. Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang
diketahui sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut.
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan
fungsi tanpa ditandai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal
tersebut ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati,
maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami
SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal.
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan
perubahan sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang
berperan dalam terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alsan ini SHR merupakan
kumpulan patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungan antara sirkulasi
sistemik dan fungsi ginjal serta pengaruh factor vasokonstriktor dan vasodilator
pada sirkulasi ginjal.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang
masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis dengan
asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang nyata
pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis
fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal
fungtional rernal failure. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak
berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma ini
merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan asites. Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati
bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria dan ekskresi
NA+ yang rendah.
Defenisi
Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh International Ascites
Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik
dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system
vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju

filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi arteriol
yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.
Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan
sirosis lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau
penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut.
Insiden
Dagher dkk melaporkan insiden SHR terjadi kira-kira 4% pada penderita
sirosis hati dekompensata yang dirawat, dan kemungkinan mencapai 18% pada
tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima. Gines dkk
melaporkan insiden SHR pada penderita sirosis hati dengan ascites yang dirawat
mencapai 10% kasus.
Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang
reversible dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata
pada penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi
termasuk arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru
ultrasonografi Doppler.
Pemakaian beberapa teknik ini mendapatkan beberapa perubahan dalam
perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites, dan
SHR adalah akhir dari spectrum ini. Penyebab utama dari vasokonstriksi ginjal ini
belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor antara
lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,
peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam
sirkulasi di ginjal (Tabel 1).
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan
pengisian sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik.
Pengurangan pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan
vasokonstriktor (seperti renin angiotension dan system saraf simpatis).
Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secara potensial berperan dalam pengaturan
perfusi ke ginjal pada pendeerita sindroma hepatorenal.
---------------------------------------------------------------------------------------------------Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine

Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Kallikrein kinin system
Vaktor Vasokonstriktor
Sistem renin angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari system
utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal berperan sebagai
mediator utama vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal. Aktifitas dari
system vasokonstruksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascites,
terutama penderita dengan sindroma hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretic atau
vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar, walaupun
sering timbul hiponatremia.
Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endothelin adalah
substansi vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kemungkinan
karena penambahan produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi splandik
yang hubungannya dengan vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dkk
melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal
setelah pemberian antagonis spesifik reseptor endhothelin A. Beberapa penelitian
melaporkan peningkatan produksi cysteinyl leukotrienes sebagai vasokonstriksi
ginjal yang kuat pada penderita SHR.
Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin,F2 isoprostanes dapat juga
sebagai factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR,
tapi mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin
dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan
SHR timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena
peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran
endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan
perdebatan.
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada
binatang memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal
memainkan peran yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan
melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs

membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan
kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya. Bukti yang paling kuat
menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis
dengan ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal.
Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis
hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR
pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit
efek pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau
sedikit atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor.
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit
oksida dan PGs dihambat secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan
ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin
mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretic peptide.
Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di
urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional, selanjutnya ditemukan hubungan
yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin,CNP ini berperan
dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktifitas
vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi
ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari mekanisme vasokonstriktor
ginjal.
Sistem saraf simpatis
Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin
di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi
pada arteiol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
Patogenesia
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang
timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal
berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang
berhubungan dengan gangguan system hemodinamik. Teori ini berdasarkan
hubungan langsung hati ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang berbeda
yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan
penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang

dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang


diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori
kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan
patogenetik dalam system hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari
pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa
kekurangan pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang
bukan sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar
yang luar biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan
aktifasi yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor
(Gambar1), yang mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada
sirkulasi ginjal tetapi juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas
dari efek vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena
adanya rangsangan vasodilator local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi
ginjal menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal
vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, penurunan
aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau
keduanya.
Sirosis hati
Vasodilatasi arteri splanik
Arterial underfilling
Sintesa factor vasodilator
intra renal

Baroreseptor Aktifitas
factor vasokonstriktor
sistemik

Vasokonstriksi renal
SHR
Gambar 1 : Patogenesa sindroma hepatorenal.

Sintesa factor
vasokonstriktor
intra renal

Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan
atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang
menimbulkan ascites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh
ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri
anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri
yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh
darah sistemik (Tabel 2). Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga
dengan analisa urin dalam keadaan normal 10.
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea
nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan
kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa
hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif jumlah urin,
Tabel 2. Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindroma
hepatorenal.
---------------------------------------------------------------------------------------------------Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktifasi system vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic shunting
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi
retensi natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi
klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan
hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira
setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang
diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat
yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi

bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis


(SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira
35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I.
SHR Tipe I adalah komplikasi dengan prognostic yang sangat buruk pada
penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata wktu harapan hidup
penderita ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup disbanding
dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi
glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak
seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretic.
Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR
tipe I.
Diagnosis 3,4,6
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang
dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic
Criteria of Hepatorenal Syndrome (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites Club
---------------------------------------------------------------------------------------------------1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr
dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR,


sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR.
Beberapa paktor predictor untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan
ascites dapat dilihat pada table 4.
Tabel 4. factor predictor timbulnya SHR pada sirosis dengan ascites
---------------------------------------------------------------------------------------------------Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
Ekskresi natrium urin yang rendah
Hipotensi arterial
Aktifitas plasma rennin meninggi
Kadar norepinefrin plasma tinggi
Refrakter ascites
Tidak ada hepatomegali
Peningkatan vascular resistive index ginjal
Penatalaksanaan
Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada
penderita sirosis dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal
pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah
besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian
antibiotic untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi
untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa
modalitas terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali.
Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada
penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal.
Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi
renal.
Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan
vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamine selama 24 jam hanya
menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan
yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endhothelin
spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan
SHR.

Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan
pengurangan pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dalam
usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik
dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera
(norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan
SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri
dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada
penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat,
hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah
ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi
sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada
sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi
pemberian vasokonstriktor (ornipressin, norepenephrine) dan vasodilator ginjal
(dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi
ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki
fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis
dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat
menormalkan aktifitas yang berlebihan dari renin angiotensin dan system saraf
simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki
sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan
fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada
beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk
memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20
hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan
glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan
transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati.
Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lau
di dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt
menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac
output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas
system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus
memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang
menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan
terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan
penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nenbedah
dari kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien
yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan
obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis
hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati.
Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada
penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan
penelitian kontrol untuk dapat merokomendasikan.
Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan
TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan
system saraf simpatis.
Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat
meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang
mengevaluasi efektifitas dari sialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian
tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup
tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.
Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.
Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai
mengalami perbaikan.

Pertimbangan Bedah
Reseksi Whipple terdiri dari pancreaticoduodenectomy diikuti oleh
anastamosis dari pankreas, hati dan lambung menuju jejunum. Beberapa pasien
dengan potensi tidak dapat dilakukan reseksi akan menjalani laparoskopi
bertingkat sebelum laparotomi. Jika difus karsinomatosis ditemukan, maka operasi
dapat dihentikan.
Jika tumor dianggap dapat direseksi maka prosedur akan dilanjutkan sebagai
berikut :
Mobilisasi caput pancreas
Kandung empedu dihapus
Pancreas disambungkan
Gaster disambungkan ke proksimal Pilorus
Setelah Jejunum disambungkan, spesimen dihapus dan anastamose ganda
dapat berjalan.

Caput pancreas dan duodenum dipasok oleh arteri mesenterika superior


dengan drainase vena dari vena mesenterika superior dan vena porta. Ini
memerlukan mobilisasi dan transeksi dari ketiga pembuluh (A.Mesenterika
Superior, V.Mesenterika Superior, dan V.Porta) seperti gambar dibawah (Reber,
2011). Dalam beberapa kasus tumor mungkin patuh terhadap V.Mesenterika
Superior atau V.Porta di mana kasus ini melibatkan segmen vena yang perlu untuk
direseksi dan diperbaiki. Ekor dari pankreas dan limpa dipasok oleh A.Sple,
cabang dari truncus Choleacus, dan untuk itu harus tetap hidup setelah operasi.

** Waktu operasi dapat sesingkat 80 menit jika hanya laparoskopi yang dilakukan
dan reseksi dibatalkan. Prosedur Whipple yang sebenarnya dapat menghabiskan
waktu 4-5 jam, atau hingga 8 jam jika jaringan terlalu gembur dan anastomose sulit
untuk diwujudkan **

Reseksi Whipple umumnya dilakukan untuk karsinoma pankreas dengan


kelangsungan hidup untuk 5-year survival pasca operasi hanya 15-25%, sedangkan
tanpa pengobatan 5-year survival mengecil hingga 1-5%. Kematian di rumah sakit
setelah prosedur dipengaruhi oleh volume pusat pembedahan ketika dilakukan
operasi; dengan volume pusat terendah ( 2/tahun) dalam rerata kematian di rumah
sakit mulai dari 12 - 16% dibandingkan dengan 4% pada volume pusat tertinggi (
5/tahun) (Birkmeyer et al., 1999). Di Stanford, ada tiga ahli bedah yang melakukan
prosedur Whipple : Dr. Norton, Dr. Visser, dan Dr. Poultsides yang bersama-sama
melakukan ~80 prosedur Whipple per tahun sehingga membuat Stanford sebagai
pusat volume paling tinggi.
Dalam satu prospektif case-control study (Bttger et Junginger, 1999)
prevalensi komplikasi setelah prosedur Whipple adalah 25 % untuk komplikasi
bedah (kebocoran anastomotic, fistula pankreas, pengumpulan cairan intraabdominal, infeksi luka) dan 18,5% untuk komplikasi lain (pneumonia, kompromi
pernapasan yang memerlukan re-intubasi, PE, AMI). Studi ini juga
mengidentifikasi komplikasi utama pasca operasi sebagai prediktor penting dalam
surgical mortality. Dalam studi terbaru yang berlainan, 216 pasien yang menjalani
komplikasi pancreaticoduodenectomy diamati pada 33% pasien dengan komplikasi
yang paling umum adalah kebocoran pankreas dan pengumpulan cairan abdominal
(Fathy et al., 2008). Tambahan dengan jenis anastamosis yang dilakukan, tranfusi
intra-operasi dari 4 unit darah atau lebih adalah prediktor independen dari
komplikasi pasca operasi.
Mengingat keseluruhan tingginya prevalensi dari komplikasi setelah reseksi
Whipple, kita memiliki peran penting dalam manajemen intra-operasi dan mitigasi
dari faktor risiko seperti yang akan dijelaskan berikutnya.
Penilaian Pre-operasi
Pasien diharapkan untuk mengikuti NPO guidelines secara umum. Dalam
persiapan usus pada umumnya kadang terlewatkan dalam pembedahan perut
sekunder tentang dehidrasi dan pergeseran elektrolit .
Manajemen Anesthesi Intra-operasi
Rapid Sequence Induction dapat diindikasikan jika pasien menunjukkan
tanda obstruksi usus atau ileus sehingga menempatkan mereka pada risiko aspirasi.
Sejarah klinis menyeluruh akan membantu pengambilan keputusan sebelum
induksi. Pemeliharaan anesthesi akan tergantung pada apakah epidural telah
ditempatkan sebelum operasi atau tidak.

Pemantauan Intra-operasi
Lama pembedahan, potensi kehilangan darah, pergeseran cairan, dan
kemungkinan penggunaan epidural akan mengakibatkan pemasangan arterial line
secara rutin pada prosedur ini. Rencanakan untuk menempatkan dua jalur infus
besar intravena untuk resusitasi cairan dan pengiriman produk darah. Penggunaan
TEE intra-operasi menjadi lebih umum didalam GOR. Pemeriksaan jantung praoperasi harus dilakukan pada semua pasien kecuali didapatkan CAD, kelainan
katup atau disfungsi sistolik yang dapat mengakibatkan TEE intra-operasi.
Cairan dan Transfusi
Reseksi Whipple merupakan prosedur pembedahan yang panjang dan luas,
dan untuk itu kehilangan cairan dalam jumlah besar dapat diperkirakan. Karena
pentingnya resusitasi cairan intra-operasi, ada beberapa bukti bahwa pemberian
cairan secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas pasca operasi
(pemulihan fungsi usus tertunda, peningkatan kerusakan anastamotic) dan
pemanjangan waktu tinggal di rumah sakit.
Kehilangan darah dapat menjadi signifikan dan jenis serta uji test silang
sekurang-kurangnya 2 unit harus diperoleh sebelum operasi.
Manajemen Nyeri
Kurang lebih 90% pasien dengan kanker periampula mengeluhkan nyeri
berat dan ini adalah indikasi yang paling umum untuk reseksi bedah. Tingginya
prevalensi dari nyeri kanker kronis pra operasi dalam populasi ini membuat
pentingnya manajemen nyeri perioperatif sekaligus menyajikan tantangan yang
unik.
Reseksi Whipple dilakukan melalui garis tengah perut atau sayatan Chevron
(lihat Gambar) dengan skor nyeri rata-rata 7-9/10. Umumnya, nyeri telah dikelola
dengan penempatan Epidural Thorakal pra operasi; namun, ada perdebatan tentang
kemanjuran dan keefektifan biaya strategi ini. Manfaat analgesia epidural termasuk
peningkatan penekanan respon stres pembedahan, kehilangan darah lebih rendah
dan pemulihan awal fungsi usus. Beberapa studi telah berusaha untuk
mengatasi strategi manajemen nyeri yang paling efektif setelah dilakukan reseksi
Whipple (dan operasi perut besar lainnya).

Secara keseluruhan, strategi manajemen nyeri yang paling efektif untuk


reseksi Whipple dan pembedahan perut lainnya tetap bisa diperdebatkan. Hal ini
jelas, bagaimanapun, bahwa fungsi epidural menyediakan pereda nyeri unggul
pada periode segera pasca operasi. Pengalaman dokter Anesthesi, faktor pasien dan
preferensi ahli bedah memiliki peran penting dalam keputusan untuk menempatkan
epidural preoperatif.

Kepustakaan
1. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
2000;6 (3) http://hepatology.aasldjournals.org/scripts/om.dll/serve?article.htm
2. Platt JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography: A
Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure in Liver
Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
3. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol 1999;10:1833-9
4. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
5. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology
1996;23:164-76 2003 Digitized by USU digital library 9
6. Mccormick P.A. Improving Prognosis in Hepatorenal Syndrome.Gut 2000;47:
164-7
7. Rivolta R,Maggi A, Cazzaniga M et al. Reduction of Renal Cortical Blood Flow
Assessed by Doppler in cirrhotic Patients with Refractory Ascites. Hepatology
1998;28:1235-40
8. Gulberg V, Moller S, Gerbes Al,Henriksen JH. Increased Renal production of
Natriuretic Peptide (CNP) in Patients with Cirrhosis and Funtional Renal Failure.
Gut 2000;47:852-7
9. Gines P,Esparrach GF, Arroyo V,. Ascites and Renal Funtionabnormalities in
Cirrhosis. Pathogenesis and Treatment. Bosch J (ed) Clinical Gastroenterology
Portal Hypertension,Vol.2, Baillere Tindal London. 1997:365-81
10. Sherlock S, Dooley J. Funtional Renal Failure,In: Disease of The Liver and
Biliary System (9th ed).
11. Brensing KA, Textor J, Perz et al. Long Term outcome After Transjugular
Intrahepatic Portosystemic with Hepotorenal Syndrome : A Phase II Study. Gut
2000;47:288-95
12. Girgrah N, Liu P, Collier J, Blendins L.Wong F. Haemodinamic, Renal Sodium
Handling, and Neurohumoral Effects Of Acute Administration of Low Dose
Losartan, An Angiotension D Receptor Antagonost, In Preascitic Cirrhosis. Gut
2000;46:114-20
13. Evrard P, Ruedin P, Installe E, Suter MP.Low-Dose Ornipressin Improves
Renal Function in The Hepatorenal Syndrome. Critical Care Medicine
1994;22:363-7
14. Gulberg V, Blizer M, Gerbers A.Long Term Therapy and Retreatment of
Hepatorenal Syndrome Type1 with Ornipressin and Dopamine. Hepatology
1999;30:870-5
15. Guevara M,Gines P,Salmeron JM et al. Reversibility of Hepatorenal syndrome
by Prolonged Administration of Ornipressin and Plasma Volume Expansion.
Hepatology 1998;27:35-41.

16. Angeli P,Volpin R, Gerunda G et al. Reversal of Type I Hepatorenal Syndrome


With The Administration of Midodrine and Ocreotide. Hepatology 1999;29:1690-7
17. Guevara M,Gines P,Bandi JC et al. Transgular Intrahepatic Portosystemic
Shunt in Hepatorenal Syndrome : Effect on Renal Function and Vasoactive
Systems. Hepatology 1998;28:416-22
18. Keller F,Wagner K,Lenz T et al. Hemodialysis in Hepatorenal Syndrome :
Report in Two cases. Gut 1985;26:208-211.(abstract)
19. Krige JEJ,Beckingham IJ.ABC of diseases og liver,pancreas and billiary
system portal hipertension-2.Ascites,encephalopathy, and other conditions.BMJ
2001;322:416-8
20. Gines P,Arroyo V,Rodes J. Renal Complications in : Schiff RE,Sorrel MF,
Maddrey WC (Ed).Schiffs Disease of the Liver,Lippicott Williams & Wilkins (8th
ed),Vol.1 1999:453-64.
21. Birkmeyer, JD, Finlayson, SR, Tosteson, AN, Sharp, SM, Warshaw, AL,Fisher,
ES, 1999. Effect of hospital volume on in-hospital mortality with
pancreaticoduodenectomy. Surgery. 125, 250-256.
22. Bttger, TC,Junginger, T, 1999. Factors Influencing Morbidity and Mortality
after Pancreaticoduodenectomy: Critical Analysis of 221 Resections. World Journal
of Surgery. 23, 164-172.
23. Fathy, O, Wahab, MA, Elghwalby, N, Sultan, A, G, EL-E, Hak, NG, Abu Zeid,
M, Abd-Allah, T, El-Shobary, M, Fouad, A, Kandeel, T, Abo Elenien, A, Abd ElRaouf, A, Hamdy, E, Sultan, AM,Ezzat, F, 2008. 216 cases of
pancreaticoduodenectomy: risk factors for postoperative complications.
Hepatogastroenterology. 55, 1093-1098.
24. Marandola, M, Cilli, T, Alessandri, F, Tellan, G, Caronna, R, Chirletti,
P,Delogu, G, 2008. Perioperative Management in Patients Undergoing Pancreatic
Surgery: The Anesthesiologist's Point of View. Transplantation Proceedings. 40,
1195-1199.
25. Park, WY, Thompson, JS,Lee, KK, 2001. Effect of epidural anesthesia and
analgesia on perioperative outcome: a randomized, controlled Veterans Affairs
cooperative study. Ann Surg. 234, 560-569; discussion 569-571.
26. Pratt, WB, Steinbrook, RA, Maithel, SK, Vanounou, T, Callery, MP,Vollmer,
CM, 2008. Epidural Analgesia for Pancreatoduodenectomy: A Critical Appraisal.
Journal of Gastrointestinal Surgery. 12, 1207-1220.
27. Reber HA. Pancreaticoduodenectomy (Whipple procedure): Techniques.
UpToDate. 2011; Topic 5661. Version 7.0.
28. Yeager, MP, Glass, DD, Neff, RK,Brinck-Johnsen, T, 1987. Epidural anesthesia
and analgesia in high-risk surgical patients. Anesthesiology. 66, 729-736.

Anda mungkin juga menyukai