OLEH :
NANDA FITRI NURBAETI
(H1A 008 031)
PEMBIMBING :
2014BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah akut masih terus menjadi masalah kesehatan yang utama meskipun
kemajuan dalam identifikasi baik agen-agen penyebab baru ataupun lama sangat pesat, dan
kemampuan obat-obat antimikroba telah banyak ditingkatkan. Selain itu masih banyak terdapat
kontroversi berkenaan dengan pendekatan diagnostik dan pilihan pengobatan. ISNBA dapat dijumpai
dalam berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia adalah proses infeksi
akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Juga bisa didefinisikan peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Dan
menimbulkan angka kesakitan yang tinggi, dengan gejala-gejala batuk, demam, dan sesak nafas.
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 230%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5%
pada usia sekolah menengah pertama. Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi
proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling.5,6
Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat
mencegah terjadinya remodelling.
Anemia defisiensi besi merupakan bentuk anemia paling sering ditemukan di dunia, terutama di
negara berkembang. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin, zat besi juga terdapat dalam beberapa
enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses
katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Kekurangan besi mempunyai dampak yang
2
merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan
konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas kerja.
Anemia jenis ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi pada bayi dan
anak. Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga koreksi terhadap
penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA
2.1. Definisi
Definisi Asma yang lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme
terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronis di
saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T.
Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan definisi yang praktis dalam bentuk definisi
operasional, yaitu wheezzing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara
episodik dan/atau kronik, cenderung malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus
diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan. 1
2.2. Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya
penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para
ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: 1,2
1. Jenis kelamin
Menurut beberapa penelitian, prevalensi asma pada anak laki-laki sampai sia 10 tahun adalah
1,5-2 kali lipat anak perempuan. Namun dari Amerika dilaporkan bahwa belakangan ini tidak
ada perbedaan prevalens asma antara anak laki-laki (51,1 per 1000) dengan perempuan (56,2
per 1000). Menurut laporan MMM (2001), prevalensi asma pada anak laki-laki lebih tinggi
daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5
pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki
dan perempuan pada usia 30 tahun.
2. Usia
Umunya, gejala seperti asma pertama kali timbul pada anak usia muda, yaitu pada beberapa
tahun pertama kehidupan, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. dari Melbourne
4
(Australia), dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi
pertama kali pada usia < 6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3
tahun.
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya asma.
Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan
terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rinitis
alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula dengan gejala asma persisten. Menurut
Buffum dan Settipane, anak dengan eksema dan uji kulit positif menderita asma berat. Terdapat
juga laporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama
kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi, daripada anak yang tidak pernah mengalami
mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitisasi alergi inhalan,
susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.
4. Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma. Alergen yang
sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau
debu rumah, jamur, dan kecoa.
5. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian serangan
asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. Pada tahun 1993-1994, rata-rata
prevalens adalah 57,8 per 1000 populasi kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih,
sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per 1000. Tingginya prevalens tersebut tidak dipengaruhi
oleh pendapatan maupun pendidikan.
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak
terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan,
umunya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya resiko.
Pada anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak
masuk sekolah, dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak
terpajan.
7. Outdoor pollution
5
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon monoksida, atau
SO2, diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan
bukti yang disepakati. Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan bahwa lingkungan pertanian
dan peternakan memberikan efek proteksi bagi penyakit asma. Pada anak-anak yang cepat
terpajan dengan lingkungan tersebut, kejadian asma rendah. Prevalens asma lebih rendah pada
anak yang ditahun pertama usianya kontak dengan kandang binatang dan pemerahan susu.
Secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri
dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang jumlah
banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak terangsang melalui jejak Th1,
yang disebut sebagai hygiene hypothesis.
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk asma)
dengan infeksi respiratorik. Penelitian di jerman medapatkan adanya penurunan prevalens asma
sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami rinitis. Penelitian di
Higlands menunjukkan menunjukkan bahwa kelompok anak yang sering terserang respiratorik
mempunyai prevalens anak yang rendah. Sebenarnya hubungan antara infeksi respiratorik
dengan prevalens asma masih merupakan kontroversi. Namun hal ini tidak berlaku pada infeksi
respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan
bawah. Infeksi RSV merupakan faktor resiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6
tahun. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus berulang yang tidak
menyebabkan infeksi respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma.
Ikatan antara sel dan IgE, mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi
mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, heparin, serta mediator seperti
prostaglandin, leukotrin, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama dengan mediator yang sudah terbentuk
sebelumnya, mediator ini menginduksi kontrkasi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf
aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskular. 3
Reaksi fase lambat
ANTIGEN
Sel ThIL-12
Respon Th2
IL4
IL9
IL3
IL-3 IL5
IgE
Sel Mast
Basofil
Eosinofil
Gejala-gejala Asma
Hiperresponsifitas bronkus
Obstruksi jalan napas
Reaksi ini timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal. Meliputi pengarahan dan
aktivasi dari sel-sel eosinofi, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T
7
pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan beberapa mediator. Sel T pada saluran
respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam 2-4
jam pertama fase lambat akan terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator
proinflamasi, seperti IL-2, IL-5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini
terus-menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat. 1,2
Efek dari proses ini adalah terjadinya inflamasi alergi yang mengakibatkan remodeling saluran
napas. Proses remodeling saluran napas pada asma merupakan hal yang abnormal karena inflamasi
yang berlangsung kronik dan menyebabkan perubahan struktur atau fungsi pada saluran napas tersebut.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi
pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori
pasien asma memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. 1,2
2.5. Klasifikasi Asma
2.4.1 Asma saat tanpa serangan1,2
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi:
1) Asma episodik jarang
2) Asma episodik sering
3) Asma persisten
Tabel 2.1 . Klasifikasi derajat asma pada anak 1,2
3
4
5
6
Asma episodik
jarang
<1 kali/bulan
<1minggu
Asma
episodik Asma persisten
sering
>1 kali/bulan
Sering
>1minggu
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
periode
bebas
serangan
Intensitas serangan
Biasanya ringan Biasanya sedang
Biasanya berat
Diantara serangan
Tanpa gejala
Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktifitas
Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan
fisik Normal (tidak Mungkin
Tidak
pernah
diluar serangan
ditemukan
terganggu
normal
kelainan)
(ditemukan
kelainan)
8
7
8
9
Obat pengendali(anti
inflamasi)
Uji faal paru(diluar
serangan)
Variabilitas
faal
paru(bila
ada
serangan)
Tidak perlu
Perlu
Perlu
Keterangan :
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory
volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
2.4.2 Asma saat serangan 1,2,5
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Gejala
yang dimaksud adalah, sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala
tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan
PEF atau FEV. Derajat serangan asma berfariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa.
Perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam atau hari. Serangan akut biasanya timbul akibat
pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap mencerminkan
kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit. Penilaian derajat serangan asma dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi asma menurut derajat serangan. 1,2
Parameter
klinis, fungsi
faal paru,
laboratorium
Sesak
(breathless)
Posisi
Bicara
Kesadaran
Sianosis
Ringan
Berjalan
Bayi :
Menangis keras
Bisa berbaring
Sedang
Berbicara
Bayi :
-Tangis pendek
dan lemah
-Kesulitan
minum/makan
Lebih suka
duduk
Berat
Tanpa ancaman
Ancaman henti
henti napas
napas
Istirahat
Bayi :
Tidak mau
makan/minum
Duduk
bertopang
lengan
Kalimat
Penggal kalimat Kata-kata
Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
9
Wheezing
Sedang, sering
hanya pada
akhir ekspirasi
Penggunaan
otot bantu
respiratorik
Retraksi
Biasanya tidak
Frekuensi
napas
Takipnea
Dangkal,
retraksi
interkostal
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi
inspirasi
Biasanya ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
Sulit/tidak
terdengar
Ada
Sedang,
ditambah
retraksi
suprasternal
Takipnea
Dalam,
ditambah napas
cuping hidung
Gerakan
paradok torakoabdominal
Dangkal / hilang
Takipnea
Bradipnea
Tidak ada
<10 mmHg
Ada
10-20 mmHg
Ada
>20 mmHg
>60%
40-60%
<40%
>80%
60-80%
>95%
Normal,
biasanya tidak
perlu diperiksa
<45 mmHg
91-95%
>60 mmHg
<60%
Respon <2
jam
<90%
< 60 mmHg
<45 mmHg
>45 mmHg
Pemeriksaan penunjang
10
GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah
sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien atau orang tuanya sendiri dir umah. Terapi awal yang
diberika berupa inhalasi -agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian pasien dan
keluarganya diminta menilai respon unuk penentuan derajat serangan yang kemudian ditindak lanjuti
sesuai derajatnya. Namun di negara kita, pemberian terapi di rumah cukup riskan. Dengan alasan
tersebut, maka apabila setelah dilakukan inhalasi satu kali tidak memberikan respon yang baik
dianjurkan mencari pertolongan ke dokter. 1,2
memang masuk kategori serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung dengan agonis kombinasi antikolinergik. Oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal termasuk saat
nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks.
Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda henti napas, pasien harus langsung dirawat di
ruang rawat intensif, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi
pneumotoraks dan/atau penumomediastinum.
Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksgien sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah dilakukan nebulisasi di UGD 2 kali
namun responnya parsial, di ruangan lanjutkan dengan nebulisasi -agonis + antikolinergik tiap 2 jam.
Kemudian berikan steroid sistemik oral (metilprednisolon atau prednison) yang dilanjutkan 3-5 hari.
Jika 12 jam pasien membaik, pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang
dipulangkan dari UGD. Bila responnya tidak membaik, pasien di alih rawat ke ruang rawat inap dengan
tatalaksana serangan asma berat. 1,2
Tatalaksana di Ruang Rawat Inap1,2
Jika ada dehidrasi dan asidosis diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi
asidosisnya
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
Nebulisasi -agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6
jam pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6
jam.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid
serta aminofilin diganti peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali -agonis
(hirupan atau oral), diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan
hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Mukolitik
Pemberian mukolitik dapat diberikan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk
tidak optimal.
Antibiotik
Pemberiannya tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri,
melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotika dapat diberikan yaitu pada infeksi
respiratorik yang dicurigai karena bakteri atau dugaan sinusitis yang menyertai asma.
PNEUMONIA
2.1. Definisi
Pneunomia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar diakibatkan oleh
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh hal yang lain (aspirasi, radiasi, dll).4
2.2. Insidensi
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas
yang terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas/PK) atau di dalam rumahsakit (pneumonia
nosokomial/PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di parenkim
paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Di AS pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit
infeksi pada anak dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4
kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100
anak umur 9-15 tahun. UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit
pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak ditemukan pada daerah berkembang akan
tetapi di Negara majupun ditemukan kasus yang cukup signifikan. Berdasarkan umur, pneumonia dapat
14
menyerang siapa saja. Meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pada berbagai usia
penyebabnya cendrung berbeda-beda, dan dapat menjadi pedoman dalam memberikan terapi. 4
2.3 Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan
sering merupakan penyebab kematian hampir di seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan
kematian 10 kali lebih banyak dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan penyebab
kematian urutan ke 15. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan
(morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%,
dan Balita 15,5%. Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun
pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relative terhadap mikroorganisme petogen paru
bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat, panti
perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu factor iklim dan letak geografik mempengaruhi peningkatan
frekuensi infeksi penyakit ini. 4
2.4 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur,
protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia bakterialis
adalah bakteri positif-gram, Streptococcus pneumonia yang menyebabkan pneumonia streptokokus.
Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus aeruginosa. Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus,
misalnya influenza. Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan akut yang berat yang disebabkan
oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu lobus paru yang terkena. Ada
bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia yang
penyebabnya sering haemophylus influenza dan pneumococcus. 4
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia 4
Usia
Lahir 20 hari
Listeria monocytogenes
3 minggu 3 bulan
4 bulan 5 tahun
5 tahun remaja
Bakteri
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenza
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Stomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza 1,2,3
Respiratory Syncytial virus
Bakteri
Chlamydia pneumonia
tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Bakteri
Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia
Streptococcus pneumonia
Virus
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Bakteri
Chlamydia pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Streptococcus pneumonia
tipe B
Moraxella catharalis
Neisseria meningitidis
Staphylococcus aureus
Virus
Virus Varisela-Zoster
Bakteri
Haemophillus influenza
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster
16
2.6 Patofisiologi
mikroorganisme
Saluran napas
Parenkim paru
Edema dan
reaksi jaringan
Proliferasi
mikroorganisme dan
penyebarannya ke
daerah sekitar
HEPATISASI MERAH
Paru yang terkena mengalami konsolidasi akibat serbukan
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, kuman di alveoli
HEPATISASI KELABU
Terdapat leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
cepat di alveoli
RESOLUSI
Jumlah makrofag dalam alveoli meningkat, sel mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang
Terdapat tiga stadium anatomik dari pneumonia: 4
1. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
2. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
17
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
3. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.
2.7. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi.
Tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki.
Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Sering terjadi akibat transmisi vertikal dari ibu-anak pada saat proses persalinan, baik dari
cairan amnion, aspirasi mekonium maupun serviks ibu. Dapat juga berasal dari kontaminasi instrumen
di Rumah sakit, seperti penggunaan ventilator.
Gambaran klinis pada pasien dengan kelompok usia ini tidak khas, mencakup serangan apnea,
sianosis, takikardi, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau
bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi.
Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Keluhan seperti demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan
gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea,
18
retraksi subkosta, napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveolar. Gerakan dada akan terganggu bila ada nyeri dada akibat iritas, efusi pleura, dan empiema.
2.8 Diagnosis
Klasifikasi pneumonia:
Bayi dan anak usia 2-5 tahun: 3,5
Pneumonia berat
o Bila ada sesak napas
o Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
o Bila tidak ada sesak napas
o Ada napas cepat dengan laju napas:
>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
>40 x/menit untuk anak usia >1-5 tahun
o Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
o Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
o Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis
seperti penurun panas
Pneumonia
o Bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
o Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
o Tidak ada napas cepat atau sesak napas
o Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis
darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
2
dan hiperaerasi.
Infiltrat alveolar, konsolidasi paru dengan air bronchogram. Dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar
Anak:
Grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Kelurga tidak bisa merawat di rumah
Tatalaksana umum
Pasien dengan saturasi oksigen <92% pada saat bernapasa dengan udara kamar harus diberikan
terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%.
Pada pneumonia berat atau asupa per oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan
batuk
Nebulisasi dengan -agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance
Pasien yag mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.
Pemberian antibiotik
Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun karena efektif
melawan sebagian besar patogen ang menyebabkan pneumonia pada anak, toleransi baik, dan
Pneumonia.
Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. Pneumonia sangat mungkin sebagai
penyebab.
Jika S. Aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid, atau kombinasi flucloxacillin
dengan amoksisilin.
Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxicla,
Bila klinis membaik, antibiotik IV dapat diganti dengan oral dengan golongan yang sama.
Kriteria pulang
Penyebab kurang besi yang serign terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan darah
lewat menstruasi
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi 1 tahun pertama membutuhkan makanan yang banyak mengandung besi.
Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5
mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhan. Bayi yang mendapat ASI
eksklusif jarang menderita kekurangan besi selama 6 bulan pertama dibanding yang
tidak mengkonsumsi.
b. Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubaha secara histologis dan fungsional.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari dapat
mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan berasal dari saluran cerna, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (kortikosteroid, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi
cacing.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa
fetus dan pada awal masa neonatus
5. Hemoglobinuria
Biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan yang kehilangan besi melalui
urin rata-rat 1,8-7,8 mg/hari
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium beresiko menderita
ADB
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Ditandai oleh perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat paru yang hilang
timbul.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitr 40% remaja perempuan dan
17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya <10 ug/dL
2.4 Metabolisme Fe
Terdapatnya zat besi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah penelitian oleh Lemeryh dan
Goeffy (1713). Akan tetapi, sebenarnya berabad-abad sebelum Masehi, bangsa Yunani dan India telah
23
menggunakan bahan-bahan yang mengandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat. Bangsa
Yunani merendam pedang-pedang tua meminum airnya. Tubuh manusia sehat mengandung + 3,5 g Fe
yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk
organik, yaitu sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan ion.
Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat dalam tubuh
merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan Fe yang non esensial. 5
Bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak Fe
Fe yang diabsorpsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah absolutnya serta adanya zat-zat lain.
Makanan yang mengandung + 6 mg Fe/1000 kilokalori akan diabsorpsi 5-10% pada orang normal.
Absorpsi dapat ditingkatkan oleh : 5
Kobal
Inosin
Metionin
Vitamin C
HCI
Suksinat
Senyawa asam lain
Asam akan mereduksi ion feri menjadi fero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan
makanan yang tidak larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapat :
Fosfat
Antasida misalnya :
- kalsium karbonat
- aluminium hidroksida
- magnesium hidroksida
Besi yang terdapat pada makanan hewani umumnya diabsorpsi rata-rata dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan makanan nabati. Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe.
Absorpsi ini meningkat pada keadaan :
Defisiensi Fe
Berkurangnya depot Fe
25
Meningkatnya eritropoesis
Selain itu, bila Fe diberikan sebagai obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta jenis makanan
dapat mempengaruhi absorpsinya. Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin
(siderofilin), suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan,
terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe dalam plasma
sebanding dengan jumlah total transferin plasma, tetapi jumlah Fe dalam plasma tidak selalu
menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain transferin, sel-sel retikulum dapat pula
mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan eritropoesis. Sel ini juga berfungsi sebagai gudang Fe. 5
Kalau tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe akan disimpan sebagai cadangan, dalam bentuk
terikat sebagai feritin. Feritin terutama terdapat dalam sel-sel retikuloendotelial (di hati, limpa, dan
sumsum tulang). Cadangan ini tersedia untuk digunakan oleh sumsum tulang dalam proses eritropoesis;
10% diantaranya terdapat dalam labile pool yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan
sisanya baru digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam parenkim jaringan
tidak dapat digunakan untuk eritropoesis. Bila Fe diberikan IV, cepat sekali diikat oleh apoferitin
(protein yang membentuk feritin) dan disimpan terutama di dalam hati, sedangkan setelah pemberi per
oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari pemecahan eritrosit
akan masuk ke dalam hati dan limpa. 5
Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat :
pula
Jumlah Fe yang dieksresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari.
yang mengelupas
26
2.5 Patofisiologi
TAHAP I
(IRON DEPLETION)
KEADAAN
TEMUAN
LABORATOR
IUM
Menurun atau
berkurangnya cadangan
besi/feritin
Hemoglobin dan fungsi
protein lainnya masih
normal
Cadangan besi <100
Fe serum normal
TIBC 360-390
Saturasi transferi 20-30
Feritin serum <20
FEP >30
MCV normal
TAHAP II
(IRON DEFICIENT
ERYTHROPOIENTIN)
Suplai besi tidak cukup
untuk menunjang
eritropoesis
Cadangan besi 0
Fe serum <60
TIBC >390
Saturasi transferi <15
Feritin serum <12
FEP >100
MCV norrmal
TAHAP III
(ANEMIA
DEFISIENSI BESI)
Besi yang menuju
eritroid sumsum
tulang tidak cukup
sehingga
mengakibatkan
penurunan kadar Hb
Cadangan besi 0
Fe serum <40
TIBC >410
Saturasi transferin <10
Feritin serum <12
FEP >200
MCV menurun
Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkal atau
spoon-shaped nail), atrofi papil lidah, perubahan mukosa lambung dan usus
Intoleransi terhadap latihan, penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
Termogenesis yang tidak normal, terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu normal
2.8 Diagnosis
Kriteria menurut WHO
2.9 Tatalaksana
Preparat besi
Preparat yang tersedi ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous suksinat. Dosis
besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu
bulan, yaitu, kenaikan kadar Hb sebesar 4 g/dL atau lebih
Bila respon ditemukan, terapi dilanjutkan 2-3 bulan
Komposisi elemental:
Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar Hb <4
g/dL atau pada anemia dengan infeksi atau penyulit lainnya. Komponen darah yang diberikan adalah
PRC.
28
Indeks dan morfologi eritrosit normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75
fl)
Anemia bersifat ringan dan tidak progresif (Hb jarang < 9,0 g/dL) beratnya anemia terkait
plasma, memendeknya umur eritrosit, dan respon eritropoietin yang tidak adekuat terhadap anemia
yang disebabkan oleh efek sitokin seperti IL-1 dan TNF pada eritropoiesis. Anemia ini hanya terkoreksi
dengan keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari, dan tidak berespon terhadap terapi besi
walaupun kadar besi serum rendah. Pemberian eritropoietin rekombinan memperbaiki keadaan anemia
pada beberapa kasus. Pada banyak keadaan anemia ini diperlusit oleh anemia yang disebabkan oleh
penyebab lain seperti defisiensi besi, vitamin B 12, atau folat, gagal ginjal, kegagalan sumsum tulang,
hipersplenisme, kelainan endokrim, anemia leukosit eritroblastik, dan lain-lain.
29
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUP NTB
Diagnosis Masuk
Tanggal Keluar RSUP NTB
Diagnosis Keluar
: 6 Januari 2013
: Pneumonia
: 10 Januari 2013
: Pneumonia berat, asma episodik sering, Anemia Defisiensi besi
Lama Perawatan
: 5 hari
: 530427
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Alamat
Status dalam keluarga
:
:
:
:
:
:
An. A.H
Laki-laki
1 tahun 11 bulan
Islam
Ampenan
Anak Kandung
Identitas Keluarga
Identitas
Ibu
Ayah
Nama
zuraida
Munawir
Umur
24 thn
26 thn
Pendidikan
SMA
SMA
Pekerjaan
IRT
CS
30
gejala apapun baik batuk malam hari, batuk berdahak, flu, nyeri dada dan lain-lain. Jika pasien
sedang tertidur di malam hari, kadang pasien terbangun karena batuk-batuk.
Pasien tidak pernah mengeluhkan kulit yang gatal-gatal atau riwayat alergi terhadap bahan makanan
atau obat-obatan menurut ibu pasien.
Pasien juga sempat dirawat di puskesmas karena mencret dengan frekuensi buang air >10 kali, dan
sejak saat itu pasien menjadi lemas dan tidak bertenaga.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu pasien sering mengalami sesak napas yang dialami sejak masih muda, dan setelah di uap
keluhan tersebut bisa menghilang. Namun tidak ada anggota keluarga lainnya yang sering
mengalami sesak selama hidupnya. Menurut sepengetahuan ibu pasien, tidak ada anggota
keluarganya yang sering mengalami penyakit gatal-gatal dan kemerahan di kult setelah
memakanan sesuatu atau mengkonsumi obat tertentu, atau karena cuaca.
Selain itu ibu pasien juga memberi keterangan bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami
batuk lama dan mendapatkan pengobatan selama 6 bulan, ataupun yang saat ini sedang mengalami
batuk dan flu.
Riwayat Pengobatan :
Sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien sempat dilarikan ke puskesmas namun disana tidak disuruh
untuk rawat inap dan hanya diberikan resep pulang. Setelah obat yang diresepkan dari puskesmas
dicobakan pada pasien, namun karena orang tua pasien tidak melihat adanya tanda-tanda perbaikan
keluhan maka mereka membawa pasien ke RSUP NTB.
Keluhan batuk yang ia alami sudah diobati dengan obat sirup yang ia dapatkan dari dokter, dan
sekarang keluhan batuk sudah berkurang.
Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari ibu, dan sampai sekarang masih mengkonsumsi ASI
ditambah MPASI.
Ikhtisar Keluarga
33
Status Generalis
Keadaan umum : lemah
Kesadaran / GCS : compos mentis / E4V5M6
Tanda Vital
Frekuensi nadi
: 136 x/menit
Frekuensi napas
: 72 x/menit
Suhu
: 37,5oC
Status Gizi
BB
: 9 kg
TB
: 80 cm
Berdasarkan persentase menggunkan Z score
BB/U = -2 s/d -3
TB/U = -2 s/d -3
BB/TB = -1 s/d -2
= gizi kurang
= pendek
= normal
34
Bentuk
Mata
Mulut
: normocephali, LK: 47 cm
: anemis (+/+), ikterik (-/-), RP (+/+) isokor, mata cowong (-/-)
: pucat (-), sianosis sentral (-), gusi edema & hipermeis (-), perdarahan (-)
35
THT
Leher
Thoraks
Inspeksi
subkosta
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
bentuk dan ukuran normal, deformitas (-), retraksi (+) epigastrium dan
Abdomen :
Inspeksi
: distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani, tes undulasi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tidak teraba
Ekstremitas
Tungkai Atas
Kanan
Kiri
+
+
-
Tungkai Bawah
Kanan
Kiri
+
+
-
Akral hangat
Edema
Pucat
Kelainan bentuk
Pembengkakan
Sendi
Pembesaran KGB
Aksiler
Axilla
Inguinal
Kulit : pucat (-), ikterus (-), pustula (-), peteki (-), flushing (-)
Urogenital : flank mass (-), nyeri tekan (-), genital tidak dilakukan pemeriksaan
Vertebrae : tidak tampak kelainan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
36
Darah Lengkap
(06 Januari 2014)
Parameter
HB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT
Hasil
9,8 g/dL
4,68 x 10^6/uL
4,2 %
73,1 fl
20,9 pg
28,7 g/dL
27,47 x10^3/uL
222 x 10^3/uL
Nilai Normal
13,0-18,0 g/dL
4,5-5,5 x 10^6/uL
40,0-50,0 %
82,0-92,0 fl
27,0-31,0 pg
32,0-37,0 g/dL
4,0-11,0 x10^3/uL
150-400 x 10^3/uL
Hasil
8,7 g/dL
3,44 x 10^6/uL
25,6 %
74,4 fl
25,3 pg
34,9 g/dL
17,32 x10^3/uL
261 x 10^3/uL
0,1872
Nilai Normal
13,0-18,0 g/dL
4,5-5,5 x 10^6/uL
40,0-50,0 %
82,0-92,0 fl
27,0-31,0 pg
32,0-37,0 g/dL
4,0-11,0 x10^3/uL
150-400 x 10^3/uL
(8 Januari 2014)
Parameter
HB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT
RET
Pemeriksaan Lainnya
(06 Januari 2014)
: (-) / negatif
: (-) / negatif
: 0,6 (Nilai normal: 0,2-2,0)
(8 Januari 2014)
MDT
Kesan eritrosit
Kesan leukosit
kissing cell
Kesan trombosit
Kesimpulan
Rontgen Thorax
RESUME
Pasien anak laki-laki, usia 1 tahun 11 bulan, datang dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam
SMRS, disertai bunyi ngik. Keluhan ini disertai oleh keluhan lain seperti, batuk sejak 2 hari yang
lalu, batuk keras, tidak berdahak dan tidak disertai pilek, demam sejak 1 hari yang lalu dengan suhu
naik turun secara tidak menentu, dan penurunan nafsu makan dan minum, serta penurunan aktivitas
sejak seminggu yang lalu, tepatnya setelah pasien dirawat inap di puskesmas akibat mengalami mencret
kira-kira 2 minggu yang lalu. Pasien sudah sering mengalami sesak sejak bayi. Pasien pertama kali
mengalami sesak sekitar usia 9 bulan. Pada usia 9 bulan sesak napas nya bisa kambuh sampai + 3 kali
selama sebulan. Pasien sempat mengalami batuk-batuk malam hari sekitar 2 minggu yang lalu namun
38
keluhan tersebut tidak digubris ibu pasien karena bisa menghilang sendiri. Sesak tersebut kambuh
apabila pasien bila menghirup asap rokok atau bila kelelahan. Pasien sempat dilarikan ke puskesmas
saat awal mengalami sesak, namun tidak dianjurkan untuk rawat inap dan hanya diberikan obat, namun
karena obat tidak memberikan efek maka pasien di bawa RSUP NTB.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, vital sign didapatkan frekuensi
nadi 136 x/menit, fekuensi napas 72 x/menit dan suhu 37,5oC, konjungtiva anemis, nampak retraksi
pada dinding dada saat bernapas, dan dari suara napas terdengar adanya ronkhi basah kasar pada basal
kedua paru dan wheezing pada bagian atas kedua paru. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan
adanya penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis. Retikulosit masih dalam batas normal. Dari hasil
hapusan darah tepi didapatkan hasil anemia mikrositik hipokromik gambaran. Dari hasil ro. Thorax
terdapat gambaran infiltrasi minimal suprahiler dekstra.
Diagnosis Kerja :
Pneumonia berat
Asma episodik sering serangan sedang
Anemia penyakit kronis dd/anemia defisiensi besi
Gizi kurang
RENCANA PEMERIKSAAN
O2 1 liter/menit
D5 NS 12 tpm
Ampicilin 4x250 mg
Chloramphenikol 3x250 mg
Combiven setiap 2 jam
Methil prednisolon 15 mg atau 3x5 mg
Panmol syr K/P 5 ml
39
Untuk anak 0 kg-10 kg kebutuhan cairan 100 ml/kgBB/hari, maka diberikan (9x100=900)
ml/hari
Parenteral = 500 ml
Peroral = 400 ml
Penghitungan tetesan infus: tetes/menit (makro) = 500/24 x 20/60 = 12 tetes/menit.
EDUKASI
Memberitahukan keluarga kondisi pasien dan rencana terapi selanjutnya.
Menjelaskan bahaya asap rokok bagi kesehatan pasien, serta menjelaskan faktor-faktor resiko
apa saja yang bisa mencetuskan kambuhnya asma pada pasien sehingga keluarga mampu
meminimalisir resiko yang ada
Edukasi agar antibiotik oral tetap dilanjutkan sampai 10 hari dari hari pertama pemberian di
Rumah Sakit
Menjelaskan pada keluarga bahwa pasien mengalami kondisi gizi kurang, yang bisa saja
diakibatkan oleh sakit yang dialaminya beberapa waktu terakhir, dan memotivasi agar keluarga
memberikan asupan makanan dan gizi yang cukup agar pertumbuhan pasien semakin baik
Karena pasien pulang paksa maka dijelaskan kepada keluarga pasien untuk kontrol seminggu
lagi, untuk melihat perkembangan kondisi pasien
FOLLOW-UP PASIEN
Tang
Subjective
Objective
Assessment
gal/Ja
m
7/1/14
07.00
KU : lemah
Kesadaran : composmentis
Nadi : 100 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu : 37,5 oC
Pneumonia
berat
Asma
episodik
sering
Anemia
defisiensi
8/1/14
07.00
Sesak
(+),
batuk
(-),
demam
(+),
disertai
keringat
dingin
malam
2013
07.00
Sesak
(+),
batuk
KU : lemah
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 124 x/menit
RR
: 67 x/menit
Suhu : 37,8 oC
09/10/
(-),
Pneumonia
berat
Asma
episodik
sering
Anemia
defisiensi
sebelumnya.
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 130 x/menit
RR
: 53 x/menit
Suhu : 37,3oC
Pneumonia
berat
Asma
episodik
sering
Anemia
penyakit
kronis
dd/anemia
defisiensi
besi
10/10/
2013
07.00
Sesak
(+),
batuk
(-),
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 100 x/menit
RR
: 45 x/menit
Suhu : 37,5oC
Pneumonia
berat
Asma
episodik
sering
Anemia
penyakit
kronis
dd/anemia
defisiensi
besi
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An. H datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan utama sesak napas
sejak + 5 jam SMRS, dengan keluhan penyerta seperti batuk yang muncul sejak 2 hari
yang lalu, demam sejak sehari yang lalu, lemas dan tidak nafsu makan/minum,
disertai adanya riwayat rawat inap karena mencret sekitar 2 minggu yang lalu.
Gejala-gejala yang muncul pada pasien dapat mengarahkan kita pada diagnosa
pneumonia, karena penyakit tersebut memiliki insidensi yang cukup tinggi di
Indonesia, terutama pada usia bayi hingga remaja. Seperti yang sudah dijelaskan pada
landasan teori bahwa pneumoni memiliki gejala yang diklasifikasikan sebagai gejala
infeksi umum, dan gejala respiratori. Gejala infeksi umum yang sesuai pada pasien ini
antara lain: demam, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti
diare. Sedangkan untuk gejala respiratorik pada pasien yaitu: batuk, sesak napas,
retraksi dada, takipnea. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya ronki pada
basal kedua paru. Data-data ini juga ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium
yang menunjukkan adanya leukositosis (penanda suatu infeksi bakteri) dan pada
rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrasi parahiler dekstra yang kemungkinan
terjadi karena adanya proses inflamasi pada parenkim paru di daerah tersebut.
Pasien juga memiliki riwayat asma sejak masih berusia 9 bulan. Asma yang
diderita pasien masuk dalam kategori asma episodik sering karena serangan terakhir
berlangsung lebih dari 1 kali selama sebulan terakhir. Asma termasuk serangan sedang
karena pasien masih bisa bicara saat mengalami serangan tetapi hanya beberapa patah
kalimat saja. Sesak yang dialami pasien dapat dipicu oleh kelelahan dan asap rokok
(ada anggota keluarga yang merokok). Oleh karena asma yang diderita sudah masuk
kategoi episodik sering maka pasien mendapat terapi steorid (metil prednisolon).
Selain itu pasien juga diberikan terapi combiven (kombinasi 2 agonis dengan
ipratropium bromida) yang akan memberikan efek bronkodilator yang lebih maksimal
dibandingkan hanya diberikan 2 agonis saja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartasasmita, et al. 2010. Asma. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama, cetakan
kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
2. Rahajoe, et al. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi. Ikatan
Doker Anak Indonesia. Jakarta
3. Said, et al. 2010. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama, cetakan
kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
5. Permano, et al. 2006. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
Cetakan kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta