Anda di halaman 1dari 9

1.

Perspektif Historis Ilmu-Ilmu Forensik


Ilmu Forensik adalah aplikasi ilmu dasar terhadap sistem keadilan
kriminalitas. Ilmu-Ilmu dasar ini meliputi fisika, biologi, matematika, antropologi
yang digulkan untuk mengidentifikasi atau membantingkan bukti fisik dalam
investigasi kriminalitas. Alphonse Bertilon (1879) memperkenalkan pengukuran
badan secara sistematis (antropometri) dan bahkan mengaitkannya dengan
kecenderungan/ perilaku kriminalitas, namun saat ini ditolak sesuai kemajuan
Ilmu pengetahuan. Hal ini paralel dengan phrenology-pseudoscience/ilmu palsu
yang menyimpulkan bagian-bagian kepala dengan sifat-sifat seseorang. Tokoh
ilmu forensik diantaranya, Prancis Galon (1892) mempublikasikan Finger Prints
dan Dr. Karl Landstainer penemu golongan darah ABO (1901) mempengaruhi
perkembangan ilmu forensik. Dr. Lattes mengembangkan aplikasi golongan
darah untuk investigasi bercak darah kering dan ditulis dalam buku Training
Manual on Forensik Science for Police Officers, yang sampai saat ini masih
digunakan. Ilmuwan, jaksa penuntut umum dan hakim mempublikasikan buku
Criminal Investigation berisi manfaat penggabungan mikroskopis, fisika, kimia,
zoology, botany, antropometry, sidik jari dll dalam investigasi kriminalitas. Calvin
Goddard mengembangkan uji balistik (test peluru).
Forensik dari kata latin, yang berarti dalam pengadilan (in the court), atau
forum pubik (public forum). Sejak abad 12 (tahun 1248) ilmu forensik telah
berkembang dengan dipublikasikannya buku Hui Yuan Lu (The Washing Away of
Wrong) yang menyatakan kejahatan dapat diidentifikasi melalui deteksi forensik,
bahkan sampai dengan membedakan 2 helai rambut. Dalam buku itu juga telah
dibahas tenteng pentingnya studi Tempat Kejadian Perkara (Crime Scene) dan
kondisi luka pada korban pembunuhan. Buku yang ditulis Song Ci tahun 1248
berjudul Xi Yuan Ji Lu (collected cases of injustice rectified) adalah dokumen
pertama yang menggunakan ilmu-ilmu forensik untuk kasus hukum.
Identifikasi senjata api oleh Henry Goddart, polisi Inggris (1835) yaitu
membandingkan rigi selongsong peluru di TKP dengan beberapa senjata api
milik tersangka. Sampai saat ini jejak selongsong peluru menjadi dasar
pemeriksaan balistik.

Racun adalah salah satu studi kuno forensik, dari kata Yunani Toxicon.
Hippocrates memperkenalkan toxicology dengan menggambarkan beberapa
efek racun. Catherine de Medici (1518-1589) bereksperimen dengan meracuni
masyarakat ekonomi rendah dan mencatat berbagai efek reaksi racun tersebut
(pada abad ini, perlakuan seperti itu melanggar hukum). Pada abag 19, dokter
Spanyol Mathieu Joseph Bonaventura Orfila (1787-1853) adalah ilmuwan
pertama yang memperkenalkan analisa kimiawi sebagai bukti keracunan di
pengadilan.
Pada abad 16, ilmu forensik berkembang dengan metode bedah mayat,
dengan Ambrose Pare (Ahli bedah tentara Perancis) dan Fortunando Fidelis,
Polo Zacchia (Italia) sebagai pioner dibidang ini. Dokter Perancis Fodere menulis
A treatise on forensik medicine and public health
Pada abad 20, FBI (Federal Bureau Investigation) di Amerika dibentuk,
menerbitkan sistem identifikasi sidik jari (Automated Fingerprint Identification
System, AFIS) dengan scaning komputer.
Pada abad 21, berkembang komputer forensik dan hampir selalu
menyehtuh penanganan kasus forensik.
Saat ini ilmu forensik sudah sangat berkembangan, muncul cabangcabang keahlian spesialistik/ disiplin seperti :
1. Antropologi Forensik adalah aplikasi antropologi biologi dalam konteks
hukum, biasanya berkenaan dengan penemuan dan identifikasi sisa hayat
manusia yang telah menjadi rangka.
2. Arkeologi Forensik adalah aplikasi dari kombinasi tehnik arkeologi dan
ilmu forensik, dalam konteks penegakan hukum.
3. Biologi Forensik meliputi serologi dan analisa DNA cairan fisiologis untuk
tujuan identifikasi dan individualisasi.
4. Entomologi Forensik berhubungan dengan pemeriksaan insekta pada
atau di sekitar sisa hayat manusia untuk membantu menetukan waktu dan
tempat kematian termasuk kemungkinan badan dipindahkan setelah
kematian.

5. Geologi Forensik berhubungan dengan jejak bukti-bukti dalam bentuk


tanah, mineral maupun petroleum.
6. Metereologi Forensik adalah analisa lokasi yang spesifik tentang kondisi
cuaca dimasa lampau.
7. Odontologi Forensik adalah studi morfologi dan kondisi gigi.
8. Patologi Forensik adalah bidang dimana prinsip-prinsip kedokteran dan
patologi diaplikasikan untuk menentukan cara dan sebab kematian atau
injury dalam konteks pertanyaan hukum.
9. Toxycologi Forensik adalah studi efek obat dan racun pada badan.
2. Keahlian Antropologi Forensik dalam penentuan orang hilang/ korban
kecelakaan massal/ pembunuhan
Antropologi Forensik adalah aplikasi antropologi biologi dalam konteks
hukum. Antropologi Forensik berbasis pada osteologi dan anatomi manusia
untuk identifikasi sisa hayat manusia yang jaringan lunaknya telah hilang
sebagian atau seluruhnya sehingga tinggal kerangka. Identifikasi Antropologi
Forensik bertujuan mencari jawaban atas sejumlah masalah seperti :
1. Apakah temuan berupa rangka manusia atau hewan?
2. Berapa jumlah individu?
3. Apa rasnya?
4. Apa jenis kelaminnya?
5. Berapa umur dan tinggi badannya?
6. Apakah ada bekas trauma perimortemnya?
Maka keahlian Antropologi Forensik sangat membantu dalam penentuan
orang hilang/korban kecelakaan massal/pembunuhan. Sebagai contoh nyata
peran penting Antropologi Forensik dibuktikan pada kasus kecelakaan
terbakarnya pesawat Garuda Indonesia GA 200PK-2C Boing 737-400 pada rabu
tanggal 3 Maret 2007 di Yogyakarta dengan jumlah korban meninggal hangus
terbakar 20 orang yang terdiri 15 orang pribumi dan 5 orang WNA. Dengan cepat
Antropolog Forensik mengidentifikasi jumlah korban individu berikut rasnya,
sehingga dengan mudah untuk dikelompokkan, baru kemudian di teliti umur dan

tinggi badannya dan penelitian lain termasuk Odonto Forensik

yang

membutuhkan data pembanding yang dikumpulkan dari data keluarga korban.


3. Euthanasia dan saran bagi perkembangan hukum di Indonesia
Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai hal yang wajar,
sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara / alamiah
adalah mati yang tidak diharapkan. Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu
pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta "dibunuh"
(diakhiri hidupnya), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati
secara tidak alamiah (selanjutnya "hak untuk mati") dari seseorang. Berbicara
tentang hak, maka kita berbicara tentang hukum, dan hukum selalu berisi
ketentuan tentang hak dan kewajiban yang timbal-balik dan tentang boleh
dan tidak boleh. Jadi, kalau ada hak untuk mati dari seseorang, maka ada
kewajiban dari pihak lain untuk menghargai hak seseorang itu dan sebaliknya.
Kalau tidak ada hak untuk mati, apabila seseorang melakukan bunuh diri
atau melaksanakan euthanasia, maka terjadi perbuatan melanggar hukum dan
perbuatan itu dapat dikenakan sanksi hukum.
Euthanasia pada dasarnya dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu sebagai
berikut :
1. Euthanasia aktif
Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
2. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.
3. Auto-euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan).

Autoeuthanasia

euthanasia pasif atas permintaan.

pada

dasarnya

adalah

Auto-euthanasia telah mulai dijalankan di Amenka Serikat, di mana


pasien menulis living will, yang bunyinya secara umum adalah sebagai
berikut:
"If I should have a terminal illness and I am unable to make medical
decisions, I direct my attending physician to withhold Of withdraw medical
treatment that prolongs the dying

process and is not necessary to my

comfort or to alleviate my pair.. "


Hal ini pertama kali dilegalisasi di California pada tahun 1976,
sebagai California Natural Death Act (Valko, 2001). Adalah Perhimpunan
Euthanasia meluncurkan living will, wasiat sesuai pcrmintaan pasien yang
isinya pada prinsipnya adalah memberi izin kepada paramedik dan
keluarga untuk tidak memberi tindakan medis terhadapnya, sampai
kematian menjemputnya. Berbagai tindakan medis yang boleh tidak
dilakukan bila ada living will maupun bila pasien dalam kondisi permanent
vegetative state antara lain: bedah, CPR (heart-lung resuscitation), antibiotik,
ventilator mekanik (respirator), selang makanan dan atau cairan yang
disalurkan melalui vena, hidung, ataupun perut (Valko. 2001).
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia, melalui Pasal
344, Kitab Undang-undang Pidana (KUHPid), jelas tidak mengenal hak untuk
mati dengan bantuan orang lain. Pasal 344 KUHPid, menentukan tentang
dapat dipidananya seseorang yang menghilangkan nyawa orang atas
pemintaan orang itu sendiri, meskipun dinyatakan dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh. Pasal 345 KUHPid: Barang siapa dengan sengaja menghasut
orang lain untuk membunuh diri. menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri. dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun. KUHPid tidak memuat pasal yang menentukan tentang
dapat dipidananya orang yang telah gagal melakukan percobaan bunuh diri
(poging tot zelfmoord). Dalam hal bunuh dirinya telah terjadi, tentunya hukum
tidak dapat mempermasalahkannya lagi, tetapi kalau bunuh dirinya itu gagal
dilakukan, maka yang bersangkutan masih hidup, hukum masih dapat
mempermasalahkan

tentang

gagalnya

percobaan

bunuh

diri,

apakah

melanggar hukum atau tidak melanggar hukum. Tetapi di Negeri Belanda,


(asal dari KUHPid Indonesia - het Wetboek van Straafrecht), diatur
tentang dapat dipidananya seseorang yang telah gagal melakukan percobaan
bunuh diri (sekarang pasal yang mengatur tentang itu telah dicabut dari het
Wetboek van Straafrecht). Mereka berpendapat bahwa orang yang berupaya
membunuh dirinya sendiri, adalah orang yang sedang dalam keadaan sakit,
dalam arti tidak dalam keadaan sehat rohani (jiwa). Orang yang dalam keadaan
sakit jiwa, tentunya adalah orang yang dalam hukum dianggap tidak dapat
menentukan kehendaknya,

sehingga menghukum orang yang gagal

melakukan percobaan bunuh diri tidak ada gunanya, dan juga sebenarnya
mereka tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Alasan lain, dengan makin
dihargainya hak manusia untuk menentukan diri sendiri (TROS), maka hak untuk
mati semakin mendapatkan penghargaan dan pengertian. Sehingga orang yang
gagal melakukan percobaan bunuh diri, tidak dapat dikenakan sanksi Pidana.
Bahkan kepada mereka perlu mendapatkan pertolongan dalam bidang
kesehatan, sehingga dirinya tidak lagi mempunyai niat untuk bunuh diri.
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi
manusia, hak yang mengalir dari "hak untuk menentukan diri sendiri" (the right
of self determination -TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hak ini
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan
menuntut penghargaan dan pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Saran, dengan semakin panjangnya umur manusia dan makin
tingginya insidensi penyakit degeneratif di Indonesia, living wiil dan
euthanasia perlu didiskusikan di kalangan kedokteran dan pemerhati
bioetika, agama, dan hukum, akan ke mana kita melangkah? Disamping
pandangan agama, seperti tiga agama Asia Buda, Sinto dan Confusius
yang menerima euthanasia, namun 3 agama monoteis Kristen, Yudaism
dan Islam menolak euthanasia. Perlu pikirkan perlindungan hukum bagi
anggota keluarga dan dokter bilamana pasien sendiri menghendaki
respirator atau selang makan dilepas? Bila bantuan teknologi kedokteran

dilanjutkan dan pasien terjaga dari koma dengan setelah berbulan-bulan


bahkan bertahun-tahun koma, siapakah yang menanggung biayanya? Hal
ini merupakan pertanyaan hipotetis namun kasus-kasus telah bermunculan
dan penanganannya selalu saja ad hoc, karena pemikiran dan perhatian
dalam bidang ini belum, begitu dirumuskan, dan diprioritaskan.
Ketika manusia tidak berdava, janganlah diambil haknya untuk
ada harapan kembali terjaga dan berfungsi normal sebagai mahkluk sosial.
Bagaimana bila di saat tak sadarkan diri pasien sebenarnya berubah
pikiran dari living wiil

yang dibuatnya jauh sebelum la dalam kondisi

tidak berdaya? Selain koma yang umumnya kasuistik, bagaimana dengan


penyakit degeneratif seperti kanker cukup tinggi insidensinya di Indonesia?
Ketika kanker yang telah dioperasi atau dikemoterapi tidak lagi efektif
dihambat pertumbuhannya dan pasien dalam kondisi kesakitan luar biasa.
Wewenang untuk "boleh" meninggal dengan "layak" di rumah
seharusnya memperhatikan aspek utama etik yaitu respect for persons'
autonomy kehendak pasien itu sendiri. Tiga prinsip dasar etik adalah
penghargaan

terhadap

seseorang

(respect

for

persons],

hal

yang

menguntungkan (beneficence), dan keadilan (justice]; merupakan rumusan


CIOMS, Center for International Organisations of Midical Sciences, 1993.
Ketiganya

memiliki

merumuskan

kekuatan

bahwa

moral

penghargaan

yang

sepadan.

terhadap

CIOMS

seseorang

(1993)

mencakup

setidaknya 2 pertimbangan etik yang mendasar yaitu: (a) penghargaan


atas autonomi, penting bahwa mereka yang mampu memilih pilihan
personal harus diperlakukan dengan respek atas kapasitas mereka untuk
menentukan sendiri (self-determination} nasibnya.; dan (b) perlindungan
bagi seseorang yang autonominya hilang atau berkurang, dan wajib bahwa
bagi mereka yang bergantung atau kurang dapat melindungi diri dari
bahaya maupun kekerasan.
Namun demikian, selain penerapan respek terhadap autonomi
pasien itu sendin dalam penyakit terminal, perlu dukungan 4 pihak terkait
yaitu next of Kin, physician, family lawyer, dan religius person (N,P,L,R).

Meneruskan atau menghentikan terapi pada penyakit terminal harus


mengindahkan kehendak pasien disertai NPLR. Rumah sakit berkewajiban
memberikan informasi akibat-akibat pemberian dan penghentian terapi,
tetapi bukan rumah sakit atau Komisi Etik rumah sakit yang menentukan
kapan menghentikan terapi.
4. Peranan Komputer Forensik
Komputer

Forensik

adalah

alat

dan

tehnik

untuk

mengungkap,

menyimpan, dan memeriksa data yang dimasukkan atau ditransmisikan dalam


bentuk biner. Kemajuan Komputer Forensik di abad ini sudah sangat
berkembang, terutama di negara di negara-negara maju. Komputer Forensik
tidak lagi hanya digeluti oleh peminat teknologi komputer tetapi juga oleh
penegak hukum untuk merekonstruksi kejahatan, menemukan secara digital,
yang intinya mengungkap jejak elektronik untuk membuktikan ada atau tidaknya
kaitan suatu peristiwa. Hal ini sudah dibuktikan dan ternyata efektif

pada

beberapa kasus seperti hilangnya Candra Levy, musibah Enron/ Arthur


Anderson, kasus kematian Danielle Van Dam, uji coba anti trust Microcoft,
skandal sex Presiden Clinton, dan melacak Al Qaeda.
Pada Komputer Forensik penyidik tidak hanya sekedar mendapat bukti ,
namun harus bisa mengungkap dan mengubungkan bukti tersebut. Oleh karena
itu, yang menjadi tantangan adalah, harus dimana mencari? Tehnik apa yang
akan membuat bukti muncul? Dan apakah bukti bisa digunakan dalam proses
hukum?.
Para

ahli

Komputer

Forensik

dapat

menganalisa

waktu

kapan

modifikasi/akses/pembuatan file dimulai, dimana bukti digital kemungkinan


disimpan (hard drive, floppy disk, CD-ROM, PDA) dan pada lokasi seperti sprint
spooler files, hidden partitions, registries, system logs, bad cluster, dan/atau
metafiles. Komputer Forensik mempunyai tehnik untuk mengungkap data yang
sudah dihapus, mengetahui password, menganalisa file slack, unallocated
space, dan mencari email untuk bukti dan informasi isinya. Namun masih
menjadi kontroversial untuk proses hukum adalah kemampuan perangkat lunak

yang diperiksa, apakah ada rata-rata eror yang bisa diukur dari perangkat lunak
yang memungkinkan hilangnya bukti potensial?
Yang

menarik

adalah

analisis

komputer

forensik,

bukti

digital

membutuhkan tantangan baru, karena sifat bukti digital yang tidak berbicara,
berlalu dengan cepat, dan tidak dapat diraba berlawanan dengan sifat fisik
persisten yang digunakan pada disiplin ilmu lain, seperti halnya pola ridge sidik
jari, karakteristik tulang untuk antropologi forensik. Kemampuan sumber daya
manusia untuk mengungkap, mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis
ratusan gigabyte data dalam suatu jaringan bukanlah tugas yang mudah.
Sebagai simpulan, dalam era teknologi saat ini, bukti digital semakin
banyak di tempat kejadian perkara (TKP) dan permasalahan di masyarakat.
Komputer forensik adalah disiplin ilmu yang semakin dibutuhkan dalam
memecahkah masalah. Namun kewaspadaan terhadap sabotase dan spionase
juga harus lebih diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai