Anda di halaman 1dari 9

Distribusi Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)

di Kabupaten Manggarai,
Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008
Ira Indriaty P.B Sopi*
*Loka Penelitian dan Pengembangan Bersumber Binatang (P2B2) Waikabubak,
Email : indriantibule@yahoo.co.id
The Distribution Of Animal Transmitting Rabies Bite Cases In Manggarai District, East Nusa
Tenggara Province 2008
Abstract. Rabies is an acute infection disease in center nervous system that caused by virus
rhabdovirusi family and genus Lyssavirus with zoonosis characteristic. Rabies spread in Manggarai
District since 2001 was found 5 cases. This paper aims to describe the distribution of animal
transmitting rabies bite cases in Manggarai District, East Nusa Tenggara Province in 2008. This
study was a cross sectional study. The data was cases of bite according to people, place and time,
collected in July, 2008 using questionnaire and check list. The data were analyze by comparing
number of animal transmitting rabies bite cases and the population of animal transmitting rabies in
2006-2008, presented in narration and table. Animal transmitting rabies bite cases in 2006 was quite
high in people age of > 15 years, 188 cases, most of them are male (291 cases). In same year, theres
only one case of mortality. The most of animal transmitting rabies bite cases per health center was in
2007, at Health Center Kota, about 183 cases, the most cases were on April, 66 cases. A median case
per month on February was 37 cases and on July there were 38 cases. The most of animal
transmitting rabies population was in 2006 at Bomba Residential Area, about 6.872 animal
transmitting rabies. It is need to held a health education intensively to people guarantee the success of
rabies eradication program at Manggarai District.
Keywords : Distribution, Bite Case, Animal Transmitting Rabies, Rabies.
Abstrak. Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat disebabkan oleh virus famili
rhabdovirus dan genus Lyssavirus yang bersifat zoonosis. Penyebaran rabies di Kabupaten Manggarai
sejak tahun 2001 ditemukan 5 kasus. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran
distribusi kasus gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kabupaten Manggarai Propinsi NTT Tahun
2008. Desain studi cross sectional, pengumpulan data bulan Juli 2008, berupa data kasus gigitan
menurut orang, tempat dan waktu. Instrumen menggunakan kuesioner dan chek list, cara
pengumpulan data dengan telaah dokumen data kasus gigitan HPR. Analisis data dengan
membandingkan jumlah kasus gigitan HPR dan populasi HPR tahun 2006 s/d 2008, disajikan dalam
bentuk narasi dan tabel. Kasus gigitan HPR tahun 2006 cukup tinggi pada golongan umur 15 tahun
sebanyak 188 kasus, terbanyak jenis kelamin laki-laki 291 kasus, pada tahun yang sama kasus
meninggal pada penderita umur 5-9 tahun sebanyak 1 kasus. Kasus gigitan HPR per puskesmas
tertinggi tahun 2007 di Puskesmas Kota sebanyak 183 kasus, puncak kasus tertinggi bulan April 66
kasus. Median kasus per bulan pada bulan Februari 37 kasus dan Juli 38 kasus. Populasi HPR
tertinggi tahun 2006 di Kecamatan Kota Bomba sebanyak 6.872 HPR. Perlunya melakukan
penyuluhan secara intensif kepada masyarakat guna keberhasilan program pemberantasan dan
pengendalian rabies di Kabupaten Manggarai.
Kata Kunci : Distribusi, Kasus Gigitan, Hewan Penular Rabies (HPR), Rabies.

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

25

PENDAHULUAN

abies (penyakit anjing gila) adalah


penyakit infeksi akut pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh virus dalam
famili
rhabdovirus
dan
genus
Lyssavirus, bersifat zoonosis artinya penyakit
rabies dapat menular dari hewan ke manusia,
melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR). 1
Manusia dan semua hewan berdarah panas dapat
terinveksi virus rabies dan berakibat fatal atau
berakhir dengan kematian, apabila tidak
ditangani secara cepat dan benar. Hal ini
disebabkan karena sampai saat ini belum ada
obat
yang
dapat
digunakan
untuk
menyembuhkan hewan atau manusia yang
menderita sakit atau sudah menunjukan gejala
rabies. Namun pada hewan dan manusia, rabies
dapat dicegah dengan pemberian Vaksin Anti
Rabies (VAR). Hewan yang sudah divaksinasi
memiliki kekebalan dan tidak mudah tertular
virus rabies.1
Kejadian rabies diperkirakan sekitar
35.000 kasus di seluruh dunia.2 Di Indonesia
rabies masih menjadi masalah kesehatan di 22
provinsi.3 Jumlah rata-rata per tahun kasus
gigitan pada manusia oleh Hewan Penular Rabies
(HPR) tiga tahun terakhir (1995-1997) 15.000
kasus, diantaranya 8.550 ( 57%) diberikan
Vaksin Anti Rabies (VAR) dan 662 (1,5%)
diberikan kombinasi VAR dan SAR (Serum Anti
Rabies). Ditemukan rata-rata per tahun 59 kasus
rabies pada manusia, 2.244 spesimen hewan
yang diperiksa, 1.327 (59 %) menunjukan positif
rabies.4
Pulau Flores yang merupakan salah satu gugusan
pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi
daerah endemis sejak ditemukannya kasus rabies
pertama kali pada tahun 1997. Daerah pantai
merupakan lokasi yang paling rentan tertular
rabies dari daerah lain karena banyaknya
pelabuhan tradisional yang tidak dapat diawasi

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit rabies adalah penyakit hewan
menular yang akut dari susunan syaraf pusat
disebabkan oleh virus rabies dan merupakan
penyakit zoonosa (penyakit hewan yang dapat
menular kepada manusia yang sangat ditakuti
dan
mengganggu
ketentraman
hidup
masyarakat).8 Virus rabies merupakan virus
RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae,
genus Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan
26

keluar masuknya HPR dari daerah yang endemis


rabies. Hal ini sesuai dengan penrnyataan Andi
(2007) Bahwa wabah rabies muncul di
Kabupaten Flores Timur-NTT pertama kali pada
akhir tahun 1997 sebagai akibat pemasukan
secara illegal anjing dari Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara yang merupakan daerah endemik
rabies.5
Mengingat akan bahaya rabies terhadap
kesehatan dan ketentraman masyarakat karena
dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan
kematian
maka
program
pemberantasan
merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan
kerja sama kegiatan
3 (tiga) Depertemen
yaitu Depertemen Pertanian (Ditjen Peternakan),
Departeman Dalam Negeri dan Depertemen
Kesehatan (Ditjen PPM & PLP).6
Kasus gigitan HPR di kabupaten sepulau Flores
per tahun sekitar 1.000 2.000 kasus
memberikan kontribusi besar terhadap kasus
gigitan HPR di Indonesia yang rata-rata tiap
tahun berkisar 14.000 orang,7 jumlah kasus
tersebut lebih rendah bila dimasukkan ke dalam
jumlah kasus per kabupaten. Namun demikian
semua kabupaten di Pulau Flores khususnya di
Kabupaten Manggarai harus mewaspadai kasus
rabies karena terjadi sepanjang tahun dan tidak
mengenal musim.
Penyebaran kasus rabies di Kabupaten
Manggarai sejak tahun 2001 dengan ditemukan 5
kasus. Banyak kekhawatiran muncul karena
Kabupaten Manggarai, termasuk pulau-pulau di
sebelah barat jika penyakit ini sampai menyebar
ke Pulau Rinca dan Pulau Komodo yang terkenal
dengan adanya satwa langka komodo yang
dilindungi. Untuk itu diperlukan gambaran
distribusi kasus rabies di Kabupaten Manggarai.
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk
mendapatkan gambaran distribusi kasus gigitan
HPR di Kabupaten Manggarai Propinsi NTT
Tahun 2008.

salah satu ujung berbentuk kerucut dan pada


potongan melintang berbentuk bulat atau elips.
Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75
nm, tonjolan berukuran 9 nm dan jarak antar
spikes 4-5 nm.9
Penularan rabies dapat terjadi dalam berbagai
cara antara lain, melalui gigitan penderita rabies
yang memiliki virus rabies pada salivanya, secara
perinhalasi virus rabies memakan jaringan yang
terinfeksi serta infeksi transplasental. Walaupun
terdapat berbagai cara penularan yang mungkin
terjadi namun penularan melalui gigitan

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

penderita rabies adalah yang paling umum


ditemui. Pada penderita gejala yang sering
muncul adalah eksitabilitas dan aerophobia.
Berlanjut kearah terjadinya paralysis, kejang
otot-otot menelan, hydrophobia, delirium, kejang
dan terjadi paralysis pernapasan pada penderita
dan hal ini yang biasanya berakhir dengan
kematian, berlangsung 2-6 hari tanpa intervensi
dan kadang-kadang lebih.10
Dikenal dua macam siklus rabies, yakni
rabies di lingkungan pemukiman penduduk
(urban rabies) dan rabies di alam bebas (sylvatic
rabies). Siklus urban rabies umumnya terjadi
pada anjing geladak yang dibiarkan bebas tanpa
pemeliharaan khusus. Manusia paling sering
tertular rabies lewat anjing, tetapi sangat jarang
tertular dari kucing, kera atau hewan lain.
Sylvatic rabies bersiklus pada hewan liar,
sesekali hewan pembawa sylvatic rabies
mandekati pemukiman, kemudian menggigit
hewan piaraan dan terjadilah urban rabies.1
Pencegahan penularan kasus rabies ke
manusia dapat dilakukan dengan mencegah
terjadinya gigitan anjing. Manusia yang digigit
anjing di daerah endemis rabies harus diwaspadai
terhadap kemungkinan terjadinya penularan
penyakit rabies.1 Luka bekas gigitan harus segera
dibasuh dengan air sabun, ether atau chloroform
lalu dibilas dengan air dan luka diberi iodin
tincture atau alkohol 70%. Selain itu dapat pula
dilakukan pemberian anti tetanus dan antibiotik.
Kontrol penyebaran penyakit rabies dapat
dilakukan dengan pengobatan hewan yang peka
(pemberian vaksinasi), pemusnahan hewanhewan tak bertuan (dilakukan dengan

penembakan, peracunan atau penangkapan


hewan) dan pembatasan daerah rabies.8
Bahan dan Cara
Artikel ini merupakan bagian dari
penelitian Survei Data Dasar Kasus Rabies di
Pulau Flores Propinsi NTT Tahun 2008. Desain
studi adalah cross sectional. Pengumpulan data
dilakukan pada bulan Juli 2008. Data yang
dikumpulkan berupa data kasus gigitan HPR
menurut orang, tempat dan waktu. Instrumen dan
cara pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner dan chek list. Cara pengumpulan data
telaah dokumen terhadap data kasus gigitan
HPR. Analisis data dilakukan membandingkan
jumlah kasus gigitan HPR dan populasi HPR dari
tahun 2006 s/d 2008. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.

Hasil
Kasus gigitan HPR menurut umur di
Kabupaten Manggarai menunjukkan bahwa
kasus gigitan HPR tahun 2006 cukup tinggi pada
golongan umur 15 tahun sebanyak 188 kasus,
sedangkan tahun 2007 kasus gigitan tersebut
cukup tinggi pada umur 5-9 tahun sebanyak 137
kasus. Kasus meninggal terjadi tahun 2006 pada
penderita umur 5-9 tahun sebanyak satu kasus,
sedangkan pada golongan usia lainnya tidak
terdapat kematian seperti terlihat pada Gambar 1
berikut :

200

1,2
1

Kasus

0,8
0,6

100

Meninggal

150

0,4
50
0,2
0

4 thn

5-9 thn

KG

82

151

KM

Umur

15 thn

4 thn

5-9 thn

70

188

71

137

89

127

10-14 thn
2006

Gambar 1.

10-14 thn

15 thn

2007

Kasus gigitan HPR menurut Golongan Umur di Kabupaten Manggarai Tahun


2006 dan 2007

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

27

Dari gambar 2 terlihat kasus gigitan HPR tahun


2006 dan 2007 lebih banyak pada jenis kelamin
laki-laki. Pada tahun 2006 terlihat cukup tinggi

bila dibandingkan tahun 2007 sebanyak 291


kasus.

350
300

Jumlah

250
200
150
100
50

Sex

Laki-laki

Perempuan

2006

291

218

2007

281

229

Gambar 2

Kasus gigitan HPR menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Manggarai tahun


2006 dan 2007

Dari gambar 3 terlihat kasus gigitan HPR


per puskesmas di Kabupaten Manggarai kurun
waktu 3 tahun terakhir (2006 s/d 2008)
menunjukkan bahwa kasus tertinggi di
Puskesmas Kota pada tahun 2007 sebanyak 183

kasus, kasus terendah di Puskesmas Waecodi


sebanyak 8 kasus. Sedangkan pada puskesmas
lainnya kasus terjadi bervariasi dari tahun ke
tahun, kecuali di Puskesmas Beamese yang
selama 3 tahun tidak diketemukan kasus gigitan.

200
180
160

Jumlah

140
120
100
80
60
40
20
0
Pusk. Ketang Cancar Nanu

Watual
Beames Waeco
Timung Pagal
o
e
di

12

24

43

20

2007

16

183

2008

13

102

2006

Gambar 3

28

Kota

Reo

36

54

18

21

12

10

14

Kasus gigitan HPR


tahun 2006 2008

per

Puskesmas

di

Waekaj
Langke
Iteng Narang
ong
Majok
30

19

16

30

24

29

13

48

15

13

Kabupaten

Manggarai

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

Dari gambar 4 terlihat fluktuasi kasus


gigitan HPR per bulan selama 3 tahun terakhir
(2006 s/d September 2008), kasus gigitan terjadi
setiap bulan sepanjang tahun dengan puncak
berbeda masing-masing tahun. Tahun 2006
puncak kasus gigitan terjadi pada bulan April
sebanyak 66 kasus, tahun 2007 puncak kasus
gigitan terjadi pada bulan September sebanyak

52 kasus dan tahun 2008 sampai dengan bulan


September puncak kasus gigitan terjadi pada
bulan Februari sebanyak 45 kasus gigitan. Dalam
3 tahun terakhir (2006-2008) puncak kasus
tertinggi tahun 2006.

70
60
50

Kasus

40
30
20
10

Bulan

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

2006

30

29

36

66

35

28

27

32

29

37

23

2007

17

37

26

23

39

43

23

52

42

25

21

2008

35

45

18

17

30

23

38

41

11

Gambar 4

Kasus gigitan HPR per bulan di Kabupaten Manggarai tahun 2006 s/d Bulan
September tahun 2008

Median kasus gigitan HPR per bulan


selama 3 tahun (2006 s/d September 2008)
menunjukkan bahwa puncak kasus gigitan terjadi

2 kali setahun yaitu pada bulan Februari


sebanyak 37 kasus dan Juli sebanyak 38 kasus,
seperti terlihat pada Gambar 5 berikut :

40
35
30

Kasus

25
20
15
10
5
Bulan

Median

Gambar 5

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

30

37

26

17

30

28

38

32

29

25

31

22

Median kasus gigitan HPR per Bulan di Kabupaten Manggarai tahun 2006,
2007 dan 2008

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

29

Populasi HPR kurun waktu 3 tahun


(2005 s/d 2007) menunjukkan bahwa populasi
tertinggi pada tahun 2006 di Kecamatan Kota
Bomba sebanyak 6.872 HPR, populasi HPR

terendah pada tahun 2007 di Kecamatan Sambi


Rampas sebanyak 1.563 HPR, seperti terlihat
pada Gambar 6 berikut :

8.000
7.000
6.000

Jumlah

5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
Ruteng

Langke
Rembong

Wairi'i

Cibal

Reok

Satar
Mese

Poco
Ranaka

Sambi
Rampas

Elar

Kota
Bomba

Borong

Lamba
Leda

2005

2.718

2.401

2.569

5.864

2.508

5.769

4.230

2.393

4.193

6.704

5.382

4.285

2006

2.424

2.589

2.458

5.773

2.478

5.505

4.176

2.041

4.010

6.872

5.279

4.314

2007

1.612

2.454

2.005

5.031

2.015

4.372

3.673

1.563

3.321

5.613

3.751

2.648

Kecamatan

Gambar 6

Populasi HPR di Kabupaten Manggarai tahun 2005 s/d 2007

PEMBAHASAN
Status daerah penyebaran penyakit
rabies di Indonesia telah dibagi menjadi tiga
kriteria daerah yakni daerah bebas, daerah
tertular/ endemik dan daerah rawan/ terancam.
Menurut Siregar (2009) pada tahun 2008 dari 33
propinsi di Indonesia hanya delapan propinsi
yang dinyatakan bebas rabies antara lain Papua,
Maluku kecuali Ambon, Nusa Tenggara Timur
kecuali Flores, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan DKI
Jakarta.11 Daerah tertular/ endemik meliputi
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa Barat,
Jakarta, pulau Flores dan Pulau Lembata.
Sedangkan daerah yang rawan yaitu semua
pulau-pulau
disekitar
daerah
endemik.8
Berdasarkan pembagian status daerah rabies,
Kabupaten Manggarai termasuk dalam daerah
tertular rabies dengan jumlah kasus gigitan HPR
di daerah ini selama 3 (tiga) tahun dari tahun
2006 s/d 2008 sebanyak 995 kasus gigitan
(gambar 4) dan di kabupaten tersebut terdapat

30

kasus pada hewan dan manusia secara klinis


epidemiologis
dan
dikonfirmasi
secara
laboratoris.12
Pada dasarnya, hampir semua kasus
penularan rabies terjadi melalui luka gigitan.
Namun demikian, penularan rabies dapat pula
terjadi melalui air liur hewan yang terserang
rabies masuk melalui luka oleh berbagai sebab,
misalnya melalui jilatan atau sewaktu memeriksa
mulut anjing yang mengidap rabies.13 Tampak
bahwa kasus gigitan HPR di Kabupaten
Manggarai cukup tinggi pada tahun 2006
berdasarkan karakteristik penderita baik umur
dengan jumlah kasus gigitan sebanyak 188 kasus
pada umur 15 tahun (gambar 1) dan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 291 kasus gigitan
(gambar 2). Upaya untuk membendung
penyebaran rabies yang lebih luas di Kabupaten
Manggarai sepertinya masih belum berhasil
dengan baik, ini dapat dilihat dari terus
terdapatnya kasus gigitan HPR dari tahun ke
tahun. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman masyarakat akan bahaya rabies, lalu
lintas antar daerah yang sulit untuk diawasi

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

secara ketat dan, kurang tersedianya tenaga


medis veteriner. Pada penelitian serupa yang
dilakukan oleh Fridolina, dkk (2008),
menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai pentingnya pemberian
vaksin pada hewan pelihara.12 Sependapat
dengan Budi Akoso (2007), menyatakan bahwa
tidak adanya dokter hewan yang bertanggung
jawab atas pengamanan penyakit maupun
pengawasan lalu lintas hewan menjadi faktor
yang utama keterlambatan diagnosis dan
penanganan pengendalian rabies.13
Menurut King (1992), di daerah tropik
penularan rabies umumnya terjadi melalui luka
gigitan anjing.14 Manusia merupakan terminal
akhir dari korban gigitan, karena sampai saat ini
belum ada kasus manusia menggigit anjing.15
Berdasarkan gambar 1 menunjukkan 1 (satu)
kasus meninggal tahun 2006 pada golongan
umur 5-9 tahun akibat gigitan hewan anjing yang
tertular rabies. Manusia yang menderita rabies
selalu berakhir dengan kematian (100% Case
Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati
persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing
(0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan
atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia
yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%),
kaki (57%), lain-lain (10%).14 Terjadinya infeksi
sangat tergantung pada masuknya virus rabies
yang berada di dalam air liur penderita ke dalam
tubuh melalui luka gigitan, cakaran, goresan atau
melalui permukaan kulit yang utuh. Hasil ini
serupa dengan penelitian Antonius dkk (2000),
yang menunjukkan prevalensi virus rabies pada
anjing dengan menggunakan uji Fluorescent
Antibody Technique (FAT) sebesar 2,85% dari
jumlah sampel otak sebanyak 105 sampel yang
terjaring pada program eliminasi.18
Kasus meninggal akibat terinfeksi virus
rabies, diagnosa kasus positif rabies dibuktikan
dengan pemeriksaan darah di laboratorium,
namun ada juga yang hanya mengandalkan
gejala klinis. Pada manusia gejala klinis berupa
keluhan demam, mengigil, lemah, letih, lesu,
sakit kepala, sakit otot, cemas, depresi dan
mudah tersinggung.3 Kasus meninggal akibat
rabies di Kabupaten tersebut kemungkinan
disebabkan oleh kurangnya sarana kesehatan
yang memadai guna menunjang diagnosa
penyakit ini sehingga mengandalkan pada gejala
klinis yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan
Budi Akoso (2007), yang menyatakan bahwa
tidak semua kasus gigitan oleh anjing rabies
spesimennya dikirimkan untuk dilakukan

peneguhan diagnosis ke laboratorium, sehingga


hanya mengandalkan gejala klinis selain itu
masih minimnya sarana pelaporan dan
mekanisme sosialisasi.13
Bila dilihat dari kasus gigitan
perpuskesmas tertinggi pada tahun 2007 di
Puskesmas Kota sebanyak 183 kasus, hal ini
disebabkan oleh mobilisasi HPR di wilayah
tersebut cukup tinggi dengan populasi HPR di
wilayah kerja Puskesmas Kota Bomba tersebut
sebanyak 6.872 HPR. Puncak kasus gigitan HPR
di Kabupaten Manggarai terjadi dalam waktu
yang berbeda-beda (gambar 4), namun bila
dilihat pada gambar 5 median kasus gigitan
terjadi 2 kali setahun yaitu pada bulan Februari
dan Juli, hal ini disebabkan pada bulan tersebut
terjadi musim kawin anjing. Walaupun rabies
bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan
kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak
berkaitan dengan usia, seks atau ras. Perubahan
iklim dan cuaca di suatu daerah tidak banyak
berpengaruh terhadap kejadian dan distribusi
rabies. Berdasarkan survei Dinas Peternakan
Propinsi NTT (2007) bahwa ada korelasi
peningkatan kasus rabies dengan keadaan
sewaktu terjadi musim kawin pada anjing.10
Di indonesia anjing mempunyai potensi
menularkan virus rabies pada hewan lain dan
juga manusia dibandingkan dengan kucing dan
kera karena mempunyai kebiasaan menggigit dan
hidupnya sangat dekat manusia.16 Pada umumnya
HPR yang menularkan rabies di Kabupaten
Manggarai adalah anjing, karena merupakan
hewan kesayangan atau hewan pekerja yang
dipelihara untuk berbagai kepentingan misalnya
sebagai penjaga rumah agar terhindar dari tindak
kejahatan, penjaga kebun atau lahan dari
serangan babi hutan dan digunakan untuk
berburu. Kecendrungan anjing rabies yang
berkelana tanpa tujuan karena hilangnya daya
ingatan dapat memicu semakin luasnya
penularan penyakit sewaktu hewan memasuki
daerah asing. Hal ini sesuai dengan pendapat
Antonius
dkk (2000), bahwa sulitnya
mengendalikan mobilisasi anjing dari wilayah
lain selain itu keberadaan suatu penyakit menular
di suatu daerah tertentu disebabkan karena agen
penyakitnya selalu berada di daerah tersebut. ini
dapat diartikan bahwa ada induk semang yang
senantiasa memilihara perkembangbiakan agen
penyakit rabies.18
Kebijakan
memberantas
rabies
dilaksanakan dengan alasan utama untuk
perlindungan kehidupan manusia dan mencegah

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

31

penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar.10


Kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan yang
cukup menentukan keberhasilan program
pemberantasan rabies di suatu daerah.
Penyuluhan ini tidak saja ditujukan pada
masyarakat awam, tetapi juga pada kelompok
masyarakat lainnya misalnya melalui berbagai
media massa, tatap muka, selebaran dan lainlain.8 Sesuai dengan penelitian Elfira M (2009)
yang menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan
terkait pencegahan penyakit rabies lebih
menekankan pada pentingnya partisipasi pemilik
anjing dalam upaya menurunkan kasus gigitan
mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat
HPR.19 Masyarakat sebagai salah satu faktor
yang berperan penting pada penyebaran kasus
rabies khususnya masyarakat yang memiliki
hewan peliharaan diharapkan dapat memiliki
pengetahuan yang cukup akan penyakit ini.
Dukungan aktif dari masyarakat adalah bagian
penting dari upaya pengendalian, dan
pemberantasan rabies termasuk pelaporan kasus
gigitan.

kepada masyarakat seintensif mungkin


melalui penyuluhan dan pendidikan
kesehatan juga perlunya penambahan dana
untuk pengadaan vaksin anti rabies.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih
kepada segenap pembina penelitian dari
Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan
Litbangkes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Manggarai dan Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten Manggarai beserta, yang telah
mendukung
dan
memfasilitasi
dalam
pelaksanaan penelitian di wilayah tersebut.

Daftar Pustaka
1. Soeharsono, Zoonosis Penyakit Menular Dari
Hewan Ke Manusia, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta, 2002.

Kesimpulan dan Saran


1. Distribusi kasus rabies pada manusia
berdasarkan kasus gigitan HPR masih cukup
tinggi di Kabupaten Manggarai. Untuk itu
perlunya sosialisasi dalam penanganan
kasus rabies di masyarakat sehingga
masyarakat
lebih
memahami
dan
mengetahui masalah rabies.
2.

3.

32

Populasi HPR di Kabupaten Manggarai


sebagian besar adalah anjing distribusinya
merata di semua kecamatan. Diperlukan
koordinasi yang lebih intensif antara Dinas
Pertanian dan Peternakan dengan Dinas
Kesehatan dalam penanganan kejadian
kasus gigitan anjing. Pemberantasan rabies
pada manusia menjadi tanggung jawab
Dinas Kesehatan, sedangkan pemberantasan
rabies pada hewan menjadi tanggung jawab
Dinas Pertaniaan dan Peternakan, sedangkan
pemberantasan yang mana hewannya harus
ditangani secara tepat dan cepat oleh Dinas
Pertanian dan Peternakan dan Dinas
Kesehatan yang menangani kasus gigitan
pada manusia.
Agar
program
pengendalian
dan
pemberantasan
ini
dapat
berhasil,
diharapkan Pemerintah Kabupaten terus
meningkatkan pengawasan lalu lintas HPR,
perlunya melakukan pendekatan khusus

2. Yatim Faisal, Macam-Macam Penyakit


Menular dan Pencegahannya. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2004.
3. Cicilia Windiyaningsih, Rabies Menjadi
Ancaman Di Indonesia Dan Asia 2004, Warta
PBB edisi Juli 2004.
4. Depertemen Kesehatan RI., Profil Kesehatan
Indonesia, Depertemen Kesehatan RI, Jakarta,
2005.
5. Andi,
2007,
Rabies
di
Indonesia,
http//:www.vet-indo.com/artikelmember/hari-rabies-seDunia-08-september2007.html; 06/03/2009
6. Depertemen Kesehatan RI., Petunjuk
Pelaksanaan dan Penatalaksana kasus gigitan
Hewan Tersangka Rabies di Indonesia,
Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 2000.
7. Baniah, dkk, 2009, Penyakit Gila Anjing
(Rabies), http//:portalkomunikasi. jabarprov.
go.id/index.php/option=com_content&task=vi
ew&id=197&Itemid=1; 06/03/2009.

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

8. Direktorat Kesehatan Hewan, Pedoman 14. KING, A., Rabies-A Review. In: Recent
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
advances and current concepts in Tropical
Hewan Menular. Jakarta: Departemen
Veterinary Medicine,Course notes, Centre for
Pertanian, Jakarta, 2004.
Tropical Veterinary Medicine, Edinburg,1992
9. Subronto, Penyakit Infeksi Parasit dan 15. Departemen
Kesehatan
RI,
Petujuk
Mikroba pada Anjing dan Kucing,
Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Gigitan
Hewan
Tersangka
Rabiesdi
2006.
Indonesia, Ditjen PPM & PL, Jakarta, 2000.
10. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Buku Saku Penyakit Rabies Pedoman 16. Direktorat Kesehatan Hewan, Kiat Vetindo
Teknis Bagi Petugas Kesehatan Hewan, Dinas
Rabies
Kesiagaan
Darurat
Veteriner
Peternakan, Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Indonesia Penyakit Rabies, Jakarta, 2007.
Kupang, 2007
17. Greene Craig E, Infectious Diseases of T he
11. Siregar AA., Rabies and Its Control in
Dog and Cat. Philadelphia: W. B. Saunders
Indonesia. Bahan Kuliah E-learning. Program
Company, 1990.
Hibah
Kompetisi
Institusi.
Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, 18. Antonius dkk, Studi Penyakit Rabies di
2009.
Daerah Endemik : Prevalensi Infeksi Virus
Rabies Pada Anjing, Kucing dan Tikus di
12. Fridolina dkk, Survei Data Dasar Kasus rabies
Kodya Padang, Sumatera Barat, Seminar
di Pulau Flores Propinsi Nusa Tenggara
Nasional Peternakan dan Veteriner, 2000
Timur Tahap I. Loka Penelitian dan
pengembangan P2B2 Waikabubak. Laporan. 19. Elfira M, Pengaruh Karakteristik Pemiliki
Sumba Barat, 2008
Anjing Terhadap Partisipasinya Dalam
Program Pencegahan Penyakit Rabies di
13. Budi Akoso, Pencegahan dan Pengendalian
Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan
Rabies (Penyakit Menular Pada Hewan dan
Johor Kota Medan Tahun 2009-2010, Skripsi,
Manusia), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2009

Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol 1. No 1, Januari 2013 25- 33

33

Anda mungkin juga menyukai