Anda di halaman 1dari 9

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat dilakukan
langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang tua, wali,
orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis. Termasuk
didalam aloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan
semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. Yang perlu dilakukan pada
anamnesis, yaitu :1
a. Identitas :1

Nama (+ nama keluarga)

Umur/ usia

Jenis kelamin

Nama orang tua

Alamat

Umur/ pendidikan/ pekerjaan orang tua

Agama dan suku bangsa

Keluhan utama
Batuk. Hal-hal yang perlu ditanyakan?
-

Batuk sejak kapan?


Dalam sehari batuk berapa kali?
Apakah batuk timbul secara tiba-tiba?
Apakah batuk berlendir? Jika ya: berapa jumlah dahak? Apa Warna dahak tersebut? Apakah

dahak berbau busuk?


Apakah batuk ini berlangsung untuk waktu lama?
Apakah batuk itu sering terjadi setelah makan?
Apakah batuk memburuk pada posisi tertentu?

Riwayat penyakit sekarang


-

Ditanyakan adanya mual atau muntah, frekuensi terjadinya, warna muntahan, disertai darah
atau tidak, jumlah muntahan, terasa asam atau tidak, dan berkaitan dengan nyeri atau tidak.
Bila ada keluhan nyeri abdomen, ditanyakan lokasi nyeri, penjalaran nyeri, dan onset nyeri.

Bila ada anoreksia ditanyakan ada/tidaknya penurunan berat badan, nafsu makan normal atau
tidak ada, atau takut makan akibat nyeri. bila ada keluhan sesak napas, ditanyakan berapa
jauh jarak yang ditempuh sehingga merasa sesak, dapat berbaring telentang atau tidak,
terbangun pada malam hari atau tidak karena sesak. Bila ada pembengkakan pada
pergelangan kaki disertai sesak napas dicurigai adanya kelainan pada jantung. Pada ikterus
ditanyakan onsetnya dan warna urin ketika sakit.1,2
Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan apakah pernah mengalami penyakit kuning sebelumnya dan bagaimana
penanganannya.1
Riwayat pribadi dan social
-

Apakah punya binantang kesayangan?


Ditanyakan ada riwayat konsumsi alkohol atau tidak, berapa banyak alkohol yang
dikonsumsi. Bila dianggap perlu, dapat pula ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan
terlarang, baik menggunakan jarum suntik atau tidak, riwayat transfusi darah, dan riwayat
penggunaan obat-obatan lain (yang mungkin mempengaruhi hati).1

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan:


Adakah ikterus, memar, distensi abdomen, anoreksia, pruritus, edema perifer, bingung atau
tremor.2
Kapan pertama kali menyadari timbulnya gejala? Pernahkah ada perburukan dan jika ya,
mengapa? Pernahkah ada perubahan pbat atau bukti adanya infeksi?2
Pernahkah teman atau kerabat mengamati adanya perubahan?2
Apakah urin pasien gelap? Apakah tinja pasien pucat?2
Riwayat penyakit dahulu.2
Apakah pasien pernah ikterus?2
Adakah riwayat hematemesis atau melena?2

Adakah riwayat hepatitis sebelumnya? Jika ya didapat dari mana (misalnya transfusi darah,
penggunaan obat intravena)?2
Apakah pasien pernah menjalani transfusi darah?2
Riwayat keluarga.2
Adakah riwayat penyakit hati dalam keluarga (misalnya penyakit Wilson, defisiensi 1
antitripsin)?
Adakah riwayat gejala neurologis dalam keluarga (misalnya gejala parkinsonian atau distonik
pada penyakit Wilson)?
Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga (pertimbangkan hemokromatosis)?
Obat-obatan.2
Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien? Adakah baru-baru ini terdapat perubahan pemakaian
obat? Apakah pasien megnkonsumsi jamu?
Apakah pasien pernah mengkonsumsi obat ilegal, terutama intravena?
Pemeriksaan Fisik
-

Penampilan umum, mencakup keadaan kesadaran dan perawatan pribadi. Apakah pasien
kelihatan sehat atau sakit? Apakah ia berbaring dengan nyaman ditempat tidur atau apakah ia
kelihatan menderita? Apakah ia sedikit berwaspada atau apakah ia lemah? Apakah ia
kelihatan sakit akut atau kronis?

Pertusi / Whooping Cough


Pertusis dicurigai secara klinik selama stadium paroksismal tipikal. Wabah pertusis pada anak
yang lebih tua dan remaja sukar didiagnosis. Pada populasi ini dan pada dewasa, pertusis dapat
disertai dengan koriza atau suatu batuk paroksismal dan muntah berlangsung lebih dari 4
minggu. Riwayat imunisasi tidak lengkap dan kontak dengan kasus yang diketahui dan berguna.
Leukositosis (sejumlah 20.000-100.000 sel/L) dengan limfositosis absolute khas padda akhir
stadium kataral dan selama stadium paroksismal penyakit. Limfositosis mungkin ada pada bayi
yang diimunisasi tidak lengkap atau sangat muda. Pemeriksaan sinar-X dada dapat menunjukan
infiltrate perihilar, atelektasis, atau emfisema.

Diagnosis bergantung pada isolasi B. pertussis, biasanya dilakukan selama fase awal penyakit
dengan biakan swab nasofaring pada medium agar gliserin-kentang-darah (Bordet-Gengou) yang
telah ditambahkan penisilin untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan menggunakan PCR
Gejala klinis
Gejala penyakit berlangsung 6-8 minggu, walaupun banyak pasien mengalami batuk selama 3
minggu atau kurang. Penyakit ini biasanya dibagi menjadi tiga stadium:
1. Stadium Kataral (1-2 minggu).
Terdapat rinorea (jernih sampai mukoid), injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, mengi,
dan demam ringan. Tetapi diagnosis tidak dipikirkan selama stadium ini, walaupun pada saat
ini organism berada dalam konsentrasi besar, karena manifestasinya serupa dengan
manifestasi virus saluran napas atas yang paling non spesifik
2. Stadium Paroksismal (2-4 minggu).
Episode batuk meningkat keparahan dan frekuensinya. Batuk berkali-kali selama ekspirasi
diikuti dengan inspirasi massif mendadak, menghasilkan suara whoop, karena udara diisap
secara paksa melawan glottis yang sempit. Suara whoop mungkin tidak ada pada anak usia
kurang dari 6 bulan atau dewasa. Petekie wajah dan kemerahan, pelebaran vena, dan sianosis
menonjol selama serangan. Muntah pasca batuk menimbulkan kecurigaan pertusis. Episode
berulang menyebabkan kelelahan; paroksismal dapat menghasilkan cedera otak anoksik;
sebaliknya, pertusis dapat menyebabkan ensefalopati.
3. Stadium Konvalesen (1-2 minggu).
Frekuensi dan keparahan batuk paroksismal dan muntah berkurang. Selama fase ini, batuk
kronik dapat menetap selama beberapa bulan. Kadang, batuk paroksismal berulang yang
selanjutnya disertai dengan infeksi saluran napas atas pada bulan berikutnya.
Manifestasi klinik bergantung pada pathogen spesifik, usia pasien, dan status imunisasi hospes.
Organism melekat pada sel epitel jalan napas, mengaktifkan sitokin dan merangsang apoptosis.
Aktivitas ini mengakibatkan radang dan nekrosis sel, menyebabkan bronchitis, atelektasis, dan
bronkopneumonia. Infiltrate perihilar menghasilkan tepi jantung yang tidak tegas (shaggy) pada
reotegenogram dada, khas pertusis.
Epidemiologi
Pertusis sangat menular, menghasilkan angka serangan lebih dari 90% pada populasi yang
rentan. Manusia merupakan satu-satunya hospes B. pertussis yang diketahui; penularannya
melalui droplet yang dikeluarkan saat batuk kuat. Masa inkubasi rata-rata 6 hari dengan kisaran
6-14 hari. Pasien paling menular selama stadium praparoksismal. Risiko penyakit paling tinggi
pada anak dibawa usia 5 tahun; 30% kasus di Amerika Serikat terjadi pada bayi di bawah usia 6
bulan. Mortalitas paling besar pada bayi usia 1 tahun.

Imunisasi mengurangi insidensi dan angka mortalitas pertusis, tetapi imunitas tidak sempurna
atau permanen. Wabah pertusis sering terjadi didaerah perkotaan, bahkan pada anak-anak yang
telah diimunisasi lengkap. Banyak remaja dan dewasa, walaupun telah tervaksinasi atau sakit
sebelumnya, rentan terhadap infeksi merupakan reservoir utama untuk infeksi bayi. Pada dewasa,
sindrom sering atipik, bermanisfestasi sebagai batuk berlarut-larut yang berat tanpa suara
teriakan (whoop). Biasa terjadi penyebaran dalam keluarga. Semakin muda usia anak, tanda dan
gejala penyakit atipik; bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dapat menderita apnea, serangan
sianotik, dan batuk tanpa suara whoop. Frekuensi pertusis semakin meningkat pada daerah
dengan imunisasi lebih rendah.
Etiologi
Pertusi berarti Batuk kuat terutama disebabkan oleh Bordetella pertussis. Organism B.
pertussis adalah basil gram negative, pleomorfik, sulit ditumbuhkan kecuali dengan media
Bordet-Gengou
Patofisiologis
Brodetella pertussis merupakan bakteri batang gram negative yang sukar tumbuh dan
memerlukan media khusus untuk isolasinya. B. pertussis menempel ke sel epitel bersilia pada
bronkus, sehingga menimbulkan siliostasis, kerusakan jaringan setempat, dan mengganggu
fungsi sel fagosit. B. pertussis tidak menyerang secara sistemik, tetapi suatu factor penguat
limfositosis (LPF= lymphocytosis promoting factor), mempunyai efek sistemik mitip toksin.
Antigen penting lain adalah protein permukaan sel seperti hemaglutinin filamentosa (FHA), dan
pertaktin, baru-baru ini ditemukan protein membrane luar 69.000 dalton. Sel B. pertussis juga
mengandung endotoksin dan banyak toksin lainnya. Peran berbagi toksin ini pada penyakit
masih diteliti.
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah pneumonia yang disebabkan oleh B. pertussis sendiri atau
akibat dari infeksi bakteri sekunder (pneumokokus, H. influenza, S. aureus). Atelektasis dapat
diakibatkan oleh sumbatan mucus. Otitis media dan sinusitis dapat terjadi. Gaya paroksismal
dapat merobek alveoli dan menyebabkan pneumomediastinum, pneumotoraks, atau emfisema
interstisial atau subkutan. Bronkiektasis dapat terjadi. Peningkatan tekanan intratoraks dan
pelebaran vena dapat menyebabkan epitaksis, perdarahan retina dan subkonjungtiva, perdarahan
intraventrikular dan subarachnoid, rupture diafragma, serta hernia inguinalis. Kejang tetanik
dapat disebabkan alkalosis akibat muntah-muntah terus menerus. Konvulsi dan ensefalopati
masing-masing terjadi pada 25% dan 0,5% bayi.
Pengobatan

Eritromisin, yang diberikan pada awal perjalanan penyakit, dapat melenyapkan pembawa
organism nasofaring dalam 3-4 hari, tetapi tidak efektif pada stadium paroksismal. Bila diberikan
pada bayi kurang usia dari 4 minggu, eritomisin kadang dihubungkan dengan stenosis pylorus.
Azitromisin atau klaritromisin dapat diberikan untuk waktu yang lebih pendek.
Trimetoprim/sulfat-metoksazol merupakan alternative yang tidak terbukti. Kodein mungkin
diperlukan untuk batuk.
Pencegahan
Sebagai akibat dari imunitas terbatas pada dewasa dan tidak adanya imunitas transplasenta, bayi
sangat rentan terhadap infeksi. Imunitas aktif dapat diransang dengan vaksin pertusis aselular
(DTaP). Vaksin pertusis mempunyai kemanjuran 70-90%; kemanjuran menurun dengan lebih
sedikit vaksinasi. Di Amerika Serikat vaksin pertusis aselular yang dikombinasikan dengan
difteri dan tetanus toksoid, yang dikombinasikan dengan Hemophilus influenza tipe b, diberikan
pada semua bayi. Vaksin aselular mengandung satu antigen atau lebih dari B. pertussis yang
diisolasi, seperti toksin pertusis, pertaktin, atau hemaglutinin filamentosa, dan setiap preparat
yang sekarang dilisensi tampaknya memberikan proteksi yang setara. Vaksin aselular ini
mempunyai feel samping yang jauh lebih rendah (misalnya mengantuk, iritabilitas, atau
anoreksia), juga tingkat reaksi local yang lebih rendah. Efek samping serius, termasuk menangis
lama, episode hipotonik-hiporesponsif, dan demam tinggi ( >104,80F) telah dilaporkan pada
penggunaan vaksin aselular ini, tetapi efek samping ini memiliki frekuensi yang lebih rendah
dibandingkan insidensi dari efek samping serius yang dilaporkan pada penggunaan vaksin
seluruh-sel (whole-cell-vaccine) sebelumnya sebesar 1:1.750. Bayi yang mendapat vaksin pertusi
berikutnya sesudah efek samping yang bermakna tidak mengalami pengaruh buruk lebih lanjut.
Kontak erat anak usia kurang dari 7 tahun yang telah mendapatkan empat dosis vaksin harus
mendapat dosis booster DTaP kecuali dosis vaksin booster telah diberikan dalam 3 tahun
sebelumnya. Mereka juga harus diberi eritromisin. Kontak erat anak usia lebih dari 7 tahun haru
mendapat eritromisin profilaksis selama 10-14 hari, tetapi bukan vaksin. Pasien yang menderita
pertusis tidak memerlukan vaksinasi pertusis lebih lanjut karena penyakit ini menghasilkan
imunitas seumur hidup.
Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan
tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan local.
Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru
metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.

Sifat basil
Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC
selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan lender yang mongering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk
koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil dapat berbentuk:
1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
2. Eksotoksin yang sangat ganas dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan
memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan
jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan lebih kurang 1/50
dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal dose (MDL) dari toksin ini ialah 0,02 ml.
Uji Schick ialah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permililiter darah cukup dapat menahan infeksi
difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin, akan itmbul vesikel pada bekas luka suntikan dan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin rendah, uji Schick dapat positif; pada
bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan
negative bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Pathogenesis
Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila
terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang basil dapat
pula hidup pada daerah vulva, telinga, dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk
pseudomembran dan melepas eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul local atau kemudian
menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga
menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami
hyperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan
saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksis juga dapat
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstitialis
(jarang sekali).
Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membrane pada laring dan trakea, gagal jantung,
gagal pernapasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.

Epidemiologi
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula melalui benda
atau makanan yang terkontaminasi.
Imunitas
Pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan terdapat imunitas bawaan. Walaupun pada uji Schick
ditemukan 15% positif, kemudian sampai umur 6 bulan 50% uji Schick positif dan umur sampai
1 tahun 90% uji Schick positif. Mulai umur 1 tahun berangsur-angsur turun lagi sampai umur 17
tahun member hasil 15% uji Schick positif.
Imunisasi
Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntik toksoid. Imunitas dasar dimulai pada umur 3 bulan
dilakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama
toksoid tetanus dan basil B. pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut tripel vaksin DTP dan
diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau intramuscular. Vaksinasi ulang dilakukan 1
tahun setelah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada umur 1,5-2 tahun dan
pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya diberikan
vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau bila ada kontak dengan penderita difteri.
Efektifitas imunisasi ini dilaporkan oleh Kassur dkk. Yaitu golongan yang mendapat imunisasi
hanya mendapatkan infeksi ringan 81,3%, infeksi sedang 16.4% sedangkan infeksi berat hanya
2,3%. Golongan yang tidak mendapat imunisasi mengalami infeksi ringan 19,0%, infeksi sedang
21,5% dan infeksi berat 59,5% dengan angka kematian 4 kali lebih besar.
Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.
Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit:
1. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri
menelan
2. Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema
ringan yang dapat dilatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat
Disertai gejala sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan
trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat menyertai.
Gejala Klinis

Masa tunas 2-7 hari. Selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala local
serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan terkena.

Anda mungkin juga menyukai