PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe I atau tipe II dengan bentukan lesi berupa vesikel berkelompok
di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok terutama pada
atau dekat sambungan mukokutan, dapat berlangsung primer maupun rekurens.
Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes
labialis, herpes genitalis.1
Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi
atau sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi. 6 Penyakit herpes simpleks
tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi
yang tidak berbeda.1 Hasil CDC 2010, menunjukkan bahwa secara keseluruhan
prevalensi HSV-2 tetap tinggi (16,2%) dan bahwa penyakit tersebut terus
membebani Afrika-Amerika dengan prevalensi 39,2%, prevalensi yang lebih besar
yakni perempuan khususnya hitam (prevalensi 48,0%) dikarenakan sejumlah
faktor menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar, dan juga prevalensi
perempuan di masyarakat yang lebih tinggi menempatkan perempuan dari semua
ras berisiko lebih besar untuk HSV-2 dibandingkan laki-laki. 2 Distribusi penderita
baru herpes genitalis di Divisi IMS URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya periode 2005-2007 tercatat penderita herpes genitalis sebanyak
83 (0,49%) dari seluruh penderita.12
Pada infeksi primer tempat predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas
terutama daerah mulut dan hidung yang biasanya dimulai pada usia anak-anak.
Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat,
dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang tidak menggunakan sarung
tangan atau pada Herpetic Whitlow pada jari tangannya.1 Sedangkan infeksi HSV
tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III dan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas seksual.1
Setelah infeksi primer, perjalanan virus ke ganglion sel saraf dimana ia tetap
ada dalam fase tertidur (fase laten). Berbagai faktor seperti paparan sinar
matahari, gesekan atau abrasi kulit, demam, stres, kelelahan, atau menstruasi
dapat mengaktifkan virus kembali, sehingga menghasilkan kekambuhan di lokasi
infeksi aslinya. Rekurensi virus ini sering terjadi, terutama dalam kasus infeksi
genital.3
Infeksi herpes simpleks yang dapat terjadi pada infeksi primer misalnya
gingivostomatitis herpetika, herpes labialis, herpes genitalia, keratokonjungtivitis,
inokulasi herpes simpleks, herpes neonatal. Infeksi herpes simpleks yang dapat
terjadi pada fase rekurens misalnya herpes labialis, herpes genital, pelepasan virus
subklinis, herpes simpleks dan eritema multiforme, atau eksema herpetikum
(Kaposis vericelliform erupsion).6
Untuk menegakkan diagnosis
herpes
simpleks
dapat
dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti Tes Tzanck, kultur virus, deteksi DNA HSV
dengan PCR, dan tes serologik.5 Herpes simpleks didaerah sekitar mulut dan
hidung harus dibedakan dengan herpes zoster pada bibir atau impetigo vesiko
bulosa. Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole