Anda di halaman 1dari 22

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simplex

virus (HSV) tipe I atau tipe II dengan bentukan lesi berupa vesikel berkelompok
di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok terutama pada
atau dekat sambungan mukokutan, dapat berlangsung primer maupun rekurens.
Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes
labialis, herpes genitalis.1 Herpes simpleks ditandai oleh nyeri, rasa terbakar, atau
vesikel bergerombol di bibir, selaput lendir mulut, daerah genital, atau area lain
dari tubuh.3
2.2.

Etiologi
Herpes simpleks disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 dimana merupakan

anggota dari keluarga Herpesviridae yang merupakan virus DNA. 1 Kedua serotipe
HSV dan juga virus varicella-zooster (VVZ) adalah anggota dari subfamili virus
-Herpesviridae. Virus -Herpesviridae menginfeksi beberapa jenis sel pada
kultur, tumbuh pesat, dan efisien menghancurkan sel induk. Infeksi pada induk
asli ditandai dengan lesi di epidermis, dengan penyebaran virus ke sistem saraf
dan pembentukan infeksi laten dalam neuron, dari mana virus tersebut secara
berkala dapat kembali teraktivasi.5 HSV tipe 1,

disebut juga sebagai herpes

orofasial. Kontak pertama dengan HSV tipe 1 biasanya terjadi pada usia dini,
misalnya anak yang dicium orang dewasa yang menderita sariawan. 8 HSV tipe 2,

biasanya menyebabkan infeksi genital. HSV-2 sangat berkaitan dengan aktivitas


seksual.1,5
2.3.

Epidemiologi
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria

maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. 1 Namun dari penelitian lain
dikatakan perempuan lebih dari laki-laki memiliki infeksi HSV-1. 4 Insidensi
infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan rekurensi herpes labialis tinggi pada
masa anak-anak antara 30-60 %. Kejadian ini meningkat sesuai dengan umur.
Sekitar 20-40% dari populasi pernah mengalami herpes labialis. Sedangkan
infeksi HSV-2 sangat berkaitan dengan aktivitas hubungan seksual sehingga
mempunyai prevalensi potensi pada teman seksual.5
Dari hasil CDC 2010, menunjukkan bahwa secara keseluruhan prevalensi
HSV-2 tetap tinggi (16,2%) dan bahwa penyakit tersebut terus membebani AfrikaAmerika dengan prevalensi 39,2%, prevalensi yang lebih besar yakni perempuan
khususnya kulit hitam (prevalensi 48,0%) dikarenakan sejumlah faktor
menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar, dan juga prevalensi
perempuan dimasyarakat yang lebih tinggi sehingga menempatkan perempuan
dari semua ras berisiko lebih besar untuk HSV-2 dibandingkan laki-laki.2
Pada penelitian yang dilakukan oleh Savolainen di Finlandia terhadap 839
pasien infeksi herpes genitalia selama 2003-2012 didapatkan infeksi HSV-2
sebanyak 66,4% (557/839) dan HSV-1 sebanyak 33,6% (282/839). Usia rata-rata
pasien laki-laki (26,3 tahun) dengan infeksi HSV-1 lebih rendah dibandingkan
pada pasien laki-laki dengan infeksi HSV-2 pada tahun 2003-2007 antara 26,332,9 tahun menjadi 28,6-34 tahun pada tahun 2008-2012. Perempuan lebih dari

pasien laki-laki memiliki infeksi HSV-1, yakni pada periode studi pertama tahun
2003-2007 sebanyak 58% perempuan, dan pada tahun 2008-2012, menjadi
63,6%.4
Distribusi penderita baru herpes genitalis di Divisi IMS URJ Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005-2007 tercatat
penderita herpes genitalis sebanyak 83 (0,49%) dari seluruh penderita. Infeksi
herpes genitalis menempati urutan ke-6 dari 10 penyakit terbanyak di Divisi IMS.
Penderita wanita sebanyak 55 orang (66,2%) lebih banyak daripada laki-laki
sebanyak 28 orang (33,8%) atau dengan rasio 1,96:1. Kelompok umur terbanyak
terdapat pada kelompok umur 25-34 tahun sebanyak 33 orang (39,7%).12
2.4.

Patogenesis
Replikasi virus herpes berlangsung dengan hati-hati melalui beberapa

proses. Beberapa saat setelah infeksi, lima gen ditranskripsi dengan cepat. Protein
yang dikodekan oleh gen ini merangsang sintesis dari sekitar selusin protein
secara cepat yang diperlukan untuk replikasi genom. Kebanyakan obat antivirus
berinteraksi dengan dua protein ini, timidin kinase (TK) dan enzim polimerase
DNA virus. Setelah replikasi DNA, tersisa lebih dari 60 gen HSV-2 yang
diekspresikan dengan lambat. Mereka mengkodekan komponen struktural virus
dan protein yang dibutuhkan untuk pengikatan yang tepat.5
Secara in vivo, infeksi HSV dapat dibagi menjadi tiga tahap: infeksi akut,
pembentukan dan pemeliharaan fase laten, serta reaktivasi virus. Selama infeksi
akut, virus bereplikasi di lokasi inokulasi pada permukaan mukokutan, sehingga
lesi primer dimana virus cepat menyebar menginfeksi terminal saraf sensorik,
dimana ia dapat berpindah menggunakan transportasi aksonal retrograde ke inti

saraf di ganglia sensoris. Di dalam bagian dari neuron yang terinfeksi, infeksi
laten terjadi dimana DNA virus dipertahankan sebagai episome dan ekspresi gen
HSV sangat terbatas. Pada tahap terakhir, reaktivasi virus dengan bersamaan
melalui transportasi anterograde aksonal virus yang baru ke perifer, atau di dekat
tempat masuk yang asli.5

Gambar 2.1. Fase infeksi herpes simpleks5


Reaktivasi HSV-1 paling efisien dan sering dari ganglia trigeminal,
sedangkan reaktivasi HSV-2 terutama dari ganglia sakral. Tingkat reaktivasi HSV
tampaknya dipengaruhi oleh kuantitas DNA virus laten di ganglia. Selain jumlah
virus laten menjadi penentu tingkat reaktivasi HSV, ada urutan-jenis tertentu
dalam genom HSV yang muncul untuk mempengaruhi tingkat kekambuhan pada
anatomi tertentu. Selain gen virus, faktor host sangat mempengaruhi reaktivasi
HSV. Reaktivasi diinduksi pada hewan percobaan yang diberikan paparan radiasi
ultraviolet, hipertermia, trauma lokal, serta stres fisiologis lainnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang terjadi pada manusia stres.5
Kekebalan tubuh untuk HSV jelas mempengaruhi risiko tertular infeksi,
tingkat keparahan penyakit, dan frekuensi kekambuhan. Risiko penyakit HSV
yang berat dan tingkat kekambuhan berkorelasi dengan tingkat kompetensi imun

seluler dari host. Pasien dengan penurunan imunitas seluler yang ringan hanya
dapat mengalami peningkatan jumlah rekurensi dan resolusi yang lebih lambat
dari lesi, sedangkan pasien imunitasnya sangat menurun lebih mungkin untuk
bereplikasi, kronis, atau infeksi yang resistan terhadap obat.5
Pada studi in vivo telah terlibat peran untuk kedua subset T limfosit CD8 +
dan CD4+, sel-sel NK, dan sitokin inflamasi seperti interferon- dalam mediasi
perlindungan terhadap HSV. Namun, kontribusi masing-masing bagian sel dan
sitokin dalam pengendalian infeksi HSV belum jelas.5
2.5.

Gejala Klinis
Infeksi virus herpes simpleks berlangsung dalam 3 fase yaitu :
A. Infeksi primer
Tempat predileksi HSV-1 didaerah pinggang keatas terutama didaerah
mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat
terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau
pada orang yang sering menggigit jari (Herpetic Whitlow). Infeksi primer oleh
HSV-2 mempunyai tempat predileksi didaerah pinggang kebawah, terutama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.1
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual
seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadangkadang disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut
dapat disebabkan oleh HSV-2.1
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu
dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan anoreksia,
dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.1

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas


kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi
yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat
indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi
gambaran yang tidak jelas. Hal ini umumnya terjadi pada orang yang
kekurangan antibodi virus herpes simpleks.1
Beberapa gambaran infeksi herpes simpleks primer antara lain :
a) Gingivostomatitis herpetika
Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1 orofasial
primer yang tersering.6 Suatu gingivostomatitis herpetika primer yang
hebat dapat terjadi dengan erosi yang terasa nyeri pada mukosa pipi dan
bibir.8 Kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun. Setelah periode
inkubasi sekitar 5 hari, stomatitis dimulai berupa demam, malaise, 8 disertai
rasa tidak nyaman di mulut. Gusi membengkak, inflamasi dan mudah
berdarah. Vesikel berbentuk sebagai plak putih pada lidah, faring, palatum
dan membran mukosa bukal. Plak berkembang menjadi ulkus dengan
pseudomembrane kekuningan. Kelenjar getah bening regional membesar.
Setelah 3-5 hari, demam normal kembali dan penyembuhan lengkap
biasanya dalam 2 minggu.6

10

Gambar 2.2. Gingivostomatitis herpetika primer5


b) Herpes genitalia
Infeksi pada area genitalia biasanya disebabkan oleh aktivitas seksual.
HSV-2 sangat sering menyebabkan infeksi pada area tersebut, namun
sekarang diketahui adanya peningkatan frekuensi dari HSV-1 pada herpes
genitalia, terutama pada wanita muda. Ulkus penis merupakan infeksi
herpes tersering pada ulkus genital. Ulkus dapat ditemukan pada glans,
preputium dan batang penis. Ulkus tersebut menyakitkan atau nyeri dan
lama sekitar 2-3 minggu bila belum teratasi. Pada laki-laki homoseksual,
herpes simpleks biasanya terdapat pada area perianal dan dapat menyebar
ke rektum.6

Gambar 2.3. Herpes genitalia. Penyebaran lesi di batang penis6


Pada wanita lesi yang sama dapat terjadi pada genitalia eksterna dan
mukosa pada vulva, vagina dan serviks. Gejala yang timbul biasanya nyeri

11

dan disuria. Infeksi pada serviks dapat berkembang menjadi servisitis


ulseratif berat. Seseorang yang telah mengalami infeksi HSV-1
sebelumnya, biasanya menurunkan tingkat beratnya infeksi primer HSV-2,
memperpendek gejala klinis dan mengurangi gejala sistemik.6

Gambar 2.4. Herpes vulvitis primer5


c) Keratokonjungtivitis
Infeksi primer herpes pada mata menyebabkan konjungtivitis purulen
dan ulkus kornea superfisial. Kelopak mata terlihat edema dan ada vesikel
disekitar kulit. Kelenjar preauricular membesar dan nyeri.6
d) Inokulasi herpes simpleks
Inokulasi virus herpes secara langsung ke kulit normal memberikan
gambaran papula indurasi, bula atau vesikel tersebar tidak teratur setelah
periode inkubasi selama 5-7 hari. Kelenjar regional membesar tetapi gejala
demam dan gejala konstitusional lain biasanya ringan. Inokulasi pada
daerah jari didapatkan pada Herpetic Whitlow dimana terdapat nyeri,
vesikel terlihat dalam sehingga memberikan gambaran sarang lebah atau
membentuk bula yang besar. Hal ini hampir sama dengan infeksi piogenik.
Kekambuhan herpetic whitlow terjadi paling banyak karena HSV-2 dan
terjadi pada wanita dengan herpes genitalia rekuren.6

12

Gambar 2.5. Herpetic Whitlow5


e) Herpes neonatal
Infeksi herpes genitalia primer atau infeksi rekurens pada ibu yang
akan melahirkan membuat resiko tinggi terjadinya transmisi ke bayi
selama persalinan pervaginam. Viral shedding yang asimptomatik antara
serangan atau kontak dengan infeksi akut pada periode neonatus juga
dapat menjadi herpes neonatus sekitar 1:50.000 kelahiran di US. Efek pada
bayi rata-rata berat dan dapat menyebabkan penyebaran penyakit, sistem
saraf pusat predominan, atau terbatas pada kulit, mata dan mulut.
Kemudian terjadi erupsi vesikel atau pengelupasan kulit. Mukosa
mengalami inflamasi dan ulserasi. HSV dapat dideteksi dengan
Polymerase chain reaction (PCR) pada cairan serebrospinal. Meskipun
setelah pemberian terapi dengan asiklovir, relaps herpes neonatus sering
terjadi.6

13

Gambar 2.6. Herpes neonatal7


B. Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.1 Virus bisa
menimbulkan lesi yang sering kambuh karena dipicu oleh berbagai stimuli.
Pada orang-orang dengan imunodefisiensi, misalnya pada orang-orang dengan
imunosupresi akibat dilakukannya transplantasi organ, atau yang berkaitan
dengan infeksi HIV, herpes simpleks secara klinis bisa menjadi atipik dan
berlangsung lama.8
C. Rekurensi
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme dorongan menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mekanisme dorongan itu dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan sebagainya), trauma
psikis (gangguan emosional, menstruasi).1,6 Namun, dalam banyak kasus tidak
terdapat alasan yang jelas bagaimana terjadinya kekambuhan. 6 Rekurensi
terjadi sekitar 30-50% kasus herpes oral, tetapi lebih sering setelah infeksi
herpes genital.6

14

Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat di sekitarnya (non loco).1
Erupsi bisa saja menyakitkan di awal atau nyeri bisa berlangsung selama
beberapa hari. Predileksi paling sering terjadi pada wajah, terutama di sekitar
mulut (Gambar 2.7), tetapi dapat berada pada bagian tubuh manapun.
Rekurensi cenderung berada di daerah yang sama, tetapi tidak selalu di tempat
yang sama. Meskipun vesikel biasanya membentuk kelompok yang tidak
teratur, mereka dapat terlihat dalam baris atau distribusi zosteriform, terutama
di dada atau daerah pinggang. Lesi infeksi rekurens herpes yang paling sering
vesikular dan ulseratif, tapi kadang-kadang mereka atipikal dengan gambaran
misalnya, folikulitis, fisura kandida.6

Gambar 2.7. Herpes labialis rekurens5


Beberapa gambaran infeksi herpes simpleks rekurens antara lain :
a) Herpes genital.
Rekurensinya cukup sering terjadi, sekitar 2-6 kali per tahun dengan
kelompok vesikel kecil yang menyebabkan ulkus non-indurasi pada glans
penis atau batang penis (lihat Gambar 2.8). Durasi lebih pendek dari

15

infeksi primer. Lesi yang sama dapat terjadi pada labia, vagina atau leher
rahim dan dapat menyebabkan gejala yang menyakitkan. Pada beberapa
individu lesi dapat diketahui. Rekuren lebih sering terjadi pada infeksi
HSV-2.6

Gambar 2.8. Infeksi herpes genitalia rekurens pada penis5

Gambar 2.9. Infeksi herpes genitalia rekurens pada vulva5


b) Viral shedding secara subklinis.
Pelepasan HSV-2 yang asimtomatik lebih sering daripada HSV-1 dan
berhubungan dengan frekuensi kekambuhan gejala. Pada tahun pertama
infeksi HSV-2 lebih sering terjadi daripada tahun berikutnya. 6 Lokasi
pelepasan virus pada keadaan asimtomatis umumnya di kulit penis, uretra,
perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada
wanita.11
c) Herpes simpleks dan eritema multiforme

16

Herpes simpleks yang sering kambuh dapat menjadi pemicu timbulnya


eritema multiforme. Pencegahan dengan asiklovir oral mungkin sangat
bermanfaat dalam penanganan kasus-kasus yang berat.8

Gambar 2.10. Herpes simpleks dan eritema multiforme7


d) Eksema herpetikum (Kaposis vericelliform erupsion)
Penyakit ini merupakan infeksi herpes simpleks yang tersebar luas di
tubuh dan terjadi pada eksema atopik. Bagian tubuh yang sering terkena
adalah kepala dan leher, tetapi lesi bisa dengan cepat menyebar luas di
kulit. Bisa timbul limfadenopati dan kelemahan tubuh. Eksema herpetikum
memang bisa kambuh, tetapi kebanyakan serangan-serangan berikutnya
cenderung lebih ringan.8

Gambar 2.11. Eksema herpetikum7


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien herpes simpleks

2.6.
yakni :
a.

Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel
raksasa berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.1,5 Pemeriksaan ini

17

sangat membantu untuk diagnosis secara cepat dari infeksi virus herpes,
namun kurang sensitive dibandingkan dengan kultur virus. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan mengerok dasar dari vesikel yang baru pecah dan dengan
pengecatan Giemsa atau Wright atau Papanicolaou.5

Gambar 2.12. Herpes simpeks virus. Pengecatan Tzanck positif.5


b.

Kultur virus. Beberapa sediaan akan menunjukkan hasil positif pada 48-96
jam setelah inokulasi. Sensitivitasnya tergantung kuantitas virus pada sediaan.
Meskipun sekitar 60-70% lesi genital baru memiliki kultur positif. Isolasi dari
virus sering berhasil bila lesi dikultur selama tahap vesikuler dan bila diambil
dari pasien imunokompromis atau pasien pada infeksi primer.5

c.

Deteksi DNA HSV dengan PCR, lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan
lebih mahal untuk diagnosis infeksi sistem saraf pusat dan herpes pada
neonatus. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk deteksi HSV pada lesi tahap
ulserasi. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
HSV-1 dan HSV-2.5

d.

Tes serologik juga sangat membantu tetapi hasil yang didapatkan sering salah
dalam interpretasi data. Tujuan utama dari pemeriksaan ini ialah membedakan
episode primer dari infeksi rekurens (Tabel 2.1). Hasil serologi positif dapat
berguna pada pasien rekuren. Tes serologi ini juga berguna pada pasien yang

18

berkonsultasi dengan episode awal dan rekannya, terutama selama kehamilan,


dan konsultasi rekan seksual pasien dengan herpes genital tentang resiko
mendapat HSV.5
Tabel 2.1. Klasifikasi Infeksi Herpes Simpleks Menurut Isolasi Virus dan
Dipasangkan dengan Hasil Tes Serologi5
Klasifikasi
Isolasi
Serologi (akut)
Serologi (penyembuhan)
virus
HSV-1 HSV-2 HSV-1
HSV-2
HSV-1 primer
HSV-1 +
HSV-2 primer
HSV-2 +
HSV-1 primer + infeksi HSV-1 +
+
+
HSV-2 sebelumnyaa
HSV-2 primer + infeksi HSV-2 +
+
+
HSV-1 sebelumnya
HSV-1 rekuren
HSV-1 +
-/+
+
-/+
HSV-2 rekuren
HSV-2 -/+
+
-/+
+
HSV= herpes simplex virus
a
= jarang
2.7.

Diagnosis Banding
Herpes simpleks didaerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan

dengan herpes zoster pada bibir atau impetigo vesiko bulosa. Pada daerah
genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus mikstum,
maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.1
Herpes zoster pada bibir memiliki bentukan vesikel bergerombol dan lesi
sepanjang perjalanan saraf ganglion sedangkan pada impetigo terdapat vesikel
hingga bula dapat pecah menjadi erosi dan krusta. Pada ulkus durum memiliki
gambaran ulkus bersih, indolen dan ada indurasi. Ulkus mole dengan gambaran
klinis ulkus kotor, merah dan nyeri. Sedangkan pada limfogranuloma venereum
memiliki gambaran ulkus sangat nyeri didahului pembengkakan kelenjar
inguinal.1
2.8.

Penatalaksanaan

19

Erupsi ringan herpes simpleks tidak memerlukan pengobatan. Penggunaan


antiseptik topikal pada kulit yang terkena dapat membantu mengurangi risiko
infeksi bakteri sekunder.6
Pengobatan bersifat simptomatis. Jika vesikel pecah dapat dilakukan :
a.
Kompres dengan sol. Kalium-permanganas 1/5000
b.
Obat-obat antiseptik seperti povidon yodium
c.
Idoksuridin (IDU) topikal 5-40% untuk menekan sintesis DNA
d.
Alkohol 70% untuk mengeringkan dan desinfeksi.9
Acyclovir (asiklovir). Setelah fosforilasi ketiga, obat ini bergabung dengan
DNA dimana akan mengganggu aksi DNA Polimerase dan bertindak sebagai
terminator rantai. Langkah fosforilasi pertama dikatalisis oleh timidin kinase virus
tertentu sehingga efek dari obat ini terbatas hanya untuk virus sel yang terinfeksi.
Valasiklovir dan famsiklovir secara kimia sama dengan asiklovir dan memiliki
mekanisme yang sama. Mereka merupakan obat precursor. Valasiklovir dikonversi
menjadi asiklovir dan famsiklovir dikonversi menjadi pensiklovir. Mereka diserap
lebih baik daripada asiklovir dosis oral dan bioavailabilitasnya lebih tinggi.6
Pada pasien imunokompeten, lesi inisial dapat diberikan asiklovir 5x200
mg selama 5-10 hari, dan pada infeksi rekurens dapat diberikan asiklovir 5x200
mg selama 5 hari atau 2x800 mg/hari. Untuk pengobatan pada pasien dengan
imunokompromais, pada herpes mukokutan primer dapat diberikan asiklovir
5x200 mg per hari selama 10 hari, dan pada herpes mukokutan rekuren dapat
diberikan asiklovir 5x400 mg selama 5-7 hari.9
Pengobatan infeksi herpes simpleks menurut tahap antara lain :
a. Infeksi primer
Asiklovir sistemik adalah pengobatan untuk infeksi herpes simpleks
primer yang berat, tetapi tidak berpengaruh pada pembentukan fase laten virus
dan tingkat kekambuhan setelah terapi. Pengobatan harus dimulai sesegera
mungkin. Dosis intravena sebesar 5 mg/kg tiap 8 jam. Untuk infeksi yang
lebih ringan dan tidak ada gangguan menelan, pengobatan oral dapat

20

diberikan. Dosis oral yang biasa digunakan ialah 5 x 200 mg per hari selama 5
hari atau lebih, tetapi 2 x 400 mg per hari telah menghasilkan efek terapi yang
baik. Pada anak-anak, suspensi oral yang diberikan sebanyak 15 mg/kg 5 kali
per hari selama 7 hari akan mengurangi durasi gejala dan pelepasan virus.
Valasiklovir sebagai alternatif 2 x 500mg per hari selama 10 hari. Herpes
neonatal diterapi dengan dosis tinggi asiklovir intravena (60 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis terbagi selama 2-3 minggu).6
b. Infeksi rekurens
Asiklovir oral dimulai sesegera mungkin setelah timbulnya gejala dapat
mempersingkat durasi dan mengurangi intensitas dari episode. Kejadian
rekurensi sering, profilaksis jangka panjang asiklovir dengan dosis 200-400
mg 2 kali sehari selama 4-6 bulan mungkin dapat meningkatkan waktu antara
episode.6
Rekuren dapat ditekan dengan pengobatan jangka panjang, meskipun
terapi dihentikan bahkan setelah beberapa tahun, masih ada kemungkinan
kembalinya rekurensi. Dosis asiklovir bervariasi antara 200 dan 1000 mg
sehari; sediaan umum yakni 2 x 400 mg sehari, secara bertahap dikurangi.
Valasiklovir 250 mg 2 kali sehari atau 1 g sekali sehari, atau famsiklovir 125
mg 3 kali sehari atau 250 mg 2 kali sehari juga efektif dalam penekanan
episode rekurens. Bayi yang berisiko dari ibu dengan herpes vulvovaginitis
primer pada saat melahirkan sehingga operasi Caesar harus dilakukan sebagai
pilihan dan asiklovir profilaksis harus dipertimbangkan untuk neonatus.
Herpes genital primer selama trimester ketiga perlu pertimbangan perawatan
ibu dengan asiklovir oral, meskipun belum dapat diketahui apakah dapat
mengurangi risiko herpes neonatal.6

21

Gambar 2.13. Regimen terapi yang direkomendasikan pada infeksi herpes


simpleks5

22

Gambar 2.14. Regimen terapi yang direkomendasikan pada infeksi herpes


simpleks (lanjutan)5

23

Gambar 2.15. Regimen terapi yang direkomendasikan pada infeksi herpes


simpleks (lanjutan)5
2.9.

Komplikasi
a. Infeksi primer
1)
Faringitis. Hal ini dapat menyertai sekitar 10% dari infeksi primer
herpes orofasial, tetapi juga terjadi pada 1% dari infeksi rekurens
herpes genital. Sakit kepala dan meningismus terjadi sekitar 36%
wanita dan 11% laki-laki dari 268 pasien dengan infeksi primer herpes
simpleks genital, dengan prognosis baik. Pada pasien tersebut, HSV
2)

DNA dapat ditemukan dengan PCR dalam cairan serebrospinal.6


Radikuloneuropati. Didapatkan pada infeksi primer anogenital pada
wanita, dan terutama

pada penyakit

perianal pada laki-laki

homoseksual. Mungkin ada parestesia sakral, retensi urin, sembelit dan


impotensi. Pemulihan membutuhkan beberapa hari sampai beberapa
3)

minggu.6
Infeksi sistemik dapat terjadi pada imunodefisiensi dan pada neonatus
yang tidak dilindungi oleh antibodi yang diperoleh dari maternal, tetapi
jarang pada orang sehat. Infeksi sistemik bisa terjadi dengan atau tanpa
lesi yang meluas. Pada semua usia, ensefalitis yang tidak tertangani,
memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi

pada

pasien, pada

neonatus HSV-2 memberikan prognosis yang lebih buruk daripada

24

HSV-1, bahkan dengan terapi antivirus. Hepatitis dengan infeksi HSV


jarang terjadi pada orang dewasa, ketika parah sering berakibat fatal.
Infeksi saluran pernapasan bawah biasanya terjadi pada penurunan
imunitas, intubasi pada pasien, dan pada neonatus.6
b. Infeksi rekurens
1)
Gejala konstitusional jarang terjadi pada rekurensi herpes baik pada
wajah atau bibir, beberapa individu melaporkan gangguan suhu tubuh,
2)

kelelahan dan malaise umum yang sering mendahului onset.6


Kelumpuhan saraf kranial dapat terjadi, kadang-kadang pada setiap
erupsi. Eksim herpetikum dapat dikaitkan dengan rekurens seperti

3)

infeksi primer.6
Pada imunokompromais, ulseratif persisten atau lesi verruciform dapat
terjadi.

Jika herpes simpleks berulang dapat melibatkan mata,

keratokonjungtivitis, ulkus dendritik, disciform atau keratitis hipopion


4)

dan iridosiklitis mungkin terjadi.6


Limfedema juga dapat terjadi saat rekurensi pada bibir. Leukoderma
sekunder dapat berkembang pada pigmentasi kulit, dan herpes telah

2.10.

dicatat dapat muncul dalam jaringan parut.6


Konseling dan Pencegahan
Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan

konseling sebagai bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis


dengan harapan tercapainya beberapa tujuan (goals) yang jelas. Pada dasarnya
konseling IMS bertujuan:
1.

Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan

2.

Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal

3.

Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar


mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu

25

4.

Mengurangi risiko penularan dengan:


a) Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b) Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul gejala atau rekurens
c) Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko

5.

Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang
mencurigakan setelah hubungan seks.10
Salah satu strategi kesehatan untuk mengurangi infeksi dan morbiditas

infeksi HSV yakni vaksin. Namun belum ada vaksin yang terbukti dapat
melindungi dari infeksi HSV (profilaksis) atau mengurangi kejadian rekurensi
(terapi). Pada studi pendahuluan, vaksin rekombinan HSV-2 glikoprotein D
dengan adjuvan alum dapat menurunkan frekuensi gejala pada herpes genital.5
2.11.

Prognosis
Prognosis baik dengan pengobatan dini sedangkan infeksi rekuren hanya

dapat dibatasi frekuensi kekambuhannya. Pada orang dengan gangguan imunitas


misalnya penyakit-penyakit tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan
dengan immunosupresan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke
organ dalam dan berakibat fatal.6 Prognosis akan lebih baik seiring dengan
meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.1
Prognosis infeksi herpes simpleks yakni :
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad malam
3. Quo ad kosmetikam : dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai

  • CDK 037 Farmakokinetika Klinik
    CDK 037 Farmakokinetika Klinik
    Dokumen72 halaman
    CDK 037 Farmakokinetika Klinik
    revliee
    100% (6)
  • Fraktur Terbuka Fix
    Fraktur Terbuka Fix
    Dokumen6 halaman
    Fraktur Terbuka Fix
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Kecacingan
    Penyuluhan Kecacingan
    Dokumen30 halaman
    Penyuluhan Kecacingan
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • KDS
    KDS
    Dokumen24 halaman
    KDS
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Terbuka Fix
    Fraktur Terbuka Fix
    Dokumen6 halaman
    Fraktur Terbuka Fix
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam Sederhana
    Kejang Demam Sederhana
    Dokumen10 halaman
    Kejang Demam Sederhana
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Ketamin
    Bab 2 Ketamin
    Dokumen20 halaman
    Bab 2 Ketamin
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Dka
    Bab 1 Dka
    Dokumen1 halaman
    Bab 1 Dka
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik
    Dokumen7 halaman
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik
    chaos_sec
    Belum ada peringkat
  • Sakit Dan Diare
    Sakit Dan Diare
    Dokumen8 halaman
    Sakit Dan Diare
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Materi Kulkel
    Materi Kulkel
    Dokumen2 halaman
    Materi Kulkel
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • POOOMR
    POOOMR
    Dokumen2 halaman
    POOOMR
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat
  • Uji Tourniquet
    Uji Tourniquet
    Dokumen4 halaman
    Uji Tourniquet
    Irawati Eka Putri
    Belum ada peringkat
  • Abstrak
    Abstrak
    Dokumen1 halaman
    Abstrak
    nindya puspita sari
    Belum ada peringkat