BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simplex
virus (HSV) tipe I atau tipe II dengan bentukan lesi berupa vesikel berkelompok
di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok terutama pada
atau dekat sambungan mukokutan, dapat berlangsung primer maupun rekurens.
Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes
labialis, herpes genitalis.1 Herpes simpleks ditandai oleh nyeri, rasa terbakar, atau
vesikel bergerombol di bibir, selaput lendir mulut, daerah genital, atau area lain
dari tubuh.3
2.2.
Etiologi
Herpes simpleks disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 dimana merupakan
anggota dari keluarga Herpesviridae yang merupakan virus DNA. 1 Kedua serotipe
HSV dan juga virus varicella-zooster (VVZ) adalah anggota dari subfamili virus
-Herpesviridae. Virus -Herpesviridae menginfeksi beberapa jenis sel pada
kultur, tumbuh pesat, dan efisien menghancurkan sel induk. Infeksi pada induk
asli ditandai dengan lesi di epidermis, dengan penyebaran virus ke sistem saraf
dan pembentukan infeksi laten dalam neuron, dari mana virus tersebut secara
berkala dapat kembali teraktivasi.5 HSV tipe 1,
orofasial. Kontak pertama dengan HSV tipe 1 biasanya terjadi pada usia dini,
misalnya anak yang dicium orang dewasa yang menderita sariawan. 8 HSV tipe 2,
Epidemiologi
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. 1 Namun dari penelitian lain
dikatakan perempuan lebih dari laki-laki memiliki infeksi HSV-1. 4 Insidensi
infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan rekurensi herpes labialis tinggi pada
masa anak-anak antara 30-60 %. Kejadian ini meningkat sesuai dengan umur.
Sekitar 20-40% dari populasi pernah mengalami herpes labialis. Sedangkan
infeksi HSV-2 sangat berkaitan dengan aktivitas hubungan seksual sehingga
mempunyai prevalensi potensi pada teman seksual.5
Dari hasil CDC 2010, menunjukkan bahwa secara keseluruhan prevalensi
HSV-2 tetap tinggi (16,2%) dan bahwa penyakit tersebut terus membebani AfrikaAmerika dengan prevalensi 39,2%, prevalensi yang lebih besar yakni perempuan
khususnya kulit hitam (prevalensi 48,0%) dikarenakan sejumlah faktor
menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar, dan juga prevalensi
perempuan dimasyarakat yang lebih tinggi sehingga menempatkan perempuan
dari semua ras berisiko lebih besar untuk HSV-2 dibandingkan laki-laki.2
Pada penelitian yang dilakukan oleh Savolainen di Finlandia terhadap 839
pasien infeksi herpes genitalia selama 2003-2012 didapatkan infeksi HSV-2
sebanyak 66,4% (557/839) dan HSV-1 sebanyak 33,6% (282/839). Usia rata-rata
pasien laki-laki (26,3 tahun) dengan infeksi HSV-1 lebih rendah dibandingkan
pada pasien laki-laki dengan infeksi HSV-2 pada tahun 2003-2007 antara 26,332,9 tahun menjadi 28,6-34 tahun pada tahun 2008-2012. Perempuan lebih dari
pasien laki-laki memiliki infeksi HSV-1, yakni pada periode studi pertama tahun
2003-2007 sebanyak 58% perempuan, dan pada tahun 2008-2012, menjadi
63,6%.4
Distribusi penderita baru herpes genitalis di Divisi IMS URJ Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005-2007 tercatat
penderita herpes genitalis sebanyak 83 (0,49%) dari seluruh penderita. Infeksi
herpes genitalis menempati urutan ke-6 dari 10 penyakit terbanyak di Divisi IMS.
Penderita wanita sebanyak 55 orang (66,2%) lebih banyak daripada laki-laki
sebanyak 28 orang (33,8%) atau dengan rasio 1,96:1. Kelompok umur terbanyak
terdapat pada kelompok umur 25-34 tahun sebanyak 33 orang (39,7%).12
2.4.
Patogenesis
Replikasi virus herpes berlangsung dengan hati-hati melalui beberapa
proses. Beberapa saat setelah infeksi, lima gen ditranskripsi dengan cepat. Protein
yang dikodekan oleh gen ini merangsang sintesis dari sekitar selusin protein
secara cepat yang diperlukan untuk replikasi genom. Kebanyakan obat antivirus
berinteraksi dengan dua protein ini, timidin kinase (TK) dan enzim polimerase
DNA virus. Setelah replikasi DNA, tersisa lebih dari 60 gen HSV-2 yang
diekspresikan dengan lambat. Mereka mengkodekan komponen struktural virus
dan protein yang dibutuhkan untuk pengikatan yang tepat.5
Secara in vivo, infeksi HSV dapat dibagi menjadi tiga tahap: infeksi akut,
pembentukan dan pemeliharaan fase laten, serta reaktivasi virus. Selama infeksi
akut, virus bereplikasi di lokasi inokulasi pada permukaan mukokutan, sehingga
lesi primer dimana virus cepat menyebar menginfeksi terminal saraf sensorik,
dimana ia dapat berpindah menggunakan transportasi aksonal retrograde ke inti
saraf di ganglia sensoris. Di dalam bagian dari neuron yang terinfeksi, infeksi
laten terjadi dimana DNA virus dipertahankan sebagai episome dan ekspresi gen
HSV sangat terbatas. Pada tahap terakhir, reaktivasi virus dengan bersamaan
melalui transportasi anterograde aksonal virus yang baru ke perifer, atau di dekat
tempat masuk yang asli.5
seluler dari host. Pasien dengan penurunan imunitas seluler yang ringan hanya
dapat mengalami peningkatan jumlah rekurensi dan resolusi yang lebih lambat
dari lesi, sedangkan pasien imunitasnya sangat menurun lebih mungkin untuk
bereplikasi, kronis, atau infeksi yang resistan terhadap obat.5
Pada studi in vivo telah terlibat peran untuk kedua subset T limfosit CD8 +
dan CD4+, sel-sel NK, dan sitokin inflamasi seperti interferon- dalam mediasi
perlindungan terhadap HSV. Namun, kontribusi masing-masing bagian sel dan
sitokin dalam pengendalian infeksi HSV belum jelas.5
2.5.
Gejala Klinis
Infeksi virus herpes simpleks berlangsung dalam 3 fase yaitu :
A. Infeksi primer
Tempat predileksi HSV-1 didaerah pinggang keatas terutama didaerah
mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat
terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau
pada orang yang sering menggigit jari (Herpetic Whitlow). Infeksi primer oleh
HSV-2 mempunyai tempat predileksi didaerah pinggang kebawah, terutama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.1
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual
seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadangkadang disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut
dapat disebabkan oleh HSV-2.1
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu
dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan anoreksia,
dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.1
10
11
12
13
14
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat di sekitarnya (non loco).1
Erupsi bisa saja menyakitkan di awal atau nyeri bisa berlangsung selama
beberapa hari. Predileksi paling sering terjadi pada wajah, terutama di sekitar
mulut (Gambar 2.7), tetapi dapat berada pada bagian tubuh manapun.
Rekurensi cenderung berada di daerah yang sama, tetapi tidak selalu di tempat
yang sama. Meskipun vesikel biasanya membentuk kelompok yang tidak
teratur, mereka dapat terlihat dalam baris atau distribusi zosteriform, terutama
di dada atau daerah pinggang. Lesi infeksi rekurens herpes yang paling sering
vesikular dan ulseratif, tapi kadang-kadang mereka atipikal dengan gambaran
misalnya, folikulitis, fisura kandida.6
15
infeksi primer. Lesi yang sama dapat terjadi pada labia, vagina atau leher
rahim dan dapat menyebabkan gejala yang menyakitkan. Pada beberapa
individu lesi dapat diketahui. Rekuren lebih sering terjadi pada infeksi
HSV-2.6
16
2.6.
yakni :
a.
Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel
raksasa berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.1,5 Pemeriksaan ini
17
sangat membantu untuk diagnosis secara cepat dari infeksi virus herpes,
namun kurang sensitive dibandingkan dengan kultur virus. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan mengerok dasar dari vesikel yang baru pecah dan dengan
pengecatan Giemsa atau Wright atau Papanicolaou.5
Kultur virus. Beberapa sediaan akan menunjukkan hasil positif pada 48-96
jam setelah inokulasi. Sensitivitasnya tergantung kuantitas virus pada sediaan.
Meskipun sekitar 60-70% lesi genital baru memiliki kultur positif. Isolasi dari
virus sering berhasil bila lesi dikultur selama tahap vesikuler dan bila diambil
dari pasien imunokompromis atau pasien pada infeksi primer.5
c.
Deteksi DNA HSV dengan PCR, lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan
lebih mahal untuk diagnosis infeksi sistem saraf pusat dan herpes pada
neonatus. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk deteksi HSV pada lesi tahap
ulserasi. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
HSV-1 dan HSV-2.5
d.
Tes serologik juga sangat membantu tetapi hasil yang didapatkan sering salah
dalam interpretasi data. Tujuan utama dari pemeriksaan ini ialah membedakan
episode primer dari infeksi rekurens (Tabel 2.1). Hasil serologi positif dapat
berguna pada pasien rekuren. Tes serologi ini juga berguna pada pasien yang
18
Diagnosis Banding
Herpes simpleks didaerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan
dengan herpes zoster pada bibir atau impetigo vesiko bulosa. Pada daerah
genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan ulkus mikstum,
maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.1
Herpes zoster pada bibir memiliki bentukan vesikel bergerombol dan lesi
sepanjang perjalanan saraf ganglion sedangkan pada impetigo terdapat vesikel
hingga bula dapat pecah menjadi erosi dan krusta. Pada ulkus durum memiliki
gambaran ulkus bersih, indolen dan ada indurasi. Ulkus mole dengan gambaran
klinis ulkus kotor, merah dan nyeri. Sedangkan pada limfogranuloma venereum
memiliki gambaran ulkus sangat nyeri didahului pembengkakan kelenjar
inguinal.1
2.8.
Penatalaksanaan
19
20
diberikan. Dosis oral yang biasa digunakan ialah 5 x 200 mg per hari selama 5
hari atau lebih, tetapi 2 x 400 mg per hari telah menghasilkan efek terapi yang
baik. Pada anak-anak, suspensi oral yang diberikan sebanyak 15 mg/kg 5 kali
per hari selama 7 hari akan mengurangi durasi gejala dan pelepasan virus.
Valasiklovir sebagai alternatif 2 x 500mg per hari selama 10 hari. Herpes
neonatal diterapi dengan dosis tinggi asiklovir intravena (60 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis terbagi selama 2-3 minggu).6
b. Infeksi rekurens
Asiklovir oral dimulai sesegera mungkin setelah timbulnya gejala dapat
mempersingkat durasi dan mengurangi intensitas dari episode. Kejadian
rekurensi sering, profilaksis jangka panjang asiklovir dengan dosis 200-400
mg 2 kali sehari selama 4-6 bulan mungkin dapat meningkatkan waktu antara
episode.6
Rekuren dapat ditekan dengan pengobatan jangka panjang, meskipun
terapi dihentikan bahkan setelah beberapa tahun, masih ada kemungkinan
kembalinya rekurensi. Dosis asiklovir bervariasi antara 200 dan 1000 mg
sehari; sediaan umum yakni 2 x 400 mg sehari, secara bertahap dikurangi.
Valasiklovir 250 mg 2 kali sehari atau 1 g sekali sehari, atau famsiklovir 125
mg 3 kali sehari atau 250 mg 2 kali sehari juga efektif dalam penekanan
episode rekurens. Bayi yang berisiko dari ibu dengan herpes vulvovaginitis
primer pada saat melahirkan sehingga operasi Caesar harus dilakukan sebagai
pilihan dan asiklovir profilaksis harus dipertimbangkan untuk neonatus.
Herpes genital primer selama trimester ketiga perlu pertimbangan perawatan
ibu dengan asiklovir oral, meskipun belum dapat diketahui apakah dapat
mengurangi risiko herpes neonatal.6
21
22
23
Komplikasi
a. Infeksi primer
1)
Faringitis. Hal ini dapat menyertai sekitar 10% dari infeksi primer
herpes orofasial, tetapi juga terjadi pada 1% dari infeksi rekurens
herpes genital. Sakit kepala dan meningismus terjadi sekitar 36%
wanita dan 11% laki-laki dari 268 pasien dengan infeksi primer herpes
simpleks genital, dengan prognosis baik. Pada pasien tersebut, HSV
2)
pada penyakit
minggu.6
Infeksi sistemik dapat terjadi pada imunodefisiensi dan pada neonatus
yang tidak dilindungi oleh antibodi yang diperoleh dari maternal, tetapi
jarang pada orang sehat. Infeksi sistemik bisa terjadi dengan atau tanpa
lesi yang meluas. Pada semua usia, ensefalitis yang tidak tertangani,
memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi
pada
pasien, pada
24
3)
infeksi primer.6
Pada imunokompromais, ulseratif persisten atau lesi verruciform dapat
terjadi.
2.10.
2.
3.
25
4.
5.
Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang
mencurigakan setelah hubungan seks.10
Salah satu strategi kesehatan untuk mengurangi infeksi dan morbiditas
infeksi HSV yakni vaksin. Namun belum ada vaksin yang terbukti dapat
melindungi dari infeksi HSV (profilaksis) atau mengurangi kejadian rekurensi
(terapi). Pada studi pendahuluan, vaksin rekombinan HSV-2 glikoprotein D
dengan adjuvan alum dapat menurunkan frekuensi gejala pada herpes genital.5
2.11.
Prognosis
Prognosis baik dengan pengobatan dini sedangkan infeksi rekuren hanya