Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,dan
dipenuhi oleh orang tua,keluarga,masyarakat,pemerintah dan negara.Mendapatkan Air
susu ibu (ASI) merupakan salah satu hak azasi bayi yang harus dipenuhi.Hak bayi
mendapat ASI eksklusif diartikan mendapat ASI sesuai dengan resolusi World Health
Assembly (WHA) tahun 2001,yaitu bayi mendapat ASI eksklusif sejak lahir sampai
usia 6 bulan,selanjutnya diberikan MP-ASI dan pemberian diteruskan sampai usia 2
tahun atau lebih (IDAI Cab.DKI Jakarta,2008).
Menurut laporan tahun 2000 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih kurang
1,5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar. Kurang dari 15
persen bayi di seluruh dunia diberi ASI eksklusif selama empat bulan dan sering kali
pemberian makanan pendamping ASI tidak sesuai dan tidak aman. Hasil penelitian
menunjukkan, gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan anak usia di bawah
lima tahun (balita) antara lain akibat kekurangan gizi sejak dalam kandungan
(pertumbuhan janin yang terhambat), pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini
atau terlambat serta tidak cukup mengandung energi dan zat gizi terutama mineral, dan
tidak berhasil memberikan ASI eksklusif (BKKBN 2004).
ASI selain sebagai sumber nutrisi dapat memberi perlindungan kepada bayi
melalui berbagai komponen zat kekebalan yang dikandungnya. Berbagai telaah ilmiah
telah dilakukan oleh para ahli terhadap komposisi ASI dan pengaruhnya terhadap
kesehatan bayi. Efektifitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan
berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI
1

dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh badan kesehatan dunia
(WHO) membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia 2 tahun dapat menurunkan
angka kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut.
(Tumbelaka,2008)
Untuk di Sulawesi Selatan, angka kematian bayi menunjukkan penurunan yang
sangat tajam, yaitu dari 161 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 55
pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun
2003 menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun
waktu 1998-2003 sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil surkesnas/Susenas 2002-2003,
AKB di Sulsel pada tahun 2005 sebesar 36 per 1.000 kelahiran hidup, dan hasil SDKI
2007 menunjukkan angka 41 per 1.000 kelahiran hidup. Fluktuasi ini bisa terjadi oleh
karena perbedaan besar sampel yang diteliti, sementara itu data proyeksi yang
dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa AKB di Sulsel pada tahun 2007 sebesar 27,52 per
kelahiran hidup. Sementara laporan dari Dinas kesehatan Kabupaten/kota bahwa
jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi, atau 4,32 per 1.000
kelahiran hidup, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematianbayi
atau 4,61 per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia yang merupakan penyebab utama
kematian pada bayi adalah diare, dimana hasil survei yang dilakukan oleh
program,diperoleh angka kesakitan diare untuk tahun 2000 sebesar 301 per 1.000
penduduk, angka ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survei yang sama pada
tahun 1996 sebesar 280 per 1.000 penduduk. (Profil kesehatan Sulsel,2007)
Hasil survey program pemberantasan (P2) diare di Indonesia menyebutkan
bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1000
penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0-1,5 kali per tahun. Tahun 2003
angka kesakitan penyakit ini meningkat menjadi 374 per 1000 penduduk dan
2

merupakan penyakit dengan frekuensi KLB kedua tertinggi setelah DBD. Survei
departemen kesehatan pada tahun 2003, penyakit diare menjadi penyebab kematian
nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur.
Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional lebih banyak dibandingkan
kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55% (Depkes RI 2005).
Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pajanan mikroorganisme
patogen maupun zat alergen lainnya masih merupakan masalah. Infeksi gastointestinal
maupun non gastrointestinal lebih sering ditemukan pada bayi yang mendapat
pengganti air susu ibu (ASI). Hal ini menandakan bahwa ASI merupakan komponen
penting pada sistem imun mukosa gastrointestinal maupun mukosa lain,

karena

sebagian besar mikroorganisme masuk ke dalam tubuh melalui mukosa. (Matondang


dkk,2008)
Berdasarkan data yang diperoleh dari bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Makassar
tahun 2007, jumlah penderita diare sebanyak 52.278 orang dan 14.493 atau sebesar
28% diantaranya adalah balita. (Profil Kota Makassar 2007)
Penelitian penelitian yang sudah dilakukan para ahli di India dengan
menggunakan ASI donor dari manusia, didapatkan kejadian infeksi lebih sedikit secara
bermakna dan tidak terdapat infeksi berat pada kelompok yang diberi ASI manusia,
sedangkan bayi pada kelompok yang tidak mendapat ASI (kontrol) banyak mengalami
diare, pneumonia, sepsis, dan meningitis (Tumbelaka,dkk,2008).
Sejak awal kelahiran ,bayi hanya diberikan ASI dan selanjutnya disusui sesering
mungkin tanpa dibatasi. Bayi dapat mengukur sendiri kemampuan dan kebutuhan
cairan yang diperlukan. Kita hanya perlu meluangkan waktu dan memberi
kesempatan padanya untuk mendapat yang terbaik yang ia butuhkan. (Roesli,2008).
3

Untuk pertumbuhannya, seorang bayi memerlukan nutrisi yang adekuat, sehingga


dapat menjamin tumbuh kembang berlangsung seoptimal mungkin. Nutrisi terbaik
bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya adalah ASI. WHO dan UNICEF
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif dari sejak lahir sampai usia 6 bulan dan
bayi harus sering disusui tanpa dibatasi waktu . (Rini Sekartini,2008).
Berdasarkan

uraian di atas, angka kejadian diare akibat masih rendahnya

pemberian ASI eksklusif

pada bayi masih cukup tinggi di negara berkembang

khususnya di Indonesia, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang hubungan


pola pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi 0-6 bulan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan prevalensi kejadian penyakit diare pada bayi umur 0-6 bulan
yang mendapat ASI eksklusif dan bayi yang mendapat susu formula
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan frekuensi diare pada bayi umur 0-6 bulan yang
mendapat ASI eksklusif dan bayi yang mendapat susu formula
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui frekuensi diare pada bayi umur 0-6 bulan yang mendapat
ASI eksklusif
b. Untuk mengetahui frekuensi kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan yang
mendapat susu formula
c. Untuk mengetahui perbedaan frekuensi terjadinya diare pada bayi umur 0-6
bulan yang mendapat ASI eksklusif dan bayi yang mendapat susu formula
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Keilmuan
a. Memberikan informasi kepada institusi tempat penelitian diadakan, tentang
perbedaan frekuensi diare pada bayi umur 0-6 bulan yang mendapat ASI
eksklusif dan bayi yang mendapat susu formula
b. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak
yang memerlukan informasi berkaitan dengan data-data yang dikumpulkan.

c. Hasil penelitian sebagai bahan masukan dan pertimbangan ilmiah bagi penelitian
dengan topik yang sama dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Dapat menambah wawasan keilmuan bagi peneliti
b. Dapat menambah pengalaman dan pengembangan diri peneliti di bidang
penelitian,khususnya dalam penyelesaian studi.

Anda mungkin juga menyukai