Anda di halaman 1dari 7

Sensasi Dalam Ruang Arsitektur

Catatan Pameran Arsitektur Andra Matin : Sebuah Sekuel (2012)

Tulisan ini mungkin tidak bisa disebut sebagai tulisan kritik tapi lebih sebagai catatan pemikiran
saya tentang Pameran Arsitektur: Sebuah Sekuel. Oleh karena itu memang bukan tujuan saya untuk
mengulas satu demi satu karya yang dipamerkan. Bagi saya modus representasi dari pameran ini adalah
bagian yang paling menarik dan harus diapresiasi terlepas dari banyak aspek yang bisa dicermati.
Catatan ini pun akan banyak menanggapi masalah ini. Secara sederhana tulisan ini tersusun dalam tiga
bagian: 1. Representasi, 2. Kuratorial, dan 3. Pameran. Bukan sebuah pembagian yang sistematis tetapi
hanya meruntutkan pemikiran saya dari sesuatu yang abstrak ke kongkrit.

[1] REPRESENTASI
Saya selalu terkesan tiap kali melihat foto karya Meret Oppenheim berjudul The EroticObject.
Obyek yang saat ini dipamerkan di MOMA, New York, Amerika serikat adalah sebuah cangkir teh,
lengkap dengan piring kecil dan sendok pengaduk kecil sebagai penadahnya, berukuran seperti layaknya
cangkir teh lainnya. Karya yang dianggap sebagai salah satu karya seni surealis terkuat ini, hanyalah
berangkat dari pembicaraan di kedai kopi antara Oppenheim, Picasso dan Dora Maar.
Cangkir teh ini menjadi menarik perhatian karena seluruh perangkatnya terbuat dari bulu. Bulu
seketika mengubah sensasi dan pencerapan kita terhadap obyek cangkir ini. Ada banyak kebiasaan dan
tatanan dilanggar oleh obyek cangkir bulu ini yang mengakibatkan kegoyahan pada pikiran dan
perasaan kita. Kebiasaan bahwa cangkir yang digunakan sebagai wadah minum teh harus bersih dan
steril, sensasi persentuhan antara keramik/porselen material yang biasa digunakan untuk membuat
cangkir dan bibir juga menjadi bagian dari kebiasaan yang terekam dalam pikiran dan indera. Dingin
dan halusnya permukaan bibir cangkir perlahan mengantarkan panasnya teh menyentuh bibir dan
masuk ke rongga mulut adalah bagian dari rangkaian sensasi kenikmatan dalam minum teh yang secara
keras dihilangkan oleh kehadiran bulu-bulu itu. Bulu dengan tekstur nya yang halus, tipis, panjang,

kadang sedikit kasar, lalu baunya yang khas memberikan sebuah bayangan yang jauh berbeda dari
cangkir biasa walau sebetulnya tidak ada yang beda secara ukuran, model, dan desainnya.
Sensasi pada tubuh erat dengan bayangan dan kenangan yang muncul dalam pikiran tentang
obyek yang biasa kita cerap. Bayangan itu sendiri adalah hasil dari asosiasi atas rekaman citra sepanjang
hidup, yang mendorong hadirnya sensasi tertentu tergantung dari apa yang diasosiasikan. Bulu dekat
sekali dengan mahluk hidup, kulit, dan juga organ-organ tubuh yang terasosiasi dengan seksualitas.
Asosiasi ini yang kemudian seakan menampar pikiran dan rasa kita karena berlawanan dengan seluruh
kenangan akan sensasi meminum secangkir teh yang ada.
Sensasi yang mirip terasa pada saat perlahan masuk ke karya instalasi Proyek Panti Asuhan
Cijayanti. Instalasi ini berupa koridor dengan lebar lebih kurang 1.00 M terbentuk karena apitan dua
dinding kerawang. Material kerawang tersebut adalah yang digunakan juga pada proyek Panti Asuhan
Ciyanti. Saya menduga skala dan nuansa dari ruang koridor ini adalah representasi dari skala dan nuansa
ruang di Panti Asuhan tersebut. Batu kerawang yang berbentuk mirip trapesium-panjang ditumpuk
setingi 2.8 m. Kehadiran tekstur kasar dari tumpukan batu kerawang ini membuat ruang dalam lorong
tersebut terasa menyempit lebih intim karena tidak enak untuk dilewatioleh lebih dari satu orang.
Namun dalam skala ini justru membuat siapapun yang lewat mampu mencium bau dari tumpukan batu
kerawang ini. Lorong ini bermuara pada sebuah ruang persegi, bernuansa hitam, dimana pada salah satu
bidangnya diproyeksikan sebuah film. Bunyi seperti ketukan yang sejak awal memasuki area pameran
terdengar, mulai menyatu dengan ruang. Film tersebut berganti-ganti gambar seirama dengan ketukan
bunyi tadi. Komposisi skala, proporsi, bunyi, bau, visual membuat karya instalasi ini tidak menjadi obyek
yang bisa dinikmati secara visual semata.
Jika kita kembali pada karya Oppenheim yang disinggung pada awal tulisan ini, walau mungkin
mirip, ada satu perbedaan yang menyolok pada modus representasi antara kedua karya tersebut. Pada
karya Oppenheim relasi penanda dan petandanya utuh. Semua orang akan dengan mudah sadar bahwa
obyek itu adalah sebuah cangkir yang biasanya terbuat dari keramik namun hadir sebagai sebuah
cangkir terbuat dari bulu. Ada sebuah mekanisme kritik dari obyek representasi (cangkir bulu) ke obyek
yang di representasikan (cangkir keramik) dan dengan gamblang terbaca oleh siapapun yang melihat
karya ini. Walaupun kedalaman pembacaan tiap orang adalah relatif, tapi paling tidak sensasi
kegelian/kejijikan jika menggunakan cangkir tersebut tersampaikan.
Dalam pameran Andra Matin, relasi tanda itu seakan dibiarkan terpenggal-penggal
(fragmented). Pemeran yang berangkat dari 9 proyek arsitektur Andra Matin ini di-dekonstruksi

sedemikiran rupa menjadi 9 abstraksi (dalam bentuk instalasi) yang masing-masing berperan sebagai
penanda bagi tiap proyek tersebut.
Ada tiga instalasi berupa pilar yang mirip . Masing-masing berbentuk persegi dan diletakkan
sebuah monitor pada salah satu sisinya. Perbedaan ada pada tekstur permukaan tiap sisi pilar tersebut.
Material yang digunakan untuk membentuk tekstur tersebut adalah material yang dianggap mewakili
proyek yang direpresentasikan. Sebagai contoh; Proyek Potato Head diwakili dengan pilar yang
terbentuk dari jalusi-jalusi berwarna-warni. Pada monitor yang terdapat disalah satu bidang pilar ini
menampilkan slideshow beragam suasana dan nuansa dalam restoran ini. Demikian pula pada proyek
Rumah Ita, material papan mendominasi pilar sebagai representasi dari proyek itu. Ada sedikit
perbedaan pada materi slideshownya. Jika pada proyek potatohead kita diperlihatkan dengan suasana
dan nuansa dari ruang, pada proyek rumah Ita yang dipertontonkan adalah aspek fisik massa, dan
bentukan ruang.
Saya merasa tim kurator berupaya menghadirkan sensasi taktil dari tiap proyek melalui pilarpilar ini. Jalusi-jalusi berwarna-warni tersebut memang adalah elemen interior yang dominan di
Restoran Potato Head. Strategi ini seperti ada kesengajaan agar tiap pengunjung mampu melakukan
konstruksi kualitas dari ruang-ruang arsitektur yang diwakili oleh tiap pilar tersebut. Namun Jika pada
karya Oppenheim tersebut, relasi antara obyek representasi dan yang di-representasikan dengan mudah
terjalin, pada ketiga pilar ini tidak sesederhana itu. Salah satu faktor yang hilang adalah relasi antara
penanda dan petanda dikaburkan. Obyek representasi (pilar-pilar) tidak memyediakan rujukan secara
utuh terhadap apa yang direpresentasikannya (proyek-proyek arsitektur yang diwakili). Biasanya
mekanisme pengaburan/penundaan inidigunakan untuk menghadirkan sebuah dimensi fiksi dari sebuah
fakta/sejarah. Dengan menunda atau menghentikan alur rujukan representasi tersebut kebalik ke obyek
yang direpresentasikannya maka akan memberikan ruang terjadinya interpretasi yang
meluas/beragam/liar. Oleh karena itu, pada akhirnya ada dua kemungkinan sensasi yang akan hadir di
tiap pengunjung/penikmat pameran ini. Jika si pengunjung ini pernah datang/mengalami proyek-proyek
yang di representasikan di pameran ini maka sensasi kehadiran representasi abstrak dari kualitas ruang
bisa terasa. Namun jika si pembaca tidak pernah datang/mengalami proyek-proyek tersebut, maka yang
terjadi adalah terbentuknya sebuah citra ruang hasil rekayasa (baca: fiksi) akibat rangsangan-rangsangan
tanda yang ditampilkan oleh tekstur dan slideshow tersebut. Teks kuratorial yang mendampingi tiap-tiap
karya ternyata juga tidak membantu untuk memahami rajutan tanda yang ditampilkan, malah seakan
mengaburkan rajutan tandanya dengan memberikan paparan berupa meta-narasi (narasi diatas narasi)
dari karya yang sudah abstrak ini. Pengunjung/penikmat pameran seakan didorong untuk

berimajinasi/merekayasa sendiri proyek-proyek ini tanpa perlu paham proyek arsitektur yang
sebenarnya seperti apa.
Modus penghadiran pesan dan tanda ini secara konsisten diterapkan pada karya-karya di
pameran ini. Pada Karya Rumah Andra Matin, Bentukan sebuah kotak besar dan diberi celah sedikit,
mencoba merepresentasikan geometri dan artikulasi bentuk yang mudah dikenali di rumah tersebut.
Didalamnya serangkaian monitor memberikan keragaman dimensi yang terkait dengan rumah ini;
konstruksi, detail, suasana ruang, referensi ruang, dan sebagainya. Namun pembacaan ini hanya
mungkin terjadi jika si pengunjung pernah hadir/mengalami karya ini langsung sehingga penanda (karya
instalasi) ini jelas merujuk ke petanda (proyek arsitektur) yang mana. Karya Rumah Winfred
direpresentasikan dengan gambar-gambar yang secara acak tampil dalam serangkaian monitor
dibelakang kaca ruang kafe galeri. Karya Rumah Agus Suwage direpresentasikan dengan monitormonitar dan bunyi yang dihasilkan tukang sewaktu menyusun batu bata dimana material ini juga adalah
elemen arsitektur yang mendominasi pada karya tersebut. Proyek Arsitektur Dia.lo.gue, yang juga
adalah tempat diselenggarakannya pameran ini, direpresentasikan melalui sebuah permainan optik.
Slideshow yang diproyeksikan ke kaca dibiarkan menembus dan terpantul di lantai courtyard kecil galeri.
Pantulan tersebut seakan ingin menguatkan ruang tersebut sebagai sebuah representasi terkuat dari
proyek ini.
Semua karya dihadirkan dalam penggalan-penggalan abstrak yang terbuka untuk diintepresentasi. Ada 2 (dua) kondisi yang bisa secara sederhana saya simpulkan; 1. sebagai sebuah karya
instalasi (secara semantik berhenti pada obyek pameran itu sendiri) atau 2. sebagai sebagai sebuah
representasi dari karya lain (secara semantik terhubung dengan karya arsitektur Andra Matin). Apakah
ini sebuah kesengajaan atau kecelakaan?

[2] KURATORIAL
Tulisan Kuratorial memainkan peran kunci dalam pameran ini. Sebagai sebuah pameran
arsitektur yang menggunakan pendekatan berbeda (dalam konteks pameran arsitektur di Jakarta dan
Indonesia), pengkondisian dan panduan dari tulisan kuratorial adalah kunci untuk menikmati dan
memahaminya. Kata memahami disini bukan berarti semua orang harus mengerti apa yang
dikehendaki oleh kurator tapi sewajarnya tiap orang mengerti apa yang terjadi dan apa yang hendak
dihadirkan disini. Paparan tentang ide-ide dibalik tiap representasi karya menjadi penting untuk

dijabarkan. Bukan untuk mendikte tapi justru untuk memberikan koridor agar si pembaca mendapat
perspektif yang tepat untuk menikmatinya.
Sewaktu membaca kata kunci dari pameran ini yaitu sinematik dan kemudian menghadiri
langsung pamerannya, ada dua kata yang kemudian muncul dalam benak saya; Teater dan Taktil. Saya
hanya berpikir apakah benar semua ini sinematik? Jika merujuk pada asal kata sinematik yaitu kinema
() dari bahasa Yunani yang berarti pergerakan, kemudian pada terapannya berarti gambar yang
bergerak (motion picture) dengan sendirinya mensyaratkan adanya dua kondisi; [1]subyek yang diam
yang memandangi[2]obyek yang bergerak atau berganti. Ada satu adegan menarik dalam film Possesed
(1931) yang disutradarai oleh Clarence Brown. Seorang gadis, setelah bercakap-cakap dengan teman
pria nya, kemudian berjalan mendekati stasiun kereta api. Dia berdiri di tepi rel kereta dan menikmati
kejadian-kejadian yang tampil dalam jendela-jendela gerbong kereta yang melewatinya secara perlahan.
Menurut Zizek, seorang filsuf dan psikoanalis, ini adalah sebuah penggambaran bagaimana sebuah
pengalaman sinematik bisa muncul dalam sebuah realita. Keberadaan gadis tersebut dipinggir rel kereta
dan kereta api yang melewatinya adalah sebuah realita. Namun gambar-gambar yang bergerak justru
menghadirkan realita lain dalam benak si gadis. Jika memang sinematik dalam pengertian seperti ini
bukankah arsitektur justru tereduksi jika memahaminya sebagai hanya sebuah gambar bergerak?
Walaupun jelas representasi arsitektur apapun pasti akan mereduksi arsitektur tapi bukankah salah satu
wacana yang hendak diangkat oleh pameran ini adalah representasi yang terutuh bagi karya arsitektur?
Apakah benar ada chiasma dalam sesuatu yang sinematik? Saya terpikir kenapa tidak teatrikal saja?
Teater sebagai sebuah seni yang menghadirkan drama, tidak bergantung dengan gambar-gambar 2
dimensi yang planar tapi seluruh elemen, tekstur, ruang teater, panggung, kostum, bunyi dan bahkan
mungkin bebauan berkonstribusi. Atau kenapa tidak hanya menggunakan kata taktil yang memang erat
dan intim dengan wacana arsitektural?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dalam tulisan kuratorial. Kurator mencoba membangun
argumentasi dari kenangan romantis personal daripada menangkap fenomena yang sebetulnya terjadi
pada tiap proyek arsitektur tersebut. Memang tidak ada yang salah dengan kenangan romantis, toh
ruang-ruang arsitektur memang juga bisa berbicara melalui bahasa itu. Namun apa yang sebetulnya
membuat karya-karya arsitektur Andra Matin sebaiknya direpresentasikan melalui persektif sinematik
tidak terjelaskan. Relasi antara karya dan wacana sinema dan arsitektur berawal dan berhenti pada
kenangan romantis kurator. Tidak ada elaborasi lebih jauh kesetaraan relasi baik itu secara mimesis,
metonim, analogis atau metaforik dari kedua subyek (karya arsitektur Andra Matin dan Arsitektur dan
Sinema). Wacana yang terbangun hanya memperkuat relasi dari arsitektur dan sinema tapi bukan

arsitektur dari Andra Matin. Paparan argumentatif dari tulisan kuratorial tersebut hanya meneguhkan
wacana yang sudah teguh itu. Bahwa arsitektur mempunyai aspek sinematik. Namun bukankah
kemudian tiap karya arsitektur juga mempunyai peluang itu? Karena selama si pengguna (user) sebagai
bodiless observer menikmati drama pada relung-relung dalam ruang arsitektur, pengalaman sinematik
itu hadir? 1 Lalu apakah kemudian karya arsitektur Andra Matin memang tidak ada bedanya dengan
karya arsitektur lain entah itu secara sintaktik, semantik, atau pragmatik?
Tadinya saya berharap tulisan kuratorial ini menukik dan membedah karya-karya arsitektur
Andra Matin sehingga menjadi jembatan antara karya arsitektur dan representasinya bukan
memberikan lapisan narasi lain diantara dua hal yang sudah sumir hubungannya.

[3]PAMERAN
Sebagai sebuah pameran arsitektur ini adalah sebuah pameran yang berani. Sebagai sebuah
pameran, ia justru mempunyai mekanisme kritik seperti cangkir Oppenheim tadi. Ada sebuah imposisi
citra pada kebiasaan berpameran dan menikmati pameran arsitektur. Jika pada pameran arsitektur
biasanya kita dimanjakan dengan representasi kongkrit dari karya arsitektur dalam bentuk maket,
gambar-gambar dan ilustrasi visual lainnya, dalam pameran Andra Matin: Sebuah Sekuel ini kita dipaksa
untuk menikmati tanpa pretensi apapun, bahkan tanpa perlu tahu representasi kongkritnya. Ini adalah
sebuah keberanian dalam menghadirkan karya arsitektur, yang dominan oleh banyak aspek praktis dan
kongkrit,justru dengan meluluhkan itu semua. Saya merasa ada gelagat dari Tim Kurator mengungkap
kualitas yang tersembunyi (tacit) dari karya-karya arsitektur tersebut ke permukaan dan dinikmati. Jelas
apa yang saya baca sangat dipengaruhi dengan kondisi yang telah saya paparkan tadi. Pengalaman saya
hadir/mengalami karya-karya arsitektur Andra Matin, berbincang-bincang dengan beliau, juga dengan
Avianti Armand sebagai Kuratornya, berpengaruh banyak pada persepktif dan interpretasi yang terjadi.
Namun bagaimana dengan orang awam? Pertanyaan yang juga dihadapi oleh Avianti dan juga telah
dijawabnya dalam tulisan kuratorial.
Pameran ini memang lebih nyaman jika kita mulai memisahkan memahami arsitektur dan
menikmati arsitektur. Dalam pameran Andra Matin, pemahaman bukan hal utama dan mungkin juga
1

Pembahasan tentang Bodiless Observeryang terkait dengan konteks pameran ini juga disinggung oleh Andrea Jelic dalam essay berjudul
Architecture (mis)represented: architectural image of self-referential architecture (against) architecture in a dialogue with phenomenal reality.
(link: http://isparchitecture.wordpress.com/2012/05/06/architecture-misrepresented-architectural-image-of-self-referential-architectureagainst-architecture-in-a-dialogue-with-phenomenal-reality-by-andrea-jelic/)

bukan yang dituju. Bagaimana sebuah arsitektur bisa dinikmati adalah yang terpenting. Bukan bentuk,
bukan denah, maket, tapi suasana, nuansa, dan kenangan. Pada titik ini, mungkin kata sinematik
memang tepat. Oleh karena bukan arsitektur Andra Matin yang memiliki sifat sinematik tapi pameran ini
adalah pameran yang berperan sebagai sesuatu yang sinematik. Slavoj Zizek dalam The perverts guide
to Cinema, menyatakan sinema bukan hadir untuk memenuhi gairah manusia tapi justru untuk
menghadirkan/menciptakan gairah itu kembali.
Sebuah film berjudul The Belly of an architect (1987) karya sutradara Peter Greenway adalah
film yang langsung muncul dibenak saya ketika membaca tulisan kuratorial dari pameran ini. Ada
beberapa kondisi yang mirip. Dalam film tersebut dikisahkan ada seorang arsitek berkebangsaan
Amerika bernama Stourley Kracklite diminta untuk menjadi kurator sebuah pameran untuk mengenang
Arsitek Etienne-Louis-Boullee. Dalam film ini terdapat dua narasi yang berjalan bersamaan. Narasi dalam
film, kisah dan drama sang arsitek amerika, dan film itu sendiri sebagai meta-narasi nya. Pengambilan
sudut gambar, pemilihan warna, komposisi, dengan sengaja merujuk pada ide-ide Boullee. Kedua narasi
ini saling merajut membangun monumen diatas ide, rancangan, dan karya dari arsitek Perancis yang
terkenal dengan Cenotaphe a Newton (1784) itu. Film ini ditutup dengan adegan pembukaan pameran
yang diungkap secara metaforik. Pada saat pita digunting, Kracklite berdiri diatas balkon lalu melompat
keluar bangunan, jatuh, dan meninggal diatas kendaraannya sendiri. Sebuah kematian yang menandai
lahirnya karya yang membuat dia terobsesi. Death of the author is Birth of the reader, demikian kata
Roland Barthes. Mungkin pendekatan ini, juga digunakan oleh tim kurator, dengan menyajikan drama,
sebuah kisah dibangun diatas karya-karya arsitektur Andra Matin. Sebuah dedikasi terhadap karya
arsitek yang dipamerkan, bukan dengan cara dokumenter tapi melalui rajutan fiksi.
Mungkin.

Monday, August 27, 2012


David Hutama

Anda mungkin juga menyukai