EPISTAKSIS
DISUSUN OLEH:
(2010730107)
Sela Naimora
(2010730097)
PEMBIMBING
dr. Pramusinto Adhy, Sp. THT-KL
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini disusun dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan serta
memenuhi tugas
Laporan Kasus
28 Juli 2015
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama
: Tn. M
Usia
: 56 Tahun
Alamat
: Cibadak, Sekarwangi
Debu : (-)
Obat-obatan : (-)
Makanan (-)
Riwayat Kebiasaan :
STATUS GENERALIS
Tanda Vital
1. Tekanan darah : 110/70 mmHg
2. Nadi
: 84 x/menit
3. Pernafasan
: 20 x/menit
4. Suhu
: 36,8 o C
Kepala :
-
Mata : Conjungtiva anemis +/+ Sklera ikterik -/- Refleks cahaya +/+ pupil
bulat isokor, diameter 3 mm/3mm
Telinga Kanan
Tragus sign (-), Heliks
sign (-),
Tenang,
Hiperemis
(-),
Aurikula
Canalis Acusticus
Telinga Kiri
Tragus sign (-), Heliks sign
(-),
Tenang,
Hiperemis
(-),
Eksternus
Membran Tympani
Cavum Nasi : Secret -/-, darah -/+ tampak bercak darah sedikit, massa -/Mukosa
: Hiperemis +/+
Concha
: Hipertropi -/-
Septum
Sinus Paranasal : Nyeri tekan pada pangkal hidung -/-, pipi -/-, dahi -/Pharyng
Mukosa
: Hiperemis -
: T1/T1
Nasofaring
Laryng
Tidak dilakukan
Leher
Tiroid : normal, tidak teraba pembesaran tiroid
KGB : normal, tidak teraba pembesaran KGB
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
: 108 mg/dL
DIAGNOSIS KERJA :
-
Epistaksis Anterior
PLANNING :
Terapi :
Rencana Transfusi PRC s/d Hb 10
IVFD Nacl 0.9 % 500 cc/ 6 jam
Ranitidin 2 x 50mg (iv)
Ondancentron 2 x 8 mg (iv)
Vit K 2 x 1 ampul
Captopril 25 mg 2 x 1 tab
Tampon anterior bila terjadi epistaksis kembali
Rencana diagnostic :
-
SGOT, SGPT
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk
piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi,
puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian
hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4
buah dinding yaitu :
- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu
lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina,
kartilago septum, dan kolumela
- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara
konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
1. Concha nasalis superior
... Meatus nasi superior...
2. Concha nasalis media
... Meatus nasi medius...
3. Concha nasalis inferior
... Meatus nasi inferior...
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior.
Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.
- inferior adalah os maksilla & os palatum
- superior adalah lamina kribiformis
Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian depan
septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .
2.
3.
Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4.
Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5.
Refleks nasal.
Epistaksis
Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius
dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya
berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
1.
2.
Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan
syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri,
insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat
berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta
pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping
itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor
baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan
terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan
yang terbaik.
Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,
kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga
bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan.
Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan selselnya lebih sedikit.
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus,
sifilis, atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali
hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah
kongenital
yang
sering
menyebabkan
epistaksis
adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis OslerRendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.
Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di
tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.
Etiologi lokal
Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering
adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan
yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan
bercampur lendir atau ingus.
Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang
pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa
hidung;
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada
orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau
perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari
epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50
tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda,
sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada
laki- laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien
yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap
terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan
oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 610 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai
tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami
kejadian serupa pada saat kecil.
Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
la
merupakan
anastomosis
cabang
a.etmoidalis
anterior,
Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna
yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan)
dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior
dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang
masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus
epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan
berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga
hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak
terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis
posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang
berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut,terlihat
perubahan
progresif dari
otot pembuluh
darah tunika
media
2.
Lokasi perdarahan
3.
4.
5.
Kecenderungan perdarahan
6.
Hipertensi
7.
Diabetes mellitus
8.
Penyakit hati
9.
Penggunaan antikoagulan
10.
11.
Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat
2.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3.
4.
Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5.
Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya
dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari
sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan
sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku,
badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu
kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 1/10.000 dan pantocain atau
lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu
dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat
apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak,
dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali
berhasil. Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk
tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal
untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4%
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang
berlebihan.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim
antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas
vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan
teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga
hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama
2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini
dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila
perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.
Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk
tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien
tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan
epistaksis posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung
posterior, atau ligase pembuluh spesifik.
Blok Ganglion Sfenopalatinum
Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik
dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hatihati ke dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri
sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk
prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang
arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit.
Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi,
untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih
lama. Jika injeksi tidak member efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri
etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering digunakan oleh spesialis karena
komplikasinya ke okular.
Tampon Hidung Posterior
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik
memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4
inchi yang digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon
yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens
infeksi. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau
bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi
dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring,
lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon
Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar
dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat
melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat
ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon
keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat
menyebabkan laserasi mukosa.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep
obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi
koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus
atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat
terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan
air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat
menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari
mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan
septum.
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty A.S. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta.
Higler, B.A. 2007. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
Moore,K.L.dkk. 2000. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.
FKUI. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008