Anda di halaman 1dari 18

KEJAHATAN SEKSUAL FORENSIK

Title: KEJAHATAN SEKSUAL FORENSIK


Posted by:robin perdana saputra
Published :2013-12-17T05:15:00-08:00
Rating: 4.5
Reviewer: 7 Reviews
KEJAHATAN SEKSUAL FORENSIK
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia,
mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di
dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah
terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual
dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Acara
Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tatacara
pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus
kejahatan seksual.
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor
keterbatasan di dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat
berperan, demikian halnya dengan faktor waktu serta faktor keaslian dari
barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan
seksual itu sendiri.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu
memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana
ini, hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus
yakin akan semua bukti-bukti yang ditemukannya karena tidak adanya
kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih
banyak bukti. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter
hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di bawah kepentingan
pemeriksaan. Terutama bila korban adalah anak-anak pemeriksaan
sebaiknya tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk
menjatuhkan hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan
yang diduga merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan
oleh dokter ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di

tempat yang tidak ada dokter ahli tersebut, maka pemeriksaan harus
dilakukan oleh dokter umum.
Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah
mengalami cedera fisik dan atau mental sehingga lebih baik dilakukan
pemeriksaan oleh dokter di klinik. Penundaan pemeriksaan dapat
memberi hasil yang kurang memuaskan.
2.1 Persetubuhan yang Merupakan Kejahatan
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV
KUHP, tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang meliputi
persetubuhan di dalam perkawinan maupun di luar perkawinan.
Pasal 288 KUHP
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter
diharapkan dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas
dikawin, memang terdapat tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda
kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab kematiannya.
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin
dapat timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut
mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis dan
pengertian menurut undang-undang. Secara biologis seorang perempuan
dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat
memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi,
apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah.
Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas umur
termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk
melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter
diharapkan dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga
merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288 KUHP.
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan
kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si

perempuan maka dalam hal ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud
adalah pasal 284 dan 287.
Pasal 284 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b.
seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan
perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah
kawin dan pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri
yang tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk
Wetboek), dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan
bercerai atau pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
peradilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek),
pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan
tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai
satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu
orang laki sebagai suaminya.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut


undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15
tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada
pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu
persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada
pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum sampai 12 tahun
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati
akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya,
muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau
bawahannya (KUHP pasal 294).
Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada
pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan.
Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte
kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu
memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang dikatakannya, melihat
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, melalui
pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan mengetahui
apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum
waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah mengalami
menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.
Pasal 291 KUHP
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287,
288 dan 290 itu berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286,
287, 289 dan 290 itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 294 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya
atau anak piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang di
bawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya
atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang di bawah umur, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.


Dengan itu maka dihukum juga:
1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di
bawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di
tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS
jiwa atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang dimaksudkan di situ.
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan
dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti
yang dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-kasus
tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada
wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan
seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan,
dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.
Pasal 285 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan
dan telah terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dokter dapat menentukan apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak,
apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi ini tidak dapat
menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu
merupakan akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain
yang tak ada hubungannya dengan paksaan. Demikian pula bila tidak
ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti
bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat
menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan;
sehingga ia juga tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah
terjadi.
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena
perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter
jangan menggunakan istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.
Pasal 286 KUHP

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan


padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah
korban sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita
korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau
tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu
diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah
korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu
diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obatobatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban
pingsan atau tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana perkosaan, karena dengan membuat korban pingsan atau tidak
berdaya ia telah melakukan kekerasan.
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan
menggunakan kekerasan.

atau

tidak

berdaya

disamakan

dengan

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku
tidak melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban
bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku kejahatan seksual.
2.2 Psikologi Pelaku Perkosaan
Sejak awal tahun 1960 tumbuh kesadaran terhadap tindakan
pemerkosaan sebagai suatu tindakan yang didasari banyak hal dan
pemerkosa itu tidaklah sama dalam hal: latar belakang, karakter
psikologis, tingkat bahaya.
Gebhard dkk : Pemerkosa adalah pria yang dengan kekerasan merampas
apa yang mereka mau, baik uang, materi, ataupun kehormatan wanita,
tindakan pemerkosaan tersebut merupakan akibat dari tindakan kriminal
mereka.
Brown-Miller menyatakan perkosaan adalah perilaku yang didasari pada
keadaan sosial, keadaan masa lalu, dan faktor ekonomi. Ingin menjadikan
kaum wanita kurang dihargai, yang ditunjukkan dengan adanya
kekerasan terhadap mereka. Jadi tindakan ini bukanlah hal yang
patologis tetapi hal yang patologis itu sendiri sudah ada dalam lingkungan

sosial budaya serta norma dalam masyarakat.


Laporan ini berdasarkan suatu riset terhadap sekelompok pemerkosa
dalam periode yang cukup lama, selama perawatan mereka di
Bridgewater ( Massachusetts) Treatment Center For Sexually Dangerous
Person.Observasi secara klinis telah dibuat sejak 20 tahun yang lalu di
Treatment Center. Dimana lebih dari 1500 pemerkosa telah diteliti, lebih
dari 400 orang telah dievaluasi selama 60 hari periode observasi, dan 250
orang telah dievaluasi mulai dari 2 sampai 15 tahun periode observasi.
Merupakan studi yang telah diselenggarakan dengan jelas menandakan
pemerkosa mengalami suatu gangguan psikologi dan beberapa kategori
tergolong diagnosis psikiatri.
Ketidaksesuaian ditemukan oleh Glueck dkk yang menyimpulkan bahwa
kebanyakan dari pelanggar seksual (New York, 1950) didiagnosa sebagai
penyakit skizofren pseudoneurotik.
2.3 Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke
dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan
dengan atau tanpa disertai ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
Besarnya penis dan derajat penetrasinya
Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)
Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri
Posisi persetubuhan
Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin, sebab dengan
berlangsungnya waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang
dengan sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya
mendapat izin tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban
adalah seorang anak izin dapat diminta dari orang tua atau walinya.
2.3.1 Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur
tersebut, teliti apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari.
Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran orifisium,
dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati
ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari,
beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran

pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan


persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya
adanya robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya
suatu benda (penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam
liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila
ejakulat tidak mengandung sperma, maka pembuktian adanya
persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap
ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase,
kolin maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai
pembuktiannya lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak
spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan,
karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari
wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya,
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang
wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan
bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tandatanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama,
memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi
tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut
masalah alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan.
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih
dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak
sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai
7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat
terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan
selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai
dalam waktu 7-10 hari postkoital.
b. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat

dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak


ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani
serta dapat menentukan adanya sperma.
2.3.2 Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans
penis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan
adanya penyakit kelamin.
b. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai
ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau
bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita
acara pembungkusan dan penyegelan.
2.4 Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang
sering ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu,
pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital.
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas
kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas
atau jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka
tidak berarti bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah
alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda
kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena
tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian:
pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua kekerasan
terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut sudah
hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban
tidak berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini
perlu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obatobatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut pingsan; hal

tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan


seksual, pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin
dikerjakan.
2.5 Perkiraan Umur
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual
seperti yang dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang
tidak mungkin dapat dilakukan (kecuali didapatkan informasi dari akte
keahiran). Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal
hanya sampai pada perkiraan umur saja.
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian
pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder,
pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya
tengkorak serta pemeriksaan radiologi lainnya.
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu
dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar
ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus
ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi bila umur korban
tidak diketahui.
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal
287 KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.
2.6 Penentuan Pantas Dikawin
Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang
suci dan baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan
keturunan, maka penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya
untuk dikawin atau belum, semata-mata hanya berdasarkan atas
kesiapan biologis (yang dapat dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam
hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah mengalami menstruasi, maka ia
sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu untuk mengetahui
apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter pemeriksa tidak
jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang maksudnya
agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa
telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau
tidaknya ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah
sakit, sehingga dapat ditentukan adakah selama itu ia mendapat
menstruasi. Sekarang ini untuk menentukan apakah seorang wanita sudah
pernah mengalami ovulasi atau belum dapat dilakukan pemeriksaan
vaginal smear.

Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang


mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun,
maka masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.
2.7 Homoseksual sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual
Di dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang
yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
yang berjenis kelamin sama yang belum cukup umur atau belum dewasa.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dengan demikian kasus homoseks dan lesbian jelas merupakan kejahatan
seksual, bila partnernya belum dewasa, yang secara yuridis belum
berumur 21 tahun atau bila berumur kurang dari 21 tahun tetapi sudah
pernah kawin, maka partnernya tersebut dianggap sudah dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks antara dua pria, maka
pembuktian secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang
perlu dibuktikan dalam hal ini adalah: perkiraan umur (belum dewasa),
dan adanya sperma serta air mani baik dalam dubur maupun mulut
korban; juga perlu diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah sering
melakukan persetubuhan melalui dubur, maka bentuk dari dubur akan
mengalami perubahan, duburnya terbuka, berbentuk corong (funnel
shape), dan otot sfingternya sudah tidak dapat berfungsi dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah
terdapat kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan
tangan atau alat-alat bantu.
2.8 Pemeriksaan Laboratorium
Adanya cairan mani atau bercak yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk
adanya pemerkosaan atau upaya pemerkosaan, pembunuhan seksual
pada wanita dan biasa juga terjadi pada bestiality.
Potensi dari materi cairan ini telah diketahui, dapat mengungkapkan
masalah paternitas atau nullitas, hal ini bisa membela dengan
pertahanan bahwa adanya tindakan pemerkosaan.
Ini penting, sesuai dengan sirkumstansial , untuk membuktikan bercak
tersebut dihasilkan dari cairan mani, atau cairan yang dihasilkan dari
vagina (labium minora atau anus). Pada kejadian lain hal ini dapat
menunjukan potensi cairan.

Bahan untuk pemeriksaan biasanya banyak ditemukan dari bercak mani


pada pakaian dan cairan dari vagian maupun anus, sejak adanya prosedur
yang berbeda dalam memperoleh spesimen dan menyiapkan
pemeriksaan.
Pada kasus dugaan pemerkosaan perlu untuk melihat cairan mani
berupa bercak pada pakaian, di kulit perineum, paha, labium minor,
rambut pubis, vagina dan lubang anus. Ini tidak pasti membuktikan
bahwa cairan semen masuk ke vagina, ini cukup sering ditemukan pada
labium minor atau rambut pubis sejak adanya penetrasi penis meskipun
bukan penetrasi komplit.
Cairan semen yang telah kering pada perineum atau labia minor paling
baik dikumpulkan menggunakan swab tenggorok. Sampel rambut pubis,
yang mungkin juga dibutuhkan untuk perbandingan dengan rambut yang
ada pada pakaian terdakwa, harus diambil secara hati-hati dan
dipindahkan ke kemasan kecil dari gelas. Rambut yang dipotong tidak
akan disertai akarnya sehingga menjadi tidak memuaskan.
Cairan dari vagina dikumpulkan menggunakan pipet atau swab
tenggorok yang dimasukkan dengan atau tanpa bantuan spekulum.
Karena sperma dapat rusak secara cepat, maka penting untuk membuat
satu atau lebih smear pada gelas slide sesegera mungkin dan untuk
mengirimnya bersama dengan spesimen yang sesuai untuk penyelidikan.
Demikian pula, smear dari anal swab juga harus dibuat dengan segera.

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Korban Kejahatan Seksual


1. Tujuan : menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metoda :
Tanpa pewarnaan: satu tetes cairan vaginal ditaruh pada gelas objek
dan kemudian ditutup; pemeriksaan dibawah mikroskop dengan
pembesaran 500 kali.
Hasil yang diharapkan: sperma yang masih bergerak.
Dengan pewarnaan: buat sediaan apus dari cairan vagina pada gelas
objek, keringkan di udara, fiksasi dengan api, warnai dengan Malachitegreen 1% dalam air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan air, warnai dengan
Eosin-yellowish 1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan
dan diperiksa dibawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan: bagian basis kepala sperma berwarna ungu,
bagian hidung merah muda.
2. Tujuan : menentukan adanya sperma

Bahan pemeriksaan : pakaian


Metoda :
Pakaian yang mengandung bercak diambil sedikit pada bagian
tengahnya (konsentrasi sperma terutama di bagian tengah),
Warnai dengan pewarnaan BAEECHI selama 2 menit,
Cuci dengan HCL 1%,
Dehidrasi dengan alkohol 70%, 85% dan alkohaol absolut,
Bersihkan dengan Xylol,
Keringkan dan letakan pada kertas saring,
Dengan jarum, pakaian yang mengandung bercak diambil benangnya 12 helai, kemudian diurai sampai menjadi serabut-serabut pada gelas
objek,
Teteskan canada balsem, ditutup dengan gelas penutup lihat dibawah
mikroskop dengan pembesaran 500 kali.
Hasil yang diharapkan:
Kepala sperma berwama merah, bagian ekor biru muda; kepala sperma
tampak menempel pada serabut-serabut benang.
Pembuatan pewarnaan BAEECHI :
acid-fuchsin 1 % (1 tetes atau 1 ml)
methylene-blue 1 % (1 tetes atau 1 ml)
HCL 1 % (40 tetes atau 40 ml).
3. Tujuan : menentukan adanya air mani (asam fosfatase)
Bahan pemeriksaan : Cairan vaginal
Metoda :
Cairan vaginal ditaruh pada kertas Whatman, diamkan sampai kering,
Semprot dengan reagensia,
Perhatikan warna ungu yang timbul dan catat dalam berapa detik
warna ungu tersebut timbul.
Hasil yang diharapkan:
Warna ungu timbul dalam waktu kurang dari 30 detik, berarti asam
fosfatase berasal dari prostat, berarti indikasi besar; warna ungu timbul
kurang dari 65 detik, indikasi sedang.
Pembuatan reagensia:
Bahan-bahan yang dibutuhkan;
1. Sodium chloride 23 gram
2. Glacial acetic acid 1/2 ml
3. Sodium acetate trihydrate 2 gram
4. Brentaminefast Blue B 50 mg
5. Sodium alpha naphthyl phosphate 50 mg
6. Aquadest 90 ml
7. Kertas Whatman no. 1 serta alat penyemprot (spray)
Bahan No. 1, 2 dan 3 dilarutkan dalam aquadest menjadi larutan buffer

dengan pH sekitar 5. Bahan No. 4 dilarutkan dengan sedikit larutan


buffer dan kemudian bahan No. 5 dilarutkan dalam sisa buffer.
Selanjutnya bahan No 4 yang sudah dilarutkan tersebut dimasukan ke
dalam larutan sodium alpha-naphthyl-phosphate dan dengan cepat
disaring dan dimasukkan ke dalam botol yang gelap (reagensia ini bila
disimpan dalam lemari es dapat tahan beberapa minggu ).
Adapun dasar reaksi ini ialah: asam fosfatase akan menghidrolisir alpha
naphthyl phosphate dan alpha naphthol yang dibebaskan akan bereaksi
dengan Brentamine dan membentuk warna ungu.
4. Tujuan : menentukan adanya air mani (kristal kholin)
Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metoda : Florence
Cairan vaginal ditetesi larutan yodium
Kristal yang terbentuk dilihat di bawah mikroskop
Hasil yang diharapkan:
Kristal-kristal kholin-peryodida tampak berbentuk jarum-jarum yang
berwarna coklat.
5. Tujuan : menentukan adanya air mani (kristal spermin)
Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metoda : Berberio
Cairan vaginal ditetesi larutan asam pikrat., kemudian lihat di bawah
mikroskop
Hasil yang diharapkan :
Kristal-kristal spermin pikrat akan berbentuk rhombik atau jarum kompas
yang berwarna kuning kehijauan.
6. Tujuan : menentukan adanya air mani
Bahan pemeriksaan : pakaian
Metoda :
a. inhibisi asam fosfatase dengan L (+) asam tartrat
b. reaksi dengan asam fosfatase
c. sinar-UV; visual; taktil dan penciuman
Inhibisi asam Fosfatase dengan L (+) asam tartat
Pakaian yang diduga mengandung bercak air mani dipotong kecil dan
diekstraksi dengan beberapa tetes aquades.
Pada dua helai kertas saring diteteskan masingmasing satu tetes
ekstrak; kertas saring pertama disemprot dengan reagens 1, yang kedua
disemprot dengan reagensia 2,
Bila pada kertas saring pertama timbul warna ungu dalam waktu satu
menit, sedangkan pada yang kedua tidak terjadi warna ungu, maka dapat
disimpulkan bahwa bercak pada pakaian vang diperiksa adalah bercak air
mani,
Bila dalam jangka waktu tersebut warna ungu timbul pada keduanya,

maka bercak pada pakaian bukan bercak air mani, asam fosfatase yang
terdapat berasal dari sumber lain.
Pembuatan reagensia:
Reagensia 1: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast blue
B, dilarutkan dalam larutan buffer citrat dengan pH. 4,9.
Reagensia 2: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast blue
B, dilarutkan dalam larutan yang terdiri dari 9 bagian larutan buffer
citrat pH.4,9 dan 1 bagian larutan 0,4 M. L(+) tartaric acid dengan
pH.4,9.
Reaksi dengan asam fosfatase
Kertas saring yang sudah dibasahi dengan aquades diletakkan pada
pakaian atau bahan yang akan diperiksa selama 5-10 menit, kemudian
kertas saring diangkat dan dikeringkan,
Semprot dengan reagensia, jika timbul warna ungu berarti pakaian atau
bahan tersebut mengandung air mani,
Bila kertas saring tersebut diletakan pada pakaian atau bahan seperti
semula, maka dapat diketahui letak dari air mani pada bahan yang
diperiksa.
Sinar ultra violet; visuil; taktil dan penciuman
Pemeriksaan dengan sinar-UV: bahan yang akan diperiksa ditaruh dalam
ruang yang gelap, kemudian disinari dengan sinar ultra violet bila
terdapat air mani, terjadi fluoresensi.
Pemeriksaan secara visual, taktil dan penciuman tidak sulit untuk
dikerjakan.
7. Tujuan : menentukan adanya kuman Neisseria gonorrhoeae (GO)
Bahan pemeriksaan : sekret uretra dan sekret serviks uteri
Metoda : pewarnaan Gram
Hasil yang diharapkan: kuman Neisseria gonorrhoea.
8. Tujuan : menentukan adanya kehamilan
Bahan pemeriksaan : urin
Metoda :
Hemagglutination inhibition test (Pregnosticon)
Agglutination inhibition test (Gravindex )
Hasil yang diharapkan: terjadi aglutinasi pada kehamilan.
9. Tujuan : menentukan adanya racun (toksikologi )
Bahan pemeriksaan : darah dan urine
Metoda :
TLC
Mikrodiffusi, dsbnya.
Hasil yang diharapkan : adanya obat yang dapat menurunkan atau
menghilangkan kesadaran.
10. Tujuan : penentuan golongan darah

Bahan pemeriksaan : cairan vaginal yang berisi air mani dan darah.
Metoda : serologi (ABO grouping test)
Hasil yang diharapkan : golongan darah dari air mani berbeda dengan
golongan darah dari korban.
Pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku kejahatan
termasuk golongan "sekretor".
2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium Pelaku Kejahatan Seksual
1. Tujuan : menentukan adanya sel epithel vagina pada penis
Bahan pemeriksaan : cairan yang masih melekat di sekitar corona
glandis
Metoda : dengan gelas objek ditempelkan mengelilingi korona glandis,
kemudian gelas objek tersebut diletakan di atas cairan lugol.
Hasil yang diharapkan : epithel dinding vagina yang berbentuk
heksagonal tampak berwarna coklat atau coklat kekuningan.
2. Tujuan : menentukan adanya kuman Neisseria gonorrhoeae (GO)
Bahan pemeriksaan : sekret urethrae
Metoda : sediaan langsung dengan pewarnaan Gram
Hasil yang diharapkan : ditemukan kuman Neisseria gonorrhoeae.
2.8.3 Pemeriksaan Pada Kasus Homoseksual
Tujuan pemeriksaan : untuk menentukan adanya sperma dalam dubur
pasangannya dan mendapatkan adanya unsur-unsur yang terdapat dalam
anus.
Bahan pemeriksaan : anal swab
Metoda : sama seperti di atas untuk menentukan sperma atau air mani,
sedangkan untuk melihat unsur-unsur yang ada dalam dubur yang
terbawa atau melekat pada penis, dapat dibuat sediaan langsung
dengan atau tanpa pewarnaan.
2.8.4 Pemeriksaan Air Mani Dari Rambut Dan Kulit
Para pelaku kejahatan seksual tidak jarang di dalam melampiaskan hasrat
seksualnya itu, melalui cara yang tidak lazim, seringkali korban dipaksa
untuk melakukan "fellatio" atau sodomy.
Di dalam menghadapi kemungkinan yang demikian tadi, maka selain
pemeriksaan yang rutin dilakukan, harus pula dikerjakan pemeriksaan
terhadap rambut dan kulit korban, untuk mencari air mani yang tercecer.
Daerah yang diperiksa tergantung dari peristiwanya, kepala, bulu-bulu
atau rambut di wajah, kulit di daerah perioral (sekitar mulut), paha
bagian dalam, dan daerah pantat,
Rambut kepala dicabut dan direndam dalam larutan NaCl,
Pemeriksaan dilakukan dengan pap smear dan penentuan asam
fosfatase,

Kulit dibasahi dengan aplikator katun yang telah direndam dalam


larutan NaCl, test kemudian dapat dilakukan,
Tes yang positif pada paha atau pantat, dapat membantu
memperkirakan saat terjadinya kejahatan tersebut, tentunya tergantung
dari: apakah korban telah membersihkan dirinya atau belum.
Metoda pemeriksaan:
Sampel rambut yang berasal dari daerah frontal dan temporal
diperiksa hati-hati, apakah terkontaminasi dengan air mani,
Rambut tersebut direndam dalam 3 ml NaCl, kemudian disentrifuse,
Pap smear, dapat dilakukan dari sedimen tersebut, sedangkan
supernatantnya dipergunakan antuk analisa asam fosfatase,
Dua aplikator dari katun untuk swab dibasahi oleh NaCl, ini dipakai
untuk membersihkan material yang mengandung air mani pada ki pit,
Kedua swab tersebut digosokkan pada permukaan kulit,
Buat sediaan apus dari swab tersebut, warnai dengan teknik
Papanicolaou,
Penentuan asam fosfatase juga dapat memakai bahan yang berasal dari
swab tersebut,
Salah satu swab direndam dalam 3 ml NaCI selama 30 menit pada
temperatur ruang,
Dengan modifikasi dari teknik Bodansky (bete-glycerolphosphoric acid,
disodium salt sebagai substrate), 0,5 ml dari elusi ini dipakai untuk
menentukan kadar dari asam phosphatese yang berasal dari prostat.
kesimpulan
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia,
mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di
dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah
terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV
KUHP, tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di
dalam perkawinan (pasal 288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang
mencakup persetubuhan dengan persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP)
serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal 285 dan 286). Homoseksual
juga termasuk bentuk kejahatan seksual bila dilakukan pada orang
dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa seperti yang tertera
dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda

kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu


memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung
adanya persetubuhan.

Anda mungkin juga menyukai