Anda di halaman 1dari 15

Mata Merah dan Gatal dengan Riwayat Alergi Panas dan

Debu
PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan
bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam
gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya disebabkan oleh alergi. Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva
akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan
reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik.
Di negara-negara maju, 20-30% populasi mempunyai riwayat alergi, dan 50% individual
tersebut mengidap konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan
ringan seperti konjungtivitis alergi musiman

atau bentuk kronik yang berat seperti

keratokonjungtivitis alergi. Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi.


Penyulit yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang
menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian
besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun dapat pula prognosis penyakit
ini menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik.
PEMBAHASAN
Anatomi dan Fisiologi
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dcngan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga
bagian:
a. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra)
b. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)
c. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior
palpebra dan bola mata).3

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.3
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.
Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya,
kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm),. Lipatan
konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terlelak di
kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran
mukosa.3
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan
jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak
pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat
peradangan mata.2
Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima
lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri
dari sel-sel epitel skuamosa.3

Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.
Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara
merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial
dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.3
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata.3
Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks
atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.3
Definisi konjungtivitis alergi
Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan
bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam
gejala, salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan
dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,
misalnya kontak lensa.2
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi adalah
peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral
ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan
kulit.2
Anamnesis
Dimulai dengan pertanyaan tentang sifat dan beratnya keluhan yang disampaikan pasien
kepada dokter. kapan dan bagaimana mulanya, bagaimana perjalanannya (bertambah,berkurang,
tetap, terjadi sebentar-sebentar, naik turun), dan bagaimana frekuensinya. Akhirnya, selalu

tanyakan kemungkinan penyakit lain, pemakaian obat, penyakit yang lalu, pembedahan,dan
tentang keluarga.4
1. Biodata/Identitas. Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua
perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
-

Apakah ada mata merah, perih, gangguan penglihatan, gatal, bersekret ?

Apakah mengenai satu mata atau kedua mata?

Sejak kapan, lama serangan?

Pola serangan (mendadak atau berangsur-angsur)

Keadaan sebelum, selama dan setelah kejadian

Apakah ada nyeri bola mata, nyeri kepala, dan sebagainya.

4. Riwayat penyakit dahulu. Pada anak, sebelum mengalami serangan seperti mata merah ini
ditanyakan apakah penderita pernah mengalami mata merah sebelumnya, umur berapa saat
mata merah terjadi terjadi untuk pertama kali. Pada dewasa, apakah ada riwayat masalah
penglihatan sebelumnya, adakah riwayat diabetes melitus, adakah riwayat hipertensi, adakah
riwayat penyakit neurologis, pernahkah pasien mengalami terapi mata tertentu (misalnya
laser), adakah riwayat pemakaian obat yang mungkin menyebabkan gejala gangguan
penglihatan atau pemakaian obat untuk mengobati penyakit mata (misalnya tetes mata untuk
glaucoma).
5. Riwayat kesehatan keluarga
- Adakah riwayat masalah penglihatan turunan dalam keluarga (misalnya glaucoma)?
- Adakah riwayat gejala gangguan mata dalam keluarga (misalnya penularan konjungtivitis
infektif)?
Pemeriksaan Fisik
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi
dan suhu.2
Inspeksi mata. Adakah kelainan yang terlihat jelas (misalnya mata merah, asimetri, nistagmus
yang jelas dan ptosis).
o Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu mata, dan
kemampuan palpebra untuk menutup sempurna
o Apparatus lakrimalis, dilihat apakah ada pembengkakan pada daerah kelenjar lakrimalis
dan sakus lakrimalis
4

o Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap nodulus atau
pembengkakan. Pada konjungtiva tarsus superior dicari kelainan seperti folikel,
membran, papil, papil raksasa, pseudomembran, sikatriks, dan simblefaron. Pada
konjungtiva tarsus inferior dicari kelainan seperti folikel, papil, sikatriks, hordeolum,
kalazion. Pada konjungtiva bulbi dilihat ada tidaknya sekret. Bila ada amati warna sekret,
kejernihan, dan volume sekret. Kemudian cari ada tidaknya injeksi konjungtival, siliar,
atau episklera, perdarahan subkonjungtiva, flikten, simblefaron, bercak degenerasi,
pinguekula, pterigium, dan pseudopterigium.
o Kornea, lensa, dan pupil, dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal dilihat apakah
ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah ada bayangan berbentuk bulan
sabit pada sisi medial, kemudian dilihat ukuran, bentuk dan kesimetrisan pupil.
o Gerakan ekstraokular, dengan mengikuti gerakan jari pemeriksa yang membentuk huruf
H di udara, lihat apakah ada nistagmus, lid lag, dan tanyakan apakah ada rasa nyeri saat
pergerakan.5
Pada konjungtivitis, hasil pemeriksaan fisik biasanya ditemukan visus yang normal, hiperemi
konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat, pseudoptosis akibat kelopak mata yang bengkak, kemosis,
hipertrofi papil, folikel, membran, psudomembran, granulasi, flikten dan adenopati preaurikular.
Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus). Ketajaman penglihatan perlu dinilai terutama
pada anak usia sekolah dengan menggunakan karta-mata yang menampilkan huruf Snellen, huruf
Bailey-Lovie, huruf HOTV atau pengenalan gambar Allan. Bagi anak usia 11 tahun, visus sama
seperti orang dewasa yaitu 20/20. Ketajaman penglihatan diperiksa dengan menutup salah satu
mata dan memastikan apakah pasien dapat membaca huruf dengan ukuran yang bervariasi
dengan mata yang tidak tertutup. Lebih formal, kartu Snellen dengan jarak 6 meter dapat
digunakan untuk pemeriksaan pada tiap-tiap mata secara bergantian. Jika pasien hanya dapat
membaca huruf pada kartu Snellen dengan jarak 6 meter, yang pada orang normal dapat terbaca
pada jarak 60 meter, visusnya 6/60. Lakukan tes ketajaman penglihatan di kedua bola mata,
misalnya dengan kartu snellen untuk penglihatan jauh dan dengan kartu jaeger untuk penglihatan
dekat. Lakukan tes penglihatan warna misalnya dengan menggunakan kartu ishihara. Lakukan
tes lapang pandang dengan tes konfrontasi dan periksa adanya bintik buta. Lakukan tes gerak
bola mata tanyakan mengenai diplopia dan istagmus. Periksa mata dengan oftalmoskop pada
mata adalah bagian vital dari pemeriksaan fisik lengkap. Pemeriksaan ini bisa menggunakan efek
5

keadaan sistemik seperti hipertensi dan diabetes melitus, yang menyebakan disfungsi penglihatan
seperti atrofi melitus, dan mengungkapkan keadaan keadaan seperti peningkatan tekanan
intrakranial dengan ditemukannya edema papil.
Optimalkan kondisi untuk pemeriksaan funduskopi. Pasien maupun pemeriksa harus merasa
nyaman. Pemeriksa pasien dalam ruangan gelap dengan oftalmoskop yang bisa amenghasilkan
cahaya terang, dan jika perlu di gunakan zat untuk dilatasi pupil (kontraiindikasi hanya pada
kasus cedera kepala baru yang memerlukan rangkaian pemeriksaan pupil atau bila ada resiko
glaukoma sudut akut).
Minta pasien untuk memusatkan pandangan ke objek yang jauh. Periksa mata kanan pasien
dengan mata kanan anda dan mata kiri pasien dengan mata kiri anda. Mula-mula periksa dari
jarak jauh adakah refleks merah dan jika ada pertimbangkan opasitas lensa seperti katarak.
Kemudian periksa diskus optikus (untuk menilai bantuk, warna, tepi, cup fisiologis), bagian
perifer retina dengan mengikuti pembuluh darah utama ke arah luar menjauhi diskus (untuk
mencari pembuluh darah, perdarahan, eksudat, pigmentasi) dan terakhir makula.
Adanya edema papil, perdarahan atau eksudat, atau keluhan utamanya hilang penglihatan,
memerlukan penjelasan dari pasien.
Pemeriksaan penunjang
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula
eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar serum
IgE.
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin tampak dalam
jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan plastik,
dan ditampilkan pada media sehingga dapat memungkinkan untuk menghitung

jumlah sel

ukuran 1 berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak
melampaui jumlah normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali
berada dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel dalam
proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar dengan cara peningkatan
jumlah kolagen dan pembuluh darah.
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien konjungtivitis vernal yang
terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-,

dan IgE- secara berlebih yang akhirnya membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan
pada konjungtiva normal dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien konjungtivitis
vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara air
mata dengan level kandungan serum pada kedua mata. Kandungan IgE pada air mata
diperkirakan muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada
air mata (130ng/ml) dari pasien konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum
(201ng/ml) dan pada air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik
ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain itu, terdapat
18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang menjadi butiran pada
air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi ini pada air matanya maupun serumnya.
Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara
mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal
antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang
yang memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak
berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE.
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml)
secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air mata pada 13 orang normal
(10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan menggunakan mikroskopi elektron yang
diperkirakan menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia
daripada dengan pengamatan yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel
mastosit ini terdapat pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan adanya banyak
eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap pembesaran 25x dengan
sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi
eosinofil pada daerah permukaan lain pada level ini.5,7
Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang tinggi.
Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah mediteranian,
Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki
dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada dekade
7

pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan
kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada dewasa muda.4
Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.1
Diagnosis kerja
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang (recurrence)
yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini jugadikenal sebagai konjungtivitis
musiman atau konjungtivitis musim kemarau Sering terdapat pada musim panas di
negeridengan empat musim, atau sepanjang tahun di negeri tropis (panas).
Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang lebih serius dimana penyebabnya
tidak diketahui. Kondisi paling sering terjadi pada anak laki-laki, khususnya yang berumur
kurang dari 10 tahun yang memiliki eksema, asma, atau alergi musiman. Konjungtivitis vernal
biasanya kambuh setiap musim, biasanya mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna
merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga sering kali dirasakan dihidung. Produksi air
mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis alergi terbagi kepada empat
tipe yaitu ;
Konjungtivitis Hay Fever
Tanda dan gejala : Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai hay fever
(rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan
lainnya. Pasien mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan
bahwa matanya seakan-akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat injeksi ringan di
konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan
kemosis berat (yang menjadi sebab kesan tenggelam tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran
mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya. Laboratorium : Eosinofil sulit ditemukan
pada kerokan konjungtiva.3
Keratokonjungtivitis vernal
Tanda dan gejala : Keratokonjungtivitis vernal ditandai dengan sensasi panas dan gatal pada mata
terutama apabila pasien berada di daerah yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan,
8

lakrimasi, sekret kental dapat ditarik seperti benang dan kelopak mata terasa berat. Pada tipe
palpebral, terdapat papil-papil besar/raksasa yg tersusun sepertt batu bata (cobble stones
appearance). Cobble stones menonjol, tebal dan kasar karena serbukan limfosit, plasma,
eosinofil dan akumulasi kolagen & fibrosa. Hal ini dapat menggesek kornea sehingga timbul
ulkus kornea. Pada tipe bulbar/limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena massa putih
keabuan. Kadang-kadang ada bintik-bintik putih (Horner-Trantas dots), yang terdiri dari sebukan
sel limfosit, eosinofil, sel plasma, basofil serta proliferasi jaringan kolagen dan fibrosa yang
semakin bertambah. Laboratorium : Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa
terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas.3,5
Keratokonjungtivitis atopik
Tanda dan gejala : Gejala keratokonjungtivitis atopic berupa sensasi terbakar, bertahi mata,
berlendir, merah, dan fotofobia. Pada pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva
tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang
seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda
dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tandatanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan
ketajaman penglihatan menurun. Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema)
pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi sejak bayi.
Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi.
Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia
50 tahun. Laboratorium : Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak
yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.3,5
Konjungtivitis giant papillary
Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika memakainya melewati
waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3mm diameter). Bila
iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1mm diameter.2
Diagnosis banding
9

Klinik & sitologi

Viral

Bakteri

Vernal

Gatal

Minim

Minim

Hebat

Hiperemia

Profuse

Sedang

Sedang

Eksudasi

Minim

Menguncur

Minim

Adenopati preurikular

Lazim

Jarang

Tidak ada

Monosit

Bakteri, PMN

Eosinofil

Sakit tenggorokan

Kadang

Kadang

Tak pernah

Lakrimasi

++

Pewarnaan kerokan &


eksudat

Patofisiologi
Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi
sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Imunoglobulin E (IgE) mempunyai afinitas
yang kuat terhadap sel mast, dan cross-link 2 IgE oleh antigen akan menyebabkan degranulasi
sel mast.2
Degranulasi sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasi di antaranya histamin,
triptase, chymase, heparin, chondroitin sulfat, prostaglandin, thromboxane, and leukotriene.
Mediator-mediator ini bersama dengan faktor-faktor kemotaksis akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan migrasi sel neutrophil dan eosinophil. Ini merupakan reaksi alergi
yang paling sering pada mata.2
Manifestasi klinik

10

Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai meliputi mata
berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang
masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang, dan sangat membebani aktivitas
penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas normal.1,2,7
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat pertumbuhan


papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal
bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat dibanding bentuk limbal.
Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak (polygonal) dengan
permukaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral (kiri) dan limbal (kanan)

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel
kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit
eosinofil.1,2

Penatalaksanaan
Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri. Tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala
hanya memberikan hasil jangka pendek, karena dapat berbahaya jika dipakai untuk jangka
panjang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini harus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus,
katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.

Farmakologi
Terapi lokalis
Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan
pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi
11

maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan
medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.1,2,7
Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
Antihistamin topical
Acetyl cysteine 0,5%
Siklosporin topical 1%
Terapi sistemik;
Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

Non Farmakologi.
-

Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena
telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-mediator sel mast.
Di samping itu, juga untuk mencegah superinfeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut
menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.

Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter

Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuksari.

Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan alergen di
udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak akan
membantu retensi allergen

Kompres dingin di daerah mata

Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi protektif
karena membantu menghalau allergen

Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut sebagai climatotherapy.

Pencegahan
1. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan atau
mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih.
2. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang sakit.
3. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya.
4. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya.
12

Komplikasi
Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea superfisial sentral atau parasentral,
yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatriks yang ringan. Penyakit ini juga dapat
menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-kadang didapatkan panus, yang tidak menutupi
seluruh permukaan kornea. Perjalanan penyakitnya sangat menahun dan berulang, sering
menimbulkan kekambuhan terutama di musim panas.3,4
Prognosis
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat
berlanjut menjadi penyakit yang serius jika tidak ditangani dengan cepat dan benar. Pada
umumnya konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi melainkan efek terhadap kualitas hidup
penderita. Iritasi pada mata menyebabkan penderita susah untuk keluar rumah pada waktu
tertentu. Konjungtivitis juga dapat mengganggu konsentrasi sewaktu bekerja ataupun di
sekolah.2,6

PENUTUP
Kesimpulan
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan
bagian dalam kelopak mata. Adapun, salah satu penyebab dari konjungtivitis adalah alergi.
Konjungtivitis alergi itu sendiri juga dibagi dalam klasifikasi dan salah satunya termasuk
konjungtivitis vernal.
Penanganan yang diberikan berupa steroid dan antihistamin topikal serta yang sistemik.
Biasanya konjungtivitis alergi dapat sembuh sendiri, namun bila terlalu berat perlu diberi
pengobatan secara benar. Jika penanganan tidak baik, maka akan timbul suatu komplikasi. Oleh
karena itu, perlu pencegahan sebelum terjadi konjungtivitis alergi berupa hindari dari penyebab
alergen tersebut.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P, editors.
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2007. H.1-27.
2. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive
Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h.51-88.
3. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P,
editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2007. H.97-124.
4. Ilyas, S., Yulianti, S.R. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2006.h.35-6, 109-48.
5. Bickley, Lynn S. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8.
Jakarta; EGC; 2009.h.147-57.

14

6. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis.

Edisi

2012.

Diunduh

http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.html,

dari:
16

Maret

2014.
7. Scott,

IU.

Alergy

Conjunctivitis.

Edisi

2011.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall, 16 Maret 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai