Riwayat Menstruasi:
- Menarche
- Dismenorrhea
: 15 tahun
: (-)
Leukorrhea
: (-)
Menopause
: (-)
Siklus
: 28 hari
Lama
: 7 hari
Riwayat Perkawinan
- Perkawinan 1 kali, usia 22 tahun, selama 1 tahun
Riwayat Kehamilan
- ANC rutin di bidan, tidak ada masalah yang ditemukan
Hamil
Usia
ke
kehamilan persalinan
Hamil ini
Jenis
BB/TB
Umur
lahir
sekarang
: 3 Agustus 2014
HPL
: 10 Mei 2015
Riwayat Kontrasepsi:
( - ) Pil KB
( - ) Suntikan 3 bulan
( - ) Susuk KB
( - ) IUD
( - ) Lain-lain
A. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
Pernafasan
: 20x/menit (abdomino-torakal)
Suhu
: 36,7oC
Tinggi Badan
: 148 cm
Berat
: 62,5 kg
2
Mata
Jantung
Thorax
Abdomen
Supraklavikula
Lipat paha
Leher
Ketiak
Aspek kejiwaan
Tingkah laku
: tenang
Alam perasaan
: biasa
Proses pikir
: wajar
STATUS OBSTETRIKUS
Pemeriksaan luar
-Inspeksi
: abdomen tampak masih membuncit setelah proses kehamilan sebelumnya
dan uterus juga sudah turun, linea nigra (+), striae gravidarum (+)
-Palpasi
Leopold I : Leopold II : Leopold III : Leopold IV : -TFU
: setinggi pusat, kontraksi lemah
-TBJ
:-HIS
:-DJJ
:Inspeksi
Vulva/uretra tidak ada tanda-tanda infeksi
Tampak tali pusat diluar vagina
3
RESUME
Pasien datang dengan keluhan ari-ari belum lahir sejak 2 jam SMRS. Pasien telah
melahirkan di bidan pada jam 06.00 pagi hari yang sama tetapi ari-ari belum lahir
setelah melahirkan. Terdapat perdarahan pervaginam setelah melahirkan, sebanyak
dua underpath. Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, pusing, lemas dan
mengantuk.
Pasien melahirkan di bidan secara normal 2 jam sebelumnya, lahir secara
pervaginam, dengan letak janin normal tidak sungsang. Tidak ada kelainan selama
masa persalinan, pasien mulai merasa mulas 12 jam sebelumnya dan pecah ketuban
2 jam sebelum melahirkan.
Hari pertama haid terakhir adalah 3 Agustus 2014, taksiran persalinan 10 mei 2015,
riwayat antenatal rutin di bidan. Riwayat KB (-). Riwayat menarche pada usia 15
tahun, riwayat haid teratur, lama haid 7 hari.
DIAGNOSA
P1A0 aterm, Perdarahan post partum e.c retensio plasenta
PENATALAKSANAAN
1.
Rencana diagnostik
Pemeriksaan laboratorium: H2TL diulang setelah kelahiran plasenta
Observasi His, perdarahan setelah 1 jam kelahiran plasenta
2. Rencana terapi
IVFD : loading i.u Oxytocin drip dalam cairan Ringer Laktat 500 cc
dilanjutkan dengan cairan Ringer Laktat 20 tetes/menit
Jika plasenta tidak lahir dengan teknik ini, dilakukan manual plasenta.
Sebelumnya dipastikan dahulu apakah portio serviks terbuka. Jika masih
tertutup, teknik manual plasenta tidak dapat dilakukan. Pasien diberikan
nitrogliserin dosis rendah untuk relaksasi serviks supaya portio terbuka
dan tangan bisa dimasukkan ke dalam uterus.
Jika perdarahan masih aktif, dilakukan massase uterus. Jika tidak berhasil,
palpasi bimanual untuk kompresi uterus sehingga perdarahan berhenti.
Atau bisa juga dilakukan tampon kondom kateter untuk kompresi.
Dimasukkan 200-300 cc aqua steril ke dalam tampon kateter untuk
kompresi pembuluh darah uterus.
PROGNOSA
Ibu
o
o
o
Janin
o
o
o
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam
: bonam
: bonam
: bonam
Follow Up
07 Mei 2015
S: lemas
O: TTV
TD
: 120/80mmHg
: 109x/menit
RR
: 26x/menit
: 35,7C
Inspeksi: terlihat tali pusat keluar dari vulva setelah 2 jam post partum
A: P1A0 2 perdarahan postpartum e.c retensio plasenta
P: IVFD RL 20tpm + drip oxytocin 20 IU
Cefadroxil 2x500 gram (p.o) dan 1x1 gram (i.v)
Pemasangan kateter
Manual plasenta
Follow Up
08 Mei 2015
S: nyeri pada daerah jalan lahir
O: TTV
TD: 110/70 mmHg
Urin: 200cc
N: 80x/menit
RR: 22x/menit
Suhu : 36,2oC
TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama kematian ibu. Menurut
waktunya perdarahan kebidanan terdiri dari tiga, yaitu perdarahan dalam kehamilan,
perdarahan dalam persalinan, dan perdarahan pasca persalinan. Dari semua kasus
perdarahan pasca persalinan yang menyebabkan kematian maternal, 80% disebabkan oleh
atonia uteri dan 10% oleh karena retensi sisa plasenta atau retensi plasenta. Perdarahan
pasca persalinan oleh karena retensi sisa plasenta atau retensi plasenta merupakan akibat
dari penanganan kala uri yang tidak baik.
Salah satu upaya menanggulangi perdarahan pasca persalinan oleh karena
kesalahan penanganan kala uri dilakukan dengan pemberian uterotonika profilaksis.
Uterotonika profilaksis yang dapat diberikan adalah oksitosin, ergometrin, dan kombinasi
oksitosin dan ergometrin, disertai penjepitan tali pusat segera, dan melahirkan plasenta
dengan traksi terkontrol. Permasalahannya adalah penentuan jenis, dosis, dan saat
pemberian uterotonika profilaksis. Untuk mengetahui hal-ha1 tersebut, diperlukan suatu
penelitian yang membandingkan kemampuan efektivitas uterotonika profilaksis. .
PERDARAHAN PASCAPERSALINAN
Perdarahan pasca persalinan menurut waktu terjadinya, terdiri dari perdarahan
kala II, perdarahan kala III, dan perdarahan kala IV. Perdarahan kala II yaitu perdarahan
yang terjadi setelah bayi lahir sampai saat plasenta lahir. Perdarahan kala III adalah
7
perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir sampai segera sesudahnya. Perdarahan kala
IV adalah perdarahan sesudah kala III sampai dengan dua jam kemudian.
Perdarahan pasca persalinan dini yaitu perdarahan yang terjadi dalam kurun
waktu 24 jam setelah plasenta lahir. Perdarahan pasca persalinan lanjut adalah perdarahan
yang terjadi dalam kurun waktu setelah 24 jam pertama sampai berakhirnya masa nifas.
Rerata kehilangan darah pasca persalinan yang masih dianggap dalam batas normal
adalah maksima1 300 ml, sedangkan sebelum plasenta lahir (kala II) tidak boleh lebih
dari 90 ml. Peneliti lain menyatakan perdarahan sebelum plasenta lahir (kala II) tidak
boleh lebih dari 50 ml. Di Indonesia belum ada nilai baku yang pasti untuk menentukan
jumlah perdarahan pasca persalinan.
Beberapa ketentuan yang berhubungan dengan perdarahan pasca persalinan
adalah perdarahan pasca persalinan ringan apabila jumlah perdarahan sekitar 400 ml
sampai dengan 600 ml, perdarahan pasca persalinan sedang adalah jumlah perdarahan
600 ml sampai dengan 800 ml, dan perdarahan pasca persalinan berat adalah jumlah
perdarahan melebihi 800 ml.
Dengan tanda dan gejala secara umum antara lain perdarahan yang membutuhkan
lebih dari satu pembalut dalam waktu satu atau dua jam, sejumlah besar perdarahan
berwarna merah terang tiap saat setelah minggu pertama pascapersalinan. Perdarahan
post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah anak
lahir. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian yaitu: Perdarahan Postpartum
Primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir dan
perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24
jam, biasanya antara hari ke-5 sampai ke-15 postpartum.
Hal-hal yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah atonia uteri, perlukaan
jalan lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, inversio uteri, laserasi jalan lahir,
tertinggalnya sebagian dari plasenta seperti kotiledon atau plasenta suksenturiata,
endometritis puerperalis, gangguan pembekuan darah atau penyakit darah.
Penyebab dari perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 4 kategori (4T), yaitu:
1. Tone (Atoni Uteri)
2. Tissue (Retensio Plasenta)
3. Trauma (Laserasi dan rupture uteri)
8
e) Sub-involusi uterus, nyeri tekan perut bawah dan pada uterus, perdarahan sekunder,
lokhia mukopurulen dan berbau (Endometritis atau sisa fragmen plasenta)
Penanganan Umum Perdarahan Postpartum
a) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal
b) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya
pencegahan perdarahan postpartum)
c) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya
d) Selalu siapkan keperluan tindakan darurat
e) Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi
f) Atasi syok
g) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus,
beri uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500 cc NS/RL dengan
tetesan per menit).
h) Pastikan plasenta lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
i) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
j) Pasang kateter menetap dan pantau masuk keluar cairan.
k) Cari penyebab perdarahan dan lakukan tindakan spesifik
Pencegahan Perdarahan Postpartum
Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Ibu-ibu yang
mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk
bersalin di rumah sakit. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasuskasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Di rumah sakit, diperiksa
keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia
donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan
obat-obatan penguat rahim.
10
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga,
sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta.
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta
Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan
lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan
a. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral
dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x
500mg oral.
b. Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase
c. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
Pemeriksaan plasenta dapat mengidentifikasi kelainan yang menunjukkan
kemungkinan adanya potongan yang tertinggal. Tatalaksana pada kasus ini dapat
dilakukan dengan panduan USG.
Tindakan Operatif Dalam Kala Uri
Tindakan operatif yang dapat dilakukan dalam kala uri persalinan adalah
A. Perasat Crede
Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara
manual. Perasat crede bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan
ekspresi :
1. Syarat : Uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong
2. Teknik pelaksanaan
12
Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. Setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik,
maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti meremas jeruk.
perasat Crede tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena
dapat menimbulkan inversion uteri.
B. Manual Plasenta
Indikasi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada
kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan
uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah
persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Teknik Plasenta Manual
Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum
penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi
diperlukan jika ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg
intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau
duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali
pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk
kerucut.
Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu
melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini
dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang
membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri
dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah.
Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke
arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir
plasenta yang terlepas.
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam
antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan
tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin),
sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut
terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat
dihindarkan.
14
Retensio Plasenta
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam
setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan
tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan
postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late
postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
Insiden
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%17%, selama 3 tahun (19971999) didapatkan 146 kasus
rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus
tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.
Etiologi
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam.
Menurut tingkat perlekatannya :
a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua
endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding
rahim.
Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi.
16
Separasi
akretaPlasenta
Plasenta akreta
Konsistensi
parsial
Kenyal
inkarserata
Keras
uterus
Tinggi fundus
Bentuk uterus
Perdarahan
Tali pusat
Ostium uteri
Separasi
Sepusat
Diskoid
Sedang-banyak
Terjulur sebagian
Terbuka
Lepas sebagian
Sepusat
Diskoid
Sedikit/tidak ada
Tidak terjulur
Terbuka
Melekat seluruhnya
plasenta
Syok
Sering
Jarang
Jarang sekali
Cukup
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala
III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Plasenta kaptiva atau
inkarserata diberi suntikan oksitosin intraserviks untuk menambah pembukaan serviks
dan diberi analgesik (tramadol 100 mg IV atau pethidine 50 mg IV), anestesi umum
(diazepam 5mg IV) untuk melahirkan plasenta dengan memakai alat cunam ovum atau
cara manual.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, sementara itu
kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan suntikan oksitosin (i.v. atau i.m. atau
melalui infus) dan botch dicoba perasat Crede secara lege artis. tetapi bila sebagian
plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh
karena itu keduanya harus dikosongkan.
Anatomi
17
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan
tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan
plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan
ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta
sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal
dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di
desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air
mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari
kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali
perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.
Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa
metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta
penyalur berbagai antibodi ke janin.
Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otototot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini
18
menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi
secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari
dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus
dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang
pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam
rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh
lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus
menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen
karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar
lebih panjang (tanda ahfeld).
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh
dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas
19
vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan interabdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat
mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk
menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan
menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan
tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan
constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi
di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak
perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak
ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan
serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.
Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang.
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas
secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
20
Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai
dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan
activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time
(CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang
disebabkan oleh faktor lain.
Diagnosis
Perdarahan Sebelum lahirnya plasenta
Perdarahan dalam kala III persalinan biasanya disebabkan karena retensio plasenta.
Meskipun demikian pasien juga dapat berdarah karena adanya robekan jalan lahir. Ketika
terjadi perdarahan dan plasenta masih didalam uterus hal pertama yang dilakukan adalah
berusaha untuk mengeluarkan plasentadengan tarikan ringan dengan penekanan pada
uterus dengan menekan abdomen. Bila berhasil, uterus harus tetap ditekan dan diberikan
oksitosin intravena. Kompresi bimanual harus tetap dilakukan hingga uterus berkontraksi
dengan baik.
21
22
Tekanan
(sistolik)
Normal
Darah
(10-15%)
1000-1500
takikardia, pusing
mL Penurunan ringan (80-Lemah, takikardia,
(15-25%)
1500-2000
100 mm Hg)
berkeringat
mL Penurunan sedang (70-Gelisah,
pucat,
(25-35%)
2000-3000
80 mm Hg)
oliguria
mL Penurunan tajam (50-Pingsan, hipoksia,
(35-50%)
70 mm Hg)
anuria
Terkompensasi
Ringan
Sedang
Berat
23
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi
waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan.Perlu dilakukan
pemberian oksigen dan akses intravena.Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1
jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan
jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume
yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses
intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya
yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah.
Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan
perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L),
dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan
perdarahan post partum.Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5
L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler,
tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.Pergeseran ini bersamaan dengan
penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah
perdarahan post partum.Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan.
Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat
ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani.
Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah
merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang
buruk pada hemostasis.Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan
NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian
koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
Transfusi Darah
24
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan
akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok
walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan
transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen
yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi.PRC bersifat sangat kental yang
dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan
100 mL NS pada masing-masing unit.
Tabel III. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1
pemberian awal
Ergometrin
Misoprostol
IM atau IV (lambat):Oral atau rektal 400
L larutan garam0,2 mg
fisiologis
mg
dengan
tetesan cepat
Dosis lanjutan
IM: 10 U
IV: 20 U dalam 1LUlangi 0,2 mg IM400
larutan garam
fisiologis
setelah 15 menit
dengan40Bila
tetes/menit
mg
2-4
jam
masih
diperlukan,
beri
larutan fisiologis
dosis
Pemberian IV secaraPreeklampsia, vitiumNyeri kontraksi
atau hati-hati
kordis, hipertensi
Asma
dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, penderita dalam narkosa, riwayat PPH habitualis,
setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
Manual plasenta :
1. Memasang infus cairan dekstrose 5%
2. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan
diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.
3. Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci
hama.
4. Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam
rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas
disisihkan dengan tepi jari-jari tangan bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan
eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual
plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa
infeksi
26
Setelah manual plasenta, diberi suntikan ergometrin 3 hari berturut-turut. Jika ada
keraguan jaringan plasenta yang tertinggal, maka pada hari ke-4 dilakukan kerokan
kuretase dengan kuret tumpul ukuran besar didahuli suntikan/infus oksitosin.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan
tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan
hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan
dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.
h. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan
perfusi organ.
27
3. Terjadi infeksi : terdapat sisa plasenta atau membran dan bakteria terdorong ke dalam
rongga rahim.
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak
selanjutnya.
Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta
efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit
Widya Medika.
2. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),2002, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri
Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Sarwono, Prawirohardjo, (ed) 2010, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Penerbit P.T. Bina
Pustaka.
4. Universitas, Padjadjaran, Bandung, (ed) 2004, Obstetri Patologi : Penerbit Elstar
Offset Bandung.
5. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar
Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
6. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002,
Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalamBuku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR POGI bekerjasama
dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
7. Angsar, M. D., 2000, Perlukaan Alat-alat Genital dalam Ilmu Kandungan,
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
29