Anda di halaman 1dari 14

PENANGANAN NYERI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Michael J. Docherty, MD, R. Carter W. Jones III, MD, PhD, and Mark S.
Wallace, MD
Abstrak : Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD, dan memiliki konsekuensi
yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Evaluasi lanjut dilakukan untuk
menentukan sumber nyeri yang dirasakan pasien termasuk gejala klinis,
laboratorium,

radiologi,

dan

penanganan

endoskopi

sesuai

indikasi.

Membedakan nyeri akibat inflamasi aktif, komplikasi sekunder, dan nyeri


fungsional dapat membingungkan. Meskipun ketika semua penyakit aktif telah
diterapi secara adekuat, klinisi seringkali luput tentang cara penanganan nyeri
kronik. Jurnal ini akan menggambarkan keuntungan-keuntungan dan batasanbatasan tentang cara terapi dan masa depan terapi yang menjanjikan. Alogaritme
terapi yang disarankan akan menyediakan beberapa petunjuk pada penanganan
IBD.
Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD. Nyeri merupakan suatu
komponen dari beberapa indeks penyakit aktif, dan merupakan salah satu keluhan
yang diutarakan pasien. Nyeri merupakan alasan menurunnya kualitas hidup
pasien (Quality of life [QOL]) yang sering terlihat pada pasien IBD. Aspek nyeri
yang tidak terkontrol juga dihubungkan dengan kecemasan yang mendalam.
Kecemasan ini dapat mengarah pada suatu mekanisme maladaptif yang
mengakibatkan nyeri lebih sulit ditangani. Jurnal ini akan mendiskusikan
bagaimana cara mengintervensi dengan sebuah pendekatan multidisiplin pada
penanganan nyeri yang dapat menghentikan siklus nyeri.
Etiologi nyeri pada IBD
Nyeri adalah sebuah adaptasi evolusioner untuk memperingatkan adanya
kerusakan yang dapat mengarah pada cedera yang panjang. Pada IBD, nyeri
mungkin merupakan satu-satunya tanda bahwa penyakit sedang berlangsung dan
membutuhkan terapi yang lebih kuat. Inflamasi usus yang terus-menerus atau
komplikasi seperti abses atau striktur, merupakan penyebab yang sering pada
1

IBD. Obstruksi sebagian usus halus pada Crohns disease sering mengakibatkan
nyeri secara intermitten dan mengharuskan diet residu rendah. Malabsorbsi asam
empedu dapat memicu terjadinya diare dan kram yang akan sering merespon
penyerapan asam empedu. Manifestasi ekstraintestinal termasuk sendi-sendi,
kulit, dan mata sering dapat mengakibatkan nyeri. Beberapa penyebab umum
nyeri pada IBD terdaftar pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyebab Umum Nyeri pada Irritable Bowel Syndrome
Nyeri Akibat Inflamasi
Intestinal
Ekstraintestinal
Gatritis
Artritis perifer
Enteritis
Sacroiliitis
Collitis
Spondilitis ankilosis
Abses
Primary sclerosing
Fistula
cholangitis
Fisura
Erythema nodosum
Irritable Bowel
Pyoderma
Syndrome
gangrenosum
Iritis
Uveitis

Nyeri Akibat Noninflamasi


Intestinal
Ekstraintestinal
Striktur
Nefrolithiasis
Adhesi
Cholelithiasis
Obstruksi usus
halus
Narcotic bowel
syndrome

Keluhan nyeri harus memicu investigasi lebih lanjut mengenai etiologietiologi potensial. Investigasi ini termasuk penanganan untuk tanda-tanda
inflamasi, seperti peningkatan jumlah sel darah putih, tingkat sedimentasi, atau
level C-reactive protein. Adanya leukosit pada feses atau peningkatan level
calprotein dapat memberikan suatu informasi. Nyeri neuropati disarankan untuk
evaluasi kekurangan vitamin B12, khususnya pada pasien yang telah dilakukan
reseksi ileus yang besar. Colonoskopi atau endoskopi saluran pencernaan atas
sering dibutuhkan untuk mengkonfirmasi adanya penyakit. Pemeriksaan radiologi
(small-bowel, diikuti CT-scan enterografi, atau MRI enterografi) atau wireless
capsule endoscopy dapat membantu mengevaluasi penyakit yang tidak terdeteksi
dengan endoskopi. Pemeriksaan radiologi small-bowel sering dibutuhkan untuk
mengindentifikasi adanya striktur atau adhesi yang dapat menjadi penyebab nyeri.
Meskipun telah dilakukan verifikasi klinis dan remisi endoskopi, 20%
pasien akan tetap merasa nyeri. Pada trial SONIC, lebih dari sepertiga pasien
dengan diagnosis Crohns disease ringan sampai berat dalam studi tidak
ditemukan bukti adanya proses aktif pada pemeriksaan endoskopi. Satu alasan
2

untuk temuan ini mungkin tingginya tingkat kejadian irritable bowel syndrome
(IBS) pada pasien IBD. Pada satu studi, pasien-pasien IBD dengan remisi komplit
mengalami sekitar 2-3 kali gejala yang serupa IBS (IBS-like symptoms)
dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya tingkat kejadian anxietas dan
depresi pada pasien IBD ikut memberi kontribusi terjadinya gejala-gejala
fungsional ini. Sesungguhnya, pasien-pasien IBD dengan anxietas tinggi dan
depresi lebih sering mengeluh adanya gejala-gejala IBS. Meskipun konsekuensikonsekuensi dari masalah psikologis ini, pada satu studi didapatkan hanya 40%
dari pasien-pasien IBD dengan depresi yang mendapatkan terapi medis.
Bukti yang mendukung hubungan langsung antara IBD dan IBS semakin
banyak. Inflamasi tingkat rendah dan interaksi neuroimun sepertinya ikut berperan
dalam perkembangan IBS. Demikian juga, inflamasi tersembunyi pada pasienpasien IBD yang dalam fase remisi dihubungkan gejala seperti IBS (IBS-like
symptoms). Temuan ini menunjukkan mekanisme dimana residu inflamasi dalam
IBD yang tenang memicu terjadinya gejala seperti IBS dimana hal serupa
didapatkan pada infeksi gastrointestinal dapat menyebabkan IBS post infeksi.
Kekaburan batasan antara IBD dan IBS menyebabkan beberapa peneliti dan
klinisi mempertanyakan model dari sebuah dichotomi organik fungsional.
Mekanisme Nyeri
Nyeri pada IBD dimulai ketika produksi nyeri, atau nosiseptif, stimulusstimulus terdeteksi oleh saraf-saraf aferen primer khusus disebut nosiseptor
(Gambar 1). Ikatan membran reseptor pada nosiseptor mampu merespon beragam
modalitas stimulus, termasuk stimulus kimia, suhu, dan atau mekanik. Aktivasi
nosiseptor diikuti stimulasi perintah neuron tingkat kedua di saraf spinal via
eksitasi sinaps glutamatergic. Sinyal neural kemudian ditransmisi ke saraf spinal
menuju batang otak dan thalamus, yang mana menghubungkan berbagai area
korteks serebral, termasuk korteks somatosensori, insula, dan korteks cingulatum
anterior. Ketika sinyal saraf ini mencapai pusat yang lebih tinggi dari batang otak
dan otak, sinyal tersebut mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri.
Jalur-jalur sensoris ini merupakan suatu sistem yang kuat dalam mengatur
informasi yang masuk. Beberapa nosiseptor dapat melepaskan substansi-subtansi
3

yang dapat mengubah fungsi keduanya baik fungsi sendiri maupun fungsi saraf
sekitarnya. Modulasi komunikasi sinaps antara nosiseptor dan neuron tingkat
kedua pada saraf spinal dapat juga mengarah pada hyperlagesia. Aktivasi
struktur-struktur dalam batang otak, secara spesifik pada periaquaductal grey
matter dan medulla rostroventromedial, dapat melakukan inhibisi atau
memfasilitasi transmisi masuk dari informasi sensoris. Pada akhirnya berbagai
pusat dalam otak dapat memodulasi persepsi dan berespon terhadap stimuli
nosiseptif yang mengarah pada sensari nyeri. Semua mekanisme modulasi ini
berhubungan dengan keadaan nyeri kronik.
Ada beberapa cara dimana nyeri organ viseral secara unik dibandingkan
dengan nyeri somatic. Mayoritas aferen viseral primer berupa polimodal
mensensor stimuli mekanik, termal, dan kimia

dapat

yang memungkinkan untuk

mengirim beragam sinyal dari lingkungan. Kebanyakan dari aferen-aferen


sensoris ini juga dapat merespon stimuli pada jarak noxius; sedikit banyak, hampir
semua aferen-aferen sensoris mampu menghasilkan nyeri.
Ketika di saraf spinal, aferen-aferen viseral menghasilkan berbagai
informasi ke dalam jaringan-jaringan yang tersebar ke saraf spinal dan saling
tumpang tindih dengan neuron aferen primer lain. Kontrasnya, aferen-aferen
cutaneus sensoris membuat koneksi berupa lingkaran pada saraf spinal yang
menghasilkan pola dermatom khas. Oleh karena itu, stimuli viseral
nosiseptif stimuli

termasuk

dapat melibatkan bagian-bagian besar dari sistem saraf pusat,

menghasilkan nyeri difuse, sulit dilokalisasi, dan sering mengarah pada nyeri
viseral.
Pilihan Terapi
Ketika nyeri dihubungkan dengan IBD aktif, terapi utama seringkali meningkat
pada terapi IBD. Bagaimanapun, nyeri dapat menetap meskipun terapi IBD
adekuat, atau nyeri dapat timbul dari penyebab non-IBD. Pada situasi ini,
penggunaan analgesik lain mungkin dibutuhkan (Tabel 2).

Gambar 1. Mekanisme Nyeri pada IBD. Stimulasi nosiseptif dapat dideteksi oleh
aferen somatik primer (merah) atau aferen viseral primer (biru)
Obat-Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid
Penggunaan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid pada IBD biasa juga
digunakan pada penanganan arthritis. Penggunaan OAINS sangat efektif pada
kasus inflamasi arthtopati lain dan sering direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama. Acetaminofen dapat digunakan sebagai pengganti OAINS untuk
mengurangi efek samping, tetapi acetaminofen kurang efektif.
OAINS berperan sebagai analgesik anti-inflamasi dengan menghambat
produksi prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase (COX). Pada kondisi
inflamasi, efek analgesik OAINS terjadi dengan penghambatan pembentukan
enzim, COX-2. Non-selektif OAINS juga menghambat pembetukan enzim COX1, yang mana berperan dalam mempertahankan integritas usus. Kombinasi
pengurangan produksi prostaglandin dan

toksinitas langsung gastrointestinal

sebagai efek samping OAINS.


Beberapa laporan kasus-kasus terkini menimbulkan pertanyaan tentang
potensi OAINS dalam memperberat IBD. Studi case-control dari pasien-pasien
IBD tercatat tingginya tingkat

penggunaan OAINS, meskipun hanya pasien

dalam perawatan rumah sakit yang lebih membutuhkan analgesik. Tidak ada
5

hubungan antara penggunaan OAINS dan penyakit ruam terlihat pada pasien
klinik. Studi terbesar untuk mengevaluasi hubungan ini memeriksa lebih dari 500
pasien IBD yang di follow up selama 1 tahun. Pada studi ini didapatkan tidak
adanya hubungan antara penggunaan OAINS dan ruam-ruam (odds ratio [OR],
0,99; 95% confidence interval [CI], 0,61-1,60), bahkan pada penggunaan OAINS
sehari-hari.
Kontrol trial OAINS pada IBD telah berkurang. Sebuah studi kecil
menunjukkan peningkatan resiko timbulnya ruam 20-30% pada pasien yang
memulai terapi dengan OAINS dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi
dengan acetaminofen. Semua pasien yang diterapi OAINS timbul ruam dalam 9
hari setelah terapi, tapi kebanyakan dapat mengalami remisi dengan penghentian
OAINS.

Memiliki potensi dalam mengurangi resiko terjadinya toksisitas

gastrointestinal dengan penghambat COX-2 selektif, obat-obat ini dapat


digunakan sebagai terapi alternatif pada IBD. Grafik retrospektif menunjukkan
bahwa hanya 7% dari pasien IBD mengalami ruam setelah diterapi dengan
penghambat COX-2, dan lebih dari 80% pasien mengalami perbaikan dalam
nyeri. Berikutnya secara acak, trial kontrol-placebo pada lebih dari 200 pasien
dengan IBD didapatkan angka yang serupa dari pasien dengan eksaserbasi yang
diterapi dengan celecoxib atau placebo (3% vs 4%).
Klinisi harus mengingat bahwa OAINS tersedia dalam berbagai formulasi,
sudah banyak pasien IBD menggunakan obat ini untuk penanganan nyeri.
Beberapa studi telah menunjukkan penggunaan OAINS pada 50-75% pasien IBD,
dibandingkan dengan 10% diantara pasien rawat jalan gastroenterologi lain. Sejak
didapatkan adanya ruam pada kebanyakan pasien yang menggunakan OAINS dan
membaik dengan penghentian obat, maka disarankan untuk segera menghentikan
obat ini jika timbul ruam. Penghambat COX-2 selektif lebih aman, meskipun
didapatkan adanya resiko terhadap jantung yang membatasi penggunaan obat ini.
Dengan keterbatasan data, maka menghindari penggunaan OAINS pada sebagian
besar kasus merupakan hal yang bijaksana. Pasien dengan arthritis berat yang
tidak dapat dikontrol dengan obat lain, maka penghambat COX-2 diberikan
dengan hati-hati. Studi lanjutan kontrol acak akan membantu mengklarifikasi
aspek kontroversial pada penanganan nyeri.
6

Tabel 2. Medikasi yang Digunakan pada Nyeri Viseral


Golongan

Medikasi
Hyoscyamin XR

Anti spasmodik
Docyclomine

Anti depresan
trisiklik

Despiramine

10-25 mg
sebelum tidur

200 mg/hari

Nortriptyline

10 mg sebelum
tidur

150 mg/hari

Paroxetine*,**

Citalopram**
Venlafaxine*,**
SNRI
Duloxetine*,**
Bupropion*,**

10 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
25-50 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
37,5 mg dosis
tunggal
20-60 mg dosis
tunggal
100 mg dua kali
sehari

Efek Samping
Konstipasi,
pusing, mulut
kering, sedasi,
retensi urin

160 mg/hari
150 mg/hari

Sertraline*

Opiat atipikal

1,5 mg/hari

Amitriptyline

Fluoxetine*,**

Anti depresan
atipikal

Dosis Maksimal

25-50 mg
sebelum tidur

Escitalopram*,**

SSRI

Dosis Awal
0,125-0,25 mg
setiap 4-6 jam
atau 0,375-0,75
mg dua kali
sehari
20 mg empat
kali sehari

20 mg/hari
80 mg/hari
50 mg/hari

Mulut kering,
pusing, sedasi,
peningkatan berat
badan
Mulut kering,
konstipasi,
hipotensi, sedasi,
penigkatan berat
badan
Anoreksia, diare,
sakit kepala,
insomnia, mual,
sedasi, penurunan
berat badan

200 mg/hari
60 mg/hari
150 mg/hari
120 mg/hari
450 mg/hari

Bupropion
XR*,**

150 mg dosis
tunggal

400-450 mg/hari

Tramadol**,

50 mg dosis
tunggal

400 mg/hari

Gabapentin

300 mg sebelum
tidur

3600 mg.hari

Pregabalin**

75 mg dua kali
sehari

450 mg/hari

Anti konvulsan

Sakit kepala,
insomnia, mual
Pusing, insomnia,
sedasi, mual
Sakit kepala,
insomnia, risiko
kejang,
penurunan berat
badan
Konstipasi,
diaforesis, mual,
risiko kejang
Sulit
berkonsentrasi,
mual, sedasi,
peningkatan berat
badan
Kebingungan,
pusing, sedasi,
peningkatan berat
badan

* Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi hepatik


** Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi renal
Jangan berikan pada pasien yang sedang mengkonsumsi Monoamine Oxidase Inhibitor

Opiat
Opiat sering digunakan untuk terapi nyeri berat akut. Peran obat ini pada
kasus nyeri kronik non-kanker (CNCP) masih belum jelas, termasuk efek
samping, penyalahgunaan, dan penyimpangan pada individu lain. Meskipun hal
ini mengkhawatirkan, namun penggunaan jangka panjang terapi opiat pada CNCP
meningkat secara dramatis. Ketika terbukti nyeri membaik dalam demonstrasi
penggunaan jangka pendek opiat, keuntungan ini tidak berarti meningkat pada
penggunaan opiat jangka panjang. Beberapa studi tentang penggunaan opiat pada
CNCP menunjukkan keuntungan kecil sampai nihil, sehingga terapi jangka
panjang dengan opiat banyak mengecewakan.
Adapun

sedikit

informasi

yang

mengejutkan

tentang

prevalensi

penggunaan opiat pada IBD. Studi terkini melaporkan penggunaan kronik opiat
pada 30% pasien IBD, meskipun pada studi ini hanya termasuk pasien dengan
evaluasi psikiatrik. Pada semua pasien yang menunjukkan klinis IBD, frekuensi
penggunaan opiat berkisar 3-13%. Penggunaan opiat mungkin merupakan sebuah
marker untuk kasus IBD yang lebih berat, sebagaimana dalam studi didapatkan
pasien yang diterapi dengan opiat memiliki perjalanan penyakit yang lebih buruk
dan nyeri dan hampir dua kali lebih mungkin memerlukan intervensi bedah.
Namun, lebih dari setengah pasien IBD yang kembali untuk perawatan
follow up mampu menghentikan candu terhadap opiat. Pasien-pasien ini memilih
untuk melakukan terapi medis dan memiliki perjalanan penyakit dan nyeri yang
terkontrol. Temuan ini menyatakan bahwa kebanyakan pasien dengan IBD dapat
sukses menghentikan candu dari opiat jika penyakit mereka teratasi dan nyeri
mereka ditangani dengan strategi alternatif.
Komplikasi Penggunaan Opiat
Banyak efek samping opiat yang terjadi, seperti seperti mual, depresi
nafas, sedasi, dan euforia/disforia, namun akan berkurang seiring dengan
berjalannya waktu. Konstipasi merupakan suatu pengecualian pada pernyataan ini,
dan penggunaan bowel regimen secara rutin dianjurkan ketika memulai terapi
opiat. Ketika konstipasi mulai dialami pada kebanyakan pasien IBD, hal ini
8

menyebabkan pasien beresiko terkena toksik megacolon. Sindrom narkotik bowel


merupakan komplikasi lain yang dikhawatirkan pada penggunaan opiat jangka
panjang. Sindrom ini ditandai dengan nyeri abdominal kronik dengan penyebab
yang tidak jelas atau intensitas penyakit yang memburuk dengan peningkatan
dosis opiat. Sindrom ini dapat memicu siklus yang buruk dimana klinisi secara
terus-menerus meningkatkan dosis opiat dengan tujuan untuk mengontrol nyeri
pasien.
Hal yang penting saat ini mengenai penggunaan secara aman opiat pada
pasien IBD ditingkatkan dengan analisa data dari buku catatan TREAT,
prospektif, registrasi jangka panjang pasien dengan Crohns disease. Pada catatan
ini, penggunaan opiat dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas (OR,
1,84; P=0,44), meskipun demikian hubungan ini tidak signifikan ketika analisa
diatur untuk faktor resiko lain. Penggunaan opiat merupakan satu faktor resiko
untuk terjadinya infeksi serius (OR, 2,38; P<0,01), bahkan setelah pengaturan
untuk beratnya penyakit dan penggunaan agen imunosupresif. Penulis
memperkirakan temuan ini mungkin dikarenakan tanda dan gejala awal infeksi
akibat opiat. Kemungkinan lain adalah bahwa opiat memiliki efek langsung pada
infeksi akibat penurunan motilitas usus dan translokasi bakteri melewati mukosa
usus yang rusak yang mengalami inflamasi.
Poin penting lain menggambarkan adiksi dan penyalahgunaan opiat.
Ketika tidak ada penyelesaian yang tepat dalam masalah ini, ada berbagai cara
yang klinisi dapat lakukan dalam membantu mengidentifikasi individu yang
beresiko menyalahgunakan opiat. Metode yang kami terapkan dalam institusi
kami adalah alat risiko opiat. Alat skrining ini mudah digunakan dan merupakan
indikator primer kapan dilakukan pendekatan yang lebih hati-hati dan menentukan
penanganan selanjutnya. Sebagai tambahan, alat-alat yang dapat mendeteksi obatobat terlarang

seperti tertulis pada Controlled Substance Utilization Review And

Evaluation System, registrasi online Schedule II-IV prescriptions yang ditulis di


California

merupakan sumber yang berharga untuk dokumentasi tingkah laku

pasien.
Pasien dianggap berisiko tinggi menyalahgunakan opiat pada terapi opiat
jangka panjang dimana mungkin diperlukan evaluasi psikis secara hati-hati dan
9

pemantauan ketat dari klinisi. Pasien yang memiliki kesulitan terhadap terapi
opiat sering mengalami depresi. Kebanyakan program multidisiplin obat anti nyeri
diatur oleh ahli psikologi yang telah terlatih mengevaluasi nyeri kronik pasien.
Sebagai tambahan, semua klinisi harus berhati-hati adanya tanda yang
mengkhawatirkan pasien yang mendapat terapi opiat; tanda-tanda ini tercantum
dalam Tabel 3. Pada waktu yang bersamaan, klinisi harus dapat membedakan
tanda adiksi dari gejala dan tingkah laku dari analgesik yang inadekuat
(pseudoadiksi) atau anxietas nyeri. Konsultasi dengan ahli psikologi dapat
berguna pada situasi ini.
Tabel 3. Ciri-ciri Tipikal pada Penyalahgunaan Terapi Opioid
-

Hasil yang tidak terduga pada skrining toksikologi


Permintaan rutin untuk peningkatan dosis
Penggunaan opiat secara bebas
Minum obat secara tidak teratur
Kehilangan resep atau obat
Mengunjungi IRD untuk mendapatkan terapi opioid
Absen saat visite follow-up
Resep obat diperoleh dari second provider
Menyogok untuk mendapatkan resep

Antidepresan
Antidepresan sering direkomendasikan sebagai analgesik tambahan untuk
mengurangi kebutuhan terapi opiat jangka panjang. Kebanyakan dasar
penggunaan antidepresan pada IBD berasal dari studi IBS. Dua trial meta-analisis
yang menonjol yang digunakan adalah antidepresan trisiklik (TCAs) untuk terapi
IBS menunjukkan hasil yang menguntungkan. Sementara studi lain menyatakan
tidak selalu menguntungkan, TCAs masih merupakan terapi utama pada IBS.
Studi tentang selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) pada IBS kurang
menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa SSRI tidak berefek pada nyeri
perut pasien IBS, meskipun sebuah meta-analisis sebelumnya menunjukkan
pengurangan resiko dari gejala-gejala dibandingkan dengan placebo (OR, 0,62;
95% CI, 0,45-0,87).
Sudah ada beberapa studi penggunaan antidepresan pada IBD. Uji klinis
sampai saat ini adalah non-randomize, studi open-label dari paroxetine (Paxil,
10

GlaxoSmithKline) yang menunjukkan peningkatan signifikan pada beberapa


komponen kualitas hidup, meskipun studi ini hanya termasuk pasien yang telah
didiagnosa dengan depresi. Studi terkini mereview 12 studi, kebanyakan dari studi
adalah laporan kasus, juga didapatkan peningkatan pada pasien dengan anxietas
dan depresi.
Ada hal penting pada laporan sebelumnya pada penggunaan bupropion
pada IBD. Laporan kasus melibatkan 6 pasien Crohns disease yang diterapi untuk
berhenti merokok atau depresi menunjukkan peningkatan pada perjalanan
penyakit bahkan ketika pasien tidak berhenti merokok. Satu mekanisme yang
mungkin untuk efek ini mungkin atenuasi dari level tumor necrosis faktor oleh
bupropion via reseptor dopaminergic. Penelitian lebih lanjut temuan menarik ini
dibenarkan.
Antikonvulsan
Antikonvulsan, khususnya gabapentin dan pregabalin (Lyrica, Pfizer),
sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati, dan akhir-akhir ini telah digunakan
untuk terapi nyeri visceral. Beberapa studi kecil dari 2 obat ini menunjukkkan
efek benefit pada hipersensitivitas viseral pada pasien dengan IBS. Trial klinis
lanjutan untuk nyeri viseral dibutuhkan.
Psikoterapi
Tingkah laku dan psikoterapi kognitif dapat efektif sebagai terapi
komplementer untuk menolong pasien mengatasi nyeri yang tidak dapat
dieradikasi total. Beberapa bentuk intervensi psikoterapi direkomendasikan secara
rutin ketika menggunakan terapi opiat jangka panjang. Terapi kognitif behaviour
adalah satu dari teknik psikoterapi yang sering digunakan, dengan studi
menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan fungsional pada pasien dengan IBS.
Dua meta-analisis menunjukkan keuntungan sederhana tapi signifikan dengan
terapi kognitif behaviour, khususnya pada pasien-pasien yang tidak berespon
dengan terapi medis.
Ketika psikoterapi dianggap sebagai terapi primer untuk IBD telah berlalu,
adanya peningkatan psikologi dan bukti klinis bahwa stres dapat memicu
11

terjadinya ruam. Intervensi psikoterapi pada IBD meghasilkan peningkatan yang


tidak terlalu tinggi dalam anxietas, depresi, dan mekanisme coping; meskipun
peningkatan ini terjadi tanpa berefek pada perjalanan penyakit, mereka
menyebabkan penurunan dalam pelayanan kesehatan.
Terapi Masa Depan
Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist
Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist
(TRPV1) adalah sebuah ikatan membran ion chanel didapatkan sepanjang sistem
saraf yang telah terlibat dalam tingkat nyeri akut dan kronik. TRPV1 telah
menunjukkan kontribusi pada hipersensitivitas viseral dan mekanosensitiviti yang
dihasilkan oleh mediator radang. Ekspresi level TRPV1 intestinal telah
menunjukkan hubungan dengan nyeri kronik pada IBD. Dibandingkan dengan
kontrol yang tidak bergerak, pasien IBD dengan gejala IBS-like symptom
meningkat 5-fold dalam jumlah fiber TRPV1 dalam biopsi mukosa. Beberapa
antagonis TRPV1 telah dievaluasi sebagai terapi untuk nyeri kronik, dan studi
klinis terkini telah membuktikan.
Nerve Growth Factor Antagonist
Peningkatan ekspersi dari TRPV1 dan hipersensitivitas viseral dianggap
sebagian dikontrol oleh peningkatan sinyal nerve growth factor (NGF). NGF
adalah satu ligan reseptor tyrosine kinase A (TrkA) yang terdapat pada neuron
sensori. Akibat inflamasi pada peningkatan level NGF, yang mana menstimulasi
reseptor TrkA; stimulasi TrkA menyebabkan peningkatan mediator radang dan
sensitivitas nyeri. NGF diregulasi dari biopsi pasien dengan nyeri viseral kronis.
Sebuah antibodi monoklonal diarahkan melawan NGF terlihat efektif dalam
osteoartritis, dan trial klinik dari antagonis NGF dalam nyeri viseral masih
berlanjut.
Kappa Opioid Receptor Agonists
Kappa Opioid Receptor Agonists (KORAs) juga membuktikan bagaimana
KORAs hadir untuk memodulasi fungsi aferen viseral pada kedua tingkat naif dan
12

hipersensitivitas. Asimadoline, sebuah restriksi perifer KORA, telah menunjukkan


pengurangan gejala dari pasien IBS, tapi obat ini belum tersedia secara komersial.
Rekomendasi Terapi
Saat ini, tidak ada terapi spesifik untuk mengobati nyeri viseral. Oleh
karena itu, kami merekomendasikan satu pendekatan multidisiplin yang serupa
dengan yang digunakan pada pasien-pasien lain yang mengalami nyeri kronik.
Pendekatan ini melibatkan kombinasi non-invasif seperti latihan aerobik, terapi
psikis, medikasi, dan psikoterapi. Pendekatan ini telah tebukti efektif pada nyeri
abominal kronik. Algoritma terapi yang disarankan diilustrasikan dalam Gambar
2.

Gambar 2. Algoritma Penanganan Nyeri pada IBD


Langkah pertama dalam terapi nyeri pada IBD yaitu selalu mengevaluasi
pasien untuk penyakit aktif. Jika peningkatan terapi IBD tidak mengurangi gejala,
maka pemberian analgesik boleh dimulai. Perawatan diperlukan untuk
13

menghindari komplikasi seperti striktur atau adhesi yang hanya dapat diterapi
dengan operasi. Adanya anxietas dan depresi menigkatkan komorbiditas dari IBD,
evaluasi dan terapi psikiatrik formal dapat menolong. Penggunaan antidepresan,
khususnya TCA, dapat membantu mengurangi nyeri walaupun tidak disertai
diagnosis psikiatrik. Opiat dapat digunakan secara hati-hati pada pasien IBD,
sebaiknya dengan interval yang jelas seperti sewaktu induksi remisi atau selama
periode post operasi. Jika menggunakan opiat, pasien harus diberikan perjanjian
opiat yang menjelaskan semua harapan dan kebutuhan, dan seorang klinisi harus
mencatat semua obat nyeri.
Kesimpulan
Memvalidasi nyeri pasien dan memberi dukungan bahwa pasien dapat
berjalan jauh menghadapi sakit seringkali dapat membantu mengobati nyeri dan
kecemasan pasien. Menghilangkan penderitaan pasien merupakan salah satu tugas
penting dari seorang klinisi, dan merupakan salah satu hal yang paling menantang.
Mengetahui penyebab nyeri dan bagaimana penanganannya merupakan keahlian
yang dibutuhkan oleh seorang klinisi dalam merawat pasien dengan IBD. Jurnal
ini telah menjelaskan sumber dan mekanisme nyeri pada IBD dan telah
menyediakan petunjuk penatalaksaan dalam terapi nyeri secara aman dan efektif.
Diharapkan jurnal ini akan mengurangi penderitaan setiap orang yang terlibat
dalam hal ini khususnya masalah frustasi.

14

Anda mungkin juga menyukai