Michael J. Docherty, MD, R. Carter W. Jones III, MD, PhD, and Mark S.
Wallace, MD
Abstrak : Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD, dan memiliki konsekuensi
yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Evaluasi lanjut dilakukan untuk
menentukan sumber nyeri yang dirasakan pasien termasuk gejala klinis,
laboratorium,
radiologi,
dan
penanganan
endoskopi
sesuai
indikasi.
IBD. Obstruksi sebagian usus halus pada Crohns disease sering mengakibatkan
nyeri secara intermitten dan mengharuskan diet residu rendah. Malabsorbsi asam
empedu dapat memicu terjadinya diare dan kram yang akan sering merespon
penyerapan asam empedu. Manifestasi ekstraintestinal termasuk sendi-sendi,
kulit, dan mata sering dapat mengakibatkan nyeri. Beberapa penyebab umum
nyeri pada IBD terdaftar pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyebab Umum Nyeri pada Irritable Bowel Syndrome
Nyeri Akibat Inflamasi
Intestinal
Ekstraintestinal
Gatritis
Artritis perifer
Enteritis
Sacroiliitis
Collitis
Spondilitis ankilosis
Abses
Primary sclerosing
Fistula
cholangitis
Fisura
Erythema nodosum
Irritable Bowel
Pyoderma
Syndrome
gangrenosum
Iritis
Uveitis
Keluhan nyeri harus memicu investigasi lebih lanjut mengenai etiologietiologi potensial. Investigasi ini termasuk penanganan untuk tanda-tanda
inflamasi, seperti peningkatan jumlah sel darah putih, tingkat sedimentasi, atau
level C-reactive protein. Adanya leukosit pada feses atau peningkatan level
calprotein dapat memberikan suatu informasi. Nyeri neuropati disarankan untuk
evaluasi kekurangan vitamin B12, khususnya pada pasien yang telah dilakukan
reseksi ileus yang besar. Colonoskopi atau endoskopi saluran pencernaan atas
sering dibutuhkan untuk mengkonfirmasi adanya penyakit. Pemeriksaan radiologi
(small-bowel, diikuti CT-scan enterografi, atau MRI enterografi) atau wireless
capsule endoscopy dapat membantu mengevaluasi penyakit yang tidak terdeteksi
dengan endoskopi. Pemeriksaan radiologi small-bowel sering dibutuhkan untuk
mengindentifikasi adanya striktur atau adhesi yang dapat menjadi penyebab nyeri.
Meskipun telah dilakukan verifikasi klinis dan remisi endoskopi, 20%
pasien akan tetap merasa nyeri. Pada trial SONIC, lebih dari sepertiga pasien
dengan diagnosis Crohns disease ringan sampai berat dalam studi tidak
ditemukan bukti adanya proses aktif pada pemeriksaan endoskopi. Satu alasan
2
untuk temuan ini mungkin tingginya tingkat kejadian irritable bowel syndrome
(IBS) pada pasien IBD. Pada satu studi, pasien-pasien IBD dengan remisi komplit
mengalami sekitar 2-3 kali gejala yang serupa IBS (IBS-like symptoms)
dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya tingkat kejadian anxietas dan
depresi pada pasien IBD ikut memberi kontribusi terjadinya gejala-gejala
fungsional ini. Sesungguhnya, pasien-pasien IBD dengan anxietas tinggi dan
depresi lebih sering mengeluh adanya gejala-gejala IBS. Meskipun konsekuensikonsekuensi dari masalah psikologis ini, pada satu studi didapatkan hanya 40%
dari pasien-pasien IBD dengan depresi yang mendapatkan terapi medis.
Bukti yang mendukung hubungan langsung antara IBD dan IBS semakin
banyak. Inflamasi tingkat rendah dan interaksi neuroimun sepertinya ikut berperan
dalam perkembangan IBS. Demikian juga, inflamasi tersembunyi pada pasienpasien IBD yang dalam fase remisi dihubungkan gejala seperti IBS (IBS-like
symptoms). Temuan ini menunjukkan mekanisme dimana residu inflamasi dalam
IBD yang tenang memicu terjadinya gejala seperti IBS dimana hal serupa
didapatkan pada infeksi gastrointestinal dapat menyebabkan IBS post infeksi.
Kekaburan batasan antara IBD dan IBS menyebabkan beberapa peneliti dan
klinisi mempertanyakan model dari sebuah dichotomi organik fungsional.
Mekanisme Nyeri
Nyeri pada IBD dimulai ketika produksi nyeri, atau nosiseptif, stimulusstimulus terdeteksi oleh saraf-saraf aferen primer khusus disebut nosiseptor
(Gambar 1). Ikatan membran reseptor pada nosiseptor mampu merespon beragam
modalitas stimulus, termasuk stimulus kimia, suhu, dan atau mekanik. Aktivasi
nosiseptor diikuti stimulasi perintah neuron tingkat kedua di saraf spinal via
eksitasi sinaps glutamatergic. Sinyal neural kemudian ditransmisi ke saraf spinal
menuju batang otak dan thalamus, yang mana menghubungkan berbagai area
korteks serebral, termasuk korteks somatosensori, insula, dan korteks cingulatum
anterior. Ketika sinyal saraf ini mencapai pusat yang lebih tinggi dari batang otak
dan otak, sinyal tersebut mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri.
Jalur-jalur sensoris ini merupakan suatu sistem yang kuat dalam mengatur
informasi yang masuk. Beberapa nosiseptor dapat melepaskan substansi-subtansi
3
yang dapat mengubah fungsi keduanya baik fungsi sendiri maupun fungsi saraf
sekitarnya. Modulasi komunikasi sinaps antara nosiseptor dan neuron tingkat
kedua pada saraf spinal dapat juga mengarah pada hyperlagesia. Aktivasi
struktur-struktur dalam batang otak, secara spesifik pada periaquaductal grey
matter dan medulla rostroventromedial, dapat melakukan inhibisi atau
memfasilitasi transmisi masuk dari informasi sensoris. Pada akhirnya berbagai
pusat dalam otak dapat memodulasi persepsi dan berespon terhadap stimuli
nosiseptif yang mengarah pada sensari nyeri. Semua mekanisme modulasi ini
berhubungan dengan keadaan nyeri kronik.
Ada beberapa cara dimana nyeri organ viseral secara unik dibandingkan
dengan nyeri somatic. Mayoritas aferen viseral primer berupa polimodal
mensensor stimuli mekanik, termal, dan kimia
dapat
termasuk
menghasilkan nyeri difuse, sulit dilokalisasi, dan sering mengarah pada nyeri
viseral.
Pilihan Terapi
Ketika nyeri dihubungkan dengan IBD aktif, terapi utama seringkali meningkat
pada terapi IBD. Bagaimanapun, nyeri dapat menetap meskipun terapi IBD
adekuat, atau nyeri dapat timbul dari penyebab non-IBD. Pada situasi ini,
penggunaan analgesik lain mungkin dibutuhkan (Tabel 2).
Gambar 1. Mekanisme Nyeri pada IBD. Stimulasi nosiseptif dapat dideteksi oleh
aferen somatik primer (merah) atau aferen viseral primer (biru)
Obat-Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid
Penggunaan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid pada IBD biasa juga
digunakan pada penanganan arthritis. Penggunaan OAINS sangat efektif pada
kasus inflamasi arthtopati lain dan sering direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama. Acetaminofen dapat digunakan sebagai pengganti OAINS untuk
mengurangi efek samping, tetapi acetaminofen kurang efektif.
OAINS berperan sebagai analgesik anti-inflamasi dengan menghambat
produksi prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase (COX). Pada kondisi
inflamasi, efek analgesik OAINS terjadi dengan penghambatan pembentukan
enzim, COX-2. Non-selektif OAINS juga menghambat pembetukan enzim COX1, yang mana berperan dalam mempertahankan integritas usus. Kombinasi
pengurangan produksi prostaglandin dan
dalam perawatan rumah sakit yang lebih membutuhkan analgesik. Tidak ada
5
hubungan antara penggunaan OAINS dan penyakit ruam terlihat pada pasien
klinik. Studi terbesar untuk mengevaluasi hubungan ini memeriksa lebih dari 500
pasien IBD yang di follow up selama 1 tahun. Pada studi ini didapatkan tidak
adanya hubungan antara penggunaan OAINS dan ruam-ruam (odds ratio [OR],
0,99; 95% confidence interval [CI], 0,61-1,60), bahkan pada penggunaan OAINS
sehari-hari.
Kontrol trial OAINS pada IBD telah berkurang. Sebuah studi kecil
menunjukkan peningkatan resiko timbulnya ruam 20-30% pada pasien yang
memulai terapi dengan OAINS dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi
dengan acetaminofen. Semua pasien yang diterapi OAINS timbul ruam dalam 9
hari setelah terapi, tapi kebanyakan dapat mengalami remisi dengan penghentian
OAINS.
Medikasi
Hyoscyamin XR
Anti spasmodik
Docyclomine
Anti depresan
trisiklik
Despiramine
10-25 mg
sebelum tidur
200 mg/hari
Nortriptyline
10 mg sebelum
tidur
150 mg/hari
Paroxetine*,**
Citalopram**
Venlafaxine*,**
SNRI
Duloxetine*,**
Bupropion*,**
10 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
25-50 mg dosis
tunggal
20 mg dosis
tunggal
37,5 mg dosis
tunggal
20-60 mg dosis
tunggal
100 mg dua kali
sehari
Efek Samping
Konstipasi,
pusing, mulut
kering, sedasi,
retensi urin
160 mg/hari
150 mg/hari
Sertraline*
Opiat atipikal
1,5 mg/hari
Amitriptyline
Fluoxetine*,**
Anti depresan
atipikal
Dosis Maksimal
25-50 mg
sebelum tidur
Escitalopram*,**
SSRI
Dosis Awal
0,125-0,25 mg
setiap 4-6 jam
atau 0,375-0,75
mg dua kali
sehari
20 mg empat
kali sehari
20 mg/hari
80 mg/hari
50 mg/hari
Mulut kering,
pusing, sedasi,
peningkatan berat
badan
Mulut kering,
konstipasi,
hipotensi, sedasi,
penigkatan berat
badan
Anoreksia, diare,
sakit kepala,
insomnia, mual,
sedasi, penurunan
berat badan
200 mg/hari
60 mg/hari
150 mg/hari
120 mg/hari
450 mg/hari
Bupropion
XR*,**
150 mg dosis
tunggal
400-450 mg/hari
Tramadol**,
50 mg dosis
tunggal
400 mg/hari
Gabapentin
300 mg sebelum
tidur
3600 mg.hari
Pregabalin**
75 mg dua kali
sehari
450 mg/hari
Anti konvulsan
Sakit kepala,
insomnia, mual
Pusing, insomnia,
sedasi, mual
Sakit kepala,
insomnia, risiko
kejang,
penurunan berat
badan
Konstipasi,
diaforesis, mual,
risiko kejang
Sulit
berkonsentrasi,
mual, sedasi,
peningkatan berat
badan
Kebingungan,
pusing, sedasi,
peningkatan berat
badan
Opiat
Opiat sering digunakan untuk terapi nyeri berat akut. Peran obat ini pada
kasus nyeri kronik non-kanker (CNCP) masih belum jelas, termasuk efek
samping, penyalahgunaan, dan penyimpangan pada individu lain. Meskipun hal
ini mengkhawatirkan, namun penggunaan jangka panjang terapi opiat pada CNCP
meningkat secara dramatis. Ketika terbukti nyeri membaik dalam demonstrasi
penggunaan jangka pendek opiat, keuntungan ini tidak berarti meningkat pada
penggunaan opiat jangka panjang. Beberapa studi tentang penggunaan opiat pada
CNCP menunjukkan keuntungan kecil sampai nihil, sehingga terapi jangka
panjang dengan opiat banyak mengecewakan.
Adapun
sedikit
informasi
yang
mengejutkan
tentang
prevalensi
penggunaan opiat pada IBD. Studi terkini melaporkan penggunaan kronik opiat
pada 30% pasien IBD, meskipun pada studi ini hanya termasuk pasien dengan
evaluasi psikiatrik. Pada semua pasien yang menunjukkan klinis IBD, frekuensi
penggunaan opiat berkisar 3-13%. Penggunaan opiat mungkin merupakan sebuah
marker untuk kasus IBD yang lebih berat, sebagaimana dalam studi didapatkan
pasien yang diterapi dengan opiat memiliki perjalanan penyakit yang lebih buruk
dan nyeri dan hampir dua kali lebih mungkin memerlukan intervensi bedah.
Namun, lebih dari setengah pasien IBD yang kembali untuk perawatan
follow up mampu menghentikan candu terhadap opiat. Pasien-pasien ini memilih
untuk melakukan terapi medis dan memiliki perjalanan penyakit dan nyeri yang
terkontrol. Temuan ini menyatakan bahwa kebanyakan pasien dengan IBD dapat
sukses menghentikan candu dari opiat jika penyakit mereka teratasi dan nyeri
mereka ditangani dengan strategi alternatif.
Komplikasi Penggunaan Opiat
Banyak efek samping opiat yang terjadi, seperti seperti mual, depresi
nafas, sedasi, dan euforia/disforia, namun akan berkurang seiring dengan
berjalannya waktu. Konstipasi merupakan suatu pengecualian pada pernyataan ini,
dan penggunaan bowel regimen secara rutin dianjurkan ketika memulai terapi
opiat. Ketika konstipasi mulai dialami pada kebanyakan pasien IBD, hal ini
8
pasien.
Pasien dianggap berisiko tinggi menyalahgunakan opiat pada terapi opiat
jangka panjang dimana mungkin diperlukan evaluasi psikis secara hati-hati dan
9
pemantauan ketat dari klinisi. Pasien yang memiliki kesulitan terhadap terapi
opiat sering mengalami depresi. Kebanyakan program multidisiplin obat anti nyeri
diatur oleh ahli psikologi yang telah terlatih mengevaluasi nyeri kronik pasien.
Sebagai tambahan, semua klinisi harus berhati-hati adanya tanda yang
mengkhawatirkan pasien yang mendapat terapi opiat; tanda-tanda ini tercantum
dalam Tabel 3. Pada waktu yang bersamaan, klinisi harus dapat membedakan
tanda adiksi dari gejala dan tingkah laku dari analgesik yang inadekuat
(pseudoadiksi) atau anxietas nyeri. Konsultasi dengan ahli psikologi dapat
berguna pada situasi ini.
Tabel 3. Ciri-ciri Tipikal pada Penyalahgunaan Terapi Opioid
-
Antidepresan
Antidepresan sering direkomendasikan sebagai analgesik tambahan untuk
mengurangi kebutuhan terapi opiat jangka panjang. Kebanyakan dasar
penggunaan antidepresan pada IBD berasal dari studi IBS. Dua trial meta-analisis
yang menonjol yang digunakan adalah antidepresan trisiklik (TCAs) untuk terapi
IBS menunjukkan hasil yang menguntungkan. Sementara studi lain menyatakan
tidak selalu menguntungkan, TCAs masih merupakan terapi utama pada IBS.
Studi tentang selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) pada IBS kurang
menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa SSRI tidak berefek pada nyeri
perut pasien IBS, meskipun sebuah meta-analisis sebelumnya menunjukkan
pengurangan resiko dari gejala-gejala dibandingkan dengan placebo (OR, 0,62;
95% CI, 0,45-0,87).
Sudah ada beberapa studi penggunaan antidepresan pada IBD. Uji klinis
sampai saat ini adalah non-randomize, studi open-label dari paroxetine (Paxil,
10
menghindari komplikasi seperti striktur atau adhesi yang hanya dapat diterapi
dengan operasi. Adanya anxietas dan depresi menigkatkan komorbiditas dari IBD,
evaluasi dan terapi psikiatrik formal dapat menolong. Penggunaan antidepresan,
khususnya TCA, dapat membantu mengurangi nyeri walaupun tidak disertai
diagnosis psikiatrik. Opiat dapat digunakan secara hati-hati pada pasien IBD,
sebaiknya dengan interval yang jelas seperti sewaktu induksi remisi atau selama
periode post operasi. Jika menggunakan opiat, pasien harus diberikan perjanjian
opiat yang menjelaskan semua harapan dan kebutuhan, dan seorang klinisi harus
mencatat semua obat nyeri.
Kesimpulan
Memvalidasi nyeri pasien dan memberi dukungan bahwa pasien dapat
berjalan jauh menghadapi sakit seringkali dapat membantu mengobati nyeri dan
kecemasan pasien. Menghilangkan penderitaan pasien merupakan salah satu tugas
penting dari seorang klinisi, dan merupakan salah satu hal yang paling menantang.
Mengetahui penyebab nyeri dan bagaimana penanganannya merupakan keahlian
yang dibutuhkan oleh seorang klinisi dalam merawat pasien dengan IBD. Jurnal
ini telah menjelaskan sumber dan mekanisme nyeri pada IBD dan telah
menyediakan petunjuk penatalaksaan dalam terapi nyeri secara aman dan efektif.
Diharapkan jurnal ini akan mengurangi penderitaan setiap orang yang terlibat
dalam hal ini khususnya masalah frustasi.
14